Minggu, 19 April 2015

Budhisme


    Budhisme adalah suatu sistem budaya yang kali pertamanya digagas oleh Sidharta Gautama di India. Selain sebagai sistem budaya, Budhisme juga sering disebut sebagai filsafat dan agama yang tidak memiliki Tuhan. Ajaran-ajaran Budhisme yang begitu filosofis menjadi salah satu alasan mengapa dia disebut sebagai filsafat. Sedangkan ajarannya yang lebih menekankan pada sisi praksis merupakan salah satu alasan mengapa dia disebut sebagai agama yang tidak memiliki Tuhan.
    Sidharta Gautama, sebagai pendiri tunggal Budhisme terlahir di masa pemberontakan. Masa pemberontakan di sini yang dimaksud adalah masa pemberontakan terhadap ajaran Hindu dalam periodesasinya. Selain tradisi Hindu, ketika itu juga berkembang tradisi yang sering disebut sebagai Jainisme. Tradisi Hindu yang membumi ketika itu adalah sistem kasta dan praktek otoriterianismenya, sedangkan dari Jainisme adalah praktek melukai diri sendiri demi mensucikan jiwa. Mengetahui beberapa hal tersebut, Sidharta Gautama merasa resah. Sehingga, itulah salah satu alasan mengapa dia melahirkan suatu sistem budaya yang berbeda dari Jainisme dan Hinduisme.
      Dalam ceritanya yang lebih detail, Sidharta Gautama adalah salah satu putra raja yang sejak kecil hanya tinggal dalam kerajaan. Sedari kecil, dia tidak diperbolehkan ayahnya untuk keluar dari istana. Selain tidak diperkenankan untuk keluar, dia juga selalu dijaga agar tidak melihat hal-hal yang jelek dan menyedihkan, seperti orang yang tua, sakit ataupun meninggal. Pendek kata, dia sangat dijaga oleh ayahnya agar hatinya selalu terjaga dari hal-hal yang buruk. Bagi ayahnya, mati, sakit, tua, dan semacamnya adalah hal-hal yang buruk, hingga dia dilarang untuk mengetahuinya. Dia dijaga dengan begitu ketatnya karena menurut ayahnya, Sidharta adalah satu-satunya putra yang memiliki hati yang begitu lembut.
    Akan tetapi, meski usai dijaga dengan begitu ketatnya, ternyata Sidharta tidak tinggal diam dan duduk manis di istananya saja. Dia sering mencuri-curi waktu untuk pergi keluar istana tanpa sepengetahuan ayahnya. Dengan bantuan yang diberikan oleh orang-orang kepercayaannya, dia sering berhasil melakukan aksinya tersebut.
Ketika berada di luar istana ada banyak sekali hal baru yang sebelumnya tidak pernah dia lihat. Dan dari semua itu, ada empat hal yang begitu meresahkan Sidharta, yaitu ketika dia melihat orang yang tua, sakit, mati, dan orang yang bertapa dengan begitu tenang. Keempat hal tersebut begitu mengagetkan Sidharta karena memang selama di istana, ayahnya selalu menjauhkan dia dari orang-orang yang sakit, tua, dan mati. Setiap kali ada pengawal yang sudah tua, segera dia diganti yang muda, begitu juga untuk dua hal berikutnya. Dari orang-orang yang tua, sakit, dan mati, Sidharta menyimpulkan bahwa kehidupan itu sangat tidak menyenangkan. Sedangkan dari orang yang bertapa, dia menemukan hal yang berbeda dengan kesimpulan sebelumnya. Pastinya, sudah diketahui bahwa manusia pasti akan tua, sakit, dan mati, tetapi mengapa orang yang bertapa ini sama sekali tidak bersedih hati. Kira-kira itulah yang diresahkan Sidharta dengan orang yang keempat tersebut, sehingga dia menyimpulkan bahwa masihlah ada cara untuk menjadikan hidup ini menyenangkan.
Selanjutnya, dari penyelinapan tersebut, Sidharta selalu terjebak dalam pemikiran-pemikirannya yang begitu meresahkan. Dan akhirnya, dia memutuskan untuk meninggalkan istananya demi menjawab segala keresahannya tersebut. Sidharta memutuskan untuk bertapa di bawah salah satu pohon yang sering disebut sebagai pohon bodhi selama enam tahun.
  
