Kamis, 04 Juni 2015

Mahatma Gandhi

Sekilas
     Adalah seorang India yang pemalu, rendah hati, tetapi aktifismenya luar biasa. Ayahnya adalah seorang tokoh masyarakat di desa kelahirannya. Sedangkan ibunya lebih bisa dikatakan sebagai sosok yang intelek. Gandhi menikah di umurnya yang ke—13 berbarengan dengan pernikahan kakaknya.
  Dalam pendidikannya, Gandhi pernah mengenyam kuliah di Inggris. Di sini, dia bisa mempelajari banyak hal yang sama sekali baru bagi dia. Dari banyak pengalamannya, Gandhi berani menyimpulkan bahwa tindakan yang paling luar biasa adalah tindakan pasif, bukan aktif. Dia belajar Hukum di Ingris.
          Selepas pulang dari Inggris, dia menjadi pengacara di India. Namun, itu sama sekali tidak memperbaiki kehidupan Gandhi. Dengan lain ucapan, dia tidak begitu diminati sebagai pengacara. Sebab sebagaimana disebut di awal, Gandi memang adalah sosok yang sangat pemalu dan itu kurang cocok untuk dimiliki seorang pengacara yang baik.
          Selang beberapa lama, Gandhi mendapat tugas untuk menyelesaikan konflik di Afrika Selatan. Di sana, Gandhi ditugaskan untuk menyelesaikan konflik deskriminasi. Dan di sinilah, kegemilangan Gandhi mulai nampak ke permukaan. Pendek kata, Gandhi berhasil menyelesaikan konflik tersebut dengan luar biasa. Adalah dengan aktifisme pasifnya yang populer dengan ahimsa.
          Di masa selanjutnya, dengan aktifisme yang sama, Gandhi berhasil membebaskan India dari cengkraman Inggris. Gerakan pasif ala Gandhi benar-benar berhasil membuat Inggris gerah dan enyah dari India. Dia berhasil mengerahkan dan memprovokasi seluruh warga India untuk secara cerdas menolak dan mengusir Inggris. Dan berkat ini, masyarakat India memberinya gelar “mahatma” atau guru.
          Adapun hal-hal menarik lainnya tentang Gandhi adalah dua peristiwa yang paling dia sesali. Yaitu kegagalannya dalam mengupgrade kecerdasan istrinya. Dia ingin sekali istrinya bisa mengimbanginya, tetapi itu tidak terwujud. Dan yang kedua adalah ketidakhadirannya Gandhi di saat ayahnya meninggal dunia. Gandhi tidak berada di samping ayahnya saat meninggal karena dia tengah asyik bercinta dengan istrinya. Kira-kira itulah dua hal yang paling disesali Gandhi.
          Gandhi meninggal ditembak oleh salah satu temannya sendiri. Dia menembak Gandhi karena kecewa atas kebijakan atau keputusan Gandhi untuk menyamakan semua agama. Pendek kata, temannya menembak Gandhi karena tidak menolak pemikirannya berikut kebijakannya tentang pluralisme agama. Dan satu hal yang belum berhasil diwujudkan Gandhi sebelum meninggal dunia adalah menyelesaikan konflik perbedaan agama, antara Islam dan Hindu, dalam tubuh India—yang saat ini usai pecah menjadi India dan Pakistan.
Pemikiran
        Sebenarnya, untuk menyebut Gandhi sebagai pemikir yang hebat, itu juga kuranglah tepat. Mengetahui apa-apa yang berhasil diinternalisasi olehnya tidak lain adalah nilai-nilai dalam Hindu. Akan tetapi, di wilayah lain, melihat pengaruhnya yang luar biasa terhadap masyarakat India dengan aktifisme pasifnya, dia tidak bisa tidak memiliki pandangan dasar yang menarik untuk dibahas. Terkait itu, ada beberapa hal yang penting untuk didiskusikan dalam hal ini, yaitu satygraha, ahimsa, swadesi, dan hartal.
a.    Satyagraha
       Secara bahasa, satya adalah kebenaran, sedangkan graha adalah jalan atau pencarian. Jika ditarik pada pengertian secara istilah, maka satyagraha adalah pencarian kebenaran dengan tidak mengenal kata lelah. Dengan lain ucapan, itu bisa benar-benar terjadi karena mereka memiliki kepercayaan penuh terhadap Tuhan yang akan selalu menyelematkan jiwa mereka dari segala gangguan. Pada prinsipnya, satyagraha memanglah demikian, yaitu kepercayaan pada jiwa yang akan selalu selamat dari segala kejahatan karena jiwa tersebut adalah bagian dari Tuhan.
b.    Ahimsa
       Pendeknya, ahimsa adalah “tidak menyakiti”. Artinya, dengan ahimsa, seseorang dituntut untuk menolak segala keinginan untuk melukai, baik itu fisik maupun hati. Selain itu, dia juga tidak diperbolehkan untuk sekedar membenci, membuat orang lain marah, dan tidak mencari keuntungan apapun dari orang lain demi dirinya sendiri.
       Adapun konsep ahimsa sendiri berasal dari Upanishad. Terkait itu, di dalamnya juga dijelaskan terkait enam godaan yang berpotensi menimbulkan  konflik. Adalah nafsu, keserakahan, amarah, kemabukan, kebimbangan, dan iri hati. Dengan lain ucapan, ketika seseorang tidak bisa mengontrol enam hal tersebut, maka konflik akan selalu muncul. Dan ahimsa tidak bukan merupakan satu konsep penting untuk mengontrol hal-hal itu. Jadi, dengan ahimsa, seseorang berpeluang besar untuk terhindar dari konflik.
          Bagi Gandhi—jika dikaitkan dengan konsep satya atau kebenaran—ahimsa dan satya adalah dua mata koin dalam satu koin yang sama. Dua hal tersebut tidak bisa dipisahkan. Dalam artian, kebenaran hanyalah sebuah omong kosong tanpa adanya ahimsa, begitu juga sebaliknya. Bagi dia, satu-satunya jalan untuk menjalani satyagraha adalah dengan ahimsa. Sehingga, berbasis kesimpulan ini, bisa dikatakan bahwa berangkat dari satya-lah, Gandhi berani untuk membumikan ahimsa, yaitu dengan mengusir Inggris tanpa perlawanan sama sekali.
          Lebih jauh lagi, dari sudut pandang lain, ahimsa merupakan hasil hasil evolusi manusia. Dalam artian, manusia itu berevolusi dari himsa menuju ahimsa, yaitu dari budaya mudah marah, mudah menyakiti, dan semcamnya menjadi budaya yang tidak mudah marah dan tidak mudah menyakiti orang lain. Dengan demikian, idealnya, manusia di masa ini adalah mereka yang tidak mudah marah dan tidak mudah menyakiti.
          Adapun dasar berpikirnya, posisi ahimsa adalah di titik tengah antara ketundukan dan konfrontasi. Ahimsa bukanlah gerakan ketundukan yang lemah dan selalu kalah, tetapi bukan juga gerakan konfrontasi yang brutal. Dengan demikian, itu merupakan gerakan yang luar biasa dan sangat direkomendasikan demi terciptanya perdamaian.
          Dan berbicara tentang posisi ahimsa, ada lima aksioma menarik terkait ahimsa, antara lain:
-       Ahimsa tidak mengenal kalah. Sebab dengan ahimsa, seseorang tidak lagi membutuhkan kemenangan dan tidak juga membutuhkan musuh. Sehingga, ketika usai demikian, maka kekalahan pun tidak ada.
-       Andai istilah “menang” diberlakukan di sini, maka ahimsa pasti akan menang.
-       Ahimsa mampu mengungguli sekeras-kerasnya kekerasan.
-       Ahimsa tidak saja membutuhkan kemauan, tetapi juga kerelaan dan kemampuan.
-       Ahimsa mensyaratkan pensucian diri sesempurna mungkin yang dapat diraih secara manusiawi. Sekali lagi: secara manusiawi.

c.    Swadesi
       Satu lagi konsep yang menarik dari Gandhi adalah swadesi. Tidak lain, itu merupakan gerakan cinta tanah air. Bagi Gandhi, hidup adalah pengabdian yang diperuntukkan pada alam semesta. Akan tetapi, tidak bisa tidak, itu harus dimulai dari keluarga. Dalam artian, seseorang harus mencintai keluarga dan mengabdikan dirinya dulu pada keluarga, baru ke daerah, kabupaten, negara, dan lebih luas lagi. Dengan lain kata, itu juga bisa disebut sebagai gerakan mencintai atau bangga pada produk sendiri.
d.    Hartal
       Adalah pemogokan nasional yang dilakukan masyarakat India sebagai aksi protesnya terhadap Inggris. Mereka menyalurkan protesnya dengan menutup toko-toko mereka serentak demi kemerdekaan India dari cengkraman Inggris. Dan yang menarik, mereka menggati kegiatan sehari-harinya dengan aktifitas-aktifitas keagamaan. Mereka mau, rela, dan berani melakukan itu semua atas provokasi yang dilakukan Gandhi.
          Hartal juga bisa disebut sebagai puncak dari aktifisme Gandhi dalam mengusir Inggris dari India. Awalnya, dengan keyakinan yang penuh untuk tidak melawan Inggris dengan kekerasan, selanjutnya dengan kesadaran penuh untuk tidak membeli produk Inggris, dan pada akhirnya, itu berujung pada gerakan masal untuk menutup toko-toko mereka sebagai perwujudan akhir atas tiga hal di atas. Dan diterima atau tidak, atas instruksi Gandhi, mereka berhasil mengusir Inggris dengan tanpa perlawanan—dalam bentuk kekerasan—sama sekali.
Sudut Wacana
      Selain poin-poin di atas, Gandhi juga merumuskan beberapa hal terkait masyarakat, agama, dan Tuhan. Pertama, itu terkait tujuh hal yang dengannya suatu negara tidak akan pernah nyaman, yaitu:
-       Politik tanpa prinsip
-       Bisnis tanpa moralitas
-       Pengetahuan tanpa karakter
-       Sains tanpa kemanusiaan
-       Kekayaan tanpa kerja
-       Kenikmatan tanpa nurani
-       Ketakwaan tanpa instropeksi. Ini bisa dicontohkan—misalnya—dengan laku seorang kiyai yang selalu merasa paling benar sehingga tidak pernah instropeksi.
Selama tujuh hal yang disebut Gandhi sebagai tujuh dosa masyarakat itu masih melekat pada suatu kelompok masyarakat, maka di dalamnya tidak akan pernah ada kenyamanan.
          Adapun yang kedua adalah tentang Tuhan dan agama. Bagi Gandhi, adanya perbedaan agama itu sama halnya dengan adanya perbedaan ras. Dengan lain ucapan, dua hal tersebut merupakan suatu keniscayaan yang tidak bisa dihindari. Oleh karenanya, ya sudahlah, itu tidak perlu dibahas karena memang Tuhan sengaja menyeragamkan hal tersebut. 

ATEISME


Selayang Pandang
          Adalah semacam penolakan terhadap adanya tuhan dengan tanpa dibarengi aksi provokatif.  Disebut tidak provokatif karena istilah ini sering disejajarkan dengan istilah antiteisme yang lebih provokatif. Selain istilah ateisme ada beberapa istilah lain yang terkait, yaitu nonteisme, antiteisme sebagaimana yang usai disinggung sedikit tadi, aphateisme, agnostisme, ignosticisme, antireligion, irreligion, dan secular humanism. Semua istilah tersebut memiliki titik tekan yang berbeda satu sama lain, tetapi secara umum, tetap saja, poinnya adalah menolak eksistensi tuhan.
          Pertama, itu merupakan istilah tempat seseorang tidak mempercayai sama sekali adanya tuhan. Kata “tidak mempercayai” dan “menolak” adalah dua kata yang berbeda. Kata “menolak” masih mengindikasikan adanya kepercayaan dalam hati, hanya saja, itu ditolak. Namun, kata “tidak mempercayai” sama sekali tidak mengindikasikan adanya sedikitpun kepercayaan dalam hati. Dan di waktu yang sama, di situlah letak perbedaan antara nonteisme dan ateisme. Ateisme “menolak”, sedangkan nonteisme “tidak mempercayai” atau sama sekali tanpa tuhan.
          Kedua adalah antiteisme. Pada dasarnya, ini tidaklah berbeda dengan ateisme. Hanya saja, istilah ini lebih menekankan pada wilayah provokatifnya. Sedangkan ateisme sama sekali tidak provokatif. Dengan lain ucapan, antiteisme adalah keadaan menolak tuhan dengan disertai upaya-upaya untuk mendakwahkan keadaan tersebut. Adapun ateisme hanyalah sekedar keadaan menolak tuhan tanpa sama sekali berupaya untuk mempengaruhi orang lain guna mengikutinya.
          Ketiga adalah aphateisme. Itu adalah istilah yang sering digunakan untuk menyebut ateisme praktis. Artinya, dari segi pengakuan, mereka masih mengakui adanya tuhan. Akan tetapi dari segi praksisnya, perilaku mereka sama sekali tidak mencerminkan seorang yang mengakui adanya tuhan. Pendek kata, mereka mengakui mempercayai tuhan, tetapi di waktu yang sama, mereka melakukan hal-hal yang sering dilakoni para ateis atau bahkan melebihinya. Dalam bahasa Qurannya, itu termasuk katagori munafik.
          Keempat, itu tidak berbeda jauh dengan antiteisme yang provokatif dalam menolak tuhan. Hanya saja, kelompok ini provokatifnya lebih pada epistemologinya. Dengan lain kata, mereka memiliki episteme yang kuat dalam menolak eksistensi tuhan. Dengan apapun yang tidak empiris, mereka selalu pasang aksi skeptis. Dan eksistensi tuhan sama sekali tidak empiris. Sehingga mereka selalu skeptis dengan adanya tuhan.
          Kelima: ignosticisme. Adalah jenis ateisme yang begitu terikat dengan paradigma positivesme. Segila-gilanya manusia usai membahas tuhan, berusaha mempercayai, dan lain sebagainya, tetap saja, itu adalah sia-sia. Adapun alasannya adalah eksistensi tuhan sendiri yang sama sekali tidak bisa dipandang secara positifistik, sedangkan ukuran sesuatu bisa dikatakan bermanfaat adalah ketika itu bisa dilihat secara positif. Kesimpulannya, mempercayai adanya tuhan adalah tindakan yang sia-sia.
          Selanjutnya untuk keenam dan ketujuh, keduanya itu semacam tidak menyukai agama. Artinya, mereka menolak agama, tetapi di lain sisi, mereka masih menginginkan spiritual. Dalam wilayah ini, titik tekannya adalah pada kritik terhadap agama. Bagi mereka, agama adalah satu mahkluk aneh yang tidak memiliki fungsi apapun kecuali mengganggu kebebasan manusia. Agama dipandang terlampau banyak memberikan aturan-aturan yang mengikat pemeluknya. Kira-kira itu.
          Dan yang terakhir adalah secular humanism. Jika dibandingkan dengan ateisme, istilah ini bisa dikatakan mending. Sebab dengan itu, seseorang masih mempercayai adanya tuhan. Hanya saja, mereka tidak mempercayai kalau tuhan masihlah mengurus dunia. Artinya, mereka sangat percaya kalau tuhan sudahlah pensiun atau tidak berguna. Tuhan masih ada, tetapi dia hanyalah penonton, tidak memiliki dampak apapun pada kehidupan manusia. secular humanism sangat berpotensi untuk memunculkan deisme, kemudian dari deisme ke agnostisme, dan baru ateisme.
          Ateisme memiliki beberapa cabang, yaitu jenisnya dan pembagiannya. Ateisme memiliki dua jenis: ateisme negatif dan ateisme positif. Sedangkan dalam pembagian, itu terbagi menjadi ateisme praktis dan ateisme teoritis.
          Ateisme memiliki dua jenis: negatif dan positif. Untuk jenis pertama, itu sama halnya dengan istilah ateisme itu sendiri, yaitu hanya sekedar menolak adanya tuhan dengan tanpa menunjukkan bukti apapun tentangnya. Sedangkan jenis kedua, itu disertai dengan menunjukkan bukti-bukti bahwa memang tuhan tidak ada. Dan jenis yang kedua ini tidak bukan adalah istilah lain dari antiteisme.

Ateis Praktis
          Adalah istilah lain dari aphateisme. Yaitu sesuatu yang dengannya seseorang masih mempercayai adanya tuhan, tetapi perilakunya sama sekali tidak mencerminkan kalau dia percaya dengan tuhan. Pendek kata, mereka tidak pernah mengatakan kalau dirinya ateis, tetapi di waktu yang sama, mereka juga tidak pernah melakukan apa yang harusnya dilakukan oleh seorang yang percaya.
          Adapun ciri-ciri dari ateis praktis adalah sebagai berikut:
-       Apapun yang mereka lakukan bukan berbasis dorongan agama atau motivasi agama.
-       Mereka tidak pernah berpikir terlalu dalam dank eras tentang tuhan. Sebab, pada dasarnya, mereka tidak percaya.
-       Mereka menganggap bahwa hal-hal yang supranatural atau tidak empiris adalah sesuatu yang tidak penting.
-       Dalam segala aktifitasnya, mereka selalu tidak menghadirkan tuhan.

Ateis Teoritis
          Berbeda dengan sebelumnya, ateis ini lebih berbicara kepada mengapa seseorang mempercayai tuhan. Dengan lain bahasa, ateis teoritis menjelaskan tentang argumen-argumen yang menentang tuhan. Dan dalam diskusi ini, hanya akan diuraikan empar argument besar tentang tuhan, yaitu argument epistemologis, argument metafisik, argument koherensi, dan argument antroposentris.
1.    Argument epistemologis.
Argumen yang pertama ini memuat empat teori, yaitu teori imanensi subjek, teori agnostis Imanuel Kant, teori skeptisisme David Hume, dan teori ignostisisme.  Untuk yang pertama, itu adalah argument yang mendasarkan dirinya pada kesimpulan bahwa setiap individu memiliki bayangan yang berbeda-beda tentang tuhan. Sebagai ilustrasinya, si A memandang tuhannya seperti sesosok yang besar, berjenggot, dan berjubah. Dia memproyeksikan tuhan sedemikian rupa karena dia adalah seorang muslim kelompok tradisionalis. Sedangkan si B memandang tuhannya sebagai sosok yang rapi, wangi, dan indah. Dia memproyeksikannya seperti itu sebab dia seorang muslim kelompok pembaru. Meski dalam satu atap agama, keduanya berbeda tentang konsepi terhadap Tuhan. Setiap orang tidak bisa tidak memiliki konsepsi yang berbeda-beda tentang Tuhan. Oleh karena itu, pertanyaan besarnya, yaitu: apakah masih perlu seseorang mempercayai sesuatu yang sangat tidak jelas dan berbeda-beda seperti itu. Dan kira-kira di situlah letak epistemologis penolakan mereka terhadap tuhan.
Kedua, itu adalah teori yang menganggap bahwa sampai kapanpun, agama tidak akan pernah bisa dipahami ataupun diakses oleh manusia. Sebab itu berada di luar jangkauan akal. Dan apapun yang tidak bisa terjangkau oleh akal manusia, itu berarti juga tidak bisa diakses oleh manusia. Oleh karena itu, untuk apa manusia harus mempercayai sesuatu yang dirinya saja tidak akan pernah bisa mengaksesnya.
Ketiga adalah skeptisisme David Hume. Itu merupakan teori yang memandang bahwa apapun yang boleh diterima adalah yang empiris. Agama bukanlah suatu yang empiris sehingga itu tidaklah bisa diterima. Sampai di sini, teori ini tidak berbeda jauh dengan teori sebelumnya. Namun, itu tidaklah berhenti di sini.
     Selanjutnya, kalaupun itu—penerimaan terhadap tuhan—dipaksa, maka yang ada hanyalah permainan akal manusia. Dengan lain kata, itu semacam apologi seseorang untuk memaksakan sesuatu yang sudah jelas tidak mungkin, tetapi masih saja diterobos. Sehingga yang ada bukanlah kenyataan apa adanya, tetapi hanyalah permainan pikirannya. Sesuatu yang jelas tidak mungkin tadi ibarat tuhan yang tidak bisa diakses, selanjutnya seseorang yang memaksakan di atas ibarat manusia yang memaksa akalnya untuk mengakses tuhan, sehingga yang muncul hanyalah permainan akal. Peristiwa seperti ini sering disebut sebagai teologi natural.
Masih tentang istilah, Hume menyebut realitas di atas sebagai gagasan kompleks. Itu merupakan gagasan yang sengaja dimunculkan guna menyimpelkan sesuatu yang sebenarnya sangat rumit untuk dipahami atau bahkan sama sekali tidak bisa dipahami. Dengan lain kata, itu berfungsi menjadikan sesuatu yang sebenarnya tidak bisa dipahami menjadi sesuatu yang ringan untuk dipahami. Dan diterima atau tidak, pada dasarnya, seperti itulah agama. Agama hanya berisi gagasan-gagasan komplek. Sebagai ilustrasinya, konsep tentang surga yang selalu digambarkan dengan air yang mengalir dan konsep malaikat yang  sering digambarkan bersayap tidak bukan hanyalah beberapa bentuk dari gagasan kompleks dalam Islam.
     Keempat,  itu adalah teori yang orientasinya pada positifisme logis. Dalam positifisme logis, apapun yang tidak empiris dan tidak bisa diukur adalah sesuatu yang tidak bisa diterima. Tuhan merupakan salah satu entitas yang tidak empiris dan tidak juga bisa diukur. Dengan demikian, bagi pengikut teori ini, mempercayai adanya tuhan adalah suatu kebodohan. Mereka sama sekali tidak memiliki alasan yang memadai untuk mempercayai eksistensinya.
2.    Argumen Metafisik
       Sebagaimana namanya, argument ini menolak adanya tuhan dengan membenturkan dua entitas yang saling bertolak belakang, yaitu materi dan immateri. Materi tidak bukan adalah dasar atas realitas manusia. Sedangkan yang kedua, itu tidak lebih dari buat-buatan manusia. Sehingga, bisa ditarik garis simpul bahwa tuhan hanyalah buat-buatan manusia sebab posisinya yang immateri.
3.    Argumen Koherensi
Adalah argument yang menyandarkan dirinya pada kritik terhadap adanya inkonsistensi antara sifat-sifat tuhan dan inkonsistensi sifat tuhan dengan realitas yang ada. Pertama, itu bisa diamati dengan kebanyakan sifat tuhan yang tidak bisa tidak memiliki kontradiktif. Sebagai ilustrasinya adalah tuhan itu maha pengasih, tetapi di waktu yang sama, tuhan juga maha penyiksa. Antara sifat pengasih dan penyiksa adalah dua hal yang kontradiktif. Dengan demikian, tidak salah jika dikata bahwa tuhan memang sama sekali tidak konsisten.
     Kedua, itu bisa diamati dengan jelas ketika ada konflik berdarah antar sekte dalam satu agama. Artinya, andai tuhan memang konsisten dengan sifatnya yang penyayang, maka tidak mungkin dia membiarkan hambanya terlibat konflik berdarah. Akan tetapi, pada kenyataannya, konflik berdarah terus berlanjut bahkan usai terlalu lama sehingga bisa disimpulkna dengan cepat kalau memang tuhan tidaklah konsisten. Dan kira-kira, di titik inkonsistensi inilah, ateisme benar-benar menolak tuhan.

4.    Argumen Antroposentris
       Adalah argumen yang menolak adanya tuhan dengan dalih bahwa adanya tuhan itu tergantung pada manusia. Dengan lain ucapan, tuhan hanyalah ciptaan manusia. Ketika manusia ingin tuhan itu ada, maka diciptakanlah tuhan, begitu juga sebaliknya. Pendek kata, pihak yang menentukan untuk bertuhan atau tidak adalah manusia, bukan tuhan. Di sini, kunci dalam kehidupan adalah manusia.
          Di lain sisi, itu juga bisa dipahami bahwa sesungguhnya, pihak yang membutuhkan adalah tuhan, bukan manusia. Tuhanlah yang membutuhkan manusia untuk menjadikannya tuhan, bukan sebaliknya. Simpelnya, andai saja tidak ada manusia, tuhan tidak akan pernah ada. Pun, kalau misalnya manusia ada, tetapi mereka tidak mau mengakui tuhan, maka tuhan tetaplah tidak ada. Oleh karenanya, bisa disimpulkan bahwa ada tidaknya tuhan itu tergantung pada bagaimana manusia mengakuinya.

Para Pembunuh Tuhan
          Ada suatu pemikiran, ada pula yang menelorkannya. Adalah beberapa tokoh yang menggandrungkan pola berpikir tanpa batas. Selama berpikir itu masih terbatasi, maka itu bukanlah berpikir dan kira-kira itu juga berlaku untuk intelektul. Tokoh-tokoh tersebut, yaitu Feurbach, Karl Marx, Nietczhe, Freud, dan Sartre.
1.    Feurbach
       Baginya, tuhan tidak lain adalah buah pikiran manusia. Adapun postulasi feurbach adalah pandangan bahwa manusia selalu ingin berpikir secara sempurna dan menghasilkan sesuatu yang sempurna pula sampai-sampai itu melampaui dirinya sendiri. Dan salah satu dari hasilnya adalah tuhan. Dengan pikiran selalu ingin sempurna, mereka sukses menghasilkan tuhan sebagai sesuatu yang sangat sempurna sehingga mereka sendiri—selaku yang memikirkan—terlampaui dan bahkan itu ditakuti oleh mereka sendiri. Kira-kira, demikianlah apa yang dipikirkan Feurbach.
2.    Marx
      Pemikiran Marx tidak terlalu berbeda dengan Feurbach. Hanya saja, dia melanjutkan pertanyaan Feurbach, yaitu lebih pada mengapa manusia bisa memiliki keinginan untuk berpikir yang serba sempurna atau mengapa mereka selalu ingin memproyeksikan wujud tuhan. Adapun alasannya bagi Marx adalah realitas yang deskriminatif terhadap mereka. Kenyataan yang selalu tidak adil terhadap mereka berhasil membuat mereka—kalau tidak disebut memaksa—mencari tempat lain guna mendapatkan kebahagiaanya. Dan akhirnya, berpikirlah mereka tentang tuhan dan agama. Agama bagi mereka hanyalah tempat pelarian yang tidak lain adalah untuk memberikan mereka secercah harapan guna melanjutkan hidup. Namun, bagaimanapun, bagi Marx itu semua semu, itu hanya ganja yang memberikan kebahagiaan sesaat.
3.    Nietczhe
       Dibanding kedua tokoh sebelumnya, bisa dikata Nietzhe adalah yang lebih ekstrim. Baginya, tuhan harus dibunuha. Alasannya, tuhan tidak lebih dari rekayasa pikiran manusia atau manusialah yang menciptakannya. Dari segi manfaatnya, itu sama sekali tidak bermanfaat sebab tuhan hanyalah permainan akal manusia sendiri. Akan tetapi, dari segi kerugian, itu sangat merugikan manusia. Adanya tuhan hanya akan membentuk pola pikir manusia menjadi pengecut, cengeng, tidak mandiri, dan hanya akan menjadikan manusia budak. Dengan demikian, mengetahui itu, tuhan harus dibunuh, toh adanya malah menimbulkan banyak kerugian.
4.    Freud
       Freud memandang agama menjadi dua wajah, yaitu agama itu neurosis kolektif dan ilusi infantil. Pertama, itu disebabkan oleh posisi agama yang hanya berfungsi untuk memberikan ketakutan-ketakutan tertentu pada pemeluknya. Bagi Freud, ketakutan yang timbul dari pengaruh agama tersebut muncul dari super ego. Dan jika sudah demikian, maka agama hanya akan menganggu kehidupan manusia sebab efek takut yang ditumbulkan. Sebagai ilustrasinya, konsep surga yang selalu membayang-bayangi pikiran pemeluk agama tertentu sehingga dia menjadi tidak bebas dalam berpikir.
       Kedua, itu semacam sindrom anak-anak. Agama selalu dipandang bahwa dia mampu menyelematkan pemeluknya dari segala macam gangguan dan penderitaan. Akan tetapi, pada realitasnya, manusia sama sekali tidak terselamatkan dan justru terganggu. Dengan lain ucapan, ini semacam pemberian harapan palsu. Agama hanya memberikan harapan-harapan palsu. Sebagaimana anak kecil, ketika seseorang mempercayai agama, mereka hanya akan selalu dibujuk dan diberi harapan-harapan tidak jelas.
5.    Sartre

Sartre memiliki semangat yang sama dengan Nietczhe, yaitu membunuh tuhan. Hanya saja, dia lebih menekankan pada alasan eksistensi manusia. Baginya, manusia baru benar-benar bisa dikatakan manusia ketika dia sudah bisa mengatur hidupnya sebebas apa yang dia inginkan. Di waktu yang sama, selama manusia masih mempercayai tuhan, maka dia tidak akan pernah bebas. Sehingga, untuk menjadi manusia yang manusia, tuhan harus dibunuh.