Selayang Pandang
Adalah semacam penolakan terhadap
adanya tuhan dengan tanpa dibarengi aksi provokatif. Disebut tidak provokatif karena istilah ini
sering disejajarkan dengan istilah antiteisme yang lebih provokatif. Selain
istilah ateisme ada beberapa istilah lain yang terkait, yaitu nonteisme,
antiteisme sebagaimana yang usai disinggung sedikit tadi, aphateisme,
agnostisme, ignosticisme, antireligion, irreligion, dan secular humanism.
Semua istilah tersebut memiliki titik tekan yang berbeda satu sama lain, tetapi
secara umum, tetap saja, poinnya adalah menolak eksistensi tuhan.
Pertama, itu merupakan istilah
tempat seseorang tidak mempercayai sama sekali adanya tuhan. Kata “tidak
mempercayai” dan “menolak” adalah dua kata yang berbeda. Kata “menolak” masih
mengindikasikan adanya kepercayaan dalam hati, hanya saja, itu ditolak. Namun,
kata “tidak mempercayai” sama sekali tidak mengindikasikan adanya sedikitpun
kepercayaan dalam hati. Dan di waktu yang sama, di situlah letak perbedaan
antara nonteisme dan ateisme. Ateisme “menolak”, sedangkan nonteisme “tidak
mempercayai” atau sama sekali tanpa tuhan.
Kedua adalah antiteisme. Pada
dasarnya, ini tidaklah berbeda dengan ateisme. Hanya saja, istilah ini lebih
menekankan pada wilayah provokatifnya. Sedangkan ateisme sama sekali tidak
provokatif. Dengan lain ucapan, antiteisme adalah keadaan menolak tuhan dengan disertai
upaya-upaya untuk mendakwahkan keadaan tersebut. Adapun ateisme hanyalah
sekedar keadaan menolak tuhan tanpa sama sekali berupaya untuk mempengaruhi
orang lain guna mengikutinya.
Ketiga adalah aphateisme. Itu
adalah istilah yang sering digunakan untuk menyebut ateisme praktis.
Artinya, dari segi pengakuan, mereka masih mengakui adanya tuhan. Akan tetapi
dari segi praksisnya, perilaku mereka sama sekali tidak mencerminkan seorang
yang mengakui adanya tuhan. Pendek kata, mereka mengakui mempercayai tuhan,
tetapi di waktu yang sama, mereka melakukan hal-hal yang sering dilakoni para
ateis atau bahkan melebihinya. Dalam bahasa Qurannya, itu termasuk katagori
munafik.
Keempat, itu tidak berbeda jauh
dengan antiteisme yang provokatif dalam menolak tuhan. Hanya saja, kelompok ini
provokatifnya lebih pada epistemologinya. Dengan lain kata, mereka memiliki
episteme yang kuat dalam menolak eksistensi tuhan. Dengan apapun yang tidak
empiris, mereka selalu pasang aksi skeptis. Dan eksistensi tuhan sama sekali
tidak empiris. Sehingga mereka selalu skeptis dengan adanya tuhan.
Kelima: ignosticisme. Adalah
jenis ateisme yang begitu terikat dengan paradigma positivesme. Segila-gilanya
manusia usai membahas tuhan, berusaha mempercayai, dan lain sebagainya, tetap
saja, itu adalah sia-sia. Adapun alasannya adalah eksistensi tuhan sendiri yang
sama sekali tidak bisa dipandang secara positifistik, sedangkan ukuran sesuatu
bisa dikatakan bermanfaat adalah ketika itu bisa dilihat secara positif.
Kesimpulannya, mempercayai adanya tuhan adalah tindakan yang sia-sia.
Selanjutnya untuk keenam dan
ketujuh, keduanya itu semacam tidak menyukai agama. Artinya, mereka menolak
agama, tetapi di lain sisi, mereka masih menginginkan spiritual. Dalam wilayah
ini, titik tekannya adalah pada kritik terhadap agama. Bagi mereka, agama
adalah satu mahkluk aneh yang tidak memiliki fungsi apapun kecuali mengganggu
kebebasan manusia. Agama dipandang terlampau banyak memberikan aturan-aturan
yang mengikat pemeluknya. Kira-kira itu.
Dan yang terakhir adalah secular
humanism. Jika dibandingkan dengan ateisme, istilah ini bisa dikatakan mending.
Sebab dengan itu, seseorang masih mempercayai adanya tuhan. Hanya saja, mereka
tidak mempercayai kalau tuhan masihlah mengurus dunia. Artinya, mereka sangat
percaya kalau tuhan sudahlah pensiun atau tidak berguna. Tuhan masih ada,
tetapi dia hanyalah penonton, tidak memiliki dampak apapun pada kehidupan
manusia. secular humanism sangat berpotensi untuk memunculkan deisme,
kemudian dari deisme ke agnostisme, dan baru ateisme.
Ateisme memiliki beberapa cabang,
yaitu jenisnya dan pembagiannya. Ateisme memiliki dua jenis: ateisme negatif
dan ateisme positif. Sedangkan dalam pembagian, itu terbagi menjadi ateisme
praktis dan ateisme teoritis.
Ateisme memiliki dua jenis: negatif
dan positif. Untuk jenis pertama, itu sama halnya dengan istilah ateisme itu
sendiri, yaitu hanya sekedar menolak adanya tuhan dengan tanpa menunjukkan
bukti apapun tentangnya. Sedangkan jenis kedua, itu disertai dengan menunjukkan
bukti-bukti bahwa memang tuhan tidak ada. Dan jenis yang kedua ini tidak bukan
adalah istilah lain dari antiteisme.
Ateis
Praktis
Adalah istilah
lain dari aphateisme. Yaitu sesuatu yang dengannya seseorang masih mempercayai
adanya tuhan, tetapi perilakunya sama sekali tidak mencerminkan kalau dia
percaya dengan tuhan. Pendek kata, mereka tidak pernah mengatakan kalau dirinya
ateis, tetapi di waktu yang sama, mereka juga tidak pernah melakukan apa yang
harusnya dilakukan oleh seorang yang percaya.
Adapun ciri-ciri dari ateis praktis
adalah sebagai berikut:
-
Apapun yang mereka
lakukan bukan berbasis dorongan agama atau motivasi agama.
-
Mereka tidak
pernah berpikir terlalu dalam dank eras tentang tuhan. Sebab, pada dasarnya,
mereka tidak percaya.
-
Mereka menganggap
bahwa hal-hal yang supranatural atau tidak empiris adalah sesuatu yang tidak
penting.
-
Dalam segala
aktifitasnya, mereka selalu tidak menghadirkan tuhan.
Ateis
Teoritis
Berbeda dengan
sebelumnya, ateis ini lebih berbicara kepada mengapa seseorang mempercayai
tuhan. Dengan lain bahasa, ateis teoritis menjelaskan tentang argumen-argumen
yang menentang tuhan. Dan dalam diskusi ini, hanya akan diuraikan empar
argument besar tentang tuhan, yaitu argument epistemologis, argument metafisik,
argument koherensi, dan argument antroposentris.
1.
Argument
epistemologis.
Argumen
yang pertama ini memuat empat teori, yaitu teori imanensi subjek, teori
agnostis Imanuel Kant, teori skeptisisme David Hume, dan teori ignostisisme. Untuk yang pertama, itu adalah argument
yang mendasarkan dirinya pada kesimpulan bahwa setiap individu memiliki
bayangan yang berbeda-beda tentang tuhan. Sebagai ilustrasinya, si A memandang
tuhannya seperti sesosok yang besar, berjenggot, dan berjubah. Dia
memproyeksikan tuhan sedemikian rupa karena dia adalah seorang muslim kelompok
tradisionalis. Sedangkan si B memandang tuhannya sebagai sosok yang rapi,
wangi, dan indah. Dia memproyeksikannya seperti itu sebab dia seorang muslim
kelompok pembaru. Meski dalam satu atap agama, keduanya berbeda tentang konsepi
terhadap Tuhan. Setiap orang tidak bisa tidak memiliki konsepsi yang
berbeda-beda tentang Tuhan. Oleh karena itu, pertanyaan besarnya, yaitu: apakah
masih perlu seseorang mempercayai sesuatu yang sangat tidak jelas dan
berbeda-beda seperti itu. Dan kira-kira di situlah letak epistemologis
penolakan mereka terhadap tuhan.
Kedua,
itu adalah teori yang menganggap bahwa sampai kapanpun, agama tidak akan pernah
bisa dipahami ataupun diakses oleh manusia. Sebab itu berada di luar jangkauan
akal. Dan apapun yang tidak bisa terjangkau oleh akal manusia, itu berarti juga
tidak bisa diakses oleh manusia. Oleh karena itu, untuk apa manusia harus
mempercayai sesuatu yang dirinya saja tidak akan pernah bisa mengaksesnya.
Ketiga
adalah skeptisisme David Hume. Itu merupakan teori yang memandang bahwa apapun
yang boleh diterima adalah yang empiris. Agama bukanlah suatu yang empiris
sehingga itu tidaklah bisa diterima. Sampai di sini, teori ini tidak berbeda
jauh dengan teori sebelumnya. Namun, itu tidaklah berhenti di sini.
Selanjutnya, kalaupun itu—penerimaan
terhadap tuhan—dipaksa, maka yang ada hanyalah permainan akal manusia. Dengan
lain kata, itu semacam apologi seseorang untuk memaksakan sesuatu yang sudah
jelas tidak mungkin, tetapi masih saja diterobos. Sehingga yang ada bukanlah
kenyataan apa adanya, tetapi hanyalah permainan pikirannya. Sesuatu yang jelas
tidak mungkin tadi ibarat tuhan yang tidak bisa diakses, selanjutnya seseorang
yang memaksakan di atas ibarat manusia yang memaksa akalnya untuk mengakses
tuhan, sehingga yang muncul hanyalah permainan akal. Peristiwa seperti ini
sering disebut sebagai teologi natural.
Masih
tentang istilah, Hume menyebut realitas di atas sebagai gagasan kompleks. Itu
merupakan gagasan yang sengaja dimunculkan guna menyimpelkan sesuatu yang
sebenarnya sangat rumit untuk dipahami atau bahkan sama sekali tidak bisa
dipahami. Dengan lain kata, itu berfungsi menjadikan sesuatu yang sebenarnya
tidak bisa dipahami menjadi sesuatu yang ringan untuk dipahami. Dan diterima
atau tidak, pada dasarnya, seperti itulah agama. Agama hanya berisi
gagasan-gagasan komplek. Sebagai ilustrasinya, konsep tentang surga yang selalu
digambarkan dengan air yang mengalir dan konsep malaikat yang sering digambarkan bersayap tidak bukan hanyalah
beberapa bentuk dari gagasan kompleks dalam Islam.
Keempat, itu adalah teori yang orientasinya pada
positifisme logis. Dalam positifisme logis, apapun yang tidak empiris dan tidak
bisa diukur adalah sesuatu yang tidak bisa diterima. Tuhan merupakan salah satu
entitas yang tidak empiris dan tidak juga bisa diukur. Dengan demikian, bagi
pengikut teori ini, mempercayai adanya tuhan adalah suatu kebodohan. Mereka
sama sekali tidak memiliki alasan yang memadai untuk mempercayai eksistensinya.
2.
Argumen
Metafisik
Sebagaimana namanya, argument ini
menolak adanya tuhan dengan membenturkan dua entitas yang saling bertolak
belakang, yaitu materi dan immateri. Materi tidak bukan adalah dasar atas
realitas manusia. Sedangkan yang kedua, itu tidak lebih dari buat-buatan
manusia. Sehingga, bisa ditarik garis simpul bahwa tuhan hanyalah buat-buatan
manusia sebab posisinya yang immateri.
3.
Argumen
Koherensi
Adalah
argument yang menyandarkan dirinya pada kritik terhadap adanya inkonsistensi antara
sifat-sifat tuhan dan inkonsistensi sifat tuhan dengan realitas yang ada. Pertama,
itu bisa diamati dengan kebanyakan sifat tuhan yang tidak bisa tidak memiliki
kontradiktif. Sebagai ilustrasinya adalah tuhan itu maha pengasih, tetapi di
waktu yang sama, tuhan juga maha penyiksa. Antara sifat pengasih dan penyiksa
adalah dua hal yang kontradiktif. Dengan demikian, tidak salah jika dikata
bahwa tuhan memang sama sekali tidak konsisten.
Kedua, itu bisa diamati dengan jelas ketika
ada konflik berdarah antar sekte dalam satu agama. Artinya, andai tuhan memang
konsisten dengan sifatnya yang penyayang, maka tidak mungkin dia membiarkan hambanya
terlibat konflik berdarah. Akan tetapi, pada kenyataannya, konflik berdarah
terus berlanjut bahkan usai terlalu lama sehingga bisa disimpulkna dengan cepat
kalau memang tuhan tidaklah konsisten. Dan kira-kira, di titik inkonsistensi
inilah, ateisme benar-benar menolak tuhan.
4.
Argumen
Antroposentris
Adalah argumen yang menolak adanya tuhan
dengan dalih bahwa adanya tuhan itu tergantung pada manusia. Dengan lain
ucapan, tuhan hanyalah ciptaan manusia. Ketika manusia ingin tuhan itu ada,
maka diciptakanlah tuhan, begitu juga sebaliknya. Pendek kata, pihak yang
menentukan untuk bertuhan atau tidak adalah manusia, bukan tuhan. Di sini,
kunci dalam kehidupan adalah manusia.
Di lain sisi, itu juga bisa dipahami
bahwa sesungguhnya, pihak yang membutuhkan adalah tuhan, bukan manusia.
Tuhanlah yang membutuhkan manusia untuk menjadikannya tuhan, bukan sebaliknya.
Simpelnya, andai saja tidak ada manusia, tuhan tidak akan pernah ada. Pun,
kalau misalnya manusia ada, tetapi mereka tidak mau mengakui tuhan, maka tuhan
tetaplah tidak ada. Oleh karenanya, bisa disimpulkan bahwa ada tidaknya tuhan
itu tergantung pada bagaimana manusia mengakuinya.
Para
Pembunuh Tuhan
Ada suatu pemikiran, ada pula yang
menelorkannya. Adalah beberapa tokoh yang menggandrungkan pola berpikir tanpa
batas. Selama berpikir itu masih terbatasi, maka itu bukanlah berpikir dan
kira-kira itu juga berlaku untuk intelektul. Tokoh-tokoh tersebut, yaitu
Feurbach, Karl Marx, Nietczhe, Freud, dan Sartre.
1.
Feurbach
Baginya, tuhan tidak lain adalah buah
pikiran manusia. Adapun postulasi feurbach adalah pandangan bahwa manusia
selalu ingin berpikir secara sempurna dan menghasilkan sesuatu yang sempurna
pula sampai-sampai itu melampaui dirinya sendiri. Dan salah satu dari hasilnya
adalah tuhan. Dengan pikiran selalu ingin sempurna, mereka sukses menghasilkan
tuhan sebagai sesuatu yang sangat sempurna sehingga mereka sendiri—selaku yang
memikirkan—terlampaui dan bahkan itu ditakuti oleh mereka sendiri. Kira-kira,
demikianlah apa yang dipikirkan Feurbach.
2.
Marx
Pemikiran Marx tidak terlalu berbeda
dengan Feurbach. Hanya saja, dia melanjutkan pertanyaan Feurbach, yaitu lebih
pada mengapa manusia bisa memiliki keinginan untuk berpikir yang serba sempurna
atau mengapa mereka selalu ingin memproyeksikan wujud tuhan. Adapun alasannya
bagi Marx adalah realitas yang deskriminatif terhadap mereka. Kenyataan yang
selalu tidak adil terhadap mereka berhasil membuat mereka—kalau tidak disebut
memaksa—mencari tempat lain guna mendapatkan kebahagiaanya. Dan akhirnya, berpikirlah
mereka tentang tuhan dan agama. Agama bagi mereka hanyalah tempat pelarian yang
tidak lain adalah untuk memberikan mereka secercah harapan guna melanjutkan
hidup. Namun, bagaimanapun, bagi Marx itu semua semu, itu hanya ganja yang
memberikan kebahagiaan sesaat.
3.
Nietczhe
Dibanding kedua tokoh sebelumnya, bisa
dikata Nietzhe adalah yang lebih ekstrim. Baginya, tuhan harus dibunuha.
Alasannya, tuhan tidak lebih dari rekayasa pikiran manusia atau manusialah yang
menciptakannya. Dari segi manfaatnya, itu sama sekali tidak bermanfaat sebab
tuhan hanyalah permainan akal manusia sendiri. Akan tetapi, dari segi kerugian,
itu sangat merugikan manusia. Adanya tuhan hanya akan membentuk pola pikir
manusia menjadi pengecut, cengeng, tidak mandiri, dan hanya akan menjadikan
manusia budak. Dengan demikian, mengetahui itu, tuhan harus dibunuh, toh adanya
malah menimbulkan banyak kerugian.
4.
Freud
Freud memandang agama menjadi dua wajah,
yaitu agama itu neurosis kolektif dan ilusi infantil. Pertama, itu disebabkan
oleh posisi agama yang hanya berfungsi untuk memberikan ketakutan-ketakutan
tertentu pada pemeluknya. Bagi Freud, ketakutan yang timbul dari pengaruh agama
tersebut muncul dari super ego. Dan jika sudah demikian, maka agama hanya akan
menganggu kehidupan manusia sebab efek takut yang ditumbulkan. Sebagai
ilustrasinya, konsep surga yang selalu membayang-bayangi pikiran pemeluk agama
tertentu sehingga dia menjadi tidak bebas dalam berpikir.
Kedua, itu semacam sindrom anak-anak.
Agama selalu dipandang bahwa dia mampu menyelematkan pemeluknya dari segala
macam gangguan dan penderitaan. Akan tetapi, pada realitasnya, manusia sama
sekali tidak terselamatkan dan justru terganggu. Dengan lain ucapan, ini
semacam pemberian harapan palsu. Agama hanya memberikan harapan-harapan palsu.
Sebagaimana anak kecil, ketika seseorang mempercayai agama, mereka hanya akan
selalu dibujuk dan diberi harapan-harapan tidak jelas.
5.
Sartre
Sartre
memiliki semangat yang sama dengan Nietczhe, yaitu membunuh tuhan. Hanya saja,
dia lebih menekankan pada alasan eksistensi manusia. Baginya, manusia baru
benar-benar bisa dikatakan manusia ketika dia sudah bisa mengatur hidupnya
sebebas apa yang dia inginkan. Di waktu yang sama, selama manusia masih
mempercayai tuhan, maka dia tidak akan pernah bebas. Sehingga, untuk menjadi
manusia yang manusia, tuhan harus dibunuh.
The Most Played Slot In Town At Casino
BalasHapusIn fact, if you are 골인 벳 먹튀 visiting a casino in luckyclub the area, you can see the game in 캔 토토 the bet365 korea background. The casino is 프라하 사이트 located inside the casino area