Rasa memang tidak pernah bohong,
sepertinya jargon itulah yang paling sesuai untuk mendukung beberapa kesimpulan
yang kontroversial akhir-akhir ini. Salah satunya adalah tentang kesimpulan
yang menyatakan: semua agama itu harus dicoba terlebih dahulu sebelum seseorang
mengatakan kalau hanya agamanya yang benar sedangkan yang lainnya tidak. Begitu
juga dengan rasa, rasa bisa diklaim mempunyai rasa tertentu dan tidak bohong
jika ada seseorang yang sudah mencicipinya, begitu juga sebaliknya: ketika itu
tidak dicicipi, maka hanyalah kebodohan untuk mengatakan hal terkait memiliki
sebuah rasa tertentu sehingga itu berpotensi sekali untuk melahirkan banyak
kebohongan. Dengan demikian, sebuah rasa memang akan selalu jujur dengan
syarat: harus dicicipi.
Tidak berbeda
dengan itu, adalah tentang pupusnya kemunkaran dan ketidakbaikan seseorang
selepas menjalankan sholat. Seseorang yang telah menunaikan sholat idealnya
mereka akan sulit untuk melaksanakan kedua hal itu. Akan tetapi, kenyatannya,
hal tersebut masih saja dirasa hanyalah cerita-cerita bohongan saja karena
memang sangat jarang sekali seseorang bisa merasakan dampaknya. Dalam arti,
meskipun mereka sholat, tetap saja kedua hal tersebut sulit untuk dihindari.
Dan di titik inilah muncul sebuah permasalahan: apakah ayat terkait yang bohong
ataukah kita yang bohong?
Dan dari pertanyaan tersebut, sudah
pasti jawabannya adalah kita yang bohong. Namun, mengapa hal itu sampai membuat
kita bohong, padahal kita sudah sholat dan berdoa, apakah untuk memahami satu
ayat ini sholat saja kurang? Jawabannya jelas: kurang. Dan kekurangan itu bukan
hanya mengenai bagaimana kita harus sholat sekhusyuk mungkin, tidak. Akan
tetapi hal itu lebih mengarah kepada persoalan pengalaman. Iya, pengalaman
untuk mencoba.
Lebih dalam lagi, sebagaimana satu
jargon di paragraf pertama tadi, seseorang bisa merasakan secara langsung
manfaat sholat sebagai pencegah dari perbuatan keji dan munkar jika dia sudah
terlibat di dalamnya atau telah mencobanya. Sehingga, di saat seseorang telah
terlibat di dalamnya kemudian menunaikan sholat, sedikitnya, pasti yang
bersangkutan merasakan sesuatu yang berbeda karena dia membandingkan:
membandingkan antara keadaan menjadi seorang yang terbebas dari perbuatan keji dengan
keadaan ketika dia terbebas darinya. Minimal, hal itu bisa memunculkan sekat
antara bagaimana rasanya menjadi A dan bagaimana menjadi B. Dan itu berbeda
dengan keadaan seseorang yang tidak pernah mencoba untuk maksiat, banyak
kemungkinan, mereka tidak akan bisa merasakan dampak dari sholat karena mereka
hanya merasakan A saja, tidak pernah B. Logisnya, bagaimana hal itu bisa
dibandingkan jika sesuatu yang dibandingkan tidak ada. Dengan demikian,
sepertinya, untuk memahami ayat tersebut secara total, seseorang dianjurkan
untuk mencoba fahsya’ dan munkar. Tidak selamanya yang tidak baik
itu tidak perlu. Zev301213
Tidak ada komentar:
Posting Komentar