Saat saya berkunjung ke rumah semua
guru-guru MI atau bahasanya adalah lahir
batin kepada beliau-beliau pada Hari Raya kemaren, saya terlibat sedikit
diskusi tentang proses dan metode pembelajaran dalam MI saya dulu. Sampai saat
ini asumsi saya masih sama dengan tujuh tahun silam: metode pengajaran MIS
Kerek dominan dengan pemaksaan dan kekerasan. Meski saya sudah merasakan hasil
hebatnya, tetap saja nalar logis saya belum bisa mengatakan kalau sistem itu
baik untuk semua kalangan.
Dan pada hari itu, lewat diskusi
dengan Bapak Jarum, salah satu Wali Kelas VI MI dulu, saya mendapat sedikit
jalan keluar akan kebuntuan pikiran
saya tentang metode yang dipakai Mbah Hari dalam mendidik saya tempo dulu.
Ternyata sangat istimewa, di luar dugaan saya. Jauh dari alam sadar saya, apa
yang dilakukan mbah Hari selama ini tidak tanpa alasan. Dan melalui bapak Jarum
saya mulia mengerti itu.
Adalah tentang pengkosongan pikiran.
Untuk mendidik seorang anak agar bisa menuruti dan mengingat semua yang ada
dalam materi dan tujuan pembelajaran, pikiran yang bersangkutan harus bersih
dari pikiran-pikiran lainnya. Bapak Jarum menyebutnya sebagai proses
pendoktrinan. Sehingga ketika pikiran yang bersangkutan tadi sudah dikosongkan
dengan cara tertentu, data yang akan disampaikan tadi akan sangat mudah
menancap dalam pikiran dan hati si anak. Ternyata, mbah Hari telah sukses
melakukan ini. Beliau menerapkannya dengan kebeliaunnya sendiri.
Ingatan
saya masih segar, tentang tujuh tahun silam saat saya terlambat masuk ngaji
subuh di pesantren Hidayatul Mubtadiin. Saya hanya terlambat tiga menit tapi
marahnya kepada saya bukan main hebatnya. Di waktu yang sama, pikiran saya down sekali, seketika itu juga ingin
rasanya tidak ngaji untuk selamanya, umur saya yang masih dua belas tahun
seakan mendukung jiwa saya untuk memberontak. Tetapi uniknya, paskatragedi,
beliau selalu memberi kami wejangan yang terkait dengan kesalahan kami. Dan
salah satunya, yang masih saya ingat sampai sekarang adalah salah satu ayat
Quran: walladzina jaahadu fiina
lanahdiyannahum subulana. Saat itu saya masih belum tahu kalau itu berbasis
pada pemikiran yang menarik dalam dunia pendidikan.
Melalui cerita singkat di atas, tidak
salah jika Bapak Jarum mengatakan kalau metode pengajaran mbah hari ini
istimewa. Mbah hari bisa mengosongkan pikiran anak didiknya terlebih dahulu
(dengan memarahinya tanpa sebab yang pasti) baru memberinya data-data yang
dianggap sangat vital untuk disampaikan (wejangan rutin yang selalu ada
paskatragedi). Ibarat menanam jagung, tanah yang akan di isi tunas jagung
haruslah digali terlebih dahulu, di bersihkan baru diberi tunas. Pertumbuhannya
akan tidak stabil jika saat menanam tidak digali terlebih dahulu.
Dalam pendekatan historis, metode ini
sebenarnya sudah sangat familiar. Semua muslim mengerti kalau Rosulullah lahir
tanpa hadirnya seorang ayah yang melindunginya dan seorang ibu yang
menyayanginya. Muhammad kecil lahir dalam keadaan yatim piatu, dalam keadaan
tersesat, dan dalam keadaan miskin (Ad-Dluha). Dalam hal sentuhan jiwa dan
pikiran, Muhammad kecil masih putih bersih. Tidak ada doktrin sedikitpun dari
kedua orangtuanya yang menyentuh palung pikiran dan jiwanya. Dan dalam
pendekatan ini, Allah memang sengaja membuat Muhammad tanpa ayah dan ibu agar
DIA bisa mendoktrin pikiran Muhammad kecil secara privat. Sehingga semua yang
ada dalam diri seorang Muhammad adalah murni dari Allah.
Kemudian, jika saya membandingkannya
dengan metode pengajarannya mbah Hari, saya menemukan beberapa persamaan. Salah
satunya adalah tentang pengkosongan pikiran. Pikiran yang kosong, serumit dan
seradikal apapun data yang dimasukkan ke dalamnya, pasti akan sangat mengena
dan tidaklah sulit.zev.100913
Tidak ada komentar:
Posting Komentar