Minggu, 19 Oktober 2014

Hermeneutika Hans Georg Gadamer: Aliran Objektivis Cum Subjektivis




          Sebagaimana diketahui bersama, dalam hermeneutika Modern dikenal tiga aliran besar, yaitu Objektifis, Subjektifis, dan Subjektif Cum Objektif. Jika dikaitkan dengan segitiga hermeneutika yang terdiri Author, Teks, dan Reader, maka hermeneutika aliran Subjektif Cum Objektif ini terletak di posisi teks. Artinya, hermeneutika aliran ini cenderung ke teks atau posisi netral antara objektif dan subjektif. Sedangkan untuk Objektifis cenderung ke Author dan Subjektifis ke Reader. Hermeneutika aliran ini berusaha menengahi ketegangan kedua aliran hermeneutika sebelumnya.
          Sebenarnya, dalam pembahasan ini, ada dua tokoh yang paling bertanggung jawab: Gadamer dan Gracia. Keduanya ditempatkan di posisi tengah sebab kecenderungan mereka untuk menggabungkan dua hal yang berbeda: satu dari aliran Objektifis dan satu dari Sujektifis. Hal itu bisa dilihat dari pemikiran Gadamer tentang teori Penggabungan Horison yang dalam menganalisanya menggunakan metode Objektifis—analisa teks—sekaligus Subjektifis. Namun, untuk mempersingkat, pembahasan ini hanya akan membahas sekilas tentang Hermeneutika Gadamer.
Biografi singkat Gadamer
          Adalah Hans Georg Gadamer. Dia dilahirkan di Marburg pada 11 Februari 1900. Ayahnya adalah seorang dosen kimia di Universitas Marburg dan sempat juga menjadi rektor. Gadamer menempuh pendidikan dasar dan tumbuh besar di Breslau. Gadamer lebih tertarik kepada Ilmu Sosial Humaniora dari pada Ilmu Alam, meskipun dari Ayahnya sendiri sebenarnya tidak begitu menyetujui. Di tahapan selanjutnya, Gadamer memilih untuk kembali ke Marburg untuk belajar filsafat kepada filosof-filosof Neo-Kantian: Paul Natorp dn Nicolai Hartman. Di umur ke—22 Gadamer berhasil menyelesaikan Desertasinya.
          Tidak lama setelah itu, Gadamer memilih Freiburg sebagai kota selanjutnya untuk memperdalam filsafatnya. Kali ini, dia belajar pada Martin Heideger. Di sini dia bertemu dengan Hannah Arendt, Karl Lowith, dan Leo Strauss. Gadamer begitu tertarik dengan Heideger dan itu membuatnya dekat dengan Heideger. Sehingga pemikiran Gadamer banyak dipengaruhi oleh Heideger. Dan itu mengakibatkan Gadamer meninggalkan Neo-Kantinisme.
          Pada 1929 Gadamer diberi kesempatan untuk memberikan kuliah di Universitas Marburg setelah menyelesaikan Habilitation, ­sebuah penelitian paska doktor sebagai salah satu syarat profesor. Namun, hal tersebut tidak berlangsung lama. Pada 1939, Gadamer memutuskan untuk pindah ke Jerman barat—disebabkan ketidaknyamanannya atas nuansa politik dan akademis di Jerman Timur—tepatnya ke Leipzig sampai 1947, tetapi sebelumnya di tahun 1937, Gadamer sudah mendapatkan gelar profesornya.[1] Di tahun 1947 juga, dia pindah lagi ke Frankfurt. Dan yang terakhir, pada 1949, di pindah ke Heidelberg dan menutup hidupnya di sana pada 13 Maret 2002 di umurnya ke—102. Dia menulis karya yang paling berpengaruh dalam dunia filsafat modern, Truth And Method di Heidelberg pada tahun 1960.
Sekilas tentang teori-teori pokok Gadamer
       Berpijak pada bukunya, Truth and Method, poin-poin pemikiran Gadamer tentang Hermeneutika hanya berbicara tentang Hermeneutika sebagai Hermeneutika filosofis. Sebab dalam pandangannya terkait Hermeneutika, Gadamer tidak mengutip sedikitpun kata metode. Gadamer tidak berbicara metode dalam hermeneutikanya karena itu di mata Gadamer hermeneutika adalah sebuah filsafat. Sehingga ketika berbicara tentang filsafat, sudah tidak lagi berbicara metode. Dan menurutnya, biarlah ahli-ahli ilmu tertentu yang berbicara tentang metode. Pendek kata, karena hermeneutika adalah sebuah filsafat dan memiliki nilai-nilai filosofis, Gadamer sama sekali tidak menyinggung metode, namun hanya menggunakan kata teori.
          Teori-teori pokok hermeneutika Gadamer secara ringkas terbagi menjadi empat: kesadaran atas keterpengaruhan sejarah, teori prapemahaman, teori penggabungan horison, dan teori aplikasi. Keempat teori tersebut, bisa dikatakan bersifat hierarki. Artinya, teori pertama merupakan suatu keniscayaan bahwa setiap orang pasti memiliki sejarah, pengalaman, dan kenangan. Dan jika itu dikaitkan dengan penafsiran, maka tidak bisa tidak sejarah tersebut pasti mempengaruhi proses penafsiran dan inilah yang disebut sebagai teori kedua: teori prapemahaman. Kedua teori ini, tidak bisa dilepaskan. Sebelum seseorang memiliki prapemahaman, pasti dia sadar kalau dia memiliki sejarah atau—biasanya disebut—effective history.  
          Selanjutnya adalah teori penggabungan horison atau penggabungan wawasan. Horison di sini yang dimaksudkan adalah dua horisan, yaitu horison penafsir dan horison teks. Horison penafsir adalah prapemahaman penafsir yang setiap orang yang sadar akan effective historis pasti memilikinya. Sedangkan horison teks adalah pemahaman apa adanya teks sebelum dipahami si penafsir yang bersangkutan. Untuk menemukan makna apa adanya sebuah teks, Gadamer meminjam metode analisa bahasa dan sejarahnya Schleiermacher. Kemudian, setelah menemukan makna apa adanya sebuah teks, penafsir menggabungkan prapemahamannya dengan pemahaman teks yang apa adanya tadi dengan metode refleksi, salah satu metode yang digunakan dalam aliran Subjektifis. Dengan demikian, ketika keduanya sudah dikomunikasikan, maka lahirlah suatu pemahaman yang baru dan lebih segar menurut alirannya. Sebuah pemahaman hasil fusi antara apa yang sebenarnya diinginkan author dan apa yang dipandang lebih baik oleh seorang reader. Dan dari semua itu, wajar kalau aliran ini ditempatkan di posisi teks dalam segitiga hermeneutika.
          Terakhir, teori aplikasi. Teori aplikasi adalah langkah terakhir dari beberapa teori yang mendahuluinya. Sebagaimana namanya, teori ini hanya membicarakan tentang bagaimana seharusnya sebuah teks itu diaplikasikan. Atau bahasa lainnya adalah dari pemahaman yang bagaimanakah sebuah teks bisa diaplikasikan. Menjawab itu, mengetahui dalam rentetan teori di atas ada beberapa langkah pemahaman—mulai dari horison penafsir, horison teks, dan fusi dari keduanya—maka, yang patut diaplikasikan di sini adalah pemahaman yang terakhir, yaitu pemahaman yang terpacu pada meaning full sense, bukan literal meaning.  
          Dan sebelum menutup pembahasan ini, perlu rasanya untuk mengetahui juga mengapa Gadamer menyinggung pemahaman teks dengan intens. Gadamer seperti itu, karena bagi Gadamer meskipun toh hermeneutika sudah menjadi satu disiplin keilmuan yang mandiri dengan objek kajiannya yang menyeluruh, tetap saja—baginya—semua yang tertulislah yang harus diutamakan sebagai objek hermeneutika.[2]


[1] Edi Mulyadi dkk., Belajar Hermeneutika: Dari Konfigurasi Filosofis Menuju Praksis Islamic Studies (Yogyakarta: IRCiSoD, 2012) hlm. 143.
[2] Sahiron Syamsudin, Hermeneutika dan Perkembangan Ulumul Quran (Yogyakarta: Pesantren Nawsea Press, 2009) hlm. 44.  

Rabu, 01 Oktober 2014

Hermeneutika Romantis Schleiermacher: Aliran Objektivis

          Manusia adalah makhluk penafsir. Semua yang terjadi di biosfer ini tidak lepas dari bermacam-macam penafsiran manusia. Selain memang hal itu sudah menjadi sifat dasar manusia sebagai hermeneutic human, manusia juga terlahir dengan rasa ingin tahu yang tinggi. Keingintahuan manusia yang tinggi pada akhirnya harus mendorong manusia untuk memahami. Dan di situlah eksistensi penafsiran manusia.
          Sebuah penafsiran ada bukan tanpa tujuan. Dalam hal ini, secara umum, tujuan manusia menafsiri apapun yang dia tangkap adalah untuk mencari kepuasan hatinya. Kepuasan terkait erat dengan adanya sebuah kebenaran. Artinya, secara tidak langsung ketika seseorang tengah menafsiri sesuatu, di waktu yang sama, dia sedang mencari sebuah kebenaran. Atau lebih tepatnya kesimpulan yang menurut dia itu adalah kebenaran. Namun, terlepas dari benar tidaknya kesimpulan seseorang tadi, tetap saja, titik tekan dalam hal ini adalah pencarian kebenaran. Dengan bahasa lain, melalui penafsiran terhadap sesuatu, seseorang bisa mencari kebenarannya akannya.
          Dan di situlah posisi Hermeneutika. Hermeneutika tak lebihnya adalah sebuah seni memahami bahasa orang lain—atau apapun itu—secara benar. Sekali lagi, secara benar. Meskipun pada dasarnya, hal itu hanya digunakan untuk memahami teks-teks mitos, namun pada akhirnya tidak ada masalah seandainya, hal itu digunakan untuk sekedar memahami perasaan orang lain. Evolusi objek kajian tersebut tidak bisa terlepas dari sejarah Hermeneutika sendiri. Secara sederhana, sejarah Hermeneutika berawal dari masa Yunani kuno—beratus-ratus tahun SM—yang masih membatasi objeknya hanya pada teks-teks mitos. Kemudian, di abad pertama masehi, objek kajian Hermeneutika lebih menyempit hanya kepada teks-teks Bibel. Dan akhirnya sampai pada masa modern—sekitar abad 19 M—objek kajian Hermeneutika sudah mencakup segala hal.
Dari sekilas tentang skema sejarah Hermeneutika di atas, posisi kajian kita terletak di bagian terakhir: Hermeneutika Modern. Hermeneutika Modern memiliki banyak sekali cabang dan salah satunya adalah cabang dari segi pemaknaan terhadap objek. Dan di sinilah posisi Schleiermacher dalam merumuskan Hermeneutika romantisnya. Kira-kira itulah sekilas tentang Hermeneutika. Sebagai tindakan lebih lanjut, mungkin pertanyaannya simpel: bagaimana Hermeneutika Schleiermacher mampu memberikan jaminan kebenaran terhadap setiap penafsiran yang dilakukan dengannya?.
1.   Definisi Hermeneutika
Secara etimologi, kata hermeneutika berasal dari bahasa Yunani kuno, yaitu hermeneuein—sebagai kata kerja. Yunani kuno menyebut hermeneuein sebagai aktivitas menafsirkan. Mereka menggunakan kata tersebut sebagai representasi dari aktivitas menafsirkan karena terinspirasi dari nama salah satu dewa yang mereka yakini, Hermes. Hermes adalah nama dewa yang bertugas untuk menerjemahkan bahasa langit ke bahasa bumi. Dengan demikian, dengan bertolak pada kata penafsiran, mereka menggunakan nama Hermes—yang akhirnya menjadi Hermeneuein—sebagai aktivitas penafsiran. Dan akhirnya, kata hermeneuein diserap ke bahasa Jerman mejadi hermeneutic dan ke bahasa inggris menjadi hermeneutics.[1]
Secara istilah, hermeneutika didefinisikan beragam. Adanya keberagaman tersebut disebabkan oleh adanya perkembangan hermeneutika menjadi sebuah disiplin keilmuan mandiri. Jika dipetakan, sebelum menjadi sebuah disiplin keilmuan, hal itu berarti sebagai sebuah techne atau aktifitas penafsiran. Lebih jelasnya, hermeneutika adalah seni atau cara memahami bahasa orang lain, tulisannya, dan apapun yang tidak jelas secara benar.
Definisi yang kedua—ketika itu sudah menjadi displin keilmuan—hermeneutika memiliki dua definisi: definisi sempit dan definisi luas. Pertama, definisi sempit hanyalah sebatas hermeneutika sebagai metode penafsiran. Kedua, definisi luas hermeneutika mencakup empat istilah: hermeneuse, hermeneutika, philosophische hermeneutic, hermeneutische philosophie. Yang pertama adalah hanyalah sebagai praktek penafsiran, baik itu penafsiran teks, simbol, perilaku manusia, dan sebagainya tanpa terikat sama sekali dengan metode tertentu. Yang kedua adalah tentang bagaimana menafsirkan secara benar, apa metodenya, dan bagaimana aturan-aturannya dalam menafsirkan. Ketiga, philosophische hermeneutic—hermeneutika filosofis—yaitu membahas tentang pertanyaan: mengapa kita bisa memahami ini? Apa saja yang diperlukan sehingga mungkin untuk kita menafsirkan itu? Dan sebagainya. Intinya, di wilayah ini, pembahasannya bukan lagi kepada metode apa atau objek apa, tetapi kepada mengapa bisa. Yang terakhir, hermeneutische philosophie—filsafat hermeneutikayaitu bagian dari pemikiran-pemikiran filsafat yang mencoba menjawab problem kehidupan manusia dengan cara menafsirkan apa yang diterima manusia dari sejarah dan tradisi. Artinya, objek kajian penafsiran di wilayah ini bukan lagi teks, bahasa atau lainnya, namun sebuah fenomena. Hal ini berlandaskan pada kesimpulan bahwa manusia adalah makhluk penafsir.[2]
2.   Posisi Hermeneutika Romantis dalam ranah Hermeneutika sebagai Ilmu.
Berbicara tentang keilmuan, tidak bisa tidak juga berbicara tentang sejarah keilmuan itu sendiri. Untuk menjadi sebuah disiplin keilmuan mandiri, bagaimanapun Hermeneutika harus memiliki babakan sejarah perkembangannya. Artinya, Hermeneutika harus melewati objektivikasi, sistemasi, metodesasi, dan universalisasi terlebih dahulu sebelum menjadi sebuah ilmu. Dan dalam proses yang panjang dan rumit seperti itu, pasti melibatkan sejarah.
          Secara sederhana, sejarah perkembangan hermeneutika terbagi menjadi tiga bagian. Adalah hermeneutika teks mitos, hermeneutika teks bible, dan hermeneutika umum atau modern.
a.    Hermeneutika teks mitos.
Di wilayah ini, hermeneutika masih berupa embrio. Hermeneutika ketika itu masih belum berdiri sendiri sebagai sebuah disiplin keilmuan. Hermeneutika masih mengekor pada logika, dialektika, dan linguistik. Artinya, di dalam praktik ketiganya, hermeneutic pasti digunakan. Dalam hal linguistic misalnya, mereka membutuhkan hermeneutika untuk memahami sebuah bahasa secara benar. Begitu juga dengan dialektika dan logika. Hermeneutika menyatu dalam ketiga-tiganya.
Hermeneutika dalam wilayah ini, sudah muncul pada abad ke—7 sampai 6 masehi di masa Yunani kuno. Di masa ini, objek penafsirannya masih seputar hal-hal mistik, baik itu tertulis ataupun tidak. Pada awalnya, penafsiran mereka masih literal. Namun, pada perkembangannya, berangkat dari kesimpulan Aristoteles yang membagi makna menjadi dua bagian: makna literal dan makna aligoris, mereka mulai sadar bahwa dalam sebuah objek penafsiran itu memiliki dualisme makna. Pertama makna literal yang sempit dan tidak hidup dan kedua makna aligoris yang lebih mementingkan pesan dibalik makna literal. Sehingga, dari konsep makna aligoris ini, teks-teks mitos serasa lebih hidup dan mengalir.
b.    Hermeneutika teks Bibel.
       Pada abad pertama masehi, setelah beratus-ratus tahun masa Aristoteles terlewati. Makna aligoris perlahan terlupakan. Aktivitas-aktivitas penafsiran kembali kepada makna literal. Objek penafsiran yang popular di masa ini—1 masehi—adalah teks bibel. Artinya, di awal masa ini, teks bibel banyak dipahami secara literal.
          Sampai akhirnya muncul Philo von Alexandrian yang menempatkan kembali Hermeneutika pada tempatnya, yaitu dualisme makna. Dengan meminjam istilah dari Aristoteles berabad-abad silam, Philo berhasil mengubah haluan penafsiran tentang Bibel. Mulai saat itu, bibel tidak lagi hanya dipahami secara literal dan kaku, namun juga memperhatikan makna-makna aligoris. Philo memberikan sumbangsih yang luar biasa bagi masyarakat Kristen ketika itu. Dan pada akhirnya, Philo dikenal sebagai Vater der Alligorese, bapak penafsiran aligoris.
Masalah prioritas, pada awalnya—ketika Philo masih hidup—antara makna literal dengan makna aligoris memiliki tempat yang sama. Tidak ada yang lebih tinggi antara satu dengan lainnya. Pemahaman bibel yang berbasis literal tidak lebih tinggi dari pemahaman bibel yang berbasis aligoris, begitu juga sebaliknya. Akan tetapi, pada akhirnya—beberapa saat sebelum Philo menghembuskan nafas terakhirnya—Philo menyatakan bahwa makna aligoris itu lebih tinggi dari makna literal.
          Beberapa waktu setelahnya, muncul Origenes. Origenes, menindaklanjuti ucapan Philo tentang lebih tingginya makna aligoris dari makna literal. Origenes menambahkan dualisme makna Philo menjadi tiga makna. Adalah makna literal, moral, dan spiritual. Secara tidak langsung, melalui kesimpulan barunya tersebut, Origenes mengamini kesimpulan terakhir Philo tentang unggulnya makna alogoris. Sehingga itu berdampak pada pemecahan lagi makna aligoris menjadi dua: moral dan spiritual.
          Core dalam pembahasan ini adalah bahwa sebenarnya konsep hermeneutika sebagai metode penafsiran bukan pertama kali muncul di masa popular-populernya penafsiran bibel, 1 masehi. Akan tetapi, jauh sebelum itu. Yaitu di masa Yunani kuno dengan objek kajian yang tidak sebatas teks. Pun hal itu tidak hanya memandang makna sebagai makna literal saja, tetapi juga aligoris. Dengan demikian, kurang lurus sepertinya kalau dikatakan bahwa hermeneutika sebagai metode penafsiran ini adalah khusus untuk bibel.
c.    Hermeneutika Modern
Hermeneutika modern, kali pertamanya dipelopori oleh Johann Conrad Dannhauer pada abad ke—17. Dannhauer memandang Hermeneutika adalah suatu ilmu yang sudah waktunya untuk menjadi disiplin keilmuan mandiri. Hal itu disebabkan oleh posisi hermeneutika itu sendiri sebagai metode penafsiran. Metode penafsiran adalah sesuatu yang tampak dan bisa diketahui. Apapun yang bisa diketahui pasti memiliki pengetahuan filosofis. Ketika sesuatu itu sudah memiliki pengetahuan filosofis, di waktu yang sama hal itu menemukan sisi ontologisnya sendiri. Dengan demikian, hermeneutika sudah siap untuk menjadi displin keilmuan mandiri.
          Dalam hal objek kajiannya, objek material hermeneutika adalah simbol-simbol—apapun itu—yang didasarkan pada kesepakatan bersama. Termasuk di dalamnya adalah simbol-simbol agama, simbol alam—seperti asap sebagai simbol adanya api—dan simbol-simbol non-verbal seperti gambar dan sebagainya. Sedangkan objek formalnya adalah ungkapan yang mengandung pelajaran dan sulit dipahami. Selanjutnya, dengan itu, seorang penafsir adalah satu-satunya pihak yang paling berhak untuk menganalisa benar tidaknya sebuah objek. Dengan demikian, Dannhauer mengatakan bahwa di sinilah hermeneutika menemukan fungsinya, yaitu untuk menjaga seorang penafsir dari sebuah kesalahan.
          Dan berangkat dari itu pula, Dannhauer menyimpulkan bahwa hermeneutika umum atau modern muncul lebih dulu dibanding hermeneutika bibel. Pandangan ini berbeda jauh dengan pandangan Wilhelm Dilthey yang menyimpulkna bahwa hermeneutika bibel murni berasal dari teologi Protestan. Akan tetapi, meskipun sudah sedemikian, Dannhauer gagal menjadikan Hermeneutika sebagai suatu disiplin ilmu mandiri. Selanjutnya, muncul Ernst  Schleiermacher.  
          Kegagalan Dannhauer dipandang Schleiermcher sebagai suatu kesempatan emas untuk meneruskan langkahnya. Dan ternyata hal itu bukan isapan jempol. Pada abad ke—19 melalui bukunya Hermeneutical and Criticism, Schleiermacher menuangkan ide-idenya tentang hermeunetika modern. dan di sinilah posisi hermeneutika romantic Schleiermacher berada.
3.    Hermeneutika Romantis
Hermeneutika romantis adalah istilah lain dari hermeneutika aliran Objektivis Schleiermacher. Aliran ini muncul dalam wilayah hermeneutika Modern. Selain aliran ini, dalam hermeneutika modern ada aliran subjektivis dan Subjektiv cum Objektiv. Aliran subjektivis titik tekannya kepada pembaca, aliran objektivis kepada kandungan maksud asal dari sebuah teks, dan sedangkan subjektivis cum objektivis berusaha menengahi perdebatan antara keduanya.
a.    Biografi Schleiermacher
Nama lengkapnya adalah Friedrich Daniel Ernst Schleiermacher. Dia lahir pada tahun 1768 di Breslau, Jerman dalam keluarga Protestan. Kakeknya, Daniel Schleiermacher adalah seorang pastor dan ayahnya seorang tentara pendeta. Lingkungan yang seperti itu membawa Schleiermacher kecil memulai pendidikan  formal di institusi-institusi protestan: Morovian Brethren.[3] Akan tetapi, semua itu tidak bisa memuaskan keraguan Schleiermacher dan justru malah membuatnya semakin ragu terhadap doktrin-doktrin protestan.
Pada tahun 1787, sebab tidak adanya kepuasan tadi, dia—meski tidak searah dengan harapan ayahnya—pindah ke Universitas Halle yang dipandangnya lebih liberal dan sesuai dengan keinginannya, yaitu memperdalam humanisme. Di Halle, dia mengambil Teologi. Pada tahun 1790, dia lulus dalam bidang Teologi Kristen lalu bertugas sebagai tutor swasta sampai 1793.
Di waktu yang sama—dari 1790 sampai 1794—dia menggunakan waktu luangnya untuk mempelajari pemikiran-pemikiran raksasa ketika itu, Kant dan Spinoza. Pendeknya, setelah sepenuhnya memahami kedua pemikiran keduanya, Schleiermacher menuangkan idenya sendiri melalui kritikan terhadap beberapa pemikiran Kant. Sedangkan untuk Spinoza, dia mendukung pemikirannya. Dan semua itu bisa dilihat dalam beberapa karyanya: On Fridom dan Spinosizm.[4]
Pada tahun 1793, karena ada konflik pemikiran dengan pemilik institusi, Schleiermacher diberhentikan sebagai tutor. Pada 1794, dia menjadi pastor di Landsberg sampai 1796. Selanjutnya dia memutuskan untuk pindah ke Berlin, bekerja dalam sebuah rumah sakit. Dan di sinilah dia bertemu dengan tokoh-tokoh romantis—Friedrich dan August Wilhelm—yang nantinya berdampak terhadap pemikiran hermeneutiknya sebagai hermeneutic romantic. Pada tahun-tahun berikutnya, dia lebih aktif menulis artikel-artikel dan buku-buku yang penting. Dan itu berlanjut sampai dia diangkat sebagai professor teologi dai Unversitas Berlin. Banyak karya-karya Schleiermacher yang begitu berharga dalam bidang filsafat bahasa, teologi, dan hermeneutika. Dia menutup usianya pada 1834.
b.    Pemikiran Hermeneutika Schleiermacher.
1.    Posisi Hermeneutika dalam ranah keilmuan
       Bagi Schleiermacher objek hermeneutika bukan hanya pada teks-teks bibel. Lebih dari itu, Schleiermacher, menempatkan hermeneutika di posisi yang luas. Artinya, objek hermeneutika bukan hanya sebatas teks bibel, namun apapun itu yang memiliki makna. Dia memandang, hermeneutika bukan hanya sebagai metode penafsiran. Akan tetapi, hal itu juga sebagai sesuatu yang membicarakan tentang hal-hal yang mendasar, semisal tentang mengapa kita mampu memahami, mengapa kita harus memahami, dan sebagainya. Sehingga, melalui Schleiermacher, di samping hermeneutika berbicara tentang bagaimana memahami secara benar, juga berbicara tentang mengapa seseorang mampu memahami.
Berpijak dari pandangan yang seperti itu, secara tidak langsung, Schleiermacher telah membagi pengertian hermeneutik ke dalam dua bagian: sempit dan luas. Yang pertama karena Schleiermacher masih menganggap hermeneutika sebagai metode penafsiran dan yang kedua karena dia telah menempatkan hermeneutika sebagai hermeneutika filosofis. Schleiermacher memiliki pandangan seperti itu karena dia menginginkan hermeneutika bisa berdiri sendiri sebagai sebuah teori ilmu pengetahuan atau mudahnya sebagai sebuah disiplin keilmuan yang mandiri.
Sebagai manifestasi dari pemikirannya, Schleiermacher mencoba memposisikan hermeneutika di tengah-tengah cabang keilmuan lainnya, lebih-lebih logika dan filologi. Akan tetapi, dia mengakui sendiri, untuk mencapai hal itu tidaklah mudah. Hal itu disebabkan oleh adanya hermeneutika sendiri—selama berabad-abad—hanyalah sebagai keterangan tambahan, appendix, dari logika maupun filologi. Selain itu, hermeneutika juga selalu terikat dengan retorika dan dialektika. Sehingga sebuah hal yang sulit, untuk menjadikan hermeneutika sebagai disiplin keilmuan yang mandiri.
Hermeneutika tidak bisa dipisahkan dengan retorika sebab retorika adalah tindakan berkata. Sedangkan hermeneutika adalah tindakan memahami. Berkata tanpa adanya proses memahami tidak akan pernah ada. Begitu juga sebaliknya—terlepas dari bagaimana model retorika—tanpa berkata proses memahami tidak akan pernah ada. Maka dari itu, Schleiermacher menyebut bahwa setiap tindakan memahami merupakan inversion of speech—act.
Begitu juga dengan dialektika. Hermeneutika tidak bisa lepas darinya. Mudahnya, hermeneutika adalah proses dari bahasa ke pemikiran. Sedangkan dialektika merupakan proses dari pemikiran ke bahasa. Dalam proses dialektika pasti melibatkan situasi dan kondisi. Dengan demikian, dialektika berpengaruh penting terhadap hermeneutika. Bahasanya Vedder: dialektika itu hermeneutis dan hermeneutika itu dialektis.
2.    Hermeneutika Grammatikal dan Psikologis.
Terkait sub bagian ini, Schleiermacher mengatakan bahwa pokok kajian hermeneutikanya adalah tentang grammatical dan psikologis. Secara simpel dia menyimpulkan bahwa pemahaman hanyalah sebuah keberadaan dua keadaan yang saling terkait: grammatikal dan psikologi. Hermeneutika grammatikal mempelajari tentang bahasa dan sejarahnya. Sedangkan yang kedua memandang bahasa itu sebagai ungkapan hidup seseorang.
Hermeneutika Grammatikal
          Adalah penafsiran yang didasarkan atas analisa bahasa. Melalui analisa bahasa—menurut Schleiermacher—sisi objektif sebuah penafsiran bisa ditemukan. Artinya, untuk memahami secara objektif, seseorang harus melalui dengan menganalisa bahasanya. Dan untuk menemukan itu, ada beberapa kaidah linguistik yang perlu dibahas.
a.    Pengetahuan terhadap sejarah kapan kali pertamanya bahasa yang ditafsirkan itu muncul.
       Berbicara tentang ini, berbicara pula tentang sasaran pertama bahasa tadi ditujukan. Artinya, dalam memahami grammatikal sebuah teks misalnya, seseorang harus mengetahui makna teks itu sendiri dan konteksnya. Termasuk di dalamnya adalah siapa yang pertama menerimanya, kapan diterimanya, dan sistem bahasa ketika itu.
b.    Hubungan antarkata dalam kalimat dan hubungan antarkalimat.
          Melalui ini, Schleiermacher memandang bahwa untuk memahami sebuah kata, seseorang harus memahami pula kata-kata sebelum maupun sesudah kata tadi. Sebagai konsekuensinya, hal itu akan melahirkan pemahaman yang luas. Dan pemahaman yang seperti itulah yang lebih dekat dengan pemahaman yang objektif.
c.    Whole dan part
          Adalah menjadikan sejarah hidup penulis—whole—sebagai bagian dari tulisan-tulisannya—part—dan menjadikan tulisan-tulisannya sebagai sejarah hidupnya. Secara sederhana, karya seseorang itu hanya dapat dipahami secara baik dengan cara memperhatikan sistem bahasa yang dimiliki penulis beserta sejarah hidupnya. Begitu juga sebaliknya: sistem bahasa dan sejarah hidup seseorang bisa dipahami melalui karyanya. Sehingga, dengan prinsip ini, seseorang tidak akan kehilangan maksud awal dari pengarang dalam menuliskan karyanya.
Hermeneutika Psikologis
           Inti pembahasan dalam wilayah ini adalah bahwa sebuah teks tidak bisa dipahami sendiri—atau secara terpisah—tanpa melibatkan keadaan pengarang teks. Menurut Schleiermacher teks tak lain hanyalah sebuah ekspresi diri seseorang. Ekspresi diri seseorang merupakan respon dari lingkungannya. Artinya, sebuah teks itu tidak bisa terlepas dari keadaan historis ketika teks itu ditulis. Dan hanya dengan memahami kejiwaan pengarang teks, keterkaitan keduanya—teks dan lingkungan ketika itu—bisa dipahami. Hal itu berimplikasi kepada pemahaman secara utuh, termasuk di dalamnya adalah tentang apa maksud asli dari pengarang.
          Secara praktek, Schleiermacher menawarkan dua metode: divinatory dan komparasi. Divinatory adalah penyelaman langsung ke dalam jiwa seseorang. Sedangkan komparasi adalah metode membandingkan seorang pengarang dengan orang-orang lain dengan asumsi bahwa semuanya memiliki kesamaan-kesamaan. Kedua metode ini bisa disebut sebagai metode hirarki. Artinya, keduanya tidak bisa dipisahkan. Untuk mengukur sudah seberapa jauhkah seseorang berhasil menyelami jiwa pengarang adalah dengan metode komparasi. Awalnya, seseorang harus mencari beberapa orang yang diasumsikan memiliki beberapa kesamaan—ini adalah proses komparasi—kemudian kesemuanya diselami sampai muncul adanya perbedaan pemahaman terhadap masing-masing dari mereka.
3.    Kesimpulan sederhana
          Dari semua pembahasan di atas, tujuan intinya adalah agar seorang penafsir mampu menguak kembali makna yang secara historis dimaksudkan oleh author atau makna objektif. Dan untuk menghindari kesalahpahaman di wilayah ini, Schleiermacher menawarkan beberapa analisis: objectively historical analysis, objectively divinatory analysis, subjectively historical analysis, dan subjectively divinatory analysis. Sehingga, berangkat dari semua ini, Hermeneutika Schleiermacher termasuk dalam aliran  objektivis.[5]






[1] Edi Mulyono dkk., Belajar Hermeneutika: Dari Konfigurasi Filosofis Menuju Praksis Islamic Studies (Yogyakarta: IRCiSoD) hlm. 15.
[2] Sahiran Syamsuddin, Hermeneutika dan Pengembangan Ulumul Quran (Yogyakarta: Pesantren Nawesea Press) hlm. 10.
[3] Holly Reed, “Friedrich Daniel Ernst Schleiermacher (1768–1834)”, Dalam The Boston Collaborative Encyclopedia of Modern Western Theology.
[4]  Sahiran Syamsuddin, Hermeneutika dan Pengembangan Ulumul Quran, hlm. 28.
[5]  Sahiran Syamsuddin, Hermeneutika dan Pengembangan Ulumul Quran, hlm. 42.