Kamis, 22 Oktober 2015

Zen Budhisme


Selayang Pandang
    Adalah salah satu agama besar yang berkembang di Jepang. Dilihat dari geneologinya, agama ini adalah salah satu aliran Budha Mahayana Dari India. Sebelum masuk Jepang, Zen Budhisme berada di China dan berinteraksi dengan Taoisme dan Konfusianisme. Dari sini, boleh disebut bahwa ajaran-ajaran yang ada dalam Zen Budhisme adalah hasil mix dari tiga way of life, yaitu Budha Mahayana di India, Taoisme, dan Konfusianisme. Dalam lain ucapan, Zen Budhisme boleh juga dipahami sebagai bentuk ekstrak dari Budha Mahayana, Taoisme, dan Konfusianisme.
      Kenyataan bahwa sebagian besar dari budaya dan tradisi Jepang adalah hasil impor dari China adalah salah satu alasan mengapa Zen Budhisme—yang notebene sebagai hasil mix atas dua agama besar China, Taoisme dan Konfusianisme—berkembang pesat di Jepang. Dalam artian, Zen Budhisme tidak lain merupakan salah satu ajaran yang Jepang impor dari China. Kiranya demikian.
      Ditinjau dari perspektif sejarah, satu nama yang paling bertanggungjawab atas Zen Budhisme adalah Bodhidharma. Bodhidharma adalah murid Budha—Sidharta Gautama—yang ke—28. Dalam tradisi Budha, di setiap masa pasti terdapat generasi Budha dan untuk generasi ke—28 adalah Bodhidharma ini. Kisah hidup Bodhidharma tidak jauh berbeda dengan kisah Sidharta Gautama. Dia memutuskan untuk meninggalkan apapun yang usai dia miliki untuk meditasi dan menemukan apa maksud sejati kehidupan. Selain Bodhidharma ada yang namanya Mahakassapa. Tidak lain, dia adalah generasi kedua setelah Sidharta Gautama dan yang nantinya di generasi ke—28 dilanjutkan Bodhidarma ini.
     Istilah “Zen” berasal dari bahasa Jepang yang berarti jernih. Istilah ini sering disejajarkan dengan “Chan” dalam bahasa Mandarin dan “Jhana” dari bahasa Phali. Adapun tentang makna, terkira kesemuanya sama, yaitu jernih. Dalam arti bahwa manusia itu penting untuk menjernihkan pikiran, hati, dan jiwanya.
Di lain wilayah, Zen Budhisme juga memiliki satu simbol yang mendasar, yaitu ENSO (berbentuk bulat polos, apa adanya). Adalah semacam pandangan bahwa segala sesuatu itu kosong. Apapun itu hanyalah persepsi dari manusia sendiri, tidak lebih. Kalau semisalnya kita sudah berusaha mengerjakan tugas dengan tekun, tetapi masih saja mendapatkan nilai C, ya sudahlah, toh baik kita mendapat nilai A, B, atau D, kehidupan kita masih berjalan seperti biasa. Lagi-lagi, itu hanyalah nilai yang tidak lebihnya hanya sesuatu yang sering kita lebihkan lewat persepsi-persepsi, padahal esensinya tidak ada, kosong. Kira-kira demikian. Sehingga melalui pandangan ini, Zen Budhisme mampu untuk mencapai titik bidik utamanya tadi, yaitu kejernihan jiwa.

Karakteristik Zen Budhisme
    Ada empat karakter yang penting untuk kita ketahui sebelum merasuki alam pemikiran Zen Budhisme. Adalah Experiental, Beyond Words, Beyond Logical Thinking, dan Enlightment atau Satori.

a. Experiental
    Karakter pertama Zen Budhisme adalah “laku” atau cukup “dipraktekkan”. Ajaran Zen tidak perlu untuk diceramahkan, tetapi cukup dengan dilakukan. Sebab, baginya, pengalaman itu melebihi segalanya.

b. Beyond Words
    Ini terkait erat dengan karakter pertama. Di sini Zen menyimpulkan bahwa ajaran Zen adalah ajaran yang melampau kata-kata. Sehingga itu sama sekali tidak penting untuk diceramahkan. Itu hanya cukup untuk dibumikan.

c. Beyond Logical Thinking
    Selanjutnya, selepas tidak perlunya kita untuk menceramahkan hal tersebut, Zen Budhisme juga sama sekali tidak menganjurkan kita untuk memikirkannya. Semua tentang dia sudah melampaui akal dan pikiran. Sehingga semua yang kita pikirkan tentang dia adalah sia-sia. Dengan lain ucapan, Zen ingin menekankan bahwa pemikiran hanya akan menghasilkan konsep-konsep dan katagori yang malah menjerat, bukan membebaskan.

d. Enlightment
    Dan yang terakhir adalah pencerahan. Adalah puncak dari Zen Budhisme. Dalam level ini, kita akan terbebas dari pikiran, perasaan, ego, dan lainnya. Dalam Islam, ini sering disebut kasyaf.

Beberapa Ajaran Inti Zen Budhisme
a. Mencari diri dan Meditasi
     Ini berangkat dari kenyataan bahwa seringkali kita kehilangan diri kita sendiri selepas bangun tidur. Ini adalah terkait siapa kita, posisi kita sebagai apa, apa kewajiban kita, apa hak kita, apa tujuan awal kita di sini, dan sebagainya. Tanpa kita sadari, kita sering lupa akan pertanyaan-pertanyaan tersebut. Untuk itu, di sini, Zen Budhisme menganjurkan kita untuk selalu berusaha menyadari pentingnya menemukan siapa kita.
    Lebih lanjut, Zen Budhisme juga merekomendasikan kita untuk memahami potensi dan kekurangan diri. Termasuk di dalamnya adalah kiblat kita. Sebab bagi Zen, apa yang kita lakukan itu pasti terpengaruh dengan seorang tertentu. Dan di titik itu, kita penting untuk mencari tahu mengapa kita mengikuti dia, kenapa harus dia, dan apa manfaatnya bagi kita dan orang-orang di sekeliling kita. Pendek kata, di sini Zen Budhisme menginginkan kita benar-benar sadar akan diri kita sendiri sehingga nantinya kita tidak begitu saja mengikuti arus yang ada, tetapi memiliki pendirian dan alasan sendiri.   
     Adapun mengenai cara untuk mudah mencapai hal tersebut, bagi Zen, adalah melalui meditasi. Kita begitu dianjurkan untuk meluangkan waktu guna merenung sejenak dengan duduk diam, punggung lurus, buka mata hati, masuk ke dalam diri, lantas meditasi. Tidak lain, ini penting untuk memahami dan menyadari secara perlahan semua tentang kita, tujuan kita hidup, potensi kita, dan sebagainya. Dengan lain bahasa, ini adalah usaha untuk melihat ke dalam diri sendiri.

b. Pengalaman Langsung
   Sebagaimana beberapa karakter dari Zen Budhisme, di sini Zen kembali menekankan bahwa yang lebih penting adalah pengalaman. Sebanyak apapun ilmu kita, tetapi tidak pernah kita lakukan, itu amatlah sia-sia. Bagi Zen, mending sedikit, namun selalu kita bumikan dengan perilaku kita.

c. Laku, Bukan Pemikiran
     Secara prinsip, ini merupakan alasan yang mendasari poin b. Artinya, Zen bisa menyimpulkan bahwa pengalaman langsung itu jauh lebih baik dari pada banyak ilmu sebab bagi Zen “pemikiran” itu mengikat dan “laku” membebaskan. Lebih dalam, kata Zen, “pemikiran” hanya akan melahirkan konsep, sedangkan “laku” membebaskan konsep. Kalau kita sudah mampu mencapai “laku” atau mempraktekkan yang kita ketahui, maka konsep, teori, pemikiran, itu tidak ada gunanya. Itu disebabkan oleh posisi konsep atau teori itu sendiri adalah bertujuan untuk dipraktekkan. Seandainya kita menganggap hal ini baik, ya sudah, kita lakukan saja, tidak perlu untuk didiskusikan terlebih dahulu.

d. Kesadaran Hishiryo atau Perilaku Sederhana
    Adalah berangkat dari pandangan dasar kalau prinsip kehidupan itu sederhana. Adapun yang menjadikan itu rumit yaitu persepsi-persepsi manusia itu sendiri yang sering menciptakan kategori-kategori. Kalau kita tidak bisa membantu teman belajar ya bilang tidak bisa, tidak usah memaksakan untuk bisa hanya demi biar dipandang perhatian, cerdas atau semacamnya.

e. Jalan Tengah
     Selanjutnya, Zen Budhisme juga menghimbau supaya kita tidak terlalu ekstrim dalam melakukan sesuatu. Dengan lain ucapan, kita amat tidak dianjurkan untuk memaksakan diri. Kalau kita hanya bisa menulis dua lembar perhari, ya sudah, itu dicukupkan. Kalau kita mendukung seseorang, ya dukunglah secukupnya. Ini bertujuan agar kita tidak terjebak dalam fanatisme, dalam hal apapun itu.

f. Mushotoku atau Berhenti Mengejar
      Mudahnya, poin ini berbicara tentang profesionalitas dalam tindakan. Artinya, dalam tindakan, kita tidak perlu melakukan sesuatu yang bukan tugas kita. Kita perlu mencukupkan tindakan kita hanya pada apa yang menjadi tugas kita. Seandainya saja kita mahasiswa, maka kita harus memprioritaskan tindakan pada belajar, membaca, dan semacamnya sebagaimana tujuan awal kita sebagai mahasiswa.  Selain itu, dalam setiap tindakan, sebisa mungkin kita menghindari untuk mempertimbangkan “hasil”. Kita cukup meyakinkan diri kalau semuanya pasti ada hasilnya. Realitas memiliki logikanya sendiri sehingga itu tidak penting untuk terlalu kita pikirkan, itu cukup kita lakukan. 

g. Sekarang, Di sini, dan Saat ini
    Dalam Islam, ini sering kita sebut sebagai “qanaah” atau neriman. Artinya, di sini, Zen mengimbau kepada kita untuk selalu menikmati apa yang ada dan kita miliki saat ini, sekarang ini, dan di sini. Bagi Zen, satu-satunya masa yang paling nyata adalah saat ini, sehingga sangat rugi jika kita tidak menikmatinya. Ini bertujuan supaya kita tidak terlalu terobsesi dengan impian dan terjebak dengan masa lalu sebab memang keduanya sama sekali tidak nyata.

h. Wu-Wei, Action in No Action
    Di poin ini, kita bisa belajar bahwa betapa tidak pentingnya intervensi. Bagi Zen, intervensi tidak jauh berbeda dengan ambisius. Dalam menghadapi realitas, kita tidak apa-apa menghanyutkan diri, tetapi dengan catatan kita tidak boleh terhanyut. Sebagaimana kita memilih untuk tidak menyikapi sesuatu, tetapi secara bersamaan itulah sikap kita. Dengan lain ucapan, di sini kita perlu belajar untuk menjadikan “ketidakikutcampuran” kita terhadap masalah orang lain sebagai bentuk sikap kita terhadapnya.

10 Step of Zen
    Sebagaimana ajaran yang sering ada dalam setiap aliran sufi, Zen Budhisme memiliki sepuluh tahapan seseorang dalam melakukan ajarannya. Adalah sebagai berikut:

No
Step
Refleksi
1
Mencari sapi yang hilang
Kali pertamanya, penting untuk kita menyadari “kesalahan” kita. Sadari kesalahanmu. Dalam Islam sering disebut “taubat”.
2
Menemukan jejak sapi
Selepas menyadari, kita perlu instropeksi diri atau muhasabah.
3
Melihat ekor sapi
Semacam pencerahan sesaat. Sebagai akibat dari instropeksi. Titik pijak untuk menemukan pencerahan sesungguhnya.
4
Menjinakkan sapi
Sudah berhasil menaklukkan nafsu diri. Ini biasanya bisa dicapai melalui latihan batin.
5
Terjinakkannya sapi
Dalam Sufi Islam, ini disebut sudah kasyaf. Seseorang berhasil menguasai nafsu dengan total
6
Pulang ke rumah/menaiki sapi
Seseorang sudah bisa mengatur nafsu atau pikiran, bukan malah diatur
7
Menikmati ketenangan
Tinggal menikmati hasil
8
Keheningan
Sudah moksa. Tidak ada yang indah dan penting dalam kehidupan ini. Yang penting hanya Yang Maha Kuasa
9
Kembali ke sumber
Selepas puncak, rupanya terbesit keresahan yang berlandaskan kemanusiaan. Resah terhadap orang-orang lainnya yang belum sadar
10
Mengunjungi pasar dunia
Dan akhirnya, segera setelah meresahkan orang-orang lainnya, dia memutuskan untuk kembali ke dunia untuk membagi kesadaran kepada orang-orang. (dan terkira, inilah yang diputuskan Muhammad SAW untuk kembali ke dunia setelah mencapai titik sumber saat Isra’ Mi’raj. Dia kembali lagi sebab resah dengan masyarakatnya yang banyak belum sadar)