Satu kalimat simpel
yang sampai sekarang masih saya ingat dari Bapak Muhdlir: saya memperbolehkan
pacaran, tetapi saya mencegah maksiat. Jika dipikir sedikit objektif, hal itu
bukan hanya mungkin tapi sangat mungkin. Pacaran tidak diperbolehkan karena
ditakutkan yang bersangkutan tidak bisa menahan diri dan lepas kendali,
maksiat. Akan tetapi jika seseorang bisa menahan diri dari maksiat atau
berhubungan badan, maka pacaran bukanlah larangan. Dengan demikian, berbasis
alasan itu saya sepakat dengan pendapat beliau.
Namun, satu hal yang
saya kurang sependapat, bukan karena pemikiran beliau, namun pembahasaan beliau.
Adalah tentang basis beliau yang mengutip ayat-ayat Yusuf dalam surat Yusuf.
Beliau dengan sangat yakin menyimpulkan—entah secara bebas atau terbatas—bahwa
pacaran pranikah itu diperbolehkan dalam Islam dengan mengutip ayat yang
menjelaskan tentang betapa menggebunya Zulaikho maupun Yusuf dengan cintanya
masing-masing. Zulaikho mencintai Yusuf, Yusuf pun mencintai Zulaikho. Keduanya
saling mencintai. Dan jika ada sebuah cinta yang telah menyangkutkan dua hati,
pasti sebelumnya mereka sudah mengalami momen-momen tertentu—beliau menyebutnya
proses—dan di titik inilah, saya memandangnya beliau mulai yakin kalau mereka
pasti berpacaran. Yusuf mencintai wanita yang sudah bersuami dengan tanpa
satupun teguran didapat dan sayangnya, Zulaikho juga mencintainya.
Selain itu, di ayat
sebelumnya (12:23) yang tertulis—dan Zulaikho menutup pintu-pintu—jika dipahami
lebih dalam, potongan ayat tersebut ada bukan tanpa alasan. Konteks menutup
pintu itu bergaul akrab dengan konteks ajakan. Jadi, secara tersirat ayat
tersebut menggambarkan sebuah proses ajakan terlebih dulu sebelum puncak momen
terjadi. Dan ternyata kenyataannya, Yusuf menerima ajakan tersebut—boleh jadi
inilah salah satu bukti kalau mereka telah berproses lama dalam memupuk cintanya—dan
zulaikho menutup semua pintunya. Dengan demikian, jika memang di antara mereka
belum pernah ada momen-momen yang mengawali, boleh jadi potongan ayat tersebut
tidak akan pernah ada.
Dari semua paragraf
di atas, satu hal yang bagi saya kurang tepat. Namun untuk kali kesekiannya
saya masih buta: apakah yang tidak tepat ungkapan Bapak Muhdlir atau teman-teman
sekelas saya? entahlah, yang pasti, dalam pandangan saya, sebenarnya yang lebih
cocok itu adalah Mencintai secara menggebu itu tidak dilarang dalam Islam.
Seseorang bisa mencintai dengan sangat karena salah satu alasannya adalah
adanya respon positif dari seseorang yang dicintainya. Begitu juga dengan
Yusuf, Yusuf dikata menggebu karena dia mengetahui kalau Zulaikho juga
mencintainya. Dan mengenai redaksi kata yang dipakai Bapak Muhdlir, saya kira
itu juga sudah tepat. Pacaran dalam KBBI tidak mengandung satupun arti yang
bergaul dengan maksiat. Dengan demikian, Hipotesis saya: titik perbedaan
pandangan Bapak Muhdlir dengan teman-teman saya adalah hanya berkutat pada
bagaimana mereka memandang arti sebuah pacaran. Pacaran dalam Islam
diperbolehkan kok, not as taaruf but as something else.zev121113
Tidak ada komentar:
Posting Komentar