Sebagaimana diketahui bersama, dalam
hermeneutika Modern dikenal tiga aliran besar, yaitu Objektifis, Subjektifis,
dan Subjektif Cum Objektif. Jika dikaitkan dengan segitiga hermeneutika yang
terdiri Author, Teks, dan Reader, maka hermeneutika aliran Subjektif Cum
Objektif ini terletak di posisi teks. Artinya, hermeneutika aliran ini
cenderung ke teks atau posisi netral antara objektif dan subjektif. Sedangkan
untuk Objektifis cenderung ke Author dan Subjektifis ke Reader. Hermeneutika
aliran ini berusaha menengahi ketegangan kedua aliran hermeneutika sebelumnya.
Sebenarnya, dalam pembahasan ini, ada
dua tokoh yang paling bertanggung jawab: Gadamer dan Gracia. Keduanya
ditempatkan di posisi tengah sebab kecenderungan mereka untuk menggabungkan dua
hal yang berbeda: satu dari aliran Objektifis dan satu dari Sujektifis. Hal itu
bisa dilihat dari pemikiran Gadamer tentang teori Penggabungan Horison yang
dalam menganalisanya menggunakan metode Objektifis—analisa teks—sekaligus
Subjektifis. Namun, untuk mempersingkat, pembahasan ini hanya akan membahas sekilas
tentang Hermeneutika Gadamer.
Biografi
singkat Gadamer
Adalah Hans Georg
Gadamer. Dia dilahirkan di Marburg pada 11 Februari 1900. Ayahnya adalah
seorang dosen kimia di Universitas Marburg dan sempat juga menjadi rektor. Gadamer
menempuh pendidikan dasar dan tumbuh besar di Breslau. Gadamer lebih tertarik
kepada Ilmu Sosial Humaniora dari pada Ilmu Alam, meskipun dari Ayahnya sendiri
sebenarnya tidak begitu menyetujui. Di tahapan selanjutnya, Gadamer memilih
untuk kembali ke Marburg untuk belajar filsafat kepada filosof-filosof
Neo-Kantian: Paul Natorp dn Nicolai Hartman. Di umur ke—22 Gadamer berhasil
menyelesaikan Desertasinya.
Tidak lama setelah itu, Gadamer
memilih Freiburg sebagai kota selanjutnya untuk memperdalam filsafatnya. Kali ini,
dia belajar pada Martin Heideger. Di sini dia bertemu dengan Hannah Arendt,
Karl Lowith, dan Leo Strauss. Gadamer begitu tertarik dengan Heideger dan itu
membuatnya dekat dengan Heideger. Sehingga pemikiran Gadamer banyak dipengaruhi
oleh Heideger. Dan itu mengakibatkan Gadamer meninggalkan Neo-Kantinisme.
Pada 1929 Gadamer diberi kesempatan
untuk memberikan kuliah di Universitas Marburg setelah menyelesaikan Habilitation,
sebuah penelitian paska doktor sebagai salah satu syarat profesor. Namun, hal
tersebut tidak berlangsung lama. Pada 1939, Gadamer memutuskan untuk pindah ke
Jerman barat—disebabkan ketidaknyamanannya atas nuansa politik dan akademis di
Jerman Timur—tepatnya ke Leipzig sampai 1947, tetapi sebelumnya di tahun 1937,
Gadamer sudah mendapatkan gelar profesornya.[1]
Di tahun 1947 juga, dia pindah lagi ke Frankfurt. Dan yang terakhir, pada 1949,
di pindah ke Heidelberg dan menutup hidupnya di sana pada 13 Maret 2002 di
umurnya ke—102. Dia menulis karya yang paling berpengaruh dalam dunia filsafat
modern, Truth And Method di Heidelberg pada tahun 1960.
Sekilas
tentang teori-teori pokok Gadamer
Berpijak pada bukunya, Truth
and Method, poin-poin pemikiran Gadamer tentang Hermeneutika hanya berbicara
tentang Hermeneutika sebagai Hermeneutika filosofis. Sebab dalam pandangannya
terkait Hermeneutika, Gadamer tidak mengutip sedikitpun kata metode. Gadamer
tidak berbicara metode dalam hermeneutikanya karena itu di mata Gadamer
hermeneutika adalah sebuah filsafat. Sehingga ketika berbicara tentang
filsafat, sudah tidak lagi berbicara metode. Dan menurutnya, biarlah ahli-ahli
ilmu tertentu yang berbicara tentang metode. Pendek kata, karena hermeneutika
adalah sebuah filsafat dan memiliki nilai-nilai filosofis, Gadamer sama sekali
tidak menyinggung metode, namun hanya menggunakan kata teori.
Teori-teori pokok hermeneutika Gadamer
secara ringkas terbagi menjadi empat: kesadaran atas keterpengaruhan
sejarah, teori prapemahaman, teori penggabungan horison, dan teori aplikasi.
Keempat teori tersebut, bisa dikatakan bersifat hierarki. Artinya, teori
pertama merupakan suatu keniscayaan bahwa setiap orang pasti memiliki sejarah,
pengalaman, dan kenangan. Dan jika itu dikaitkan dengan penafsiran, maka tidak
bisa tidak sejarah tersebut pasti mempengaruhi proses penafsiran dan inilah
yang disebut sebagai teori kedua: teori prapemahaman. Kedua teori ini,
tidak bisa dilepaskan. Sebelum seseorang memiliki prapemahaman, pasti dia sadar
kalau dia memiliki sejarah atau—biasanya disebut—effective history.
Selanjutnya adalah teori
penggabungan horison atau penggabungan wawasan. Horison di sini yang
dimaksudkan adalah dua horisan, yaitu horison penafsir dan horison teks. Horison
penafsir adalah prapemahaman penafsir yang setiap orang yang sadar akan effective
historis pasti memilikinya. Sedangkan horison teks adalah pemahaman
apa adanya teks sebelum dipahami si penafsir yang bersangkutan. Untuk menemukan
makna apa adanya sebuah teks, Gadamer meminjam metode analisa bahasa dan
sejarahnya Schleiermacher. Kemudian, setelah menemukan makna apa adanya sebuah
teks, penafsir menggabungkan prapemahamannya dengan pemahaman teks yang apa
adanya tadi dengan metode refleksi, salah satu metode yang digunakan dalam
aliran Subjektifis. Dengan demikian, ketika keduanya sudah dikomunikasikan,
maka lahirlah suatu pemahaman yang baru dan lebih segar menurut alirannya. Sebuah
pemahaman hasil fusi antara apa yang sebenarnya diinginkan author dan apa yang
dipandang lebih baik oleh seorang reader. Dan dari semua itu, wajar kalau
aliran ini ditempatkan di posisi teks dalam segitiga hermeneutika.
Terakhir, teori aplikasi. Teori
aplikasi adalah langkah terakhir dari beberapa teori yang mendahuluinya. Sebagaimana
namanya, teori ini hanya membicarakan tentang bagaimana seharusnya sebuah teks
itu diaplikasikan. Atau bahasa lainnya adalah dari pemahaman yang bagaimanakah
sebuah teks bisa diaplikasikan. Menjawab itu, mengetahui dalam rentetan teori
di atas ada beberapa langkah pemahaman—mulai dari horison penafsir, horison
teks, dan fusi dari keduanya—maka, yang patut diaplikasikan di sini adalah
pemahaman yang terakhir, yaitu pemahaman yang terpacu pada meaning full
sense, bukan literal meaning.
Dan sebelum menutup pembahasan ini,
perlu rasanya untuk mengetahui juga mengapa Gadamer menyinggung pemahaman teks
dengan intens. Gadamer seperti itu, karena bagi Gadamer meskipun toh
hermeneutika sudah menjadi satu disiplin keilmuan yang mandiri dengan objek
kajiannya yang menyeluruh, tetap saja—baginya—semua yang tertulislah yang harus
diutamakan sebagai objek hermeneutika.[2]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar