Minggu, 19 Oktober 2014

Hermeneutika Hans Georg Gadamer: Aliran Objektivis Cum Subjektivis




          Sebagaimana diketahui bersama, dalam hermeneutika Modern dikenal tiga aliran besar, yaitu Objektifis, Subjektifis, dan Subjektif Cum Objektif. Jika dikaitkan dengan segitiga hermeneutika yang terdiri Author, Teks, dan Reader, maka hermeneutika aliran Subjektif Cum Objektif ini terletak di posisi teks. Artinya, hermeneutika aliran ini cenderung ke teks atau posisi netral antara objektif dan subjektif. Sedangkan untuk Objektifis cenderung ke Author dan Subjektifis ke Reader. Hermeneutika aliran ini berusaha menengahi ketegangan kedua aliran hermeneutika sebelumnya.
          Sebenarnya, dalam pembahasan ini, ada dua tokoh yang paling bertanggung jawab: Gadamer dan Gracia. Keduanya ditempatkan di posisi tengah sebab kecenderungan mereka untuk menggabungkan dua hal yang berbeda: satu dari aliran Objektifis dan satu dari Sujektifis. Hal itu bisa dilihat dari pemikiran Gadamer tentang teori Penggabungan Horison yang dalam menganalisanya menggunakan metode Objektifis—analisa teks—sekaligus Subjektifis. Namun, untuk mempersingkat, pembahasan ini hanya akan membahas sekilas tentang Hermeneutika Gadamer.
Biografi singkat Gadamer
          Adalah Hans Georg Gadamer. Dia dilahirkan di Marburg pada 11 Februari 1900. Ayahnya adalah seorang dosen kimia di Universitas Marburg dan sempat juga menjadi rektor. Gadamer menempuh pendidikan dasar dan tumbuh besar di Breslau. Gadamer lebih tertarik kepada Ilmu Sosial Humaniora dari pada Ilmu Alam, meskipun dari Ayahnya sendiri sebenarnya tidak begitu menyetujui. Di tahapan selanjutnya, Gadamer memilih untuk kembali ke Marburg untuk belajar filsafat kepada filosof-filosof Neo-Kantian: Paul Natorp dn Nicolai Hartman. Di umur ke—22 Gadamer berhasil menyelesaikan Desertasinya.
          Tidak lama setelah itu, Gadamer memilih Freiburg sebagai kota selanjutnya untuk memperdalam filsafatnya. Kali ini, dia belajar pada Martin Heideger. Di sini dia bertemu dengan Hannah Arendt, Karl Lowith, dan Leo Strauss. Gadamer begitu tertarik dengan Heideger dan itu membuatnya dekat dengan Heideger. Sehingga pemikiran Gadamer banyak dipengaruhi oleh Heideger. Dan itu mengakibatkan Gadamer meninggalkan Neo-Kantinisme.
          Pada 1929 Gadamer diberi kesempatan untuk memberikan kuliah di Universitas Marburg setelah menyelesaikan Habilitation, ­sebuah penelitian paska doktor sebagai salah satu syarat profesor. Namun, hal tersebut tidak berlangsung lama. Pada 1939, Gadamer memutuskan untuk pindah ke Jerman barat—disebabkan ketidaknyamanannya atas nuansa politik dan akademis di Jerman Timur—tepatnya ke Leipzig sampai 1947, tetapi sebelumnya di tahun 1937, Gadamer sudah mendapatkan gelar profesornya.[1] Di tahun 1947 juga, dia pindah lagi ke Frankfurt. Dan yang terakhir, pada 1949, di pindah ke Heidelberg dan menutup hidupnya di sana pada 13 Maret 2002 di umurnya ke—102. Dia menulis karya yang paling berpengaruh dalam dunia filsafat modern, Truth And Method di Heidelberg pada tahun 1960.
Sekilas tentang teori-teori pokok Gadamer
       Berpijak pada bukunya, Truth and Method, poin-poin pemikiran Gadamer tentang Hermeneutika hanya berbicara tentang Hermeneutika sebagai Hermeneutika filosofis. Sebab dalam pandangannya terkait Hermeneutika, Gadamer tidak mengutip sedikitpun kata metode. Gadamer tidak berbicara metode dalam hermeneutikanya karena itu di mata Gadamer hermeneutika adalah sebuah filsafat. Sehingga ketika berbicara tentang filsafat, sudah tidak lagi berbicara metode. Dan menurutnya, biarlah ahli-ahli ilmu tertentu yang berbicara tentang metode. Pendek kata, karena hermeneutika adalah sebuah filsafat dan memiliki nilai-nilai filosofis, Gadamer sama sekali tidak menyinggung metode, namun hanya menggunakan kata teori.
          Teori-teori pokok hermeneutika Gadamer secara ringkas terbagi menjadi empat: kesadaran atas keterpengaruhan sejarah, teori prapemahaman, teori penggabungan horison, dan teori aplikasi. Keempat teori tersebut, bisa dikatakan bersifat hierarki. Artinya, teori pertama merupakan suatu keniscayaan bahwa setiap orang pasti memiliki sejarah, pengalaman, dan kenangan. Dan jika itu dikaitkan dengan penafsiran, maka tidak bisa tidak sejarah tersebut pasti mempengaruhi proses penafsiran dan inilah yang disebut sebagai teori kedua: teori prapemahaman. Kedua teori ini, tidak bisa dilepaskan. Sebelum seseorang memiliki prapemahaman, pasti dia sadar kalau dia memiliki sejarah atau—biasanya disebut—effective history.  
          Selanjutnya adalah teori penggabungan horison atau penggabungan wawasan. Horison di sini yang dimaksudkan adalah dua horisan, yaitu horison penafsir dan horison teks. Horison penafsir adalah prapemahaman penafsir yang setiap orang yang sadar akan effective historis pasti memilikinya. Sedangkan horison teks adalah pemahaman apa adanya teks sebelum dipahami si penafsir yang bersangkutan. Untuk menemukan makna apa adanya sebuah teks, Gadamer meminjam metode analisa bahasa dan sejarahnya Schleiermacher. Kemudian, setelah menemukan makna apa adanya sebuah teks, penafsir menggabungkan prapemahamannya dengan pemahaman teks yang apa adanya tadi dengan metode refleksi, salah satu metode yang digunakan dalam aliran Subjektifis. Dengan demikian, ketika keduanya sudah dikomunikasikan, maka lahirlah suatu pemahaman yang baru dan lebih segar menurut alirannya. Sebuah pemahaman hasil fusi antara apa yang sebenarnya diinginkan author dan apa yang dipandang lebih baik oleh seorang reader. Dan dari semua itu, wajar kalau aliran ini ditempatkan di posisi teks dalam segitiga hermeneutika.
          Terakhir, teori aplikasi. Teori aplikasi adalah langkah terakhir dari beberapa teori yang mendahuluinya. Sebagaimana namanya, teori ini hanya membicarakan tentang bagaimana seharusnya sebuah teks itu diaplikasikan. Atau bahasa lainnya adalah dari pemahaman yang bagaimanakah sebuah teks bisa diaplikasikan. Menjawab itu, mengetahui dalam rentetan teori di atas ada beberapa langkah pemahaman—mulai dari horison penafsir, horison teks, dan fusi dari keduanya—maka, yang patut diaplikasikan di sini adalah pemahaman yang terakhir, yaitu pemahaman yang terpacu pada meaning full sense, bukan literal meaning.  
          Dan sebelum menutup pembahasan ini, perlu rasanya untuk mengetahui juga mengapa Gadamer menyinggung pemahaman teks dengan intens. Gadamer seperti itu, karena bagi Gadamer meskipun toh hermeneutika sudah menjadi satu disiplin keilmuan yang mandiri dengan objek kajiannya yang menyeluruh, tetap saja—baginya—semua yang tertulislah yang harus diutamakan sebagai objek hermeneutika.[2]


[1] Edi Mulyadi dkk., Belajar Hermeneutika: Dari Konfigurasi Filosofis Menuju Praksis Islamic Studies (Yogyakarta: IRCiSoD, 2012) hlm. 143.
[2] Sahiron Syamsudin, Hermeneutika dan Perkembangan Ulumul Quran (Yogyakarta: Pesantren Nawsea Press, 2009) hlm. 44.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar