Selayang Pandang
Adalah salah satu agama besar yang
berkembang di Jepang. Dilihat dari geneologinya, agama ini adalah salah satu
aliran Budha Mahayana Dari India. Sebelum masuk Jepang, Zen Budhisme berada di
China dan berinteraksi dengan Taoisme dan Konfusianisme. Dari sini, boleh
disebut bahwa ajaran-ajaran yang ada dalam Zen Budhisme adalah hasil mix dari
tiga way of life, yaitu Budha Mahayana di India, Taoisme, dan
Konfusianisme. Dalam lain ucapan, Zen Budhisme boleh juga dipahami sebagai
bentuk ekstrak dari Budha Mahayana, Taoisme, dan Konfusianisme.
Kenyataan bahwa sebagian besar dari
budaya dan tradisi Jepang adalah hasil impor dari China adalah salah satu
alasan mengapa Zen Budhisme—yang notebene sebagai hasil mix atas dua
agama besar China, Taoisme dan Konfusianisme—berkembang pesat di Jepang. Dalam
artian, Zen Budhisme tidak lain merupakan salah satu ajaran yang Jepang impor
dari China. Kiranya demikian.
Ditinjau dari perspektif sejarah, satu
nama yang paling bertanggungjawab atas Zen Budhisme adalah Bodhidharma. Bodhidharma
adalah murid Budha—Sidharta Gautama—yang ke—28. Dalam tradisi Budha, di setiap
masa pasti terdapat generasi Budha dan untuk generasi ke—28 adalah Bodhidharma
ini. Kisah hidup Bodhidharma tidak jauh berbeda dengan kisah Sidharta Gautama.
Dia memutuskan untuk meninggalkan apapun yang usai dia miliki untuk meditasi
dan menemukan apa maksud sejati kehidupan. Selain Bodhidharma ada yang namanya
Mahakassapa. Tidak lain, dia adalah generasi kedua setelah Sidharta Gautama dan
yang nantinya di generasi ke—28 dilanjutkan Bodhidarma ini.
Istilah “Zen” berasal dari bahasa
Jepang yang berarti jernih. Istilah ini sering disejajarkan dengan “Chan” dalam
bahasa Mandarin dan “Jhana” dari bahasa Phali. Adapun tentang makna, terkira
kesemuanya sama, yaitu jernih. Dalam arti bahwa manusia itu penting untuk
menjernihkan pikiran, hati, dan jiwanya.
Di
lain wilayah, Zen Budhisme juga memiliki satu simbol yang mendasar, yaitu ENSO
(berbentuk bulat polos, apa adanya). Adalah semacam pandangan bahwa segala
sesuatu itu kosong. Apapun itu hanyalah persepsi dari manusia sendiri, tidak
lebih. Kalau semisalnya kita sudah berusaha mengerjakan tugas dengan tekun,
tetapi masih saja mendapatkan nilai C, ya sudahlah, toh baik kita mendapat
nilai A, B, atau D, kehidupan kita masih berjalan seperti biasa. Lagi-lagi, itu
hanyalah nilai yang tidak lebihnya hanya sesuatu yang sering kita lebihkan
lewat persepsi-persepsi, padahal esensinya tidak ada, kosong. Kira-kira
demikian. Sehingga melalui pandangan ini, Zen Budhisme mampu untuk mencapai
titik bidik utamanya tadi, yaitu kejernihan jiwa.
Karakteristik
Zen Budhisme
Ada empat karakter yang penting untuk
kita ketahui sebelum merasuki alam pemikiran Zen Budhisme. Adalah Experiental,
Beyond Words, Beyond Logical Thinking, dan Enlightment atau Satori.
a. Experiental
Karakter pertama Zen Budhisme adalah
“laku” atau cukup “dipraktekkan”. Ajaran Zen tidak perlu untuk diceramahkan,
tetapi cukup dengan dilakukan. Sebab, baginya, pengalaman itu melebihi
segalanya.
b. Beyond
Words
Ini terkait erat dengan karakter
pertama. Di sini Zen menyimpulkan bahwa ajaran Zen adalah ajaran yang melampau
kata-kata. Sehingga itu sama sekali tidak penting untuk diceramahkan. Itu hanya
cukup untuk dibumikan.
c. Beyond
Logical Thinking
Selanjutnya, selepas tidak perlunya kita
untuk menceramahkan hal tersebut, Zen Budhisme juga sama sekali tidak
menganjurkan kita untuk memikirkannya. Semua tentang dia sudah melampaui akal
dan pikiran. Sehingga semua yang kita pikirkan tentang dia adalah sia-sia.
Dengan lain ucapan, Zen ingin menekankan bahwa pemikiran hanya akan
menghasilkan konsep-konsep dan katagori yang malah menjerat, bukan membebaskan.
d. Enlightment
Dan yang terakhir adalah pencerahan.
Adalah puncak dari Zen Budhisme. Dalam level ini, kita akan terbebas dari
pikiran, perasaan, ego, dan lainnya. Dalam Islam, ini sering disebut kasyaf.
Beberapa
Ajaran Inti Zen Budhisme
a. Mencari diri dan
Meditasi
Ini berangkat dari kenyataan bahwa
seringkali kita kehilangan diri kita sendiri selepas bangun tidur. Ini adalah
terkait siapa kita, posisi kita sebagai apa, apa kewajiban kita, apa hak kita,
apa tujuan awal kita di sini, dan sebagainya. Tanpa kita sadari, kita sering
lupa akan pertanyaan-pertanyaan tersebut. Untuk itu, di sini, Zen Budhisme
menganjurkan kita untuk selalu berusaha menyadari pentingnya menemukan siapa
kita.
Lebih lanjut, Zen Budhisme juga
merekomendasikan kita untuk memahami potensi dan kekurangan diri. Termasuk di
dalamnya adalah kiblat kita. Sebab bagi Zen, apa yang kita lakukan itu pasti
terpengaruh dengan seorang tertentu. Dan di titik itu, kita penting untuk
mencari tahu mengapa kita mengikuti dia, kenapa harus dia, dan apa manfaatnya
bagi kita dan orang-orang di sekeliling kita. Pendek kata, di sini Zen Budhisme
menginginkan kita benar-benar sadar akan diri kita sendiri sehingga nantinya
kita tidak begitu saja mengikuti arus yang ada, tetapi memiliki pendirian dan
alasan sendiri.
Adapun mengenai cara untuk mudah
mencapai hal tersebut, bagi Zen, adalah melalui meditasi. Kita begitu
dianjurkan untuk meluangkan waktu guna merenung sejenak dengan duduk diam,
punggung lurus, buka mata hati, masuk ke dalam diri, lantas meditasi. Tidak
lain, ini penting untuk memahami dan menyadari secara perlahan semua tentang
kita, tujuan kita hidup, potensi kita, dan sebagainya. Dengan lain bahasa, ini
adalah usaha untuk melihat ke dalam diri sendiri.
b. Pengalaman
Langsung
Sebagaimana beberapa karakter dari Zen
Budhisme, di sini Zen kembali menekankan bahwa yang lebih penting adalah
pengalaman. Sebanyak apapun ilmu kita, tetapi tidak pernah kita lakukan, itu
amatlah sia-sia. Bagi Zen, mending sedikit, namun selalu kita bumikan dengan
perilaku kita.
c. Laku, Bukan
Pemikiran
Secara prinsip, ini merupakan alasan
yang mendasari poin b. Artinya, Zen bisa menyimpulkan bahwa pengalaman langsung
itu jauh lebih baik dari pada banyak ilmu sebab bagi Zen “pemikiran” itu
mengikat dan “laku” membebaskan. Lebih dalam, kata Zen, “pemikiran” hanya akan
melahirkan konsep, sedangkan “laku” membebaskan konsep. Kalau kita sudah mampu
mencapai “laku” atau mempraktekkan yang kita ketahui, maka konsep, teori,
pemikiran, itu tidak ada gunanya. Itu disebabkan oleh posisi konsep atau teori
itu sendiri adalah bertujuan untuk dipraktekkan. Seandainya kita menganggap hal
ini baik, ya sudah, kita lakukan saja, tidak perlu untuk didiskusikan terlebih
dahulu.
d. Kesadaran Hishiryo
atau Perilaku Sederhana
Adalah berangkat dari pandangan dasar
kalau prinsip kehidupan itu sederhana. Adapun yang menjadikan itu rumit yaitu
persepsi-persepsi manusia itu sendiri yang sering menciptakan kategori-kategori.
Kalau kita tidak bisa membantu teman belajar ya bilang tidak bisa, tidak usah
memaksakan untuk bisa hanya demi biar dipandang perhatian, cerdas atau
semacamnya.
e. Jalan Tengah
Selanjutnya, Zen Budhisme juga
menghimbau supaya kita tidak terlalu ekstrim dalam melakukan sesuatu. Dengan
lain ucapan, kita amat tidak dianjurkan untuk memaksakan diri. Kalau kita hanya
bisa menulis dua lembar perhari, ya sudah, itu dicukupkan. Kalau kita mendukung
seseorang, ya dukunglah secukupnya. Ini bertujuan agar kita tidak terjebak
dalam fanatisme, dalam hal apapun itu.
f. Mushotoku atau
Berhenti Mengejar
Mudahnya, poin ini berbicara tentang
profesionalitas dalam tindakan. Artinya, dalam tindakan, kita tidak perlu
melakukan sesuatu yang bukan tugas kita. Kita perlu mencukupkan tindakan kita
hanya pada apa yang menjadi tugas kita. Seandainya saja kita mahasiswa, maka
kita harus memprioritaskan tindakan pada belajar, membaca, dan semacamnya
sebagaimana tujuan awal kita sebagai mahasiswa. Selain itu, dalam setiap tindakan, sebisa
mungkin kita menghindari untuk mempertimbangkan “hasil”. Kita cukup meyakinkan
diri kalau semuanya pasti ada hasilnya. Realitas memiliki logikanya sendiri
sehingga itu tidak penting untuk terlalu kita pikirkan, itu cukup kita lakukan.
Dalam Islam, ini sering kita sebut
sebagai “qanaah” atau neriman. Artinya, di sini, Zen mengimbau kepada
kita untuk selalu menikmati apa yang ada dan kita miliki saat ini, sekarang
ini, dan di sini. Bagi Zen, satu-satunya masa yang paling nyata adalah saat
ini, sehingga sangat rugi jika kita tidak menikmatinya. Ini bertujuan supaya
kita tidak terlalu terobsesi dengan impian dan terjebak dengan masa lalu sebab
memang keduanya sama sekali tidak nyata.
h. Wu-Wei, Action in
No Action
Di poin ini, kita bisa belajar bahwa
betapa tidak pentingnya intervensi. Bagi Zen, intervensi tidak jauh berbeda
dengan ambisius. Dalam menghadapi realitas, kita tidak apa-apa menghanyutkan
diri, tetapi dengan catatan kita tidak boleh terhanyut. Sebagaimana kita
memilih untuk tidak menyikapi sesuatu, tetapi secara bersamaan itulah sikap
kita. Dengan lain ucapan, di sini kita perlu belajar untuk menjadikan
“ketidakikutcampuran” kita terhadap masalah orang lain sebagai bentuk sikap
kita terhadapnya.
10
Step of Zen
Sebagaimana ajaran yang sering ada dalam
setiap aliran sufi, Zen Budhisme memiliki sepuluh tahapan seseorang dalam
melakukan ajarannya. Adalah sebagai berikut:
No
|
Step
|
Refleksi
|
1
|
Mencari sapi yang hilang
|
Kali pertamanya, penting untuk kita
menyadari “kesalahan” kita. Sadari kesalahanmu. Dalam Islam sering disebut
“taubat”.
|
2
|
Menemukan jejak sapi
|
Selepas menyadari, kita perlu
instropeksi diri atau muhasabah.
|
3
|
Melihat ekor sapi
|
Semacam pencerahan sesaat. Sebagai
akibat dari instropeksi. Titik pijak untuk menemukan pencerahan sesungguhnya.
|
4
|
Menjinakkan sapi
|
Sudah berhasil menaklukkan nafsu diri.
Ini biasanya bisa dicapai melalui latihan batin.
|
5
|
Terjinakkannya sapi
|
Dalam Sufi Islam, ini disebut sudah kasyaf.
Seseorang berhasil menguasai nafsu dengan total
|
6
|
Pulang ke rumah/menaiki sapi
|
Seseorang sudah bisa mengatur nafsu atau
pikiran, bukan malah diatur
|
7
|
Menikmati ketenangan
|
Tinggal menikmati hasil
|
8
|
Keheningan
|
Sudah moksa. Tidak ada yang indah dan
penting dalam kehidupan ini. Yang penting hanya Yang Maha Kuasa
|
9
|
Kembali ke sumber
|
Selepas puncak, rupanya terbesit
keresahan yang berlandaskan kemanusiaan. Resah terhadap orang-orang lainnya
yang belum sadar
|
10
|
Mengunjungi pasar dunia
|
Dan akhirnya, segera setelah meresahkan
orang-orang lainnya, dia memutuskan untuk kembali ke dunia untuk membagi
kesadaran kepada orang-orang. (dan terkira, inilah yang diputuskan Muhammad
SAW untuk kembali ke dunia setelah mencapai titik sumber saat Isra’ Mi’raj.
Dia kembali lagi sebab resah dengan masyarakatnya yang banyak belum sadar)
|
G enek refrnsine, g valid... Wkwkwk
BalasHapusbesok ada satu edisi memuat semua referensi. . . haha stay tuned ges
BalasHapus