Ada
tiga pertanyaan yang membuat saya menulis catatan ini, yaitu: apa guna kita
menggembor-gemborkan untuk bersama-sama memanjatkan doa awal dan akhir tahun baru
Hijiriyah, kalau untuk mencuci piring sehabis makan saja tidak mau, untuk
membersihkan kamar mandi seminggu sekali saja tidak mau, bahkan untuk sekedar
mem buang abu dan bekas rokok di asbak saja tidak mau. Apakah Islam agama
harapan saja? Ataukah sebatas agama ritual? Sebenarnya pemahamanku akan islam
yang salah atau mereka? Atau justru Islamlah yang jahat? Waktu saya tersita 16
jam untuk merenungkan efek dari semua tanda Tanya itu.
Dalam
satu hal, Islam itu memang sangat subjektif: tergantung pikiran masing-masing
pemeluknya. Saya mengutip pendapatnya Bapak Afdawaiza mengenai salah satu
alasan golongan Tradisional dalam ranah Ushul Fiqh yang membantah teori
rasionya orang-orang Rasionalis. Bantahan itu cukup menggetarkan kaum
Rasionalis yang sebelumnya memandang bahwa akal itu sangat objektif. Dan dalam
hal ini saya mengamini pendapat kelompok yang pertama; akal manusia tidak
mungkin bisa objektif. Karena entitas
yang memiliki akal bukan hanya seorang, tetapi banyak orang. Sehingga dari
pluralnya pemilik akal tidak cocok jika semuanya bisa searah dan runtut. Pasti
di antara mereka ada perbedaan. Dan di titik inilah kaum tradisionalis unggul
1—0 daripada kaum Rasionalis.
Jika
saya sambungkan dengan paragraf pertama, meskipun Islam tergantung dari siapa
pemeluknya, maka setidaknya mereka tidak lupa dengan konsekuensi dari
subjektifitas islam mereka. Dan tadi sore ketika teman-teman mengajak rada
memaksa saya untuk doa bersama awal dan akhir tahun; saya berfikir sejenak:
apakah dengan sekedar doa bersama suasana rumah yang berantakan ini akan bersih
dengan sendirinya. Selanjutnya pertanyaan-pertanyaan susulan satu-persatu
menggerebek pikiran saya (seperti di paragraph pertama). Hal itu tidak akan
terjadi, andai mereka bertanggung jawab dengan Islam yang telah mereka pilih
sendiri, dalam arti, di samping mereka hanya berharap mereka bertindak, mereka
tidak enggan untuk membersihkan rumah, kamar mandi, membuang abu dan bekas
rokok di tempatnya, dan sekedar mencuci piring selepas makan karena hanya
dengan itulah Islam mereka bisa menjadi Islam yang bermanfaat untuk orang lain:
rohmatan lil alamin. Sekali lagi saya katakan: setiap kita memilih islam
kita sendiri, di dalamnya ada konsekuensi logis tempat kita bisa melihat islam
yang paling benar di antara Islam saya, Islam dia, Islam mereka, Islam kita,
dan Islam kamu. Saya menyebut ini sebagai konsekuensi ekspresi.
Dengan
demikian, saya bisa menyimpulkan: dalam kehidupan kecil saya dengan teman-teman
yang seagama saja, keegoisan dalam beragama sangat berpotensi memicu adanya
konflik. Seakan Islam sangat jahat karena telah memaksa seseorang untuk taat
kepadanya dan melupakan wilayah lainnya tempat seorang tadi bisa membuat nyaman
orang-orang di sekitarnya. Padahal Islam bukanlah demikian. Ketika saya
berbicara tentang Islam saya, Islam kamu, Islam dia, Islam kita dan Islam
mereka, maka itu bukan saatnya untuk membahas seberapa dalam kita berbuat
baik kepada Tuhan, namun seberapa banyak kita berbuat baik kepada sesama. Dan
saya berharap melalui zona kecil ini, miniatur Islam yang menebar senyum bisa
membumi di antara saya, dia, dan mereka. Zev051113
Tidak ada komentar:
Posting Komentar