Adalah
melihat disiplin keilmuan Usul al-Tafsir dari sudut pandang Filsafat
Ilmu. Kiranya itulah yang diinginkan dari judul di atas. Mengenai perspektif
Filsafat Ilmu, sebab ini masih pengantar, maka, setidaknya di sini hanya akan ada
tiga poin yang akan diketengahkan, yaitu wilayah cakupan Filsafat Ilmu dan
landasan filosofis ilmu. Melalui yang pertama kita akan belajar guna melihat
apakah Usul al-Tafsir usai memenuhi syarat untuk disebut sebagai ilmu
atau belum dan pula belajar mengamati apa saja yang melandasi Usul al-Tafsir
lewat poin kedua. Adapun mengenai Usul al-Tafsir yang dimaksud di
sini adalah metode penafsiran al-Quran Ibnu Taimiyah yang secara tersirat dia
tuliskan dalam Bukunya Muqaddimah fi Usul al-Tafsir. Lebih spesifik, hal
yang akan dibedah nantinya melalui perspektif Filsafat Ilmu adalah langkah
metodis Ibnu Taimiyah yang pertama dalam memahami al-Quran, yaitu al-Quran
bi al-Quran. Pendek kata, yang ingin disampaikan di sini lewat judul di
atas adalah bahwa kita merasa penting untuk belajar melihat “metode penafsiran
al-Quran Ibnu Taimiyah” melalui perspektif Filsafat Ilmu.
Hal ini menjadi penting sebab pada
kenyataannya, banyak dari kita sering lupa bahwa dalam setiap displin keilmuan
memiliki body of knowledgenya[1]
masing-masing. Sebagai konsekuensinya, secara tanpa sadar kita terjebak dalam
apa yang disebut sebagai “pemberhalaan teori”. Ini menjadi mungkin karena
dengan tanpa memperhatikan aspek filosofis dari suatu keilmuan, seseorang akan
cenderung menempatan teori tertentu pada tempat yang anti-kritik, paling benar,
dan universal—dalam arti berlaku untuk semua lokus dan tempus. Dengan lain
ungkapan, paling tidak, melalui Filsafat Ilmu, kita bisa mengerti dan menyadari
bahwa ilmu pengetahuan tidak lain merupakan representasi dari suatu realitas
terbatas yang tidak bisa lepas dari kritik, apalagai selepas melewati beberapa
generasi. Dan terkira, di titik inilah judul ini menjumpai momentumnya, yaitu
agar teori Usul al-Tafsir Ibnu Taimiyah terhindar dari apa yang disebut
oleh Arkoun sebagai Taqdis al-afkar al-diny[2]
yang justru dengannya, teori tersebut bisa
kehilangan ke-keren-annya.[3]
Ruang
Lingkup Filsafat Ilmu
Berbicara
tentang Filsafat Ilmu, di sini terdapat dua model.[4]
Yaitu Filsafat Ilmu sebagai satu disiplin keilmuan sendiri yang fokus pada ilmu
pengetahuan dan dua, Filsafat Ilmu sebagai landasan filosofis atau sudut
pandang. Pertama, ini merupakan model yang menempatkan ilmu pengetahuan
sebagai objek materialnya[5]—bedakan
dengan “pengetahuan” yang menjadi objek formalnya. Dalam bagian ini pula
dijelaskan tentang apa hakikat dari sesuatu atau Ontologi, begaimana cara
memperoleh nya, Epistemologi, dan apa manfaat dari sesuatu, Aksiologi. Di
wilayah ini, ketiga hal yang merupakan unsur pokok dalam keilmuan apapun
tersebut, dilihat sebagai bagian dari objek material—bukan sebagai sudut
pandang—yang di dalamnya dibahas bagaimana sejarah dari Ontologi, Epistemologi,
dan Aksiologi.[6]
Selanjutnya, kedua adalah
saat kita menjadikan Filsafat Ilmu sebagai sudut pandang dalam mengamati
bangunan keilmuan tertentu. Tidak berbeda dengan bagian pertama, di sini juga
muncul istilah-istilah seperti Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi. Hanya
saja, itu semua dipakai bukan untuk dibedah dan diketahui proses terbentuknya,
tetapi justru dijadikan sebagai alat untuk membedah. Pada tataran ini, melalui
Ontologi, kita bisa melihat apa hakikat dari suatu keilmuan tertentu.[7]
Melalui Epistemologi, kiranya, kita bisa menemukan apa sumber keilmuan
tersebut, bagaimana cara memperolehnya, dan apakah hal tersebut bisa
diverifikasi. Dan lewat yang terakhir, kita bisa mengerti lebih jauh, jan-jane
untuk apakah keilmuan tersebut dibentuk.[8]
Selain itu, di bagian kedua ini, ada
juga yang disebut sebagai landasan filosofis keilmuan. Landasan filosofis ini,
biasanya meliputi tiga hal, yaitu asumsi-asumsi dasar, paradigma, dan framework
yang dipakai.[9]
Dengan lain ucapan, suatu keilmuan, paling tidak tersusun atas tiga hal
tersebut dan kiranya adalah suatu kepentingan tersendiri guna mengetahui
unsur-unsur tersebut yang bersemayam di balik setiap disiplin keilmuan. Adapun
maksud dari asumsi dasar adalah kumpulan beberapa kesimpulan mendasar yang
dengannya paradigma bertumpu.[10]
Sedangkan paradigma sendiri merupakan seperangkat keyakinan bersama dan
mendasar yang memandu tindakan manusia secara tanpa sadar.[11]
Dalam hal ini, bagaimana model paradigma sangat ditetukan oleh asumsi dasar
yang ada atau yang melandasi paradigma tersebut, apakah asumsi dasarnya
rasional, empiris atau bagaimana. Dan yang terakhir, framework, adalah semacam
kerangka berpikir yang berfungsi menuntut manusia berpikir. Bisa disebut,
bagaimana pemikiran manusia itu tergantung framework apa yang dipakai.
Sebagaimana antara asumsi dan paradigma, framework juga begitu ditentukan oleh
paradigma. Saat paradigma yang dipakai adalah positifistik, maka kerangka
berpikirnya tidak bisa lepas dari angka-angka, persen-persen, dan sebagainya
yang serba terukur.[12]
Masih di sini, berbekal Filsafat Ilmu
sebagai landasan filosofis, kita juga bisa menyadari bahwa keilmuan apapun itu
tidak lebihnya adalah produk pada masanya atau sering disebut sebagai “anak
zaman”. Ini merupakan konsekuensi dari kenyataan kalau ilmu adalah representasi
dari realitas pada tenggat waktu tertentu. Pun, dalam proses representasi
tersebut tidak bisa tidak ada simplifikasi dan bahkan reduksi yang tidak lain bertujuan
agar eksistensinya mudah dijangkau oleh masyaraka di masanya.[13]
Pendek kata, yang ingin disampaikan di sini adalah bahwa setiap ilmu itu keren
pada tempat waktunya masing-masing. Naskh-mansukh adalah satu
disiplin keilmuan yang luar biasa, tetapi pada masa dan tempatnya, begitu juga
dengan beberapa cabang Ulum al-Tafsir lainnya.
Cakupan
Ilmu
Adalah
membahas tentang apa saja yang bisa disebut sebagai ilmu. Pada masa ketika
Paradigma Positivistik merajalela di dunia, bisa disebut bahwa ilmu pengetahuan
adalah apa-apa yang terbatas pada hal-hal yang empiris dan terukur. Pada masa itu,
hal-hal yang berbau spekulasi, seperti sosial, agama, dan budaya tidak
digolongkan sebagai ilmu pengetahuan.[14]
Ini, tidak lain, disebabkan oleh dominasi ekstrim kelompok positifistik yang
memang ketika itu usai memberikan kontribusi luar biasa bagi perkembangan
dunia, seperti teknologi nuklir, robot, pesawat, alat komunikasi, dan
sebagainya.
Akan tetapi, pada perkembangannya,
berangkat dari keresahan atas dominasi positivistik yang seakan memaksa
semuanya harus terukur, muncul beberapa nama yang melebarkan pengertian ilmu
sampai pada ilmu-ilmu sosial. Salah satu dari nama tersebut adalah Wilhelm
Dilthey (1833-1911). Dilthey membagi ilmu menjadi dua, yaitu ilmu alam dan ilmu
sosial. Sejak masa Dilthey ini, kira-kira, pengertian ilmu pengetahuan bukan
saja pada wilayah ilmu alam, tetapi juga ilmu sosial.[15]
Adapun, disebabkan sama-sama ilmunya, posisi keduanya bukanlah atas-bawah,
tetapi sama.
Lebih lanjut, klasifikasi ini
dilanjutkan oleh Habermas. Habermas membagi ilmu menjadi tiga, yakni
empiris-analitis, historis-hermeneutis, dan sosial kritis. Pertama itu meliputi
ilmu alam, ilmu hukum, dan ilmu psikologi. Kedua mencakup ilmu agama, filsafat,
bahasa, dan antropologi. Sedangkan ketiga terdiri dari ilmu politik, ekonomi,
dan sosiologi. Tiga kluster ilmu ini memiliki derajat sama antara satu dengan
lainnya.[16]
Dengan lain ucapan, di sini tidak ada istilah ilmu superior dan ilmu yang
inferior. Dan mengenai Usul al-Tafsir, bisa dibilang, itu masuk pada
kluster kedua, yaitu historis-hermeneutis.
Tentang
Usul al-Tafsir
Dalam
pengantar bukunya Mukaddimah fi Usul al-Tafsir, Ibnu Taimiyah menyebut
bahwa maksud dari Usul al-tafsir adalah seperangkat kaidah yang
dengannya seseorang bisa memahami al-Quran dengan benar dan tidak sesat. Tidak
lain, Ibnu Taimiyah menulis buku tersebut dilatarbelakangi oleh permintaan
beberapa temannya untuk merumuskan kaidah-kaidah tertentu supaya seseorang
tidak tersesat dalam memahami al-Quran.[17]
Dan pada bagian akhir bukunya, dengan tersurat, Ibnu Taimiyah merumuskan
beberapa langkah metodis guna memahami al-Quran, yaitu menafsirkan al-Quran
dengan al-Quran, menafsirkan al-Quran dengan sunnah, menafsirkan al-Quran
dengan pemikiran Sahabat, dan menafsirkan al-Quran dengan pemikiran Tabi’in.[18]
Terlepas dari semua itu, disebabkan
oleh fokus kajian ini bukan pada bagaimana aplikasi atas metode tersebut, maka
yang akan dikaji di sini adalah hanya langkah yang pertama, menafsirkan
al-Quran dengan al-Quran. Sebelum menelisik lebih jauh, penting untuk kita
sepakati bahwa Usul al-Tafsir—untuk menyebut empat langkah metodis,
setidaknya—merupakan suatu disiplin keilmuan tersendiri. Kenyataan bahwa syarat
mendasar sesuatu bisa disebut “ilmu”[19]
adalah adanya objek, subjek, dan pertemuan keduanya merupakan salah satu alasan
mengapa bisa demikian. Dalam diskursus ini, objeknya adalah al-Quran, Hadis,
dan beberapa kitab klasik, sedangkan subjeknya adalah Ibnu Taimiyah sendiri.
Adapun mengenai pertemuan keduanya, itu bisa kita amati dari metodologi Ibnu
Taimiyah dalam berinteraksi dengan objeknya yang mungkin akan dijelaskan pada
kesempatan lainnya. Sampai di sini, berdasarkan hal tersebut, maka tidak
mengada-ada jika disebut bahwa Usul al-Tafsir merupakan suatu disiplin
keilmuan yang memiliki rancang bangunnya sendiri.
Selanjutnya, mari kita mencoba untuk
melihat langkah pertama metode Ibnu Taimiyah tersebut dari perspektif Filsafat
Ilmu—yang dalam hal ini dicukupkan pada tiga landasan filosofisnya. Pertama adalah
asumsi-asumsi dasarnya Ibnu Taimiyah dalam menelorkan konsep tafsir al-Quran
bi al-Quran. Dalam poin ini, terkira ada tiga asumsi yang dimiliki Ibnu
Taimiyah, yaitu: (1) apa yang disajikan secara global dalam satu tempat, itu
usai memiliki penjelasan di tempat lain, (2) apa yang diringkas di satu tempat,
itu pasti ada penyajian detailnya di tempat lainnya, (3) dan urutan ayat dan
surat dalam al-Quran adalah murni dari Nabi dan Allah. Untuk asumsi terakhir,
ini tidak secara tersurat disampaikan Ibnu Taimiyah, tetapi semacam konsekuensi
alami atas dua asumsi sebelumnya. Masih di poin ketiga, hal ini biasanya
dibedakan dengan apa yang ditulis Jabiri dalam tafsirnya yang berlandaskan tartib
al-nuzuly[20]
dan Noldeke dengan asumsinya kalau susunan
al-Quran rancu.[21]
Berhenti sejenak di sini, melihat bagaimana postulasi—meminjam istilahnya Amin
Abdullah[22]—Ibnu
Taimiyah yang sedemikian rupa, maka wajar mengapa di tahap pertama metode
penafsirannya, dia mengharuskan siapapun untuk memulai penafsirannya dengan
al-Quran.
Selanjutnya, mengenai landasan
filosofis yang kedua, bisa disebut paradigma yang berkembang di masa
Ibnu Taimiyah adalah teologis atau teosentris. Yaitu ketika hal apapun atau
penemuan apapun itu tidak bisa lepas dari sisi vertikalnya. Ini bisa kita
buktikan dengan bagaimana Ibnu Taimiyah sering mendasarkan pendapatnya pada
teks semata, seperti asumsi yang dipakai dalam menelorkan langkah metodis
kedua, tafsir al-Quran bi al-Sunnah. Langkah tersebut dibangun Ibnu
Taimiyah berdasarkan beberapa ayat al-Quran yang beberapa abad sebelumnya
dipakai oleh Safi’i, yaitu al-Nisa’: 105 dan al-Nahl: 44.[23]
Di wilayah lain, ini juga bisa kita lihat di ujung penjelasannya tentang
langkah metodis menafsirkan; Ibnu Taimiyah menyebut bahwa menafsirkan
berlandaskan akal semata adalah haram.[24]
Dari beberapa hal tersebut, kita bisa
membayangkan bahwa apa yang ada di balik pemikiran Ibnu Taimiyah adalah
bayang-bayang otoritas teks yang notabene sebagai suara Tuhan dan secara
bersamaan apapun yang Ibnu Taimiyah pikirkan tidak boleh keluar dari
bayang-bayang tersebut. Kiranya di titik inilah, kita boleh menyebutnya sebagai
paradigma; Ibnu Taimiyah menjalani kehidupannya—termasuk dalam menuliskan Usul
al-Tafsir—dengan tanpa sadar berbasis Tuhan sebagai orientasinya.
Lebih lanjut, ini juga bisa kita
amati dari waktu dan tempat Ibnu Taimiyah hidup. Ibnu Taimiyah lahir pada tahun
1263 M atau pada saat Islam mengalami disintegrasi selepas runtuhnya dinasti
Abbasiyah. Pada kisaran abad tersebut hidup juga al-Ghazali dan Ibnu Rusyid,
untuk menyebut beberapa. Dilihat dari bagaimana al-Gazali dan Ibnu Rusyid
terlibat dialektika terkait ketuhanan yang diabadikan dalam bukunya, Tahafut
al-Falasifah[25]
dan Tahafut al-Tahafut,[26]
dengan tanpa pikir panjang, kiranya kita bisa
menyimpulkan bahwa nuansa perkembangan keilmuan waktu itu memang sulit untuk
lepas dari apa yang disebut Tuhan.[27]
Oleh karenanya, sebab Ibnu Taimiyah juga hidup di masa ini pula, maka sekali
lagi, tidak terlalu berlebihan saat disebut bahwa paradigma yang dipakai Ibnu
Taimiyah dalam teorinya tersebut adalah teosentris.
Adapun
yang terakhir, framework, ini terjalin erat dengan paradigma. Dengan
lain ungkapan, sebab paradigma yang berkembang ketika itu adalah teosentris,
maka kerangka berpikirnya adalah semacam membatasi kebenaran hanya pada apa
yang diyakininya. Lebih jauh, pada prinsipnya ini merupakan konsekuensi dari
paradigma yang berkembang saat itu. Saat yang menjadi keyakinan bersama adalah
terpusat pada urusan ketuhanan atau teks, maka apa yang berada di luar atau
tidak sejalan dengan pemahamannya atas teks, maka salah. Kira-kira demikianlah
kerangka berpikir yang dipakai Ibnu Taimiyah dalam teorinya tersebut. Guna
membuktikannya, kita bisa melihat ungkapan yang usai disinggung tadi “siapapun
yang menafsirkan al-Quran dengan akal semata adalah haram”. Dalam ungkapan
tersebut, secara tersirat menunjukkan bahwa Ibnu Taimiyah tidak sependapat
dengan kelompok tertentu yang terkesan lebih mengunggulkan akal seperti al-Farabi,
Ibnu Sina, dan sebagainya. pendek kata, yang ingin disampaikan di sini adalah
bahwa di balik pemikiran Ibnu Taimiyah—terlebih dalam diskursus ini—terdapat
semacam pola bahwa kebenaran adalah apa itu yang masih dalam batas-batas
otoritas teks. Dan yang terakhir, penting pula bagi kita untuk memahami bahwa
apa yang menjadi pemikiran Ibnu Taimiyah ini merupakan sumbangsih yang sungguh
luar biasa bagi sejarah peradaban masyarakat Muslim, terlebih masyarakat di
masanya pada 8 abad silam.[28]Ipoenk070516
[1] Adalah istilah yang sering
dipakai untuk merujuk suatu bangunan pengetahuan yang sistematis dan
terstruktur. Lihat Amin Abdullah, Studi Agama: Normativitas atau
Historisitas? (Yogyakarta: Pustaka Pelajar: 2015), hlm. 257. Bandingkan
dengan Muhammad Muslih, Filsafat Ilmu: Kajian atas Asumsi Dasar, Paradigma,
dan Kerangka Teori Pengetahuan (Yogyakarta: Beluka, 2015), hlm. 38
[2]Muhammad Arkoun, dkk., Orientalisme
vis a vis Oksidentalisme (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2008), hlm. 11. Istilah
ini juga sering dipakai Amin Abdullah dalam tulisannya, salah satunya lihat
Amin Abdullah, Falsafah Kalam di Era Postmodern (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2009), hlm. 19.
[3] Amin
menyebut ini sebagai Islamic Doctrin. Istilah tersebut dipakai sebagai
parodi untuk beberapa kalangan yang menyebut dirinya sebagai Islamic
Studies, tetapi tidak mau menerima anomali sebagai suatu keniscayaan dalam
keilmuan, lihat Amin Abdullah, Studi Agama: Normativitas atau Historisitas?,
hlm. 103.
[4] Tim Dosen Filsafat UGM, Filsafat
Ilmu Sebagai Dasar Pengembang Ilmu Pengetahuan (Yogyakarta: Liberty, 2012),
hlm. 44.
[5] Ini adalah istilah yang sering
disejajarkan dengan objek formal. Objek material merupakan titik bidik dalam
peneletian atau objek pokok penelitian, sedangkan objek formal adalah sudut
pandang dalam membidik titik objek. Lihat Abdul Mustaqim, Metode Penelitian
al-Quran dan Tafsir (Yogyakarta: IDEA Press, 2014), hlm. 10.
[6] Dalam
cakupan Filsafat Ilmu yang pertama, di dalamnya juga dibahas mengenai apa itu
Ontologi, Epitemologi, dan Aksiologi bukan sebagai sudut pandang, tetapi
sebagai objek material. Ontologi misalnya, dalam bagian ini, Ontologi dilihat
sebagai suatu penyelidikan kefilsafatan yang paling kuno. Ini terlihat dari perkembangan
paling awal perenungan di Yunani adalah mengenai hakikat dari sesuatu, yaitu
hakikat Alam: Thales misalnya, memandang bahwa hakikat terdalam alam semesta
adalah Air. Di samping itu, aliran ini juga membahas masalah monoisme (hakikat
terdalam dari kenyataan hanyalah satu), dualism (hakikat kenyataan adalah dua),
pluralisme (hakikat kenyataan tidaklah tunggal atau ganda, tetapi banyak), dan
nihilisme (tidak ada hakikat dalam kenyataan). Lebih jauh, lihat Amsal
Bakhtiar, Filsafat Ilmu (Depok: Rajagrafindo Persada, 2013), hlm. 131-148.
Bandingkan dengan Listiyono Santoso dkk., Epistemologi Kiri (Yogyakarta:
ar-Ruzz Media, 2012), hlm. 7.
[7] Amsal Bakhtiar, Filsafat
Ilmu, hlm. 132. Bandingkan dengan Jujun S., Ilmu dalam Perspektif:
Sebuah Kumpulan Karangan Tentang Hakikat Ilmu (Jakarta: Obor, 2012), hlm.
5.
[8] Muhammad Muslih, Filsafat
Ilmu: Kajian atas Asumsi Dasar, Paradigma, dan Kerangka Teori Pengetahuan, 36.
[9] Muhammad Muslih, Filsafat
Ilmu: Kajian atas Asumsi Dasar, Paradigma, dan Kerangka Teori Pengetahuan, 40.
[10] Amin Abdullah, Studi
Agama: Normativitas atau Historisitas? (Yogyakarta: Pustaka Pelajar: 2015),
hlm. 101.
[11] Muhammad Muslih, Filsafat
Ilmu: Kajian atas Asumsi Dasar, Paradigma, dan Kerangka Teori Pengetahuan, 88.
[12] Muhammad Muslih, Filsafat Ilmu: Kajian
atas Asumsi Dasar, Paradigma, dan Kerangka Teori Pengetahuan, 92.
[13] Bahkan dalam hal ini, suatu keilmuan
harus menemukan anomalinya atau menuju wilayah
Revolutionary science, jika masih ingin dianggap sebagai “ilmu”.
Sebab “ilmu” tidak bisa tidak berkembang dan dalam setiap perkembangan terdapat
anomali-anomali. Oleh karenanya, sampai di sini, tidak ada alasan lagi untuk
tetep kekeh dengan produk keilmuan dari satu masa tanpa adanya usaha
sedikitpun untuk merekonstruksnya, lihat Amin Abdullah, Studi Agama:
Normativitas atau Historisitas?, hlm. 103. Bandingkan dengan Muhammad
Muslih, Filsafat Ilmu: Kajian atas Asumsi Dasar, Paradigma, dan Kerangka
Teori Pengetahuan, 37.
[14] Tidak
lain, ini disebabkan oleh pandangan saat itu bahwa yang disebut Ilmu adalah
yang empiris, terukur, dan kuantitatif. Meski toh pada perkembangannya muncul
istilah “fisika sosial”, sebagai bagian dari ilmu pengetahuan, tetap saja itu
berbeda dengan “Ilmu Sosial” yang
dikembangkan selanjutnya oleh Dilthey. Dalam “Ilmu Sosial”, metode yang
digunakan tidak lagi erklaeren, sebagaimana Fisika Sosial, tetapi verstehen,
lihat Tim Dosen Filsafat UGM, Filsafat Ilmu Sebagai Dasar Pengembang
Ilmu Pengetahuan, hlm. 7.
[16] Muhammad
Muslih, Filsafat Ilmu: Kajian atas Asumsi Dasar, Paradigma, dan Kerangka
Teori Pengetahuan, 37.
[17] Ibnu Taimiyah, Muqaddimah
fi Usul al-Tafsir (Kota: Penerbit, 1971), hlm. 33.
[18] Ibnu
Taimiyah, Muqaddimah fi Usul al-Tafsir, hlm. 93-105. Dalam pengantarnya,
ini usai dijelaskan dengan cukup ringkas oleh pentahkik, Adan Zurzur, hlm. 20.
[19] Muhammad
Muslih, Filsafat Ilmu: Kajian atas Asumsi Dasar, Paradigma, dan Kerangka
Teori Pengetahuan, 60.
[20] Ini adalah salah satu model tafsir yang
ditulis dengan orientasi kronologi turunnya ayat. Jabiri sering menyebut ini
sebagai upaya membaca sirah nabawiyah melalui al-Quran dan sebaliknya.
Dalam menelorkan tafsirnya ini, fahm al-Quran al-Hakim: al-Tafsir al-Wadhih
Hasba Tartib al-Nuzul, Jabiri menggunakan dua prinsipnya, yaitu prinsip fasl
dan wasl. Pertama meliputi pendekatan struktural, analisis histori,
dan kritik ideologis, sedangkan kedua cukup dengan rasionalisasi atau prinsip
kontinuitas. Mengenai ini pula Jabiri terinspirasi oleh al-Syatibi terkait
bagaimana memahami al-Quran dalam bukunya al-Muwafaqat, Lihat Muhammad
Yahya, “fahm al-Quran al-Hakim: al-Tafsir al-Wadhih Hasba Tartib al-Nuzul Karya
al-Jabiri”, al-Quran dan Hadis, Vol. 11, No. 1, hlm. 1-22.
[21]Ini bisa diamati dari
bagaimana Abdullah Saeed menulis tentang Noldeke: “Quran as a book composed of
unstable words and letters, and full of variants which, as result, could not
possibly be devine”, lihat Abdullah Saeed, The Quran an Introduction (New
York: Routledge, 2008), hlm. 107.
[22]Ini merupakan nama lain dari
“asumsi dasar”, yaitu sebagai salah satu unsur yang wajib ada dalam setiap
upaya pemecahan masalah, baik itu dalam suatu pendapat ilmiah, tulisan ilmiah,
dan sebagainya. Tanpa postulasi yang kokoh, jelas, dan sistematis, semua
analisis pemecahan masalah tidak akan sampai pada modelnya yang fokus dan
tajam, lihat Amin Abdullah, Studi Agama: Normativitas atau Historisitas?,
hlm. 101.
[25]Pada prinsipnya, melalui kitab
ini, salah satunya, Ghazali hanya ingin mengungkapkan ketidaksetujuannya atas Islamic
Aristotelian—para teolog rasional berlandaskan metafisika Aristoteles—yang
memiliki asumsi bahwa rasio manusia mampu menyelesaikan banyak persoalan
teologi. Mengenai ini, selepas mengkritik rasional metafisik, Ghazali
menawarkan bantuan intuisi atau wahyu dalam menjawab persoalan semacam ini,
lihat Amin Abdullah, Antara al-Ghazali dan Kant: Filsafat Etika Islam (Bandung:
Mizan, 2002), 58.
[27]Lebih jauh, ini bisa dilihat
dari bagaimana model pemikiran antara al-Farabi, Ibn Sina, dan Ibnu Rusyd yang
bisa disebut masih berkutat dalam bidang metafasika. Mengenai itu, al-Farabi
cenderung pada Plotinus dan mecoba menemukan sintesisnya dengan apa Yang Esa
dalam al-Quran. Kemudian, upaya al-Farabi ini, melalui jalan yang agak
berbeda, dilanjutkan oleh Ibnu Sina
dengan kombinasi antara Yang Esa dengan Yang Wujud. Dan di masa selanjutnya,
Ibnu Rusyid hadir dengan model yang sama sekali berbeda, yaitu melalui pengaruh
Aristoteles, meskipun golnya masih identik: semua tentang metafisika. Lihat A. Khudori Soleh, Wacana Baru Filsafat
Islam, hlm. 98.
[28]Ini bisa kita amati dari
bagaimana pengaruh Ibnu Taimiyah terhadap beberapa pemikir setelahnya. Beberapa
darinya adalah Ibnu Katsir dengan beberapa penjelasan tentang ahsan turuq
al-tafsir dalam muqaddimah tafsirnya dan Suyuti dengan kaidah nomer
78 tentang ma’rifat syurut al-mufassir wa adabihi. Lihat Adnan Zurzur
dalam pengantar Ibnu Taimiyah, Muqaddimah fi Usul al-Tafsir, hlm. 22.