Tampilkan postingan dengan label pemikiran filsafat. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label pemikiran filsafat. Tampilkan semua postingan

Minggu, 19 April 2015

Budhisme


    Budhisme adalah suatu sistem budaya yang kali pertamanya digagas oleh Sidharta Gautama di India. Selain sebagai sistem budaya, Budhisme juga sering disebut sebagai filsafat dan agama yang tidak memiliki Tuhan. Ajaran-ajaran Budhisme yang begitu filosofis menjadi salah satu alasan mengapa dia disebut sebagai filsafat. Sedangkan ajarannya yang lebih menekankan pada sisi praksis merupakan salah satu alasan mengapa dia disebut sebagai agama yang tidak memiliki Tuhan.
    Sidharta Gautama, sebagai pendiri tunggal Budhisme terlahir di masa pemberontakan. Masa pemberontakan di sini yang dimaksud adalah masa pemberontakan terhadap ajaran Hindu dalam periodesasinya. Selain tradisi Hindu, ketika itu juga berkembang tradisi yang sering disebut sebagai Jainisme. Tradisi Hindu yang membumi ketika itu adalah sistem kasta dan praktek otoriterianismenya, sedangkan dari Jainisme adalah praktek melukai diri sendiri demi mensucikan jiwa. Mengetahui beberapa hal tersebut, Sidharta Gautama merasa resah. Sehingga, itulah salah satu alasan mengapa dia melahirkan suatu sistem budaya yang berbeda dari Jainisme dan Hinduisme.
      Dalam ceritanya yang lebih detail, Sidharta Gautama adalah salah satu putra raja yang sejak kecil hanya tinggal dalam kerajaan. Sedari kecil, dia tidak diperbolehkan ayahnya untuk keluar dari istana. Selain tidak diperkenankan untuk keluar, dia juga selalu dijaga agar tidak melihat hal-hal yang jelek dan menyedihkan, seperti orang yang tua, sakit ataupun meninggal. Pendek kata, dia sangat dijaga oleh ayahnya agar hatinya selalu terjaga dari hal-hal yang buruk. Bagi ayahnya, mati, sakit, tua, dan semacamnya adalah hal-hal yang buruk, hingga dia dilarang untuk mengetahuinya. Dia dijaga dengan begitu ketatnya karena menurut ayahnya, Sidharta adalah satu-satunya putra yang memiliki hati yang begitu lembut.
    Akan tetapi, meski usai dijaga dengan begitu ketatnya, ternyata Sidharta tidak tinggal diam dan duduk manis di istananya saja. Dia sering mencuri-curi waktu untuk pergi keluar istana tanpa sepengetahuan ayahnya. Dengan bantuan yang diberikan oleh orang-orang kepercayaannya, dia sering berhasil melakukan aksinya tersebut.
Ketika berada di luar istana ada banyak sekali hal baru yang sebelumnya tidak pernah dia lihat. Dan dari semua itu, ada empat hal yang begitu meresahkan Sidharta, yaitu ketika dia melihat orang yang tua, sakit, mati, dan orang yang bertapa dengan begitu tenang. Keempat hal tersebut begitu mengagetkan Sidharta karena memang selama di istana, ayahnya selalu menjauhkan dia dari orang-orang yang sakit, tua, dan mati. Setiap kali ada pengawal yang sudah tua, segera dia diganti yang muda, begitu juga untuk dua hal berikutnya. Dari orang-orang yang tua, sakit, dan mati, Sidharta menyimpulkan bahwa kehidupan itu sangat tidak menyenangkan. Sedangkan dari orang yang bertapa, dia menemukan hal yang berbeda dengan kesimpulan sebelumnya. Pastinya, sudah diketahui bahwa manusia pasti akan tua, sakit, dan mati, tetapi mengapa orang yang bertapa ini sama sekali tidak bersedih hati. Kira-kira itulah yang diresahkan Sidharta dengan orang yang keempat tersebut, sehingga dia menyimpulkan bahwa masihlah ada cara untuk menjadikan hidup ini menyenangkan.
Selanjutnya, dari penyelinapan tersebut, Sidharta selalu terjebak dalam pemikiran-pemikirannya yang begitu meresahkan. Dan akhirnya, dia memutuskan untuk meninggalkan istananya demi menjawab segala keresahannya tersebut. Sidharta memutuskan untuk bertapa di bawah salah satu pohon yang sering disebut sebagai pohon bodhi selama enam tahun.
  
Corak Kehidupan
   Dalam Budhisme, kehidupan dipandang sebagai sesuatu yang sama sekali tidak memiliki hakikat. Sebab kehidupan adalah suatu objek pandangan, yaitu pandangan dari manusia selaku pemilik kehidupan. Bagaimana bentuk kehidupan itu sepenuhnya tergantung kepada mereka. Kalau seseorang memutuskan untuk memilih racun, maka kehidupan baginya adalah kesedihan, begitu juga sebaliknya. Sebagai dampaknya, istilah “jiwa manusia adalah bagian dari Tuhan” itu tidak bisa dibenarkan sepenuhnya. Seperti apakah jiwa seseorang tergantung pada bagaimana dia bertindak, bukan terbentuk secara otoriter sebagai bagian dari Tuhan yang selalu baik. Lebih lanjut, di wilayah lain, itu juga akan mengarah pada kesimpulan bahwa tidak ada istilah “sebenarnya hakikat manusia itu baik”. Artinya, secara prinsip, manusia itu tidak memiliki hakikat yang mendasarinya.
    Dari sudut lain, sebenarnya, kehidupan adalah sesuatu yang sementara dan menderita. Kehidupan adalah sesuatu yang sementara karena memang setiap manusia memiliki batas hidup tertentu kemudian dilanjutkan oleh generasi penerusnya. Akan tetapi, meski demikian, kesementaraan hidup selalu tersamarkan dengan adanya kesinambungan. Dengan lain ucapan, proses regenerasi yang selalu berlangsung—untuk tidak menyebut proses pergantian—itu secara tidak langsung usai menyamarkan corak kehidupan yang sebenarnya hanya sementara menjadi seakan-akan kekal. Sedangkan dikatakan sebagai penderitaan sebab tidak bisa dipungkiri kalau dalam setiap kehidupan pasti ada masalah. Namun, hal tersebut sering tersamarkan dengan kepura-puraan. Adanya istilah “masalah adalah sumber dari perdaban atau ketegangan adalah basis akan kehendak” tidak lain merupakan salah satu bukti betapa berpura-puranya manusia guna menyamarkan penderitaan dalam hidup. Kira-kira itu.  


Kritik terhadap Hinduisme
    Ada beberapa hal yang begitu diresahakn Sidharta Gautama pada ajaran Hindu. Adalah otoriterianisme Kitab Vedha, sistem kasta, politeisme Hindu, dan kependetaan. Pertama, sebagaimana Budha menolak adanya status jiwa manusia sebagai bagian dari Tuhan, Budha juga memandang bahwa Vedha—selaku kitab suci Hinduisme—hanyalah peta yang diperuntukkan pada manusia guna menuntun mereka agar tidak terseseat. Antara peta dan perjalanan atau laku yang lebih penting bukanlah peta, tetapi perjalanan atau laku. Sehingga, sungguh hal yang lucu jika yang ditinggikan adalah kitabnya, bukan lakunya. Pendek kata, dalam suatu kehidupan, seharusnya yang perlu dipentingkan bukan kitab suci, tetapi perjalanan atas kehidupan itu sendiri.
  Kedua, itu merupakan salah satu bukti bahwa Budha begitu mendukung kesetaraan. Dalam Budha, semua manusia dipandang sama, tidak ada istilah kelompok kaya, miskin ataupun lainnya. Ketiga, adalah kritik Budha atas ajaran Hindu yang memiliki banyak sekali Tuhan. Sidharta Gauatama tidak mengakui adanya tuhan-tuhan tersebut dan bahkan dia sama sekalit tidak pernah mengatakan Tuhan dalam satupun ajarannya. Secara implisit, ini merupakan salah satu indikasi bahwa memang Budha layak disebut sebagai agama yang tidak memiliki Tuhan. Keempat, adalah keresahan Budha atas pola hidup para pendeta Hindu ketika itu yang cenderung glamor.
   Di wilayah lain, Sidharta Gautama juga menolak beberapa ajaran Budha, yaitu moksa, yoga, dan asketisme Hindu. Bagi Budha, moksa bukanlah solusi yang masuk akal untuk terlepas dari siklus penderitaan hidup atau reinkarnasi. Justru, itu adalah tindakan untuk lari dari kenyataannya sebagai manusia dan di waktu yang sama juga lari dari masalah—masalah ada untuk diselesaikan bukan untuk ditinggal kabur. Selanjutnya adalah yoga, bagi Budha itu hanyalah sesuatu yang hanya memberikan kebahagiaan sesaat. Apa yang dihasilkan oleh yoga tidak bisa bertahan lama. Sedangkan untuk asketisme, itu adalah ritual penyiksaan diri guna menyucikan jiwa. Budha menolak hal tersebut karena asketisme sangat bertentangan dengan prinsip-prinsip kemanusiaan.

Konsep surga dan cara mendapatkannya
   Ada yang berbeda mengenai konsep surga di Budha. Dalam ajaran mainstream, surga merupakan suatu tempat indah yang ada setelah kematian atau ada di wilayah transenden. Akan tetapi, dalam Budha, surga itu sudah bisa dirasakan oleh seseorang meski dia masih hidup. Adapun batasan seorang yang masih hidup dan bisa masuk surga adalah ketika seorang tadi usai tidak memiliki keinginan sama sekali. Dengan ucapan lain, salah satu cara efektif untuk masuk surga adalah dengan menghentikan keinginan. Dengan demikian, seseorang telah bisa menghentikan keinginannya, maka di waktu yang sama dia usai masuk surga. Para pemeluk Budha menyebutnya sebagai nirvana.
    Selain dengan menghentikan keinginan, untuk mendapatkan nirvana, seseorang juga harus memahami dukka dan samudaya. Dukka adalah konsep tentang klasifikasi penderitaan. Dalam budha, penderitaan memiliki tiga tingkat. Tingkat pertama adalah tingkat yang paling dasar, yaitu derita akibat sakit-sakit kecil seperti sakit gigi, panas, flu, dan sebagainya. Tingkat kedua adalah tingkat menengah, yaitu derita sebab menjadi tua. Sedangkan yang ketiga adalah tingkat tinggi, yaitu derita karena menjadi manusia. Menjadi manusia dikatakan derita sebab hanya manusialah yang merasakan kecewa, sakit hati, putus asa, selalu ingin dihargai, dan sebagainya.

    Satu-satunya yang menyebabkan adanya tingkatan penderitaan di atas adalah samudaya. Secara tidak langsung, samudaya mengindikasikan bahwa pemegang kehidupan—dalam arti untuk menjadikannya senang atau sedih—adalah manusia. Saat manusia bisa mengontrol dirinya, maka penderitaan tersebut tidak akan pernah terjadi. Adapun dua hal yang paling penting untuk dikontrol dalam diri manusia adalah tanha dan avija. Tanha mewakili sifat manusia yang selalu ingin dan ingin. Ini juga bisa disebut sebagai hasrat yang pasti dimiliki manusia. Diterima atau tidak, sebenarnya sumber penderitaan manusia itu terletak pada seberapa banyak dia berkeinginan. Semakin dia banyak keinginan, semakin banyak pula dia kecewa. Sedangkan avija merupakan bentuk kebodohan manusia. Tidak bisa dipungkiri, salah satu hal asasi yang sangat berpotensi untuk menimbulkan derita adalah kebodohan. Dengan kebodohan seseorang selamanya tidak akan pernah memahami dukka dan apa yang seharusnya dia lakukan sebagai manusia. Dengan demikian, saat seseorang berhasil mengontrol dua hal tersebut atau mengontrol samudaya, maka dia akan mudah untuk mendapatkan Nirvana.  

Minggu, 16 Februari 2014

Metafisis, mengapa tidak bisa dinalar?


Dalam kajian Linguistik, ada tiga unsur yang paling penting: langue, langage, dan parole.  Ketiganya berfungsi menurut masing-masing tempatnya. Yang pertama merupakan tempat untuk mengetahui kalau sebuah bahasa pasti tersistem atau mudahnya, setiap bahasa itu memiliki grammatika masing-masing yang pastinya berbeda satu dengan lainnya. Yang kedua adalah tempat untuk membedakan antara bahasa manusia—sebagai makhluk yang  tersistem dengan pemikiran yang ilmiahnya—dengan bahasa hewan—sebagai makhluk hidup tanpa pemikiran tersistem—yang pastinya hanya bahasa manusia lah yang masuk dalam kajian ilmu linguistik ini. Selanjutnya adalah parole: keadaan yang menempatkan bahasa menurut fungsi utamanya, yaitu sebagai alat komunikasi dengan baik dan teratur.
Masih berkenaan dengan itu, hewan yang posisinya juga sebagai makhluk hidup pasti memiliki bahasa sendiri-sendiri untuk berinteraksi satu sama lain. Meskipun hal itu tidak bisa dijangkau oleh kemampuan manusia biasa, tetap saja mereka memiliki konstruksi bahasa mereka sendiri. Dalam hal kesetiaan merpati misalnya, pasti sebelum merpati cowok dilepas meninggalkan yang cewek lalu kembali pada dekapan si cewek, ada komunikasi-komunikasi tertentu yang terjadi di antara keduanya. Selain itu, dalam kehidupan makhluk-makhluk lain seperti jin dan teman-temannya. Bagaimanapun juga karena mereka juga eksis dalam kehidupan mereka sendiri, mereka pasti memiliki bahasa yang berfungsi sebagai alat untuk mengekspresikan pikiran mereka masing-masing. Pastinya, itu juga sudah tersistem menurut system yang ada dalam kehidupan mereka. Kemudian—dari hewan dan jin di atas—persoalannya adalah ketika bahasa tersebut dibenturkan dengan struktur dalam paragraph pertama tadi: apakah masih bagiannya darinya atau tidak, toh mereka juga berkomunikasi. Dan jawaban yang paling mendekati tentang itu adalah adanya perbedaan dimensi. Keduanya—hewan dan jin—tidak masuk pada tataran apapun yang bisa dinalar. Dengan demikian, bagaimanapun juga meski mereka memiliki bahasa yang rapi, itu masuk dalam nalar di dunia mereka sendiri, tidak dunia kita.

Di wilayah lain, masih bersinggunggan dengan itu, dalam surat al-A’raf:52, dengan jelas tertulis bahwa Quran itu dijelaskan atas dasar pengetahuan yang ilmiah. Dan jika ditarik beberapa surat sebelumnya, tepatnya al-Baqarah: 3, tertera bahwa orang-orang yang takwa adalah siapa saja yang percaya kepada hal-hal gaib, mau bersembahyang, dan berinfak. Di sini, satu hal yang unik: kalimat tentang percaya terhadap hal-hal ghaib diletakkan lebih awal sendiri dari pada lainnya. Selain itu, kalimat tersebut juga berada di posisi awal dalam surat kedua dari Quran. Al-Quran—seperti dikatakan sebelumnya—adalah sesuatu yang berdasarkan pengetahuan ilmiah dan di dalam Quran dijelaskan bahwa mempercayai hal ghaib—termasuk di dalamnya jin dan lainnya—merupakan salah satu syarat terpenting untuk bisa meraih derajat takwa. Dengan demikian, jika ditarik kesimpulan dari kedua premis di atas, maka hasilnya: jin itu juga ilmiah. Dalam arti, hal itu bisa dinalar, tetapi mungkin permasalahannya tergantung kepada bagaimana kita menalar jin tersebut. Dan dalam hal ini termasuk juga mengenai ilmu linguistic yang tadi dikata hanya berlaku untuk manusia dengan alasan ilmiah. Jin—dari uraian singkat di atas—dalam menurut Quran adalah sesuatu yang ilmiah, jadi dalam konteks langage, sepertinya tidak ada salahnya jika bahasa keseharian mereka dimasukkan dalam tataran linguistic.zev160214

Minggu, 29 Desember 2013

Bismillah, Pembukaan Ayat, dan Makna Termaksud


          Sebelum membahas lebih lanjut, beberapa persoalan bersarang dalam otak saya. Adalah tentang bagaimana mungkin satu kalimat singkat: bismillahi ar-rahmani ar-rahimi, bisa menempati tempat satu kalimat Quran yang paling sering disebut setelah suatu kalimat lain yang ada di surat Ar-Rahman. Mengenai hal itu, sulit untuk dipercaya jika tiada sesuatu apapun yang tersirat di dalam tragedi nyata ini.
Menggunakan pendekatan bahasa, sebenarnya sudah jelas sekali bagaimana harusnya satu kalimat itu dipahami dan diaplikasikan. Akan tetapi, tidak tahu juga, seakan, pandangan mayoritas muslim akan bismillah sempit sekali. Kebanyakan, satu kalimat ini dipandang sebagai suatu cara. Iya, sebatas cara atau teori dan bukan untuk diaplikasikan, yaitu cara untuk mendapat sesuatu secara lebih dan hal itu lebih dominan bermanfaat hanya untuk dirinya sendiri. Dalam hal makan misalnya, kebanyakan kabar, selama ini seseorang harus membaca kalimat itu terlebih dahulu jika ingin barakah dan konon katanya agar makannya cepat kenyang.
Dalam contoh tersebut, bismillah dipandang hanya sebagai stimulus dan cara. Cara bagaimana seseorang bisa mendapat suatu kepuasan yang lebih dengan membaca itu. Dan juga sebaliknya, jika seseorang tidak membaca bismillah di awal kali makan, maka dalam proses makan tersebut yang bersangkutan sulit untuk merasa kenyang dan selalu ingin tambah karena tidak barokah. Kira-kira seperti itulah bagaimana mayoritas muslim memandang satu kalimat penting ini. Mereka lebih mengandalkan keyakinan mereka yang egois dalam memahami bismillah.
Padahal, jika kita amati lebih pelan dan aplikasikan dengan suatu persoalan sosial yang konkrit, maka ada garis pembeda yang membentang di antara keduanya. Dan itu terletak pada bagaimana kita memandang kata ar-rohman dan ar-rohim di dalam kalimat tersebut. Saya yakin sekali, bahwa kebanyakan muslim mengetahui makna dari dua lafadz itu. Minimal, mereka pasti sering membaca terjemah bismillah yang jamak kita temui tertempel di pintu-pintu rumah mereka. Tuhan yang maha pengasih lagi maha penyayang, kira-kira itulah artinya. Di dalam bismillah sampai sekarang—yang saya tahu—tidak pernah ada sesuatu yang menghususkan kalimat itu. Dalam arti, apakah itu hanya berlaku dengan kedaan tertentu atu tidak. Jadi, kedua hal itu bisa diberlakukan di semua aspek kehidupan tanpa terkecuali meskipun juga dengan orang-orang nonmuslim.
Selanjutnya, lebih fokus kepada aplikasi, kalau memang kalimat tersebut sanggup untuk diaplikasikan, kemungkinan terbanyaknya adalah penurunan jumlah pandangan yang mengklaim bahwa Islam itu rumit. Hal itu bisa dibuktikan dengan waktu sholat yang sering membuat seseorang tertuntut dan terbebani untuk selalu melakukannya tepat waktu. Dalam arti, selama ini, sholat banyak dipandang sebagai suatu ritus yang lebih baik jika dilakukan langsung selepas adzan dari pada di penghujungnya, sehingga bagaimanapun juga psikologi seseorang akan merasa terbebani jika dia tidak bisa melakukannya di awal waktunya. Padahal, sholat itu bagaimanapun juga—baik dilakukan selepas adzan tepat atau di penghujung waktunya—pasti akan berpotensi sama: sama-sama baiknya dan tidak ada istilah lebih baik jika memang di waktu yang sama, yang bersangkutan masih terlibat suatu persoalan dengan orang lain.

Dengan demikian, singkatnya, dengan memahami bismillah secara berbeda, seseorang bisa lebih mengutamakan orang lain—dengan tidak meninggalkan dulu dalam sebuah persoalan yang penting—dari pada harus meninggalkannya untuk bisa sholat di waktu yang lebih baik. Semua waktu sholat—dalam keadaan tertentu—tidak mengandung istilah lebih baik, semuanya sama karena memang Tuhan adalah maha pengertian, maha penyayang, dan maha pengasih: bismillahi ar-rahmani ar-rahimi.zev281213    

Kamis, 28 November 2013

Kanunisasi Teks dalam Islam


Perbincangan beberapa mata, selepas kuliah Bahasa Arab kemarin, ternyata banyak menyisakan tanya dalam benak saya. Salah satunya adalah mengenai salah satu ayat al-Quran: la yamassuhu illa al-mutohharun. Iya, dari ayat itu, barusan terpikir oleh saya kalau ayat itu tidaklah baik-baik saja. Ayat itu sering sekali menemani kehidan sayasehari-hari. Atau bahkan bukan hanya saya, tetapi semua muslim dunia karena di setiap Mushaf—yang saya tahu—tertulis dikovernya kalimat tersebut. Dan hal itulah yang selama ini membuat saya yakin kalau ayat itu baik-baik saja.
Namun, berangkat dari perbincangan saya dengan guru pemikiran saya, saya jadi tercerahkan. Selain itu, saya juga menghabiskan beberapa jam untuk merenungkan kembali semua yang berada di balik ayat misteri itu.
Adalah ketika ayat itu diasumsikan sebagai salah satu referensi akan kesucian al-Quran. Saya ulangi lagi: sebagai dalil mengenai kesucian Quran yang beranjak darinya semua yang ingin memegangnya harus dalam keadaan suci. Hal itu ada karena tersurat di dalam ayatnya lafadz al-mutahharun yang artinya orang-orang yang bersih dan suci. Dan jika itu dimasukkan dalam kalimat yang ada, maka arti termudahnya adalah: yang boleh menyentuh Quran—jika diasumsikan Quran—hanyalah orang-orang yang suci. Dengan demikian, dalam paragraf ini, itu tidaklah salah, semua masih baik-baik saja dan masih bisa diterima tanpa harus memikirkan unsur eksternal lainnya.
Akan tetapi, jika kita sedikit meluangkan waktu kita untuk merenungkunnya, maka hasilnya pasti berbeda. Ada sesuatu yang tidak beres di dalamnya, yaitu tentang kapan Quran diturunkan dan kapan Quran dibukukan. Hal itu memunculkan tanya: Bagaimana nasib ayat ini selama sekian tahun—mulai masa Abu Bakar sampai akhir pemerintahan Umar—ketika Quran belum dibukukan? Apakah mungkin jika kelompok muslim diharuskan untuk suci dalam memegang Quran, tetapi wujud Quran sendiri belum ada. Dan di titik inilah ayat itu masih perlu banyak penyembuhan asumsi.
Dari beberapa literatur tafsir-tafsir klasik yang pernah saya dengar dari dosen saya kemarin, ayat itu diasumsikan kembali kepada Quran yang berada dalam lauh almahfudz, namun, lagi-lagi pendapat itu masih agak sakit karena tidak bisa diterima oleh kalangan awam kebanyakan. Jika itu dikata adalah wujud Quran yang berada jauh di sana, ada dua keganjilan. Pertama, siapakah yang bisa dan akan menyentuhnya? Kedua, jika yang dimaksud itu adalah Quran yang di sana, bagaimana nasib Quran yang sekarang ada di tangan-tangan kebanyakan muslim dunia? Apakah masih berlaku penerapan keharusan suci ketika menyentuhnya? Entahlah. Satu PR lagi buat saya.
Selain itu, ketika memang ada beberapa pendapat yang menyimpulkan, bahwa seiring terbukukannya Quran, maka rujukan ayat tersebut juga berubah dan beralih kepada Quran yang ada sekarang, masih sajalah ada satu ketidaknyamanan dalam benak saya. Itu adalah tentang: kapan Quran mulai menjadi sakral dan suci seperti sekarang? Apakah ketika kali pertama terbit langsung begini adanya? Dan mengenai jawaban akan itu, saya teringat beberapa buku yang pernah dikutip oleh teman-teman ketika diskusi kemarin. Dari situ, ada sedikit pengetahuan yang saya dapat, yakni mengenai proses kanunisasi Injil. Ternyata, dalam Kristen ada momen waktu Injil disakralkan. Jadi, salah satu kitab yang wajib dipercayai kelompok muslim ini ternyata tidak langsung sakral sebagaimanan sekarang, tetapi ada proses dan bertepi kepada satu waktu ketika salah satu pemuka Kristen—saya lupa namanya—menyakralkan Injil.

Pada akhirnya, mengetahui dalam Injil pun ada proses kanunisasi, apakah dalam Quran ada proses tersebut, toh dari semua paragraf di awal tadi, banyak sekali keganjilan-keganjilan mengenai satu ayat yang diklaim sebagai salah satunya basis disucikannya Quran. Entahlah. Zev291113

Minggu, 24 November 2013

Satu-Satunya yang Pasti Adalah Ketidakpastian


Saya ulangi satu kali lagi: satu-satunya yang pasti adalah ketidakpastian. Iya, pasti sudah jamak diketahui bahwa satu ungkapan tersebut adalah salah satu ide Einsten jika dibahasakan dalam B. Indonesia. Insipirasi untuk menulis catatan ada ketika  saya membaca novel 5 CM, entah siapa pengarangnya saya lupa namanya.
Dirasa atau tidak, masih berhubungan dengan ketidakpastian, salah satu keadaan terbaik dalam kehidupan ini adalah ketidakpastian. Mengapa? Pertama, karena tanpa keadaan seperti itu, manusia akan sangat sulit untuk berterima kasih dengan apapun yang telah dia miliki. Dalam hal umur misalnya, ketika manusia sudah mengetahui di umur yang keberapa dia meninggal, maka kemungkinan terbesar yang akan dilakukan manusia tersebut adalah berfoya-foya di 80% hidupnya dan baru ketika kurang 2 tahun dia meninggal, dia berlomba-lomba dalam kebaikan. Hal itu bisa dibayangkan, bagaimana jadinya dunia ini jika semua manusia dalam 80% hidupnya bertindak semaunya tanpa adanya sesuatu yang dia takuti, toh mayoritas penduduk dunia adalah orang-orang yang beragama.[1] Selain itu, contoh lainnya adalah tentang bukti empiris dari orang-orang yang pernah naik kapal laut. Andaikan kapal tersebut berjalan dengan sangat tenang, bisa dipastikan semua penumpang yang berada di dalamnya akan santai dan cenderung tidak berterima kasih akan keadaan nyaman tersebut. Akan tetapi jika kapal itu berjalan berkeok-keok terkena ombak yang cukup besar, maka kemungkinan terbanyaknya para penumpang akan khawatir dan cenderung berharap kepada suatu dzat menurut keyakinannya masing-masing. Orang-orang yang tak percaya akan Tuhan pun pasti akan turut berharap. Dengan demikian, satu hal lagi yang diyakini bisa membuat kepribadian seseorang menjadi baik dan taat adalah ketidakpastian. Bagaimanapun juga keadaan yang selama ini sering dipandang labil memiliki potensi yang luar biasa.
Kedua, yaitu tentang jodoh, bisa dibayangkan jika semua orang sudah mengetahui siapa jodohnya, maka kenyataan yang ada saat ini pasti akan jauh berbeda. Seseorang pasti akan enggan untuk berlomba-lomba menghiasi dirinya sebaik mungkin demi jodohnya, jika dia sudah tahu siapakah jodohnya. Bahkan dia akan cenderung mempermainkan banyak hati dari lawan jenisnya. Disepakati atau tidak, pemandangan yang mulai pupus tentang usaha-usaha tertentu yang dilakukan beberapa manusia untuk menghiasi dirinya demi jodohnya kelak karena keyakinannya adalah suatu pemandangan yang akan sangat dirindukan oleh dunia. Dan hanya dengan satu ketidakpastian ini, boleh jadi budaya tersebut masih akan eksis untuk bertahun-tahun berikutnya.
Ketiga, rezeki. Hal ini tidak berbeda jauh dengan paragraf-paragraf sebelumnya, hanya saja berbeda orientasi. Dalam hal ini, jika rezeki setiap orang sudah pasti dan yang bersangkutan telah mengetahuinya, maka kemungkinan terbaik yang akan terjadi adalah kemalasan manusia untuk bekerja. Bisa dispekulasikan, bagaimana rasanya kehidupan ini kalau tidak ada satu pun orang yang rajin berangkat bekerja di setiap paginya, tiada lagi para sopir trans yang menyetir pagi-pagi, dan tiada lagi toko-toko yang mau buka 24 jam. Dan keadaan seperti itu akan benar-benar terjadi jika ketidakpastian akan rezeki itu tidak ada.
Masih berkenaan dengan itu, di wilayah peribadatan, ternyata kepastian yang selama ini dipandang baku, menurut saya masihlah akan menemui titik ketidakpastian. Adalah tentang 6 rakaatnya sholat ashar. Hal tersebut akan sesuai dengan jumlahnya jika dilakukan sesuai waktu yang dianjurkan oleh ulama ahli fikih, tetapi jika dilakukan selepas 2 jam dari waktu adzan, maka kurang tepat juga jika sholat Ashar dilakukan 6 rakaat. Dan apakah itu masih dinamakan sebuah kepastian? Saya kira tidak.
Dengan demikian, apa yang pernah diidekan Einsten beberapa tahun silam, masih belum bisa dibantah, meski dalam ranah religi-peribadatannya sebuah agama.zev241113







[1] Ippo,”Tujuh Keajaiban Rezeki” dalam seminarnya, 2012.

