Selasa, 26 Februari 2013

CAUSATIVE



A.   VOCABULARIES

Invest : menanam modal
Punish : menghukum
Arrange : menata
Entertain : menghibur
Manage : mengelola
Develope : mengembangkan
Perform : mempertunjukkan
Assist : membantu
Resist : melawan
Appear : memunculkan
Serve : melayani
Improve : memperbaiki
Permit : minta izin
Press : menekan
Arrive : tiba
Decide : memutuskan
Solve : memecahkan
Intend : berniat
Translate : menterjemahkan
Repeat : mengulang






B.   STRUCTURE
Causative verbs adalah kata kerja yang digunakan untuk menunjukkan bahwa subject tidak bertanggung jawab langsung terhadap aksi yang terjadi. Dan seseorang atau sesuatu yang lain yang melakukan aksi tersebut, seakan itulah yang bertanggung jawab yang didalam rumusnya disebut sebagai  (agent).
Causative dibagi menjadi dua : Active dan passive. Dalam rumus causative active tidak ada istilah object, yang ada hanyalah agent, dan dalam tata kalimatnya agent ini seakan seperti object tapi bukanlah object ex : We have our teacher explain fast. (our teacher disitu bukanlah object dari have, melainkan agent dari causative have)
Namun dalam causative passive object tetap ada, ex : I got my books arranged (book disitu adalah objek dari causative get)
Jumlah causative secara yang kerap digunakan ada 4 : let, make, have, & get.



LET
Membiarkan seseorang melakukan sesuatu
S + (let) + agent + verb + . . .
She lets her father invest money
MAKE
Memaksa atau sangat meyakinkan seseorang untuk melakukan sesuatu
S + (make/made) + agent + verb + . . .
I make him entertain me
HAVE
Memberikan wewenang kepada seseorang untuk melakukan sesuatu
S + (have/had) + agent + verb + . . .
My mother has me arrange the bedroom
GET
Membujuk seseorang untuk melakukan sesuatu
S + (get/got) + agent + verb + . . .


C.   DIALOG
Arul : cici, what did you do to eko?
Cici : what happen, I just had him to entertain me. 
 Arul : what ? he entertained you !
Cici : right, any mistake?
Arul : on no, dont you know that he intends to avoid you?
Cici : is it right? I just made him assist me.
Arul : He loved you cici.
Cici : ups...sorry, would you like repeat it Arul?
Arul : I let you to solve this problem, serve his love, and entertain him. He missed you cici.
Cici : I am sorry arul, I can not. I decide to foccus in my school.
Arul : emmm, ....

D.   EXERCISE
1.   What did cici say to arul in the fierst dialog ?
2.   Why did arul order cici to entertain eko?
3.   arul (lets/ made/ get) cici serve eko.
4.   Cici had him (...) me.
5.   She (made/makes/make) eko assist her yesterday






E.   READING.
Yesterday, I was very happy. I made my father assist me to go to my new university. Whe we arrived  there, we decided to enter directly. Inside, I saw the manager let the servers serve us. The servers of university were very kind.
Actually, I did not intend to study here, I could not develope my science here, because the condition made me to translate all words here. We communicated by english in this Mambaus Sholihin Univercity.



F.   EXERCISE
1.   Where would we go yesterday?
2.   Why (...) I very happy?
3.   Who would go to university?
4.   What university, would we go?
5.   Why did not he intend to this university?


G.   WRITING.
Memutuskan sebuah mimpi, dan berniat kuat untuk meraihnya adalah hal yang rumit untuk dilakukan. Kita harus memaksa diri kita untuk bisa mengatur semua yang akan kita lakukan hari ini.
Dan hanya dengan mimpi, kita bisa mengembangkan diri kita, yang nantinya pasti bisa membantu negeri ini. Dan akhirnya negara pun menyuruh kita untuk melayaninya. Hanya dengan satu tekanan mimpi.
         


BUDAYA KOTA



            Tinta yang keluar dari dalam pena-pena pemuda 2015 besok pasti akan berbeda dengan apa yang pemuda 2008 silam goreskan dalam diarinya. Pemuda 2008 lebih bisa menuliskan banyak warna dalam kertas putihnya, dan lebih bisa banyak bercerita tentang kehidupan kecilnya yang berwarna. Namun tidak bagi pemuda 2015 mendatang, mereka akan tampak bingung, mau menulis apa tentang sejarah masa kecilnya, dan mau bercerita apa tentang hal-hal menarik kedaerahannya, mereka tak punya spekulasi tentang apapun yang dimiliki oleh daerahnya. Dan hanya coret-coretan dalam buku gambar, pensil panjang, dan seragam lusuh yang terekam di benak mereka.

            Dalam nafas panjang, jarang yang menyadari bahwa semakin hari anak-anak bangsa ini semakin kehilangan jati diri ke-indonesiaan mereka. Apalagi ditahun 2013 ini, banyak anak-anak bangsa yang kehilangan haknya sebagai anak kecil. Di usia mereka yang masih tergolongkan dini para orang tua merasa tertuntut untuk menyekolahkan mereka, dan tuntutan itu terselubung dalam sebuah kapsul obat yang digembor-gemborkan sangatlah mujarab bagi masa depan anak itu sendiri, katanya. Sehingga terenggutnya hak-hak mereka sebagai anak-anak yang suka bermain bebas pun tak terelakan.
Tidak bisa dibantah memang, dewasa ini tuntutan dunia yang seakan bisa memajukan bangsa malah merusak citra alami bangsa sendiri. Sekolah-sekolah di pelbagai jenjang sekarang menjelma sebagai sesosok pesantreis yang full day. Dari SMA sampai pula pada PAUD pun sekarang bersistemkan fullday school. Dan secara tersirat semua itu bisa mengubah psikologi anak. Masa kanak-kanak yang mestinya adalah masa indah untuk bermain, sekarang dengah teganya dirubah menjadi masa belajar, toh yang walaupun itu dengan embel-embel “bermain sambil belajar”, masih akan berbeda. Dan mungkin kalau sistem fullday school yang sangat menyita waktu mereka bermain ini dibiarkan pasti fase pertumbuhan manusia bisa – bisa berubah, fase kanak-kanak akan terhapus dari daftar, dan manusia masa depan akan kehilangan satu sejarah masa yang luar biasa indahnya.
Menanggapi paragraf diatas, alangkah lebih baiknya jika kata “seakan” itu kita ubah menjadi tidak seakan. Jadi memang benar- benar program ini bagus dan tidak mencolek yang lainnya, dan lebih bisa menghargai hak-hak mereka sebagai anak kecil. Pun juga sebagai upaya susulan kita menghargai budaya-budaya unik bangsa ini yang hampir punah. Siapa lagi, yang mau melestarikan permainan-permainan klasik seperti petak umpet, benteng, congklak, galah asin, layang-layang, dan lain sebagainya Kalau bukan anak-anak bangsa seperti mereka. Toh, permainan seperti itu (budaya klasik) secara tersirat memiliki nilai sosial yang sangat tinggi dari pada hanya bermain di playground disetiap playgroup yang tersedia.
Jadi, pribumisasi modern tampak lebih bisa mengatasi masalah ini, dari pada secara gamblang kita langsung memodrnisasikan pribumi, dengan fullday school buat anak-anak. Padahal sekolah 2 jam sehari buat anak dini pun lebih dari cukup, dan 10 jam lainnya biarkan anak bermain dengan kebebasannya. Sehingga nilai kecintaan mereka pada budaya klasik bangsa ini tak tergantikan dengan budaya kota yang esensinya sungguhlah kosong tak bernyawa. Dan untuk anak bangsa janganlah kalian mau dijadikan mahasiswa playground di tahun 2013 ini./z_v


Kamis, 14 Februari 2013

MUHAMMAD SAIFULLAH


“Aku tak perlu untuk mengubah siapa aku demi dia, biarlah dia yang mengubah siapa dia demi aku”.


            Emmmm mungkin kali ini hanya satu prinsip itulah yang lebih condong pada diriku. Tak mudah untuk bisa merespon hal yang seperti ini, seakan hari ini duia benar-benar memaksaku untuk mengubah siapa aku. Satu sisi terbesit selalu kekhawatiranku, akan itu. Bukan karena aku yang tak punya prinsip, namun aku ragu akan sesuatu itu dan yang ada didalamnya. Sesuatu itu seakan adalah hal yang menurut mereka perlu di hindari, malangnya juga aku tak bisa menyalahkan itu. Sesuatu itu juga ada negativnya, sesuatu itu juga usai berulang kali berusaha ku menepisnya, namun tanpa terasa semua itu hadir dan kembali lagi membumi dalam diriku, tanpa itu pula bahkan aku merasa tidak nyaman menjalani hidup ini. Ntahlah, aku merasa sesuatu itu kekuranganku yang aku nyaman dengannya, dan sulit tanpanya. Tak jarang aku malah kehilangan ipoenk yang murah senyum dan selalu semangat saat mencoba untuk mnepeis bayangan itu. Orang bilang “terlalu lebay” ya seperti itulah aku dipandang olehnya.

PESONA PROBLEMA DITINGKAT DEWA



          Malam ini kembali kutermenenung dalam pikiranku yang sedari tadi terselimuti oleh bayangan vital hati. Dan untuk keduanya ku kembali menulis, menulis tentang dewa yang mana dalam hal ini tak salah kalau orang-orang yang tak terselebung dalam kehidupannya terdapat aktifitas jam-an yang konsis, yaitu berfikir.

          Ujung yang mengawal dalam tulisan ini, adalah tentang sebuah permasalahan yang tidak menyenangkan pastinya. Banyak diantara manusia manusia yang gundah, sedih, kecewa, dan menderita hatinya karena satu kata ini “masalah”. Pun sampai sampai Ayu ting ting turun tangan dengan iklan “anti galaunya” dalam m3, yang seakan melukiskan ini adalah sesuatu yang berstadium untuk dibahas.
          “Aku tak mengerti, apa salahku, dan mungkin jika aku bandingkan kerjaku dengan rekan yang lain aku lebih disiplin dan aktif, namun mengapa beliau kok hanya memarahi aku. Iya sih aku tahu mungkin aku tidak sepinter mereka dalam hal apapun, background aku pun tak selurus mereka, its fine…but kenapa sih kok mesti aku dan aku yang disalahkan. Bahkan tak jarang ku lihat rekan-rekanku, berbuat yang tak senonoh, but what happen, no action, seakan gag ada papa. Pun ketika dalam tugas pasti aku dan aku yang berada di posisi bawah, aku tak pernah dianggap oleh beliau. Ntah, kenapa kok sampai bisa seperti itu. Ya akhirnya tak taulah, aku hanya bisa membingkai rasa ini dengan senyum di depan mereka”. Satu contoh curhat diatas misalnya. Didalamnya melukiskan betapa mengeluh dan sedihnya dia, saat ada hal yang tidak menyenangkan menyapa dia dalam hitungan lebih dari satu, dua. Dalam satu nafas tak masalah lah, kita mengeluh, toh kita juga manusia yang tak bisa luput dari masalah, dengan catatan tak haruslah semua itu lebih dari satu jam dalam sehari.
          Tapi, kala kita mau berfikir lebih lanjut tentang satu ayat Quran “ la’in syakartum la’azidannakum”, sesungguhnya posisi yang paling tepat dan pas untuk membalas semua itu adalah posisi yang seperti itu. Posisi dimana berjalan disamping kita hal-hal yang sangat tidak menyenangkan dan kita bisa sabar sembari berfikir dan merenung. Kata syukur dalam ayat diatas itu ada karena telah diturunkannya sesuatu yang menyenangkan kepada kita, lalu ketika kita bersyukur akan hal itu, pasti Tuhan akan menambahnya. Dari situ jika kita putar 60 derajat kedepan, jika kita bisa mensyukuri semua hal-hal yang tidak menyenangkan diatas  sudah pastilah bukanlah hanya menambah yang akan dilakukan Tuhan pada kita, namun lebih dari itu, karena secara tersirat cobaan-cobaan yang telah diberikan kepada kita itu adalah sebuah nikmat yang terbungkus special buat hamba-hambanya yang mau berfikir dan bersabar. Dan semua itu sungguhlah masuk akal, toh bersyukur pada nikmat yang dhohir atau menyenangkan saja Tuhan berjanji menambahnya, apalagi mensyukuri nikmat yang menyiksa hati.
          Dari situ, sungguhlah masuk akal dan mungkin melebihi logikanya para filosof, jika para sufi itu lebih memilih anti dunia atau bahasa akrabnya zuhud dan uzlah  dari pada mengejar nominal-nominal yang tiada berarti didalamnya. Sebab alur pemikiran mereka dengan semua ketidaknyamanan ini mereka bisa meraih sesuatu yang lebih dari segalanya. Fitrah mereka sebagai manusia yang ingin selalu mendapat sesuatu yang lebih begitu mereka tonjolkan dalam konsep berfikir mereka, dan itu sungguhlah masuk akal. Karena tak ada manusia yang tak ingin lebih. Jadi sangatlah salah jika kita mengatakan mereka itu tak waras atau apalah yang tak doyan barang dunia, bukan. Namun semua itu tak lebihnya adalah sebagai usaha mereka secara logis untuk meraih sesuatu yang selain mereka mustahil untuk mendapatkannya, yang dalam hal ini adalah  “rizqun nadlor ila wajhikal karim”.  
          Dan akhirnya, para manusia-manusia dewa itulah yang menang dan bisa merasakan pesona indahnya sebuah problema, dengan kekuatan akal dan hatinya yang selalu bisa menganggap apapun masalah yang menghadang mereka adalah sebuah rezeki dan nikmat seta kesempatan untuk menjadi berarti buat orang lain. Toh pastinya masalah tak akan tercipta tanpa sebuah jalan dan sebuah kemenangan.
“karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan”
(QS. Al-Insyiroh; 5-6)

CARA DAN TRIK :
          Seusai membaca uraian diatas, pastilah terngiang-ngiang di awan pikiran kita tentang bagaimanakah memunculkan hasrat yang siap untuk mensyukuri setiap musibah yang silih berganti menyapa kita. Jawabannya tak sulit, cukup dengan mendatangkan sebuah perbandingan yang seolah tidak masuk akal dalam kerangka pemikiran kita. Konsep perbandingan begitulah saya menyebutnya.
          Saat sesuatu yang sulit datang kepada anda, cobalah untuk membandingkannya dengan sesuatu yang lebih sulit dan berat dari padanya. Lalu, berfikirlah sekali lagi dan merenunglah, serta bayangkanlah saat ini anda sedang tertimpa musibah yang kedua tadi. Perlahan dan terus berimajinasi sampai seakan itu adalah nyata akan terjadi pada diri anda. Dan sampai pada saatnya terjadi, ternyata Tuhan mengubah planning musibah tadi yang asalanya kepala anda yang akan pecah terlindas truck diganti menjadi hape anda yang jatuh dan rusak. Sampai akhirnya, rasa syukur itu dapat kita rasakan.
          Jadi, finalnya, menuruti contoh diatas, saat kita terkena musibah hape kita jatuh dan pecah, bukannya sedih dan galau yang akan kita rasakan, tapi malah terima kasih, karena hanya sepintas hape yang pecah tidak sampai pada kepala. Dan itulah fungsi real dari konsep perbandingan. /…z_v9213

SEBUAH ARTI PERHATIAN


Indah cinta yang kau berikan 
kini tiada lagi kudapatkan
teduhhya jiwa . . .
baiknya ku pergi 
tinggalkan dirimu
sejauh mungkin ,
 untuk melupakan,
dirimu yang selalu tak pedulikanku . . .

           saat lagu itu mengalun nan indah memanjakan telinga kita dan meresapi setiap katanya, pasti ada sebuah kesimpulan terpercik darinya, “Semua orang ingin diperhatikan, dan bukanlah orang kala tiada hasrat darinya untuk diperhatikan”. Tak salah memang, pakar psikologi sex sekaliber Sigmeund Fred, pun mengatakan “sex adalah puncak akan perhatian seseorang pada kekasihnya” yang kalau saya bisa mengambil kesimpulan tanpa butuhnya seseorang pada perhatian, perlu untuk diragukan kadar ke-normalannya, sebagaimana enggannya seseorang pada sex.

          Dalam alam nyata, pun saya kerap berfikir dan menjadi sebuah dialog yang hebat dalam diri saya sendiri, kala mata ini menangkap sosok-sosok pengamen disetiap bus level ekonomi jurusan sby-semarang. Yang ternyata mereka pun membutuhkan sebuah perhatian, perhatian didengar akan setiap alunan lagu yang mereka senandungkan, dan anehnya mereka lebih enjoy kala musik mereka di nikmati tanpa kita memberi mereka receh, dari pada kita beri mereka uang namun kita tinggal headsheet-an dan membiarkan mulut mereka tampak sibuk sendiri dengan nyanyiannya, kita cuek dan tenggelam dalam lagu dari mp3 kita. Cerita kecil diatas, adalah frame betapa mahal dan butuhnya setiap orang akan  nominal sebuah perhatian dari pada sekedar nominal-nominal lainnya. Pengemis pun ingin dihargai.

Dari uraian diatas sungguhlah wajar kalau perasaan “aku tak pernah dianggap” kerap muncul. Kerap saja tak apalah, namun sayangnya kata kerap tadi sering di barengi dengan “membunuh motivasi” yang finalnya pasti pada kesedihan, kegundahan dan kegelishan, serta kekhawatiran. Dan berikut inilah  curahan hati seseorang yang bisa dikatakan sangat dekat dengan saya, yang melukiskan betapa berartinya sebuah penghargaan akan kehadiran kita :
          “Aku tak mengerti, apa salahku, dan mungkin jika aku bandingkan kerjaku dengan rekan yang lain aku lebih disiplin dan aktif, namun mengapa beliau kok hanya memarahi aku dan selalu mendewakan mereka. Iya sih aku tahu mungkin aku tidak sepinter mereka dalam hal apapun, background aku pun tak selurus mereka, its fine…but kenapa sih kok mesti aku dan aku yang disalahkan. Bahkan tak jarang ku lihat rekan-rekanku, berbuat yang tak senonoh, but what happen, no action, seakan gag ada papa. Pun ketika dalam tugas pasti aku dan aku yang berada di posisi bawah, aku tak pernah dianggap oleh beliau. Ntah, kenapa kok sampai bisa seperti itu. Ya akhirnya tak taulah, aku hanya bisa membingkai rasa ini dengan senyum di depan mereka, dan dari situ aku berfikir rasa iri ini sunnguh menguasaiku kali, ini. Dan seakan mataku tertutup untuk merespon semua rasa ini. Dan aku terdiam, berhenti di perempatan jalan kesedihanku saat lampu merah didepanku terus menyala. Aku yang tak dianggap

Dalam satu pendekatan sebenarnya Bukan tanpa sebab Tuhan menghempaskan kita dari orang lain, pasti semua itu ada makna terselubung, dan hanya dengan positif thinking (berprasangka baik) kita bisa menguak makna tersebut. Toh, Tuhan pasti menyelipkan hikmah dibalik semua ciptaanya.
(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.
(Ali Imron-191)

“Berpikir satu jam lebih baik daripada beribadah fisik enam puluh tahun”
(HR. dari Abu Hurairah)

          Munculkanlah pelbagai kemungkinan positif dalam pikiran anda, saat sesuatu yang tidak menyenangkan datang menyapa anda. Gunakanlah konsep mungkin, “mungkin aku ditakdirkan untuk fokus pada tugas lainnya, makanya aku tak terpilih sebagai delegasi kelas dalam BM”, ya semisalnya seperti itulah. Jadi bukannya ketika anda tak dianggap adalah adalah harga mati kalau anda tidak mampu dalam hal itu, bukan. Namun itulah cara Tuhan memenuhi hak tugas-tugas yang lain biar tak terbengkalai tanpamu.
          Dan ketika tahap itu usai sudah kamu renungkan, maka bersegeralah untuk menggarap tugas yang hari ini ada didepan anda. Tidak usah memandang ke belakang tentang tugas-tugas yang gagal anda dapatkan dihari kemaren. Apa yang terjadi pada anda sekarang itulah yang terbaik buat anda. Bisa jadi walaupun tugas yang sekarang anda hadapi ini kurang linier dengan anda, ya itulah cara Tuhan mengajarimu tentang hal baru dalam diri anda. Sebab Tuhan memilih yang terbaik buat anda bukan yang terindah. Tuhan lebih kenal siapa anda dari pada anda sendiri.
Diwajibkan atas kamu berperang, padahal berperang itu adalah sesuatu yang kamu benci. Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.
(Al-Baqoroh ; 216)

          Dalam perspektif lain, kala anda membatin “dia kan faknya bukan kesitu, tapi kenapa tetap dia yang terpilih”, secara tersirat anda di latih untuk tidak egois. Dipungkiri atau tidak Tuhan juga ingin mengajari teman anda tadi untuk hal-hal yang baru. Bukan pada anda saja Tuhan sayang. Dan dengan seperti itulah Tuhan mengekspresikannya, masuk akal toh?.
“Dengan menyebut nama Allah yang maha pengasih lagi maha penyayang”
(Al-Fatihah – 1)

          Dan kapanpun itu ketika seakan dunia semua  marah dan menyalahkan kamu, toh kamu juga gag sepenuhya salah. Jangan pernah anggap itu sebagai musibah tapi nikmat yang perlu disyukuri, karena percaya atau tidak, tokoh sekaliber Hugh Miller pun mengatakan, "Permasalahan adalah sebuah kesempatan yang memiliki duri”, dengan tanda kutip semua itu tak lekang dari aktifitas berfikir.
Dan mereka berkata: "Sekiranya kami mendengarkan atau memikirkan (peringatan itu) niscaya tidaklah kami termasuk penghuni-penghuni neraka yang menyala-nyala".
 (Al-Mulk ; 10)

"Kesempatan itu jauh lebih banyak dari kemampuan."
(Thomas Alva Edison)

          Dan akhirnya dapat saya simpulkan, bahwa cobaan ada bukan untuk membuat kita lemah, namun untuk membuat kita lebih kuat. Allah selalu bersama hamba-hamba yang memohon pertolongan. Selalu berpikir positif terhadap segala hal yang menimpamu, maka Allah akan membalasnya dengan memudahkanmu dalam mengetahui dibalik setiap hikmah-hikmahnya. Jangan pernah katakan : “Ya Allah, aku punya masalah yang besar. Tapi katakanlah, wahai masalah, aku punya Allah yang Maha besar.
“your life is in your hands, to make of it what you choose”
(John Kehoe)

Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar- benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik.
(Al-Ankabut ; 69)



Jumat, 08 Februari 2013

MANUSIA SEMPURNA, katanya?



            Tak ingin ku menahu ntah berlandas pada motivasi apakah mereka, temen-temenku malam malam ini tak enggan untuk menginjakkan kakinya di Musholla demi mengikuti pengajian biasa luarnya, namun luar biasa dalamnya. Haha lucu memang dan semoga ini bisa berlanjut dan berdasar pada hati masing-masing dari mereka.

            Berbincang mengenai hati, apa yang usai disampaikan oleh bapak Haris Fahrudin barusan sungguh luar biasa. Saya menemukan sebuah pencerahan bari dalam hal pandangan dan asumsi saya pada kitab klasik karya-karya penulis tempo dulu. “Sungguh hebat mereka”, begitu aku mengaguminya dan mengekspresikannya lewat bahasa.
            Manusia berfikir dalam satu jam, tak kurang pentingnya dari pada manusia yang beribadah satu tahun lamanya. Dalam satu nafas tidaklah masuk akal pernyataan itu, dan karena dalam fitrah alam, tak ada yang namanya nepotisme, jadi walaupun berfikir adalah merupakan satu keluarga dengan akal, disini saya tetap mengatakan hal itu tidaklah masuk akal, karena disini saya menggunakan pendekatan temporal. Satu jam dibanding seribu tahun, satu poin yang sulit diterima oleh akal saya, dan itu tidaklah masuk akal.
            Namun, memang benar seperti itulah adanya, akal adalah raja diraja dalam kerajaan tubuh kita, dan hatilah patihnya. Pun untuk memuaskan pertanyaan akal kita akan itu, cukup lewat tubuh kita sendiri inilah praktisnya. Seluruh alam semesta ini semisal, semuanya yang ada dilangit dan bumi ini sebenarnya usai terlukis dalam tubuh ciptaan-NYA, yaitu manusia. Alam ini punya tanah yang tumbuh diatasnya tumbuh-tumbuhan yang besar kecil, lebat jarang, dan lain sebagainya, begitu pula dengan manusia, dia punya kulit yang tumbuh juga diatasnya rambut-rambut yang tebal hingga bulu-bulu yang halus bak rumput di taman sebuah kota, cocok dengan alam. Alam punya air yang 3/4 % mendominasi bumi, sama dengan manusia dengan tubuhnya yang 3/4nya adalah air. Pun mulai dari air bersih, kotor, keruh, hingga pada air bah pun ada dalam tubuh manusia, dan semua itu bisa direnungkan sendiri. Dan yang paling dominan adalah manusia juga punya nafas yang tanpanya tak akan ada kehidupan, begitu pula dengan alam ini yang dilengkapi dengan angin yang semilir berhembus membelai siapapun orang didalamnya. dan berlabuh dari situ tak salah jika saya mengatakan; “Segala sesuatu dan dalam apapun itu akanlah sangat berarti dan berharga jika semua itu diperdanai oleh aktifitas berfikir”.
            Lebih lanjutnya mengenai angin, dan focus pada judul yang tertera diatas, salah dan sangatlah salah jika dikatakan manusialah yang menggerakan semua yang bergerak dalam tubuhnya. Sepintas memang seakan manusialah yang punya kekuatan dalam segala aktifitas apapun yang dikerjakan olehnya, namun saat kita benar-benar merenungi dan berfikir, tidaklah mungkin jika robot yang bergerak dengan sendirinya itu bisa tahu dan paham tentang mengapa tangannya bisa bergerak dan mengapa kakinya bisa berjalan. Sama dengan manusia, kalau memang benar dikatakan manusialah yang menggerakkan tangannya sendiri misalnya, pasti manusia itu sadar dan paham berapa ukuran tangan mereka masing-masing sehingga bisa bergerak tanpa harus memberati  lengannya, dan mengerti berapa diameter yang pas untuk sebuah tangan yang pas buatnya dengan porsi tubuh yang mereka miliki. Dalam memandang juga misalnya, pasti mereka akan cakap menjawab dan memastikan berapa kalikah mereka berkedip dalam sehari ataupun bernafas dalam sehari kalau benar adanya merekalah yang menggerakkan semua itu. Jadi ketika jawaban dari semua itu masih ketidaktahuan mereka, itu berarti ada satu dzat dimana DIAlah yang menggerakkan semua itu. Manusia hanya mempunyai irodat yang menimbulkan asumsi seakan dan seolah tadi, namun irodah manusia itu tak akan ada, tanpa disandarkan dan digantungkan pada irodah satu dzat barusan. Begitu juga dengan robot, dia tak tahu apapun tentang dirinya, yang dia tahu dia hanya diperintah dan dijalankan. Manusia bagai robot dimata sang pemilik kehidupan ini, seperti ketika manusia menjalankan apapun yang tak diketahui oleh robot.
            Tidak cukup sampai disini, dalam lingkup yang lebih lebar, ketika kita memandang sebuah guru besar, atau bahasa akrabnya adalah professor, tidaklah terlalu melebihkan jika kita memanggilnya sebagai manusia sempurna. Oke, tidak masalah namun alangkah lebih baiknya jika kita berfikir dua kali lebih keras lagi, hingga sampailah pada sebuah tanda Tanya besar, “bisakah professor-profesor terhebat dunia itu mengatur turunnya hujan?” sudah mesti dunia tak akan langgeng sampai sekarang jika mereka semua bisa. Untuk mengatur turun tidaknya hujan atau banyak sedikitnyan hujan dan dimanakah seharusnya hujan diturunkan tidaklah semudah memainkan dadu, dan tidak cukup pula hanya dengan mengandalkan ilmu alam, ilmu geografi atau apalah itu yang professor miliki. Memang alam bisa mengatur semuanya tentang hal-hal diatas? Memang alam bisa mengerti bumi bagian manakah yang membutuhkan air, atau manusia manakah yang enggan dengan air? Tidak toh. Maka, tidak bisa dipungkiri lagi, di antara gaduhnya suara-suara professor diluar sana ada satu dzat yang sangat cerdas, yang mampu mengatur dan mengayomi semua kesemestaan ini.
            Jadi, sungguh tidak salah jika dalam kitab risalah al-mu’awwanah milik Abdullah bin alawi al-attas ini menerangkan kalau “tafakkuru sanatin khoirum min ibadatu sanatin”, efek samping dari berfikir sungguhlah dasyat terasa. Tanpa merenung dan berfikir tak mungkin adalah kesimpulan diatas, dan tanpanya kalau saya hubungkan dengan ibadah pasti saat terucap dari mulut kita “hamdalah”, tak akan ada bayangan-bayangan miris yang memaksa kita untuk berterima kasih melintas dalam benak kita, hingga penghayatan atas hamdalah kita pun sebatas uapan nafas. Lain lagi jika kita berfikir, disetiap ucapan hamdalah kita pasti terputar didalamnya perbandingan-perbandingan yang ironis dimana nantinya akan mengalirkan hati kita pada  kederasan syukur yang luar biasa tentang segala sesuatu yang saat ini kita miliki. 
            Sehingga dengan satu ilmu yang berawal dari pengetahuan sepintas saya malam ini, dapat saya simpulkan, bahwa sungguhlah kita salah jika kita berkata; kitalah yang menggerakkan semua yang ada dalam tubuh kita ini. Dan dari sini juga saya menjadi berani untuk bilang kepada mereka yang anti TUHAN, “emmmm pasti akal dan hati kalian sudah niyengen ya?. Hehehe salam saya buat mereka. 8213

