Semua orang terlahir dengan dua sisi,
sisi baik dan buruk. Iya, semua orang memiliki kekurangan dan kelebihan. Ketika
seseorang lebih menonjolkan sisi buruknya, sudah pasti dia akan kehilangan kepercayaan dari banyak orang.
Begitu juga sebaliknya: kalau seorang itu lebih menonjolkan sisi baiknya, maka
orang-orang akan semakin percaya kepada dia. Suatu hal yang wajar.
Sampai-sampai karena saking wajarnya, banyak yang lupa kalau dibalik
kebaikan seorang yang paling baik pun masih ada sisi buruknya dan itupun sudah
menempati wilayahnya masing-masing.
Begitu juga dengan kyai, sesosok
kharismatik yang begitu dihargai di segala lapisan masyarakat, lebih-lebih
santri. Satu kalimat saja darinya, bisa menggerakkan ribuan santri secara
militan. Sebuah kharisma yang luar biasa. Hal itu bisa terjadi tak lain karena
dampak dari sisi baiknya yang lebih menonjol dari dirinya dalam hal agama.
Sehingga berangkat dari itu, banyak orang merasa nyaman dengannya dan menaruh
kepercayaan penuh kepadanya dalam wilyah keagamaan. Saya ulangi lagi: dalam
wilayah keagamaan.
Masyarakat menaruh kepercayaan dengan kyai
karena baiknya sisi kagamaannya. Ketika seorang kyai menyuruh masyarakat untuk
menunaikan tarawih misalnya, maka tanpa banyak bertanya, tidak masalah kalau
perintah itu dilakukan. Sebab memang di situlah kebaikan kyai—yang menjadi
alasan utama dia dihargai—terletak, yaitu di bidang agama. Sehingga ketika kyai
mengemukakan pendapatnya di bidang selain agama, sangat perlu rasanya untuk
merenunginya lebih lanjut: apakah itu sesuai dengan hati dan nyaman di benak
atau bagaimana. Bagaimanapun juga kyai masihlah manusia yang masih memiliki
keakuan dan kekurangan dalam pribadinya.
Setidaknya kita harus bisa membedakan
kapan seorang kyai menjadi kyai yang lebih paham dalam bidang keagamaan dan
kapan seorang kyai menjadi seorang biasa dengan pemikiran yang biasa juga dalam
hal selain keagamaan. Ketika kyai menjadi seorang kyai, dia akan mengajarkan
semua pengetahuannya tentang agama kepada kita, kemudian kita terdiam dan
mendengarkannya karena hebatnya kharismatik kyai di bidang ini. Selanjutnya
dengan pemikiran kyai, seorang kyai mengabarkan pemikirannya terkait hal selain
agama kepada kita, baik itu melalui sela-sela pengajian agamanya maupun dalam
momen lainnya. Dan di titik inilah, kita harus cermat dalam memilih: mana yang
harus kita tiru darinya dan mana yang tidak. Kalau kyai mengatakan bahwa dia
selalu shalat malam, maka tirulah hal itu, tanpa mengklarifikasi dulu tidak
masalah, selama itu jelas masih masuk dalam ranah keagamaan. akan tetapi
berbeda lagi, semisal kyai mengatakan kalau dia memilih CAPRES A, lantas kita
tanpa merenunginya langsung ikut kyai dan memilih A. Hal itu akan rancau. Sudah
cukup rasanya kita ikut-ikutan kyai dalam hal agama dan sudah saatnya untuk
memberi kesempatan pada diri sendiri
dalam melangkah, lebih-lebih kepada siapa kita besok akan menggunakan hak suara
kita. Kyai jugalah seorang manusia, dalam wilayahnya saja tidak menutup
kemungkinan adanya kesalahan, apalagi di luar wilayahnya. Dengan demikian, jika kita bisa membedakan
kedua hal di atas, maka kerancaun itu tidak akan pernah ada. Memilihlah
suka-suka tanpa terikat siapa saja. poenk8614