Corak Kehidupan
   Dalam Budhisme, kehidupan dipandang sebagai sesuatu yang sama sekali tidak memiliki hakikat. Sebab kehidupan adalah suatu objek pandangan, yaitu pandangan dari manusia selaku pemilik kehidupan. Bagaimana bentuk kehidupan itu sepenuhnya tergantung kepada mereka. Kalau seseorang memutuskan untuk memilih racun, maka kehidupan baginya adalah kesedihan, begitu juga sebaliknya. Sebagai dampaknya, istilah “jiwa manusia adalah bagian dari Tuhan” itu tidak bisa dibenarkan sepenuhnya. Seperti apakah jiwa seseorang tergantung pada bagaimana dia bertindak, bukan terbentuk secara otoriter sebagai bagian dari Tuhan yang selalu baik. Lebih lanjut, di wilayah lain, itu juga akan mengarah pada kesimpulan bahwa tidak ada istilah “sebenarnya hakikat manusia itu baik”. Artinya, secara prinsip, manusia itu tidak memiliki hakikat yang mendasarinya.
    Dari sudut lain, sebenarnya, kehidupan adalah sesuatu yang sementara dan menderita. Kehidupan adalah sesuatu yang sementara karena memang setiap manusia memiliki batas hidup tertentu kemudian dilanjutkan oleh generasi penerusnya. Akan tetapi, meski demikian, kesementaraan hidup selalu tersamarkan dengan adanya kesinambungan. Dengan lain ucapan, proses regenerasi yang selalu berlangsung—untuk tidak menyebut proses pergantian—itu secara tidak langsung usai menyamarkan corak kehidupan yang sebenarnya hanya sementara menjadi seakan-akan kekal. Sedangkan dikatakan sebagai penderitaan sebab tidak bisa dipungkiri kalau dalam setiap kehidupan pasti ada masalah. Namun, hal tersebut sering tersamarkan dengan kepura-puraan. Adanya istilah “masalah adalah sumber dari perdaban atau ketegangan adalah basis akan kehendak” tidak lain merupakan salah satu bukti betapa berpura-puranya manusia guna menyamarkan penderitaan dalam hidup. Kira-kira itu.  


Kritik terhadap Hinduisme
    Ada beberapa hal yang begitu diresahakn Sidharta Gautama pada ajaran Hindu. Adalah otoriterianisme Kitab Vedha, sistem kasta, politeisme Hindu, dan kependetaan. Pertama, sebagaimana Budha menolak adanya status jiwa manusia sebagai bagian dari Tuhan, Budha juga memandang bahwa Vedha—selaku kitab suci Hinduisme—hanyalah peta yang diperuntukkan pada manusia guna menuntun mereka agar tidak terseseat. Antara peta dan perjalanan atau laku yang lebih penting bukanlah peta, tetapi perjalanan atau laku. Sehingga, sungguh hal yang lucu jika yang ditinggikan adalah kitabnya, bukan lakunya. Pendek kata, dalam suatu kehidupan, seharusnya yang perlu dipentingkan bukan kitab suci, tetapi perjalanan atas kehidupan itu sendiri.
  Kedua, itu merupakan salah satu bukti bahwa Budha begitu mendukung kesetaraan. Dalam Budha, semua manusia dipandang sama, tidak ada istilah kelompok kaya, miskin ataupun lainnya. Ketiga, adalah kritik Budha atas ajaran Hindu yang memiliki banyak sekali Tuhan. Sidharta Gauatama tidak mengakui adanya tuhan-tuhan tersebut dan bahkan dia sama sekalit tidak pernah mengatakan Tuhan dalam satupun ajarannya. Secara implisit, ini merupakan salah satu indikasi bahwa memang Budha layak disebut sebagai agama yang tidak memiliki Tuhan. Keempat, adalah keresahan Budha atas pola hidup para pendeta Hindu ketika itu yang cenderung glamor.
   Di wilayah lain, Sidharta Gautama juga menolak beberapa ajaran Budha, yaitu moksa, yoga, dan asketisme Hindu. Bagi Budha, moksa bukanlah solusi yang masuk akal untuk terlepas dari siklus penderitaan hidup atau reinkarnasi. Justru, itu adalah tindakan untuk lari dari kenyataannya sebagai manusia dan di waktu yang sama juga lari dari masalah—masalah ada untuk diselesaikan bukan untuk ditinggal kabur. Selanjutnya adalah yoga, bagi Budha itu hanyalah sesuatu yang hanya memberikan kebahagiaan sesaat. Apa yang dihasilkan oleh yoga tidak bisa bertahan lama. Sedangkan untuk asketisme, itu adalah ritual penyiksaan diri guna menyucikan jiwa. Budha menolak hal tersebut karena asketisme sangat bertentangan dengan prinsip-prinsip kemanusiaan.

Konsep surga dan cara mendapatkannya
   Ada yang berbeda mengenai konsep surga di Budha. Dalam ajaran mainstream, surga merupakan suatu tempat indah yang ada setelah kematian atau ada di wilayah transenden. Akan tetapi, dalam Budha, surga itu sudah bisa dirasakan oleh seseorang meski dia masih hidup. Adapun batasan seorang yang masih hidup dan bisa masuk surga adalah ketika seorang tadi usai tidak memiliki keinginan sama sekali. Dengan ucapan lain, salah satu cara efektif untuk masuk surga adalah dengan menghentikan keinginan. Dengan demikian, seseorang telah bisa menghentikan keinginannya, maka di waktu yang sama dia usai masuk surga. Para pemeluk Budha menyebutnya sebagai nirvana.
    Selain dengan menghentikan keinginan, untuk mendapatkan nirvana, seseorang juga harus memahami dukka dan samudaya. Dukka adalah konsep tentang klasifikasi penderitaan. Dalam budha, penderitaan memiliki tiga tingkat. Tingkat pertama adalah tingkat yang paling dasar, yaitu derita akibat sakit-sakit kecil seperti sakit gigi, panas, flu, dan sebagainya. Tingkat kedua adalah tingkat menengah, yaitu derita sebab menjadi tua. Sedangkan yang ketiga adalah tingkat tinggi, yaitu derita karena menjadi manusia. Menjadi manusia dikatakan derita sebab hanya manusialah yang merasakan kecewa, sakit hati, putus asa, selalu ingin dihargai, dan sebagainya.

    Satu-satunya yang menyebabkan adanya tingkatan penderitaan di atas adalah samudaya. Secara tidak langsung, samudaya mengindikasikan bahwa pemegang kehidupan—dalam arti untuk menjadikannya senang atau sedih—adalah manusia. Saat manusia bisa mengontrol dirinya, maka penderitaan tersebut tidak akan pernah terjadi. Adapun dua hal yang paling penting untuk dikontrol dalam diri manusia adalah tanha dan avija. Tanha mewakili sifat manusia yang selalu ingin dan ingin. Ini juga bisa disebut sebagai hasrat yang pasti dimiliki manusia. Diterima atau tidak, sebenarnya sumber penderitaan manusia itu terletak pada seberapa banyak dia berkeinginan. Semakin dia banyak keinginan, semakin banyak pula dia kecewa. Sedangkan avija merupakan bentuk kebodohan manusia. Tidak bisa dipungkiri, salah satu hal asasi yang sangat berpotensi untuk menimbulkan derita adalah kebodohan. Dengan kebodohan seseorang selamanya tidak akan pernah memahami dukka dan apa yang seharusnya dia lakukan sebagai manusia. Dengan demikian, saat seseorang berhasil mengontrol dua hal tersebut atau mengontrol samudaya, maka dia akan mudah untuk mendapatkan Nirvana.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar