Hindu adalah salah satu budaya di
India yang sudah berkembang sejak 2000 tahun sebelum masehi. Itu bisa diamati
dengan derivasi nama hindu itu sendiri, yaitu Sindu, Indus, dan India. Sindu
adalah nama sungai yang di sekitar sungai itulah budaya Hindu ini muncul.
Sungai Sindu juga sering disebut sungai Indus. Sedangkan istilah India tidak
lain adalah nama yang digunakan untuk menyebut daerah atau bangsa di
sekitarnya. Sehingga, masuk akal sekali mengapa budaya tersebut disebut Hindu.
Selain sebagai budaya, Hindu juga
sering dianggap sebagai pola pikir atau worldview masyarakat di daerah
tersebut. Dari mereka sendiri, Hindu tidak dianggap sebagai Agama. Istilah
agama tidak lain merupakan sebutan yang diberikan oleh para peneliti kebudayaan
kepada mereka. Akan tetapi, tidak jarang mereka menyebut pola pikir tersebut
sebagai agama Vedha.
Asumsi-Asumsi
Dasar
Sebagai suatu pola pikir, Hindu
memiliki beberapa prinsip dasar atau kepercayaan asasi untuk membangun
pemikiran mereka. Adalah kepercayaan terhadap Brahman, kepercayaan terhadap
Atman, Karmaphala, Samsara atau Reinkarnasi, dan Moksa. Lima prinsip tersebut
kalau dalam Islam bisa disebut sebagai rukun iman. Dan terkait uraian
masing-masing, itu bisa didiskusikan di bawah ini.
a.
Brahman
Adalah istilah untuk menyebut suatu zat
yang meliputi segalanya, suatu zat yang tidak terikat oleh ruang dan waktu, dan
zat yang selalu dibutuhkan oleh siapapun yang butuh. Dalam Islam, itu disebut
sebagai Yang Maha Kuasa, Allah. Di balik setiap kasunyatan atau faktisitas,
pasti itu ada Dia dan karena dia pula, maka kasunyatan itu ada. Meski dikatakan
bahwa itu zat yang meliputi segalanya, tetapi tidak jarang, Brahman diserupakan
dengan sesuatu dan lebih jelasnya, penyerupaan-penyerupaan tersebut bisa digali
dalam kitab Bhagavad Gita: kalam Krisna terhadap Arjuna.
Sebagai sesuatu yang berada di luar
segalanya, Brahman memiliki beberapa karakteristik. Itu adalah misterius,
membuat siapa saja gentar, mempesona, dan membuat siapapun selalu ingin
mendekat. Dengan kata lain, siapa saja yang berhasil menyadari adanya Brahman,
dia akan merasa terpesona, gentar, dan selalu ingin berada di dekatnya. Tidak
bisa tidak, Brahman memiliki potensi tersebut sebagai zat yang kekal dan di
luar segalanya.
Di wilayah lain, hal tersebut juga
membahas tentang kesadaran dalam beragama. Adanya karakteristik tertentu yang
melekat pada Brahman merupakan satu indikasi bahwa mereka tengah sadar atas
keberagamaannya. Dengan ucapan lain, seseorang baru bisa dikatakan beragama
adalah ketika dia menyadari keberagamaannya. Dan salah satu jalan yang dominan
untuk menyadari keberagamaan adalah dengan merasakan semua yang menjadi
karakteristik Zat Yang Maha Ada. Dengan demikian, di saat seseorang sudah
merasa gentar ketika disebut namaNya, terpesona saat merenungkannya, dan selalu
ingin mendekat saat merasakan anugerahnya, maka di titik itulah dia benar-benar
sedang beragama.
b.
Atman
Adalah pancaran dari Brahman yang ada
disetiap diri manusia. Secara umum, itu disebut sebagai jiwa. Atau dengan bahsa
lain, dengan Atman, bisa dikatakan bahwa setiap manusia memiliki sisi
ketuhanan. Karena dia adalah bagian dari manusia, Atman sering dilawankan
dengan jasad. Dan jika disejajarkan dengan Brahman, Atman adalah pancaran atau
cahaya, sedangkan Brahman adalah mataharinya. Dengan demikian, Brahman dan
Atman adalah bagai koin bersisi dua.
Dalam perkembangannya, konsep di atas
juga bisa disebut sebagai proses pencarian diri. Adapun yang dimaksud diri di
sini adalah Atman. Ketika seseorang berusaha keras untuk menemukan dirinya, di
waktu yang sama, dia juga tengah berusaha menemukan siapa Tuhannya. Oleh karena
itu, bisa ditarik garis simpul bahwa menemukan Atman berarti menemukan Brahman:
memahami diri sendiri berarti memahami wujud Tuhan.
Ada beberapa jalan untuk menemukan
Atman, yaitu pengetahuan, cinta, kerja, dan latihan mental. Pengetahuan
merupakan usaha untuk mengetahui lebih luas dan menyadari lebih dalam. Selain
hanya ilmu, kesadaran juga menjadi titik fokus di jalan yang pertama ini.
Pengetahuan bisa diperoleh secara efektif melalui tiga momen: mendengar,
berpikir, dan proyeksi. Mendengar tidak lain adalah momen paling penting untuk
menggapai pengetahuan. Tanpa itu, sangat mungkin sekali transformasi keilmuan
tidak akan pernah ada. Selanjutnya berpikir, itu adalah proses penyerapan
informasi. Di saat tengah menyerap informasi, di waktu yang sama seseorang juga
sedang berpikir. Dan yang terakhir, proyeksi adalah upaya untuk selalu
mengalihkan perspektif kita pada perspektif orang lain yang memandang kita.
Dalam artian, kita dituntut untuk selalu siap menerima penilaian orang lain
yang perspektifnya bermacam-macam. Ini bertujuan agar seseorang tidak mudah
merasa tersinggung dan tidak mudah menyalahkan orang lain. Dan akhirnya,
diharapkan dari jalan pengetahuan ini, seseorang bisa menjawab pertanyaan:
mengapa saya di sini, melakukan ini, dan memilih ini. Atau mudahnya, jalan
pertama ini berguna untuk menguji kesadaran seseorang.
Jalan kedua adalah cinta, itu
adalah hilangnya keinginan tertentu dalam melakukan sesuatu. Itu juga bisa
disebut sebagai ketulusan total yang implikasinya pada melakukan sesuatu hanya
demi Brahman. Dalam manifestasinya, itu bisa dibumikan dengan mencintai
kehidupan, mencintai sesama, dan lain sebagainya hanya karena Brahman, sehingga
apa yang dilakukan itu tanpa pamrih sama sekali. Adapun untuk memperoleh cinta
atau agar bisa mendapatkan ketulusan total bisa ditempuh dengan tiga momen.
Pertama, Japam, itu adalah upaya untuk menggapai cinta
dengan menyebut namaNya terus-menerus. Melalui ini, diharapkan seseorang bisa
selalu mengingatNya sehingga itu berdampak pada tujuannya dia melakukan
sesuatu. Kedua, itu adalah dengan belajar dari kehidupan sehari-hari.
Itu berdasarkan pada asumsi bahwa sebenarnya di sekitar kita banyak
kejadian-kejadian yang mengajarkan ketulusan, baik itu dari hewan, tumbuhan,
atau sesama manusia sendiri. Dan ketiga, itu merupakan upaya untuk
menganggap Brahman sebagai teman dekat kita sehingga kita bisa lebih akrab dan
butuh terhadapnya—dalam artian butuh yang lebih membumi. Akhirnya, dengan tiga
momen tersebut, seseorang bisa lebih mudah untuk berlaku cinta atau menjadi
tulus dalam segala kegiatan.
Jalan ketiga adalah kerja.
Sebagaimana pengertian kerja pada umumnya, jalan ini menuntut seseorang untuk
selalu berusaha dalam memperoleh sesuatu, termasuk menemukan Atman. Akan
tetapi, ada satu hal yang berbeda dalam hal ini, yaitu niat. Dengan kata lain,
jalan ketiga ini terkait erat dengan jalan kedua, yaitu semua
itu—pekerjaan—harus dilakukan secara tulus hanya demi Brahman.
Dan jalan terakhir adalah latihan
mental. Latihan mental yang dimaksud di sini adalah pelatihan untuk tidak
terikat dengan kebutuhan-kebutuhan dunia yang sifatnya cenderung pada
bersenang-senang semata. Namun, meski demikian, manifestasi akan ini tidak
hanya berupa meninggalkan kesenangan sepenuhnya. Itu juga bisa berupa gemar
berkontemplasi, gemar membantu orang lain, tidak pernah menyakiti orang lain,
dermawan terhadap orang lain lebih-lebih orang-orang yang mementingkan kita,
dan sebagainya. Hingga akhirnya, dari semua jalan di atas, bisa disimpulkan
bahwa untuk menemukan Atman atau menemukan jati diri, minimal, seseorang boleh
memilih satu dari keempat jalan di atas. Dua lebih baik, empat apalagi.
c.
Karmaphala
Istilah ini sering disejajarkan dengan
konsep kausalitas. Yaitu adanya hubungan timbal balik antara perbuatan dan
akibat dari perbuatan atau sebab dan akibat. Tidak bisa tidak, sekecil apapun
suatu perbuatan pasti memiliki dampak tertentu. Pun, itu terlepas dari kapan
akibat tersebut akan muncul. Kadang akibat itu muncul bersamaan dengan adanya
perbuatan dan kadang muncul beberapa saat setelah perbuatan, dan sebagainya.
Intinya, setiap kejadian pasti ada sebabnya.
d.
Reinkarnasi/Samsara
Bisa
dikatakan, ini adalah salah satu bentuk atau bentuk lanjutan dari karmaphala. Itu
disebabkan oleh adanya reinkarnasi sendiri sebagai hukuman kepada manusia. Melalui
konsep ini, kehidupan manusia akan selalu berputar: dari hidup, meninggal,
reinkarnasi. Dan di bagian reinkarnasi ini jiwa tadi—yang sebelumnya berada
dalam diri manusia—akan masuk pada diri manusia lainnya. Masuknya jiwa yang
sama pada diri manusia yang berbeda tersebut bisa dibuktikan dengan adanya
dejavu.
Lebih dalam lagi, dejavu itu bukan sekedar
ilusi atau setan di pojok pikir. Akan tetapi, itu adalah ide yang memang pernah
benar-benar terjadi. Itu nyata dan memang pernah dirasakan oleh jiwa yang
sebelumnya menetap pada diri seseorang yang hidup jauh sebelumnya. Pendeknya,
dejavu adalah pengalaman jiwa seseorang yang dirasakan kembali oleh orang lain
sebagai tempat reinkarnasi jiwa seorang yang pertama tadi. Dengan demikian,
dari titik ini, bisa di tarik garis simpul bahwa reinkarnasi bukanlah ilusi.
Tentang
siklus kehidupan yang akan selalu berputar dari hidup, meninggal, dan
reinkarnasi itu baru bisa berhenti saat yang bersangkutan telah mencapai titik
moksa. Berbasis itu pula, reinkarnasi dianggap sebagai hukuman atau karma oleh
masyarakat Hindu. Dan satu-satunya cara agar bisa terbebas dari hukuman
tersebut adalah dengan moksa. Karena hanya dengan itu, jiwa seseorang bisa
melebur dengan Brahman dan otomatis itu akan menjauhkannya dengan reinkarnasi.
Adapun terkait langkah-langkah mencapai moksa bisa didiskusikan setelah ini.
e.
Moksa
Kepercayaan
terakhir dalam Hindu adalah moksa. Adalah penyatuan diri seseorang dengan
Brahman atau Tuhannya. Moksa adalah titik akhir dari segala pemikiran,
perenungan, pencarian, penderitaan, dan kehidupan. Pada titik ini, jiwa manusia
akan terbebas dari lingkaran reinkarnasi. Dalam Islam, hal semacam ini sering
disebut sebagai al-Nafs al-Muthmainnah
atau kalau dalam prosesnya disebut sudah ilaihi rajiun. Sebelum
mencapai titik ini, seseorang harus melewati titik tempat dia berhasil
menemukan Atmannya dengan beberapa langkah yang usai disebut di awal. Dan untuk
lebih detailnya, ada beberapa momen untuk mencapai titik ini, yaitu sisya,
Grhastha, vanaprhasta, dan bhiksu. Untuk yang pertama, itu
adalah momen tempat seseorang dituntut untuk mencari ilmu sebanyak-banyaknya. Untuk
yang kedua, itu merupakan momen untuk menjalani kehidupan normal. Itu bisa
berupa menikah, bekerja, berkeluarga, bercinta, dan sebagainya. Atau lebih
jelasnya, untuk momen kedua ini, seseorang harus memenuhi empat kebutuhan:
artha (kebutuhan materi), kama (kebutuhan biologis), dharma (kebutuhan untuk
bekerja), dan moksa (termasuk kebutuhan karena memang hanya dengan ini
penderitaan reinkarnasi bisa berhenti). Setelah berpuas-puas di momen kedua,
seseorang dianjurkan untuk menempuh momen Vanaprhasta. Momen ketiga
ini merupakan momen untuk membereskan batin, menata niat, dan membersihkan
jiwa. Tujuan-tujuan tersebut bisa didapat dengan meditasi. Pendeknya, ini
adalah momen untuk meditasi. Dan momen keempat tidak lain adalah
lanjutan dari momen ketiga. Di titik ini, seseorang dianjurkan untuk melakukan
pengembaraan, mencari Atman, lebih membersihkan jiwa, dan nantinya barulah
seseorang berpotensi besar menemukan Atmannya dan melebur dengan Brahman.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar