Budhisme adalah suatu sistem budaya
yang kali pertamanya digagas oleh Sidharta Gautama di India. Selain sebagai
sistem budaya, Budhisme juga sering disebut sebagai filsafat dan agama yang
tidak memiliki Tuhan. Ajaran-ajaran Budhisme yang begitu filosofis menjadi
salah satu alasan mengapa dia disebut sebagai filsafat. Sedangkan ajarannya
yang lebih menekankan pada sisi praksis merupakan salah satu alasan mengapa dia
disebut sebagai agama yang tidak memiliki Tuhan.
Sidharta Gautama, sebagai pendiri
tunggal Budhisme terlahir di masa pemberontakan. Masa pemberontakan di sini
yang dimaksud adalah masa pemberontakan terhadap ajaran Hindu dalam periodesasinya.
Selain tradisi Hindu, ketika itu juga berkembang tradisi yang sering disebut
sebagai Jainisme. Tradisi Hindu yang membumi ketika itu adalah sistem kasta dan
praktek otoriterianismenya, sedangkan dari Jainisme adalah praktek melukai diri
sendiri demi mensucikan jiwa. Mengetahui beberapa hal tersebut, Sidharta
Gautama merasa resah. Sehingga, itulah salah satu alasan mengapa dia melahirkan
suatu sistem budaya yang berbeda dari Jainisme dan Hinduisme.
Dalam ceritanya yang lebih detail,
Sidharta Gautama adalah salah satu putra raja yang sejak kecil hanya tinggal
dalam kerajaan. Sedari kecil, dia tidak diperbolehkan ayahnya untuk keluar dari
istana. Selain tidak diperkenankan untuk keluar, dia juga selalu dijaga agar
tidak melihat hal-hal yang jelek dan menyedihkan, seperti orang yang tua, sakit
ataupun meninggal. Pendek kata, dia sangat dijaga oleh ayahnya agar hatinya
selalu terjaga dari hal-hal yang buruk. Bagi ayahnya, mati, sakit, tua, dan
semacamnya adalah hal-hal yang buruk, hingga dia dilarang untuk mengetahuinya. Dia
dijaga dengan begitu ketatnya karena menurut ayahnya, Sidharta adalah
satu-satunya putra yang memiliki hati yang begitu lembut.
Akan tetapi, meski usai dijaga dengan
begitu ketatnya, ternyata Sidharta tidak tinggal diam dan duduk manis di
istananya saja. Dia sering mencuri-curi waktu untuk pergi keluar istana tanpa
sepengetahuan ayahnya. Dengan bantuan yang diberikan oleh orang-orang
kepercayaannya, dia sering berhasil melakukan aksinya tersebut.
Ketika
berada di luar istana ada banyak sekali hal baru yang sebelumnya tidak pernah
dia lihat. Dan dari semua itu, ada empat hal yang begitu meresahkan Sidharta,
yaitu ketika dia melihat orang yang tua, sakit, mati, dan orang yang bertapa
dengan begitu tenang. Keempat hal tersebut begitu mengagetkan Sidharta karena
memang selama di istana, ayahnya selalu menjauhkan dia dari orang-orang yang
sakit, tua, dan mati. Setiap kali ada pengawal yang sudah tua, segera dia
diganti yang muda, begitu juga untuk dua hal berikutnya. Dari orang-orang yang
tua, sakit, dan mati, Sidharta menyimpulkan bahwa kehidupan itu sangat tidak
menyenangkan. Sedangkan dari orang yang bertapa, dia menemukan hal yang berbeda
dengan kesimpulan sebelumnya. Pastinya, sudah diketahui bahwa manusia pasti akan
tua, sakit, dan mati, tetapi mengapa orang yang bertapa ini sama sekali tidak
bersedih hati. Kira-kira itulah yang diresahkan Sidharta dengan orang yang
keempat tersebut, sehingga dia menyimpulkan bahwa masihlah ada cara untuk
menjadikan hidup ini menyenangkan.
Selanjutnya,
dari penyelinapan tersebut, Sidharta selalu terjebak dalam
pemikiran-pemikirannya yang begitu meresahkan. Dan akhirnya, dia memutuskan
untuk meninggalkan istananya demi menjawab segala keresahannya tersebut.
Sidharta memutuskan untuk bertapa di bawah salah satu pohon yang sering disebut
sebagai pohon bodhi selama enam tahun.
Corak
Kehidupan
Dalam Budhisme, kehidupan
dipandang sebagai sesuatu yang sama sekali tidak memiliki hakikat. Sebab
kehidupan adalah suatu objek pandangan, yaitu pandangan dari manusia selaku
pemilik kehidupan. Bagaimana bentuk kehidupan itu sepenuhnya tergantung kepada
mereka. Kalau seseorang memutuskan untuk memilih racun, maka kehidupan baginya
adalah kesedihan, begitu juga sebaliknya. Sebagai dampaknya, istilah “jiwa
manusia adalah bagian dari Tuhan” itu tidak bisa dibenarkan sepenuhnya. Seperti
apakah jiwa seseorang tergantung pada bagaimana dia bertindak, bukan terbentuk
secara otoriter sebagai bagian dari Tuhan yang selalu baik. Lebih lanjut, di
wilayah lain, itu juga akan mengarah pada kesimpulan bahwa tidak ada istilah
“sebenarnya hakikat manusia itu baik”. Artinya, secara prinsip, manusia itu
tidak memiliki hakikat yang mendasarinya.
Dari sudut lain, sebenarnya, kehidupan
adalah sesuatu yang sementara dan menderita. Kehidupan adalah sesuatu yang
sementara karena memang setiap manusia memiliki batas hidup tertentu kemudian
dilanjutkan oleh generasi penerusnya. Akan tetapi, meski demikian,
kesementaraan hidup selalu tersamarkan dengan adanya kesinambungan. Dengan lain
ucapan, proses regenerasi yang selalu berlangsung—untuk tidak menyebut proses
pergantian—itu secara tidak langsung usai menyamarkan corak kehidupan yang
sebenarnya hanya sementara menjadi seakan-akan kekal. Sedangkan dikatakan
sebagai penderitaan sebab tidak bisa dipungkiri kalau dalam setiap kehidupan
pasti ada masalah. Namun, hal tersebut sering tersamarkan dengan kepura-puraan.
Adanya istilah “masalah adalah sumber dari perdaban atau ketegangan adalah
basis akan kehendak” tidak lain merupakan salah satu bukti betapa
berpura-puranya manusia guna menyamarkan penderitaan dalam hidup. Kira-kira
itu.
Kritik
terhadap Hinduisme
Ada beberapa hal yang begitu
diresahakn Sidharta Gautama pada ajaran Hindu. Adalah otoriterianisme Kitab
Vedha, sistem kasta, politeisme Hindu, dan kependetaan. Pertama,
sebagaimana Budha menolak adanya status jiwa manusia sebagai bagian dari Tuhan,
Budha juga memandang bahwa Vedha—selaku kitab suci Hinduisme—hanyalah peta yang
diperuntukkan pada manusia guna menuntun mereka agar tidak terseseat. Antara
peta dan perjalanan atau laku yang lebih penting bukanlah peta, tetapi
perjalanan atau laku. Sehingga, sungguh hal yang lucu jika yang ditinggikan
adalah kitabnya, bukan lakunya. Pendek kata, dalam suatu kehidupan, seharusnya
yang perlu dipentingkan bukan kitab suci, tetapi perjalanan atas kehidupan itu
sendiri.
Kedua, itu merupakan salah satu
bukti bahwa Budha begitu mendukung kesetaraan. Dalam Budha, semua manusia
dipandang sama, tidak ada istilah kelompok kaya, miskin ataupun lainnya. Ketiga,
adalah kritik Budha atas ajaran Hindu yang memiliki banyak sekali Tuhan.
Sidharta Gauatama tidak mengakui adanya tuhan-tuhan tersebut dan bahkan dia
sama sekalit tidak pernah mengatakan Tuhan dalam satupun ajarannya. Secara
implisit, ini merupakan salah satu indikasi bahwa memang Budha layak disebut
sebagai agama yang tidak memiliki Tuhan. Keempat, adalah keresahan Budha
atas pola hidup para pendeta Hindu ketika itu yang cenderung glamor.
Di wilayah lain, Sidharta Gautama juga
menolak beberapa ajaran Budha, yaitu moksa, yoga, dan asketisme Hindu. Bagi
Budha, moksa bukanlah solusi yang masuk akal untuk terlepas dari siklus
penderitaan hidup atau reinkarnasi. Justru, itu adalah tindakan untuk lari dari
kenyataannya sebagai manusia dan di waktu yang sama juga lari dari
masalah—masalah ada untuk diselesaikan bukan untuk ditinggal kabur. Selanjutnya
adalah yoga, bagi Budha itu hanyalah sesuatu yang hanya memberikan
kebahagiaan sesaat. Apa yang dihasilkan oleh yoga tidak bisa bertahan lama.
Sedangkan untuk asketisme, itu adalah ritual penyiksaan diri guna
menyucikan jiwa. Budha menolak hal tersebut karena asketisme sangat
bertentangan dengan prinsip-prinsip kemanusiaan.
Konsep
surga dan cara mendapatkannya
Ada yang berbeda mengenai
konsep surga di Budha. Dalam ajaran mainstream, surga merupakan suatu tempat
indah yang ada setelah kematian atau ada di wilayah transenden. Akan tetapi,
dalam Budha, surga itu sudah bisa dirasakan oleh seseorang meski dia masih
hidup. Adapun batasan seorang yang masih hidup dan bisa masuk surga adalah
ketika seorang tadi usai tidak memiliki keinginan sama sekali. Dengan ucapan
lain, salah satu cara efektif untuk masuk surga adalah dengan menghentikan
keinginan. Dengan demikian, seseorang telah bisa menghentikan keinginannya,
maka di waktu yang sama dia usai masuk surga. Para pemeluk Budha menyebutnya
sebagai nirvana.
Selain dengan menghentikan keinginan,
untuk mendapatkan nirvana, seseorang juga harus memahami dukka dan samudaya. Dukka
adalah konsep tentang klasifikasi penderitaan. Dalam budha, penderitaan
memiliki tiga tingkat. Tingkat pertama adalah tingkat yang paling dasar, yaitu
derita akibat sakit-sakit kecil seperti sakit gigi, panas, flu, dan sebagainya.
Tingkat kedua adalah tingkat menengah, yaitu derita sebab menjadi tua. Sedangkan
yang ketiga adalah tingkat tinggi, yaitu derita karena menjadi manusia. Menjadi
manusia dikatakan derita sebab hanya manusialah yang merasakan kecewa, sakit
hati, putus asa, selalu ingin dihargai, dan sebagainya.
Satu-satunya yang menyebabkan adanya
tingkatan penderitaan di atas adalah samudaya. Secara tidak langsung,
samudaya mengindikasikan bahwa pemegang kehidupan—dalam arti untuk
menjadikannya senang atau sedih—adalah manusia. Saat manusia bisa mengontrol
dirinya, maka penderitaan tersebut tidak akan pernah terjadi. Adapun dua hal
yang paling penting untuk dikontrol dalam diri manusia adalah tanha dan avija.
Tanha mewakili sifat manusia yang selalu ingin dan ingin. Ini juga bisa
disebut sebagai hasrat yang pasti dimiliki manusia. Diterima atau tidak,
sebenarnya sumber penderitaan manusia itu terletak pada seberapa banyak dia
berkeinginan. Semakin dia banyak keinginan, semakin banyak pula dia kecewa. Sedangkan
avija merupakan bentuk kebodohan manusia. Tidak bisa dipungkiri, salah
satu hal asasi yang sangat berpotensi untuk menimbulkan derita adalah
kebodohan. Dengan kebodohan seseorang selamanya tidak akan pernah memahami
dukka dan apa yang seharusnya dia lakukan sebagai manusia. Dengan demikian,
saat seseorang berhasil mengontrol dua hal tersebut atau mengontrol samudaya,
maka dia akan mudah untuk mendapatkan Nirvana.