Sabtu, 23 November 2013

Mengapa Saya Seperti Ini Sekarang, Mengapa Saya di Sini Sekarang, dan Mengapa Saya Tidak Mengerti Sekarang (Kegelisahan Saya dan Kegelisahan Karl Marx)

Ketiga pertanyaan di atas spontan muncul dalam benak saya selepas sholat dluha. Dan hal itu bukan untuk kali pertamanya ini. Sering, hal-hal seperti itu menyelimuti hati dan perasaan saya. Selain ketiga hal di atas masih banyak perincian sesuatu lain yang sampai saat ini masih menggantung dalam benak. Beberapa darinya adalah tentang keadaan saya sekarang: mengapa saya dilahirkan dari kedua orang tua yang sekarang saya miliki? Mengapa tidak dilahirkan dari orang tua lain? Mengapa saya dilahirkan di Tuban dengan lingkungannya yang bersosial tinggi—daripada daerah Surabaya dan sekitarnya—dan mengapa pula sekarang saya terlempar di sini, di Jogjakarta? Entahlah.

Masih mengenai tanda tanya itu, saya berfikir: saya juga tidak pernah menginginkan semua itu, saya tidak mempunyai rencana ataupun sebagainya. Lantas, siapakah yang menginginkan dan merencanakan sesuatu ini? Dan jawaban yang paling tepat tentang itu—untuk sekarang—hanyalah tertuju kepada suatu dzat yang dalam agama saya saat ini, itu disebut sebagai Allah. Iya, Allah, Tuhannya Orang-orang Islam, Yahudi, Kristen, dan Nasrani.

Sebelum saya mencatat lebih lanjut, saya masih ingin mempertanyakan beberapa hal terkait. Itu adalah mengenai tujuan dari semua keinginan yang bukan milik saya di atas. Jika memang benar itu adalah keinginan dari-Nya, maka tiadanya tujuan akan hal itu adalah sebuah ketidakmungkinan. Semuanya pasti memiliki tujuan. Dan tujuan itulah yang membuat saya untuk berfikir kali keduanya.
Tujuan tersebut sangatlah abstrak, seabstrak hari-hari yang akan kita jalani besok setelah kematian. Dan dari ini, jika kita menggunakan salah satu metodologi dalam ushul fiqh—Qiyas—maka keduanya ber-core sama, yaitu ketiadaannya adalah ketidakmungkinan. Keabstrakan hari-hari setelah kematian sejajar dengan abstraknya tujuan Tuhan tentang persoalan-persoalan tersebut. Persoalan-persoalan tadi memiliki tujuan dan itu ada. Sehingga adanya hari-hari paska kematian itu bukanlah ketidakmungkinan, tetapi kepastian.

di wilayah lain, hal ini telah memberikan saya satu alasan lagi: mengapa saya harus tidak sepakat dengan pemikiran Marx tentang hari setelah kematian. Bagaimanapun juga, hari-hari itu layak untuk kita pikirkan demi kita sendiri dan itu bukanlah sebuah kesia-siaan ataupun ilusi belaka sebagaimana yang Mark tulis. Seperti halnya, kita perlu menghapus kegelisahan-kegelisahan yang timbul dari pertanyaan-pertanyaan di awal tadi dengan selalu memandang optimis dan positif tentang apapun tujuan yang akan tertulis untuk kita. Sehingga dengan memikirkan itu, semuanya menjadi jelas alasannya: mengapa kita lahir dari orangtua kita yang sekarang? Mengapa kita harus lahir di suatu daerah yang kita tidak pernah memiliki kesempatan untuk menentukannya? Dan mengapa kita seperti ini sekarang?


Pada akhirnya, sebuah hipotesis bisa ditulis bahwa pemimpinnya para pemimpin hidup bukan tanpa satu pemimpin tertinggi. Pemimpinnya para pemimpin dunia juga membutuhkan satu pemimpin yang mampu untuk menjawab semua persoalan-persoalan dalam hidupnya, termasuk beberapa persoalan di paragraf pertama tadi. Dengan demikian, saya mengatakan: baik dengan atau tanpa suatu institusi keagamaan, satu pemimpin tertinggi itu—Tuhan—pasti ada. zev241113