Saya
ulangi satu kali lagi: satu-satunya yang pasti adalah ketidakpastian. Iya,
pasti sudah jamak diketahui bahwa satu ungkapan tersebut adalah salah satu ide
Einsten jika dibahasakan dalam B. Indonesia. Insipirasi untuk menulis catatan
ada ketika saya membaca novel 5 CM,
entah siapa pengarangnya saya lupa namanya.
Dirasa
atau tidak, masih berhubungan dengan ketidakpastian, salah satu keadaan terbaik
dalam kehidupan ini adalah ketidakpastian. Mengapa? Pertama, karena tanpa
keadaan seperti itu, manusia akan sangat sulit untuk berterima kasih dengan
apapun yang telah dia miliki. Dalam hal umur misalnya, ketika manusia sudah
mengetahui di umur yang keberapa dia meninggal, maka kemungkinan terbesar yang
akan dilakukan manusia tersebut adalah berfoya-foya di 80% hidupnya dan baru
ketika kurang 2 tahun dia meninggal, dia berlomba-lomba dalam kebaikan. Hal itu
bisa dibayangkan, bagaimana jadinya dunia ini jika semua manusia dalam 80%
hidupnya bertindak semaunya tanpa adanya sesuatu yang dia takuti, toh mayoritas
penduduk dunia adalah orang-orang yang beragama.[1] Selain itu, contoh lainnya
adalah tentang bukti empiris dari orang-orang yang pernah naik kapal laut. Andaikan
kapal tersebut berjalan dengan sangat tenang, bisa dipastikan semua penumpang
yang berada di dalamnya akan santai dan cenderung tidak berterima kasih akan
keadaan nyaman tersebut. Akan tetapi jika kapal itu berjalan berkeok-keok
terkena ombak yang cukup besar, maka kemungkinan terbanyaknya para penumpang
akan khawatir dan cenderung berharap kepada suatu dzat menurut keyakinannya
masing-masing. Orang-orang yang tak percaya akan Tuhan pun pasti akan turut
berharap. Dengan demikian, satu hal lagi yang diyakini bisa membuat kepribadian
seseorang menjadi baik dan taat adalah ketidakpastian. Bagaimanapun juga
keadaan yang selama ini sering dipandang labil memiliki potensi yang luar
biasa.
Kedua,
yaitu tentang jodoh, bisa dibayangkan jika semua orang sudah mengetahui siapa
jodohnya, maka kenyataan yang ada saat ini pasti akan jauh berbeda. Seseorang
pasti akan enggan untuk berlomba-lomba menghiasi dirinya sebaik mungkin demi
jodohnya, jika dia sudah tahu siapakah jodohnya. Bahkan dia akan cenderung
mempermainkan banyak hati dari lawan jenisnya. Disepakati atau tidak,
pemandangan yang mulai pupus tentang usaha-usaha tertentu yang dilakukan
beberapa manusia untuk menghiasi dirinya demi jodohnya kelak karena
keyakinannya adalah suatu pemandangan yang akan sangat dirindukan oleh dunia. Dan
hanya dengan satu ketidakpastian ini, boleh jadi budaya tersebut masih akan
eksis untuk bertahun-tahun berikutnya.
Ketiga,
rezeki. Hal ini tidak berbeda jauh dengan paragraf-paragraf sebelumnya, hanya
saja berbeda orientasi. Dalam hal ini, jika rezeki setiap orang sudah pasti dan
yang bersangkutan telah mengetahuinya, maka kemungkinan terbaik yang akan
terjadi adalah kemalasan manusia untuk bekerja. Bisa dispekulasikan, bagaimana
rasanya kehidupan ini kalau tidak ada satu pun orang yang rajin berangkat
bekerja di setiap paginya, tiada lagi para sopir trans yang menyetir
pagi-pagi, dan tiada lagi toko-toko yang mau buka 24 jam. Dan keadaan seperti
itu akan benar-benar terjadi jika ketidakpastian akan rezeki itu tidak ada.
Masih
berkenaan dengan itu, di wilayah peribadatan, ternyata kepastian yang selama
ini dipandang baku, menurut saya masihlah akan menemui titik ketidakpastian. Adalah
tentang 6 rakaatnya sholat ashar. Hal tersebut akan sesuai dengan jumlahnya
jika dilakukan sesuai waktu yang dianjurkan oleh ulama ahli fikih, tetapi jika
dilakukan selepas 2 jam dari waktu adzan, maka kurang tepat juga jika sholat
Ashar dilakukan 6 rakaat. Dan apakah itu masih dinamakan sebuah kepastian? Saya
kira tidak.
Dengan
demikian, apa yang pernah diidekan Einsten beberapa tahun silam, masih belum
bisa dibantah, meski dalam ranah religi-peribadatannya sebuah agama.zev241113
Tidak ada komentar:
Posting Komentar