Kamis, 07 Februari 2013

SEKOLAH JURNALISTIK : Bentuk Rasionalisasi “ Al-ilmu An-Naafi' ”


          Kalau kita membahas tentang pesantren pasti tak lekang didalamnya tentang apa itu kaidah-kaidah salafi yang masih kental meng-hawa didalam pesantren. Bagaikan embun yang hadir dan menetes ditiap pagi seutas daun, begitulah kiranya kami menye-olahkan keduanya. Tak jauh dari itu, sebuah kata tentang kemanfaat sebuah ilmu, atau bahasa akrab pesantrennya adalah “al-ilmu an-nafik”, sering terucap dan mungkin menjadi tujuan utama dari pesantren, dimana kebanyakan  satu konsep klasik itu hanya bisa didapat dengan satu kata juga yaitu “barokah”. Sederhananya, pesantren mengajarkan peserta didiknya untuk benar-benar mempunyai ketulusan niat agar ilmu yang usai peserta didiknya curi itu bisa bermanfaat buat orang lain, dengan apa adanya sam’an wa tho’atan pada guru, dan bukan hanya untuk sehelai kertas yang setiap tahun semua peserta didik dunia mengejarnya, yaitu ijazah.
            Agak kontras dengan itu, dan di latar belakangai oleh dunia yang makin hari makin menuntut kita untuk serba logis, turut berdampak pula terhadap mindset santri yang semakin menolak konsep klasik diatas. Tidak salah memang, sebab kita hidup pun dalam tatanan kenegaraan yang berkembang, dan tanpa mengalir dengan itu, pasti akan terkuncilah kita pada satu kamar dalam rumah yang terpencil jauh dari perkembangan. Dalam pendekatan lain, seakan semuanya harus serba masuk akal, apalagi dalam hal pendidikan yang sifatnya terus berkembang dan selalu berkembang. Jadi, cukuplah sulit untuk bisa menerima konsep diatas.
            Dan masih dalam ruangan ini, menyikapi itu Al-fikrah mempunyai terobosan baru sebagai salah satu wujud nyata dari teori-teori yang mendukung konsep klasik pesantren diatas. Dan itu adalah Sekolah Jurnalistik. Sekolah yang lahir dengan bidan redaksi-redaksi sendiri ini mengusung konsep yang melekat dengan keterbukaan komunikasi dan penggunaan yang baik, serta individu-individu tenaga pengajar yang kreatif. Disadari, sebab dalam tatanan keilmuan, Ilmu sendiri itu terbit dengan sifat ke-individualannya, dan terbenam dengan sifat sosialnya yang tinggi. Yang finalnya nanti juga berdampak pada dapat dimanfaatkannya sebuah keilmuan oleh masayarakat disekitar.
            Para ilmuwan, atau orang-orang yang berilmu tanpa banyak yang menyadarinya, mereka itu mempunyai sebuah tanggung jawab yang sulit, dan itu sudah merupakan fitrah mereka sebagai individu yang menggandrongi banyak ilmu dan hidup dalam sebuah tatanan kemasyarakatan yang tentunya juga punya kepentingan langsung dengan masyarakat, maka untuk mentransfer ilmunya kepada masyarakat itu adalah sebuah fitrah dan tanggung jawab, karena hanya dengan itulah arti hadir mereka dalam masyarakat benar-benar ada dan penting. Mudahnya, ketika seorang individu sudah berhasil menimba ilmu, maka untuk membenamkannya pada masyarakat dimana ia tinggal itu juga adalah sebuah keharusan yang berlandaskan akan fitrah kemasyarakatan. Bukan hasil akhir dari proses belajar kita, yang kerap dimata santri hal itu hanya bisa didapat lewat barokah.
            Dan sedari 20 september 2012 kamaren, Sekolah Jurnalistik lahir membawa obor ketentraman, yang menyinari gelapnya hati santri akan sebuah pembaruan dalam bidang keilmuan berkonsep “Al-ilmu An-Nafik” diatas. Menilik, dari salah satu tujuan berdirinya sekolah ini memang adalah sebagai jembatan antara kami “redaksi” dengan segenap santri. Sekolah Jurnalistik kali ini berfitur open minded, lebih mendahulukan aklamasi dari pada otorisasi, yang mana selama ini, Al-Fikrah dimata santri ibarat bangunan tua yang angker, yang siapapun berada didalamnya pasti tidak betah. Maka, disini melalui Sekolah Jurnalistik kami berusaha untuk lebih dekat selangkah lagi dengan pembaca dengan memprioritasakn komunikasi yang baik antara peserta didik (pembaca) dengan segenap redaksi.
            Selain dari komunikasi itu sendiri, lewat Sekolah ini perbaikan individual masing-masing redaksi pun perlahan turut kami perhatikan. Sekata atau tidak, ketika siapapun itu mempunyai sebuah tanggungan dalam hal apapun, pasti memercik dalam hatinya semangat untuk tampil sebaik mungkin demi suksesnya tanggungan tadi. Demikian pula dengan redaksi yang notabennya adalah staff pengajar dalam ESJE, bagaimanapun juga kami redaksi akan berusaha mencetak individu-individu tutor yang kreatif didalamnya, hingga nantinya bisa menenggelamkan ilmunya secara efektif kepada masyarakat santri dimana posisinya ialah sebagai masyarakat yang mempunyai kepentingan terhadap setiap individu yang berilmu.    
Lebih jelasnya, disini Al-fikrah tak lebihnya adalah individu yang berilmu, yang tinggal dalam sebuah desa bernama Mambaus Sholihin. Sebuah desa dimana tinggal didalamnya pelbagai macam masyarakat termasuk Al-fikrah. Dan ketika Al-Fikrah itu tidak bisa memanfaatkan ilmunya, maka itu adalah sebuah kesalahan yang telak,  dan tidak masuk akal. Karena fungsi individu yang berilmu sendiri itu tidak berhenti pada penelaahan dan keilmuan secara mendalam saja namun juga ikut bertanggung jawab agar produk keilmuannya sampai dan dapat dimanfaatkan oleh masyarakat Mambaus Sholihin. Nah disini, selayang pandang fungsi ESJE sangatlah tampak dan cerah. Melalui sekolah ini kami berusaha menjadikan semua beban berbagi ilmu kepada segenap santri ini adalah sebuah tanggung jawab yang masuk akal, bukan karena embel-embel barokah atau ntah apalah itu. Dan sekali lagi, bukan saja karena Al-Fikrah ini adalah warga masyarakat yang kepentingannya terlibat secara langsung di masyarakat, tapi yang lebih penting adalah karena Al-Fikrah mempunyai fungsi tertentu dalam kelangsungan hidup bermasyarakat.
Memahami seperti itu, dapat disimpulkan bahwasanya untuk memakai konsep “Al-ilmu An-Nafik”  tidak usahlah menunggu datangnya barokah kepada kita. Karena satu kata itu secara otomatis dapat kita rasakan saat kita menganggap konsep klasik itu adalah sebuah tanggung jawab kita, dan bukan hasil akhir dari usaha kita. Sebab kalau kita memandang itu adalah sebuah hasil akhir maka sudah, selesai dan cukup sampai disitu.
Dan Akhirnya, tak terlalu melebihkan jika dengan Sekolah ini kami selaku redaksi bisa belajar untuk menjadi bertanggung jawab akan semua yang ada dalam diri kami. Berlandaskan  kekreatifitasan serta sistem komunikasi sosial yang terbuka diantara kami dengan masyarakat desa Mambaus Sholihin. Dan dengan ini Al-Fikrah siap untuk menuju proses pengembangan ilmu yang berjalan secara efektif dan semakin dekat dengan pembaca, salam…../ipoenk .6213