5 jam perjalanan yang melelahkan
dari stasiun Lempuyangan Jogjakarta hingga stasiun Gubeng Surabaya seakan tidak
bisa memupuskan rasa bahagia saya bertemu dengan teman-teman saya di pondok
Mambaus Sholihin. Saya merasa begitu berharga di mata mereka. Sofyan, teman
yang sudah lama menemani saya ketika di pesantren, memanggil semua teman yang
available untuk sejenak melihat bagaimana saya saat ini. Saya juga dipaksa
dengan hormat untuk mengisi sesuatu di kelas lama saya, TH Inkafa. Keadaan yang
sangat tidak sesuai dengan janji saya silam saat dengan dera saya berhadapan
dengan kebijakan-kebijakan pesantren yang saya tidak tahu apakah itu
terbelakang atau terdepan.
Dan di waktu yang sama, saya
terjebak razia alat-alat elektronik yang digalakkan dari pihak eksternal
kampus. Potret yang bagi mereka sangat cerah itu kembali membuat saya memutar
pola pikir saya 4 bulan silam. Di tengah-tengah kebahagiaan saya bisa melepas
rindu dengan nama-nama yang sampai sekarang saya kagumi, razia oleh pihak
pesantren itu menghentikannya dengan alasan yang bagi mereka adalah sebuah
keharusan. Dengan berpesantren saya harus mengorbankan kebahagiaan saya
berkumpul, berbaur, dan berpositif dengan teman-teman lama saya. Sehingga di
akhir momen ketika saya harus meninggalkan kelas secara tiba-tiba, terbesit
dalam benak saya: apakah dengan menjadi santri saya harus mengorbankan semua
yang bisa membahagiakan. Entahlah.
Dari, kejadian itu, saya kembali
berpikir tentang pesantren ini. Pesantren yang diidamkan menurut beberapa
peneliti mancanegara yang tertulis jelas dalam bukunya Kuntowijoyo, Paradigma
Islam, dan menurut Bapak Marzuki salah satu tokoh penting pergerakan kaum
pesantren di Jogjakarta adalah pesantren yang yang masih benar-benar pesantren.
Pesantren dimaksud adalah pesantren salaf. Hal itu bermaksud mengeluarkan
kata-kata institut, sekolah tinggi, universitas, sekolah formal dan lainnya.
Dengan demikian, menurut paragraf ini pesantren Mambaus Sholihin tidak termasuk
di dalamnya, Mambaus Sholihin tidak termasuk dalam daftar pesantren idaman
masyarakat Internasional yang sangat diharapkan geraknya dalam mengatasi
permasalahan zaman.
Kembali pada konteks pertama,
bagi saya tidak masalah Mambaus Sholihin begitu adanya, tidak masalah jika Mambaus
Sholihin me-mix semua kelebihan pesantren lainnya menjadi satu tatanan
tersempurna MBS, tidak masalah salaf dan modern berbaur menjadi satu di dalam
naungannya, tetapi satu hal yang perlu diperhatikan, yaitu konsekuensi. Efek
paling logis jika seseorang menggunakan LPG adalah ledakan yang mematikan jika
terjadi sedikit kesalahan saja, begitu juga dengan pengadaan Institut di
Mambaus Sholihin. Jika itu sudah berani
didirikan, maka konsekuensi paling ringannya adalah diperbolehkannya alat-alat
yang mendukung kehidupan kampus di dalamnya. Akan tetapi, saya tidak menemukan
bentuk konsekuensi itu. Sehingga, saya membahasakan mereka itu tidak bertanggung
jawab, mereka mencuri madu dari lebah yang tidak ingin madunya dicuri. Semua
itu akan terlihat ideal jika di dalam kampus yang sudah mereka dirikan sendiri
itu ada sedikit kebebasan untuk mengenal lebih dalam tentang teknologi,
mengenal kemajuan pemikiran tokoh terkini, mengenal bagaimana kehidupan kampus
yang ideal, dan satu lagi: tidak ada razia.
Dalam konteks minimum, minimal
ada pembedaan wilayah dalam pesantren. Antara dunia salaf yang dianut pesantren
dengan dunia kampus yang digalakkan pesantren harus ada dinding pembeda.
Larangan untuk tidak terlibat sama sekali dengan tekonolgi harus ditempatkan sesuai
dengan tempatnya, yaitu wilayah pesantren. Sedangkan untuk wilayah kampus
larangan itu tidak seharusnya ada. saya masih ingat dengan jelas bagaimana saya
dulu diajari tentang adil dari berbagai literatur klasik oleh guru-guru yang
tidak diragukan lagi keilmuannya, tetapi mengapa dalam implementasinya semua
itu seakan diam? Bukannya salah satu poin penting dari semua ceramah yang
disampaikan setiap minggu tidak pernah keluar dari permasalahan ilmu yang
bermanfaat? Entahlah, pastinya pihak-pihak yang bersangkutan lebih mengerti
tentang bagaimana menempatkan sesuatu pada tempatnya dan bagaimana harus
menerima konsekuensi dari setiap gerakannya.
Bersinambung dengan itu, masih
segar dalam ingatan saya tentang apa yang pernah disimpulkan Bapak Grunebeum:
apakah dengan menjadi islam kita harus mengorbankan kebahagiaan dengan sesama
yang sudah lama ada. Dan saya kira kejadian kemarin itu sangat sesuai dengan
kesimpulan tersebut. Dari potret itu, islam melalui pesantren ini tampak kejam
dengan berbagai kebijaksanaannya. Kebijaksanaan yang bagi Grunebeum malah akan
menghilangakn status islam sebagai agama dan menghilangkan status Mambaus
Sholihin sebagai pesantren.
Pesantren lahir tidak lain adalah
untuk menjawab kegelisahan masyarakat umum yang sudah menggejala. Hal itu
membutuhkan kader-kader yang pastinya harus paham betul tentang gejala dalam
masyarakat bahkan harus terlibat. Dengan demikian, alangkah lebih baiknya jika
pesantren lebih fokus kepada hal tersebut, bukan kepada semua kebijakan
internalnya. Toh apakah dengan keadaan yang bagi saya terlalu itu akan membawa
kepada penyelesaian masalah-masalah kemasyarakatan? Saya kira tidak, karena
objek utama kita adalah masyarakat umum bukan masyarakat pesantren. Saya ulangi
sekali lagi: masyarakat umum bukan masyarakat pesantren. Mambaus Sholihin harus
dijadikan pesantren yang pesantren. Zev311013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar