Selasa, 10 Mei 2016

Melampaui Usul al-Tafsir: Sebuah Pengantar


Adalah melihat disiplin keilmuan Usul al-Tafsir dari sudut pandang Filsafat Ilmu. Kiranya itulah yang diinginkan dari judul di atas. Mengenai perspektif Filsafat Ilmu, sebab ini masih pengantar, maka, setidaknya di sini hanya akan ada tiga poin yang akan diketengahkan, yaitu wilayah cakupan Filsafat Ilmu dan landasan filosofis ilmu. Melalui yang pertama kita akan belajar guna melihat apakah Usul al-Tafsir usai memenuhi syarat untuk disebut sebagai ilmu atau belum dan pula belajar mengamati apa saja yang melandasi Usul al-Tafsir lewat poin kedua. Adapun mengenai Usul al-Tafsir yang dimaksud di sini adalah metode penafsiran al-Quran Ibnu Taimiyah yang secara tersirat dia tuliskan dalam Bukunya Muqaddimah fi Usul al-Tafsir. Lebih spesifik, hal yang akan dibedah nantinya melalui perspektif Filsafat Ilmu adalah langkah metodis Ibnu Taimiyah yang pertama dalam memahami al-Quran, yaitu al-Quran bi al-Quran. Pendek kata, yang ingin disampaikan di sini lewat judul di atas adalah bahwa kita merasa penting untuk belajar melihat “metode penafsiran al-Quran Ibnu Taimiyah” melalui perspektif Filsafat Ilmu.  
            Hal ini menjadi penting sebab pada kenyataannya, banyak dari kita sering lupa bahwa dalam setiap displin keilmuan memiliki body of knowledgenya[1] masing-masing. Sebagai konsekuensinya, secara tanpa sadar kita terjebak dalam apa yang disebut sebagai “pemberhalaan teori”. Ini menjadi mungkin karena dengan tanpa memperhatikan aspek filosofis dari suatu keilmuan, seseorang akan cenderung menempatan teori tertentu pada tempat yang anti-kritik, paling benar, dan universal—dalam arti berlaku untuk semua lokus dan tempus. Dengan lain ungkapan, paling tidak, melalui Filsafat Ilmu, kita bisa mengerti dan menyadari bahwa ilmu pengetahuan tidak lain merupakan representasi dari suatu realitas terbatas yang tidak bisa lepas dari kritik, apalagai selepas melewati beberapa generasi. Dan terkira, di titik inilah judul ini menjumpai momentumnya, yaitu agar teori Usul al-Tafsir Ibnu Taimiyah terhindar dari apa yang disebut oleh Arkoun sebagai Taqdis al-afkar al-diny[2] yang justru dengannya, teori tersebut bisa kehilangan ke-keren-annya.[3]

Ruang Lingkup Filsafat Ilmu
            Berbicara tentang Filsafat Ilmu, di sini terdapat dua model.[4] Yaitu Filsafat Ilmu sebagai satu disiplin keilmuan sendiri yang fokus pada ilmu pengetahuan dan dua, Filsafat Ilmu sebagai landasan filosofis atau sudut pandang. Pertama, ini merupakan model yang menempatkan ilmu pengetahuan sebagai objek materialnya[5]—bedakan dengan “pengetahuan” yang menjadi objek formalnya. Dalam bagian ini pula dijelaskan tentang apa hakikat dari sesuatu atau Ontologi, begaimana cara memperoleh nya, Epistemologi, dan apa manfaat dari sesuatu, Aksiologi. Di wilayah ini, ketiga hal yang merupakan unsur pokok dalam keilmuan apapun tersebut, dilihat sebagai bagian dari objek material—bukan sebagai sudut pandang—yang di dalamnya dibahas bagaimana sejarah dari Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi.[6]
            Selanjutnya, kedua adalah saat kita menjadikan Filsafat Ilmu sebagai sudut pandang dalam mengamati bangunan keilmuan tertentu. Tidak berbeda dengan bagian pertama, di sini juga muncul istilah-istilah seperti Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi. Hanya saja, itu semua dipakai bukan untuk dibedah dan diketahui proses terbentuknya, tetapi justru dijadikan sebagai alat untuk membedah. Pada tataran ini, melalui Ontologi, kita bisa melihat apa hakikat dari suatu keilmuan tertentu.[7] Melalui Epistemologi, kiranya, kita bisa menemukan apa sumber keilmuan tersebut, bagaimana cara memperolehnya, dan apakah hal tersebut bisa diverifikasi. Dan lewat yang terakhir, kita bisa mengerti lebih jauh, jan-jane untuk apakah keilmuan tersebut dibentuk.[8]
            Selain itu, di bagian kedua ini, ada juga yang disebut sebagai landasan filosofis keilmuan. Landasan filosofis ini, biasanya meliputi tiga hal, yaitu asumsi-asumsi dasar, paradigma, dan framework yang dipakai.[9] Dengan lain ucapan, suatu keilmuan, paling tidak tersusun atas tiga hal tersebut dan kiranya adalah suatu kepentingan tersendiri guna mengetahui unsur-unsur tersebut yang bersemayam di balik setiap disiplin keilmuan. Adapun maksud dari asumsi dasar adalah kumpulan beberapa kesimpulan mendasar yang dengannya paradigma bertumpu.[10] Sedangkan paradigma sendiri merupakan seperangkat keyakinan bersama dan mendasar yang memandu tindakan manusia secara tanpa sadar.[11] Dalam hal ini, bagaimana model paradigma sangat ditetukan oleh asumsi dasar yang ada atau yang melandasi paradigma tersebut, apakah asumsi dasarnya rasional, empiris atau bagaimana. Dan yang terakhir, framework, adalah semacam kerangka berpikir yang berfungsi menuntut manusia berpikir. Bisa disebut, bagaimana pemikiran manusia itu tergantung framework apa yang dipakai. Sebagaimana antara asumsi dan paradigma, framework juga begitu ditentukan oleh paradigma. Saat paradigma yang dipakai adalah positifistik, maka kerangka berpikirnya tidak bisa lepas dari angka-angka, persen-persen, dan sebagainya yang serba terukur.[12]
            Masih di sini, berbekal Filsafat Ilmu sebagai landasan filosofis, kita juga bisa menyadari bahwa keilmuan apapun itu tidak lebihnya adalah produk pada masanya atau sering disebut sebagai “anak zaman”. Ini merupakan konsekuensi dari kenyataan kalau ilmu adalah representasi dari realitas pada tenggat waktu tertentu. Pun, dalam proses representasi tersebut tidak bisa tidak ada simplifikasi dan bahkan reduksi yang tidak lain bertujuan agar eksistensinya mudah dijangkau oleh masyaraka di masanya.[13] Pendek kata, yang ingin disampaikan di sini adalah bahwa setiap ilmu itu keren pada tempat waktunya masing-masing. Naskh-mansukh adalah satu disiplin keilmuan yang luar biasa, tetapi pada masa dan tempatnya, begitu juga dengan beberapa cabang Ulum al-Tafsir lainnya.

Cakupan Ilmu
            Adalah membahas tentang apa saja yang bisa disebut sebagai ilmu. Pada masa ketika Paradigma Positivistik merajalela di dunia, bisa disebut bahwa ilmu pengetahuan adalah apa-apa yang terbatas pada hal-hal yang empiris dan terukur. Pada masa itu, hal-hal yang berbau spekulasi, seperti sosial, agama, dan budaya tidak digolongkan sebagai ilmu pengetahuan.[14] Ini, tidak lain, disebabkan oleh dominasi ekstrim kelompok positifistik yang memang ketika itu usai memberikan kontribusi luar biasa bagi perkembangan dunia, seperti teknologi nuklir, robot, pesawat, alat komunikasi, dan sebagainya.
            Akan tetapi, pada perkembangannya, berangkat dari keresahan atas dominasi positivistik yang seakan memaksa semuanya harus terukur, muncul beberapa nama yang melebarkan pengertian ilmu sampai pada ilmu-ilmu sosial. Salah satu dari nama tersebut adalah Wilhelm Dilthey (1833-1911). Dilthey membagi ilmu menjadi dua, yaitu ilmu alam dan ilmu sosial. Sejak masa Dilthey ini, kira-kira, pengertian ilmu pengetahuan bukan saja pada wilayah ilmu alam, tetapi juga ilmu sosial.[15] Adapun, disebabkan sama-sama ilmunya, posisi keduanya bukanlah atas-bawah, tetapi sama.
            Lebih lanjut, klasifikasi ini dilanjutkan oleh Habermas. Habermas membagi ilmu menjadi tiga, yakni empiris-analitis, historis-hermeneutis, dan sosial kritis. Pertama itu meliputi ilmu alam, ilmu hukum, dan ilmu psikologi. Kedua mencakup ilmu agama, filsafat, bahasa, dan antropologi. Sedangkan ketiga terdiri dari ilmu politik, ekonomi, dan sosiologi. Tiga kluster ilmu ini memiliki derajat sama antara satu dengan lainnya.[16] Dengan lain ucapan, di sini tidak ada istilah ilmu superior dan ilmu yang inferior. Dan mengenai Usul al-Tafsir, bisa dibilang, itu masuk pada kluster kedua, yaitu historis-hermeneutis.

Tentang Usul al-Tafsir
            Dalam pengantar bukunya Mukaddimah fi Usul al-Tafsir, Ibnu Taimiyah menyebut bahwa maksud dari Usul al-tafsir adalah seperangkat kaidah yang dengannya seseorang bisa memahami al-Quran dengan benar dan tidak sesat. Tidak lain, Ibnu Taimiyah menulis buku tersebut dilatarbelakangi oleh permintaan beberapa temannya untuk merumuskan kaidah-kaidah tertentu supaya seseorang tidak tersesat dalam memahami al-Quran.[17] Dan pada bagian akhir bukunya, dengan tersurat, Ibnu Taimiyah merumuskan beberapa langkah metodis guna memahami al-Quran, yaitu menafsirkan al-Quran dengan al-Quran, menafsirkan al-Quran dengan sunnah, menafsirkan al-Quran dengan pemikiran Sahabat, dan menafsirkan al-Quran dengan pemikiran Tabi’in.[18]
            Terlepas dari semua itu, disebabkan oleh fokus kajian ini bukan pada bagaimana aplikasi atas metode tersebut, maka yang akan dikaji di sini adalah hanya langkah yang pertama, menafsirkan al-Quran dengan al-Quran. Sebelum menelisik lebih jauh, penting untuk kita sepakati bahwa Usul al-Tafsir—untuk menyebut empat langkah metodis, setidaknya—merupakan suatu disiplin keilmuan tersendiri. Kenyataan bahwa syarat mendasar sesuatu bisa disebut “ilmu”[19] adalah adanya objek, subjek, dan pertemuan keduanya merupakan salah satu alasan mengapa bisa demikian. Dalam diskursus ini, objeknya adalah al-Quran, Hadis, dan beberapa kitab klasik, sedangkan subjeknya adalah Ibnu Taimiyah sendiri. Adapun mengenai pertemuan keduanya, itu bisa kita amati dari metodologi Ibnu Taimiyah dalam berinteraksi dengan objeknya yang mungkin akan dijelaskan pada kesempatan lainnya. Sampai di sini, berdasarkan hal tersebut, maka tidak mengada-ada jika disebut bahwa Usul al-Tafsir merupakan suatu disiplin keilmuan yang memiliki rancang bangunnya sendiri.
            Selanjutnya, mari kita mencoba untuk melihat langkah pertama metode Ibnu Taimiyah tersebut dari perspektif Filsafat Ilmu—yang dalam hal ini dicukupkan pada tiga landasan filosofisnya. Pertama adalah asumsi-asumsi dasarnya Ibnu Taimiyah dalam menelorkan konsep tafsir al-Quran bi al-Quran. Dalam poin ini, terkira ada tiga asumsi yang dimiliki Ibnu Taimiyah, yaitu: (1) apa yang disajikan secara global dalam satu tempat, itu usai memiliki penjelasan di tempat lain, (2) apa yang diringkas di satu tempat, itu pasti ada penyajian detailnya di tempat lainnya, (3) dan urutan ayat dan surat dalam al-Quran adalah murni dari Nabi dan Allah. Untuk asumsi terakhir, ini tidak secara tersurat disampaikan Ibnu Taimiyah, tetapi semacam konsekuensi alami atas dua asumsi sebelumnya. Masih di poin ketiga, hal ini biasanya dibedakan dengan apa yang ditulis Jabiri dalam tafsirnya yang berlandaskan tartib al-nuzuly[20] dan Noldeke dengan asumsinya kalau susunan al-Quran rancu.[21] Berhenti sejenak di sini, melihat bagaimana postulasi—meminjam istilahnya Amin Abdullah[22]—Ibnu Taimiyah yang sedemikian rupa, maka wajar mengapa di tahap pertama metode penafsirannya, dia mengharuskan siapapun untuk memulai penafsirannya dengan al-Quran.
            Selanjutnya, mengenai landasan filosofis yang kedua, bisa disebut paradigma yang berkembang di masa Ibnu Taimiyah adalah teologis atau teosentris. Yaitu ketika hal apapun atau penemuan apapun itu tidak bisa lepas dari sisi vertikalnya. Ini bisa kita buktikan dengan bagaimana Ibnu Taimiyah sering mendasarkan pendapatnya pada teks semata, seperti asumsi yang dipakai dalam menelorkan langkah metodis kedua, tafsir al-Quran bi al-Sunnah. Langkah tersebut dibangun Ibnu Taimiyah berdasarkan beberapa ayat al-Quran yang beberapa abad sebelumnya dipakai oleh Safi’i, yaitu al-Nisa’: 105 dan al-Nahl: 44.[23] Di wilayah lain, ini juga bisa kita lihat di ujung penjelasannya tentang langkah metodis menafsirkan; Ibnu Taimiyah menyebut bahwa menafsirkan berlandaskan akal semata adalah haram.[24] Dari beberapa hal tersebut, kita bisa membayangkan bahwa apa yang ada di balik pemikiran Ibnu Taimiyah adalah bayang-bayang otoritas teks yang notabene sebagai suara Tuhan dan secara bersamaan apapun yang Ibnu Taimiyah pikirkan tidak boleh keluar dari bayang-bayang tersebut. Kiranya di titik inilah, kita boleh menyebutnya sebagai paradigma; Ibnu Taimiyah menjalani kehidupannya—termasuk dalam menuliskan Usul al-Tafsir—dengan tanpa sadar berbasis Tuhan sebagai orientasinya.
            Lebih lanjut, ini juga bisa kita amati dari waktu dan tempat Ibnu Taimiyah hidup. Ibnu Taimiyah lahir pada tahun 1263 M atau pada saat Islam mengalami disintegrasi selepas runtuhnya dinasti Abbasiyah. Pada kisaran abad tersebut hidup juga al-Ghazali dan Ibnu Rusyid, untuk menyebut beberapa. Dilihat dari bagaimana al-Gazali dan Ibnu Rusyid terlibat dialektika terkait ketuhanan yang diabadikan dalam bukunya, Tahafut al-Falasifah[25] dan Tahafut al-Tahafut,[26] dengan tanpa pikir panjang, kiranya kita bisa menyimpulkan bahwa nuansa perkembangan keilmuan waktu itu memang sulit untuk lepas dari apa yang disebut Tuhan.[27] Oleh karenanya, sebab Ibnu Taimiyah juga hidup di masa ini pula, maka sekali lagi, tidak terlalu berlebihan saat disebut bahwa paradigma yang dipakai Ibnu Taimiyah dalam teorinya tersebut adalah teosentris.
            Adapun yang terakhir, framework, ini terjalin erat dengan paradigma. Dengan lain ungkapan, sebab paradigma yang berkembang ketika itu adalah teosentris, maka kerangka berpikirnya adalah semacam membatasi kebenaran hanya pada apa yang diyakininya. Lebih jauh, pada prinsipnya ini merupakan konsekuensi dari paradigma yang berkembang saat itu. Saat yang menjadi keyakinan bersama adalah terpusat pada urusan ketuhanan atau teks, maka apa yang berada di luar atau tidak sejalan dengan pemahamannya atas teks, maka salah. Kira-kira demikianlah kerangka berpikir yang dipakai Ibnu Taimiyah dalam teorinya tersebut. Guna membuktikannya, kita bisa melihat ungkapan yang usai disinggung tadi “siapapun yang menafsirkan al-Quran dengan akal semata adalah haram”. Dalam ungkapan tersebut, secara tersirat menunjukkan bahwa Ibnu Taimiyah tidak sependapat dengan kelompok tertentu yang terkesan lebih mengunggulkan akal seperti al-Farabi, Ibnu Sina, dan sebagainya. pendek kata, yang ingin disampaikan di sini adalah bahwa di balik pemikiran Ibnu Taimiyah—terlebih dalam diskursus ini—terdapat semacam pola bahwa kebenaran adalah apa itu yang masih dalam batas-batas otoritas teks. Dan yang terakhir, penting pula bagi kita untuk memahami bahwa apa yang menjadi pemikiran Ibnu Taimiyah ini merupakan sumbangsih yang sungguh luar biasa bagi sejarah peradaban masyarakat Muslim, terlebih masyarakat di masanya pada 8 abad silam.[28]Ipoenk070516
                               





[1] Adalah istilah yang sering dipakai untuk merujuk suatu bangunan pengetahuan yang sistematis dan terstruktur. Lihat Amin Abdullah, Studi Agama: Normativitas atau Historisitas? (Yogyakarta: Pustaka Pelajar: 2015), hlm. 257. Bandingkan dengan Muhammad Muslih, Filsafat Ilmu: Kajian atas Asumsi Dasar, Paradigma, dan Kerangka Teori Pengetahuan (Yogyakarta: Beluka, 2015), hlm. 38
[2]Muhammad Arkoun, dkk., Orientalisme vis a vis Oksidentalisme (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2008), hlm. 11. Istilah ini juga sering dipakai Amin Abdullah dalam tulisannya, salah satunya lihat Amin Abdullah, Falsafah Kalam di Era Postmodern (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), hlm. 19.
[3] Amin menyebut ini sebagai Islamic Doctrin. Istilah tersebut dipakai sebagai parodi untuk beberapa kalangan yang menyebut dirinya sebagai Islamic Studies, tetapi tidak mau menerima anomali sebagai suatu keniscayaan dalam keilmuan, lihat Amin Abdullah, Studi Agama: Normativitas atau Historisitas?, hlm. 103.
[4] Tim Dosen Filsafat UGM, Filsafat Ilmu Sebagai Dasar Pengembang Ilmu Pengetahuan (Yogyakarta: Liberty, 2012), hlm. 44.
[5]  Ini adalah istilah yang sering disejajarkan dengan objek formal. Objek material merupakan titik bidik dalam peneletian atau objek pokok penelitian, sedangkan objek formal adalah sudut pandang dalam membidik titik objek. Lihat Abdul Mustaqim, Metode Penelitian al-Quran dan Tafsir (Yogyakarta: IDEA Press, 2014), hlm. 10.
                [6] Dalam cakupan Filsafat Ilmu yang pertama, di dalamnya juga dibahas mengenai apa itu Ontologi, Epitemologi, dan Aksiologi bukan sebagai sudut pandang, tetapi sebagai objek material. Ontologi misalnya, dalam bagian ini, Ontologi dilihat sebagai suatu penyelidikan kefilsafatan yang paling kuno. Ini terlihat dari perkembangan paling awal perenungan di Yunani adalah mengenai hakikat dari sesuatu, yaitu hakikat Alam: Thales misalnya, memandang bahwa hakikat terdalam alam semesta adalah Air. Di samping itu, aliran ini juga membahas masalah monoisme (hakikat terdalam dari kenyataan hanyalah satu), dualism (hakikat kenyataan adalah dua), pluralisme (hakikat kenyataan tidaklah tunggal atau ganda, tetapi banyak), dan nihilisme (tidak ada hakikat dalam kenyataan). Lebih jauh, lihat Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu (Depok: Rajagrafindo Persada, 2013), hlm. 131-148. Bandingkan dengan Listiyono Santoso dkk., Epistemologi Kiri (Yogyakarta: ar-Ruzz Media, 2012), hlm. 7.
[7] Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, hlm. 132. Bandingkan dengan Jujun S., Ilmu dalam Perspektif: Sebuah Kumpulan Karangan Tentang Hakikat Ilmu (Jakarta: Obor, 2012), hlm. 5.
[8] Muhammad Muslih, Filsafat Ilmu: Kajian atas Asumsi Dasar, Paradigma, dan Kerangka Teori Pengetahuan, 36.
[9] Muhammad Muslih, Filsafat Ilmu: Kajian atas Asumsi Dasar, Paradigma, dan Kerangka Teori Pengetahuan, 40.
[10] Amin Abdullah, Studi Agama: Normativitas atau Historisitas? (Yogyakarta: Pustaka Pelajar: 2015), hlm. 101.
[11] Muhammad Muslih, Filsafat Ilmu: Kajian atas Asumsi Dasar, Paradigma, dan Kerangka Teori Pengetahuan, 88.
[12]  Muhammad Muslih, Filsafat Ilmu: Kajian atas Asumsi Dasar, Paradigma, dan Kerangka Teori Pengetahuan, 92.
[13]  Bahkan dalam hal ini, suatu keilmuan harus menemukan anomalinya atau menuju wilayah  Revolutionary science, jika masih ingin dianggap sebagai “ilmu”. Sebab “ilmu” tidak bisa tidak berkembang dan dalam setiap perkembangan terdapat anomali-anomali. Oleh karenanya, sampai di sini, tidak ada alasan lagi untuk tetep kekeh dengan produk keilmuan dari satu masa tanpa adanya usaha sedikitpun untuk merekonstruksnya, lihat Amin Abdullah, Studi Agama: Normativitas atau Historisitas?, hlm. 103. Bandingkan dengan Muhammad Muslih, Filsafat Ilmu: Kajian atas Asumsi Dasar, Paradigma, dan Kerangka Teori Pengetahuan, 37.
[14] Tidak lain, ini disebabkan oleh pandangan saat itu bahwa yang disebut Ilmu adalah yang empiris, terukur, dan kuantitatif. Meski toh pada perkembangannya muncul istilah “fisika sosial”, sebagai bagian dari ilmu pengetahuan, tetap saja itu berbeda dengan “Ilmu Sosial”  yang dikembangkan selanjutnya oleh Dilthey. Dalam “Ilmu Sosial”, metode yang digunakan tidak lagi erklaeren, sebagaimana Fisika Sosial, tetapi verstehen, lihat Tim Dosen Filsafat UGM, Filsafat Ilmu Sebagai Dasar Pengembang Ilmu Pengetahuan, hlm. 7.
[15] Tim Dosen Filsafat UGM, Filsafat Ilmu Sebagai Dasar Pengembang Ilmu Pengetahuan, hlm. 7.  
[16] Muhammad Muslih, Filsafat Ilmu: Kajian atas Asumsi Dasar, Paradigma, dan Kerangka Teori Pengetahuan, 37.
[17] Ibnu Taimiyah, Muqaddimah fi Usul al-Tafsir (Kota: Penerbit, 1971), hlm. 33.
[18] Ibnu Taimiyah, Muqaddimah fi Usul al-Tafsir, hlm. 93-105. Dalam pengantarnya, ini usai dijelaskan dengan cukup ringkas oleh pentahkik, Adan Zurzur, hlm. 20.  
[19] Muhammad Muslih, Filsafat Ilmu: Kajian atas Asumsi Dasar, Paradigma, dan Kerangka Teori Pengetahuan, 60.
[20]  Ini adalah salah satu model tafsir yang ditulis dengan orientasi kronologi turunnya ayat. Jabiri sering menyebut ini sebagai upaya membaca sirah nabawiyah melalui al-Quran dan sebaliknya. Dalam menelorkan tafsirnya ini, fahm al-Quran al-Hakim: al-Tafsir al-Wadhih Hasba Tartib al-Nuzul, Jabiri menggunakan dua prinsipnya, yaitu prinsip fasl dan wasl. Pertama meliputi pendekatan struktural, analisis histori, dan kritik ideologis, sedangkan kedua cukup dengan rasionalisasi atau prinsip kontinuitas. Mengenai ini pula Jabiri terinspirasi oleh al-Syatibi terkait bagaimana memahami al-Quran dalam bukunya al-Muwafaqat, Lihat Muhammad Yahya, “fahm al-Quran al-Hakim: al-Tafsir al-Wadhih Hasba Tartib al-Nuzul Karya al-Jabiri”, al-Quran dan Hadis, Vol. 11, No. 1, hlm. 1-22.
[21]Ini bisa diamati dari bagaimana Abdullah Saeed menulis tentang Noldeke: “Quran as a book composed of unstable words and letters, and full of variants which, as result, could not possibly be devine”, lihat Abdullah Saeed, The Quran an Introduction (New York: Routledge, 2008), hlm. 107.                                     
[22]Ini merupakan nama lain dari “asumsi dasar”, yaitu sebagai salah satu unsur yang wajib ada dalam setiap upaya pemecahan masalah, baik itu dalam suatu pendapat ilmiah, tulisan ilmiah, dan sebagainya. Tanpa postulasi yang kokoh, jelas, dan sistematis, semua analisis pemecahan masalah tidak akan sampai pada modelnya yang fokus dan tajam, lihat Amin Abdullah, Studi Agama: Normativitas atau Historisitas?, hlm. 101.
[23] Ibnu Taimiyah, Muqaddimah fi Usul al-Tafsir, hlm. 93.
[24] Ibnu Taimiyah, Muqaddimah fi Usul al-Tafsir, hlm. 105.  
[25]Pada prinsipnya, melalui kitab ini, salah satunya, Ghazali hanya ingin mengungkapkan ketidaksetujuannya atas Islamic Aristotelian—para teolog rasional berlandaskan metafisika Aristoteles—yang memiliki asumsi bahwa rasio manusia mampu menyelesaikan banyak persoalan teologi. Mengenai ini, selepas mengkritik rasional metafisik, Ghazali menawarkan bantuan intuisi atau wahyu dalam menjawab persoalan semacam ini, lihat Amin Abdullah, Antara al-Ghazali dan Kant: Filsafat Etika Islam (Bandung: Mizan, 2002), 58.
[26]A. Khudori Soleh, Wacana Baru Filsafat Islam (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), hlm. 100.  
[27]Lebih jauh, ini bisa dilihat dari bagaimana model pemikiran antara al-Farabi, Ibn Sina, dan Ibnu Rusyd yang bisa disebut masih berkutat dalam bidang metafasika. Mengenai itu, al-Farabi cenderung pada Plotinus dan mecoba menemukan sintesisnya dengan apa Yang Esa dalam al-Quran. Kemudian, upaya al-Farabi ini, melalui jalan yang agak berbeda,  dilanjutkan oleh Ibnu Sina dengan kombinasi antara Yang Esa dengan Yang Wujud. Dan di masa selanjutnya, Ibnu Rusyid hadir dengan model yang sama sekali berbeda, yaitu melalui pengaruh Aristoteles, meskipun golnya masih identik: semua tentang metafisika. Lihat  A. Khudori Soleh, Wacana Baru Filsafat Islam, hlm. 98.  
[28]Ini bisa kita amati dari bagaimana pengaruh Ibnu Taimiyah terhadap beberapa pemikir setelahnya. Beberapa darinya adalah Ibnu Katsir dengan beberapa penjelasan tentang ahsan turuq al-tafsir dalam muqaddimah tafsirnya dan Suyuti dengan kaidah nomer 78 tentang ma’rifat syurut al-mufassir wa adabihi. Lihat Adnan Zurzur dalam pengantar Ibnu Taimiyah, Muqaddimah fi Usul al-Tafsir, hlm. 22.