Manusia adalah makhluk penafsir. Semua
yang terjadi di biosfer ini tidak lepas dari bermacam-macam penafsiran manusia.
Selain memang hal itu sudah menjadi sifat dasar manusia sebagai hermeneutic
human, manusia juga terlahir dengan rasa ingin tahu yang tinggi. Keingintahuan
manusia yang tinggi pada akhirnya harus mendorong manusia untuk memahami. Dan
di situlah eksistensi penafsiran manusia.
Sebuah penafsiran ada bukan tanpa
tujuan. Dalam hal ini, secara umum, tujuan manusia menafsiri apapun yang dia
tangkap adalah untuk mencari kepuasan hatinya. Kepuasan terkait erat dengan
adanya sebuah kebenaran. Artinya, secara tidak langsung ketika seseorang tengah
menafsiri sesuatu, di waktu yang sama, dia sedang mencari sebuah kebenaran.
Atau lebih tepatnya kesimpulan yang menurut dia itu adalah kebenaran. Namun,
terlepas dari benar tidaknya kesimpulan seseorang tadi, tetap saja, titik tekan
dalam hal ini adalah pencarian kebenaran. Dengan bahasa lain, melalui
penafsiran terhadap sesuatu, seseorang bisa mencari kebenarannya akannya.
Dan di situlah posisi Hermeneutika. Hermeneutika
tak lebihnya adalah sebuah seni memahami bahasa orang lain—atau apapun
itu—secara benar. Sekali lagi, secara benar. Meskipun pada dasarnya, hal itu
hanya digunakan untuk memahami teks-teks mitos, namun pada akhirnya tidak ada
masalah seandainya, hal itu digunakan untuk sekedar memahami perasaan orang
lain. Evolusi objek kajian tersebut tidak bisa terlepas dari sejarah
Hermeneutika sendiri. Secara sederhana, sejarah Hermeneutika berawal dari masa
Yunani kuno—beratus-ratus tahun SM—yang masih membatasi objeknya hanya pada
teks-teks mitos. Kemudian, di abad pertama masehi, objek kajian Hermeneutika
lebih menyempit hanya kepada teks-teks Bibel. Dan akhirnya sampai pada masa
modern—sekitar abad 19 M—objek kajian Hermeneutika sudah mencakup segala hal.
Dari
sekilas tentang skema sejarah Hermeneutika di atas, posisi kajian kita terletak
di bagian terakhir: Hermeneutika Modern. Hermeneutika Modern memiliki banyak
sekali cabang dan salah satunya adalah cabang dari segi pemaknaan terhadap
objek. Dan di sinilah posisi Schleiermacher dalam merumuskan Hermeneutika
romantisnya. Kira-kira itulah sekilas tentang Hermeneutika. Sebagai tindakan
lebih lanjut, mungkin pertanyaannya simpel: bagaimana Hermeneutika Schleiermacher
mampu memberikan jaminan kebenaran terhadap setiap penafsiran yang dilakukan
dengannya?.
1.
Definisi
Hermeneutika
Secara
etimologi, kata hermeneutika berasal dari bahasa Yunani kuno, yaitu hermeneuein—sebagai
kata kerja. Yunani kuno menyebut hermeneuein sebagai aktivitas
menafsirkan. Mereka menggunakan kata tersebut sebagai representasi dari
aktivitas menafsirkan karena terinspirasi dari nama salah satu dewa yang mereka
yakini, Hermes. Hermes adalah nama dewa yang bertugas untuk menerjemahkan bahasa
langit ke bahasa bumi. Dengan demikian, dengan bertolak pada kata penafsiran,
mereka menggunakan nama Hermes—yang akhirnya menjadi Hermeneuein—sebagai
aktivitas penafsiran. Dan akhirnya, kata hermeneuein diserap ke bahasa
Jerman mejadi hermeneutic dan ke bahasa inggris menjadi hermeneutics.
Secara
istilah, hermeneutika didefinisikan beragam. Adanya keberagaman tersebut
disebabkan oleh adanya perkembangan hermeneutika menjadi sebuah disiplin
keilmuan mandiri. Jika dipetakan, sebelum menjadi sebuah disiplin keilmuan, hal
itu berarti sebagai sebuah techne atau aktifitas penafsiran. Lebih
jelasnya, hermeneutika adalah seni atau cara memahami bahasa orang lain,
tulisannya, dan apapun yang tidak jelas secara benar.
Definisi
yang kedua—ketika itu sudah menjadi displin keilmuan—hermeneutika memiliki dua
definisi: definisi sempit dan definisi luas. Pertama, definisi sempit hanyalah
sebatas hermeneutika sebagai metode penafsiran. Kedua, definisi luas
hermeneutika mencakup empat istilah: hermeneuse, hermeneutika,
philosophische hermeneutic, hermeneutische philosophie. Yang pertama adalah
hanyalah sebagai praktek penafsiran, baik itu penafsiran teks, simbol, perilaku
manusia, dan sebagainya tanpa terikat sama sekali dengan metode tertentu. Yang
kedua adalah tentang bagaimana menafsirkan secara benar, apa metodenya, dan
bagaimana aturan-aturannya dalam menafsirkan. Ketiga, philosophische
hermeneutic—hermeneutika filosofis—yaitu membahas tentang pertanyaan:
mengapa kita bisa memahami ini? Apa saja yang diperlukan sehingga mungkin untuk
kita menafsirkan itu? Dan sebagainya. Intinya, di wilayah ini, pembahasannya
bukan lagi kepada metode apa atau objek apa, tetapi kepada mengapa bisa. Yang
terakhir, hermeneutische philosophie—filsafat hermeneutika—yaitu
bagian dari pemikiran-pemikiran filsafat yang mencoba menjawab problem
kehidupan manusia dengan cara menafsirkan apa yang diterima manusia dari
sejarah dan tradisi. Artinya, objek kajian penafsiran di wilayah ini bukan lagi
teks, bahasa atau lainnya, namun sebuah fenomena. Hal ini berlandaskan pada
kesimpulan bahwa manusia adalah makhluk penafsir.
2.
Posisi
Hermeneutika Romantis dalam ranah Hermeneutika sebagai Ilmu.
Berbicara
tentang keilmuan, tidak bisa tidak juga berbicara tentang sejarah keilmuan itu
sendiri. Untuk menjadi sebuah disiplin keilmuan mandiri, bagaimanapun
Hermeneutika harus memiliki babakan sejarah perkembangannya. Artinya,
Hermeneutika harus melewati objektivikasi, sistemasi, metodesasi, dan
universalisasi terlebih dahulu sebelum menjadi sebuah ilmu. Dan dalam proses
yang panjang dan rumit seperti itu, pasti melibatkan sejarah.
Secara sederhana, sejarah perkembangan
hermeneutika terbagi menjadi tiga bagian. Adalah hermeneutika teks mitos,
hermeneutika teks bible, dan hermeneutika umum atau modern.
a.
Hermeneutika
teks mitos.
Di
wilayah ini, hermeneutika masih berupa embrio. Hermeneutika ketika itu masih
belum berdiri sendiri sebagai sebuah disiplin keilmuan. Hermeneutika masih
mengekor pada logika, dialektika, dan linguistik. Artinya, di dalam praktik
ketiganya, hermeneutic pasti digunakan. Dalam hal linguistic misalnya, mereka
membutuhkan hermeneutika untuk memahami sebuah bahasa secara benar. Begitu juga
dengan dialektika dan logika. Hermeneutika menyatu dalam ketiga-tiganya.
Hermeneutika
dalam wilayah ini, sudah muncul pada abad ke—7 sampai 6 masehi di masa Yunani
kuno. Di masa ini, objek penafsirannya masih seputar hal-hal mistik, baik itu
tertulis ataupun tidak. Pada awalnya, penafsiran mereka masih literal. Namun,
pada perkembangannya, berangkat dari kesimpulan Aristoteles yang membagi makna
menjadi dua bagian: makna literal dan makna aligoris, mereka mulai sadar bahwa
dalam sebuah objek penafsiran itu memiliki dualisme makna. Pertama makna
literal yang sempit dan tidak hidup dan kedua makna aligoris yang lebih
mementingkan pesan dibalik makna literal. Sehingga, dari konsep makna aligoris
ini, teks-teks mitos serasa lebih hidup dan mengalir.
b.
Hermeneutika
teks Bibel.
Pada abad pertama masehi, setelah beratus-ratus
tahun masa Aristoteles terlewati. Makna aligoris perlahan terlupakan.
Aktivitas-aktivitas penafsiran kembali kepada makna literal. Objek penafsiran
yang popular di masa ini—1 masehi—adalah teks bibel. Artinya, di awal masa ini,
teks bibel banyak dipahami secara literal.
Sampai akhirnya muncul Philo von Alexandrian
yang menempatkan kembali Hermeneutika pada tempatnya, yaitu dualisme makna.
Dengan meminjam istilah dari Aristoteles berabad-abad silam, Philo berhasil
mengubah haluan penafsiran tentang Bibel. Mulai saat itu, bibel tidak lagi
hanya dipahami secara literal dan kaku, namun juga memperhatikan makna-makna
aligoris. Philo memberikan sumbangsih yang luar biasa bagi masyarakat Kristen
ketika itu. Dan pada akhirnya, Philo dikenal sebagai Vater der Alligorese,
bapak penafsiran aligoris.
Masalah
prioritas, pada awalnya—ketika Philo masih hidup—antara makna literal dengan
makna aligoris memiliki tempat yang sama. Tidak ada yang lebih tinggi antara
satu dengan lainnya. Pemahaman bibel yang berbasis literal tidak lebih tinggi
dari pemahaman bibel yang berbasis aligoris, begitu juga sebaliknya. Akan
tetapi, pada akhirnya—beberapa saat sebelum Philo menghembuskan nafas
terakhirnya—Philo menyatakan bahwa makna aligoris itu lebih tinggi dari makna
literal.
Beberapa waktu setelahnya, muncul
Origenes. Origenes, menindaklanjuti ucapan Philo tentang lebih tingginya makna
aligoris dari makna literal. Origenes menambahkan dualisme makna Philo menjadi
tiga makna. Adalah makna literal, moral, dan spiritual. Secara tidak langsung,
melalui kesimpulan barunya tersebut, Origenes mengamini kesimpulan terakhir
Philo tentang unggulnya makna alogoris. Sehingga itu berdampak pada pemecahan
lagi makna aligoris menjadi dua: moral dan spiritual.
Core dalam pembahasan ini
adalah bahwa sebenarnya konsep hermeneutika sebagai metode penafsiran bukan
pertama kali muncul di masa popular-populernya penafsiran bibel, 1 masehi. Akan
tetapi, jauh sebelum itu. Yaitu di masa Yunani kuno dengan objek kajian yang
tidak sebatas teks. Pun hal itu tidak hanya memandang makna sebagai makna
literal saja, tetapi juga aligoris. Dengan demikian, kurang lurus sepertinya
kalau dikatakan bahwa hermeneutika sebagai metode penafsiran ini adalah khusus
untuk bibel.
c.
Hermeneutika
Modern
Hermeneutika
modern, kali pertamanya dipelopori oleh Johann Conrad Dannhauer pada abad
ke—17. Dannhauer memandang Hermeneutika adalah suatu ilmu yang sudah waktunya
untuk menjadi disiplin keilmuan mandiri. Hal itu disebabkan oleh posisi
hermeneutika itu sendiri sebagai metode penafsiran. Metode penafsiran adalah
sesuatu yang tampak dan bisa diketahui. Apapun yang bisa diketahui pasti
memiliki pengetahuan filosofis. Ketika sesuatu itu sudah memiliki pengetahuan
filosofis, di waktu yang sama hal itu menemukan sisi ontologisnya sendiri.
Dengan demikian, hermeneutika sudah siap untuk menjadi displin keilmuan
mandiri.
Dalam hal objek kajiannya, objek
material hermeneutika adalah simbol-simbol—apapun itu—yang didasarkan pada
kesepakatan bersama. Termasuk di dalamnya adalah simbol-simbol agama, simbol
alam—seperti asap sebagai simbol adanya api—dan simbol-simbol non-verbal
seperti gambar dan sebagainya. Sedangkan objek formalnya adalah ungkapan yang
mengandung pelajaran dan sulit dipahami. Selanjutnya, dengan itu, seorang
penafsir adalah satu-satunya pihak yang paling berhak untuk menganalisa benar
tidaknya sebuah objek. Dengan demikian, Dannhauer mengatakan bahwa di sinilah
hermeneutika menemukan fungsinya, yaitu untuk menjaga seorang penafsir dari
sebuah kesalahan.
Dan berangkat dari itu pula, Dannhauer
menyimpulkan bahwa hermeneutika umum atau modern muncul lebih dulu dibanding
hermeneutika bibel. Pandangan ini berbeda jauh dengan pandangan Wilhelm Dilthey
yang menyimpulkna bahwa hermeneutika bibel murni berasal dari teologi Protestan.
Akan tetapi, meskipun sudah sedemikian, Dannhauer gagal menjadikan Hermeneutika
sebagai suatu disiplin ilmu mandiri. Selanjutnya, muncul Ernst Schleiermacher.
Kegagalan Dannhauer dipandang
Schleiermcher sebagai suatu kesempatan emas untuk meneruskan langkahnya. Dan
ternyata hal itu bukan isapan jempol. Pada abad ke—19 melalui bukunya
Hermeneutical and Criticism, Schleiermacher menuangkan ide-idenya tentang
hermeunetika modern. dan di sinilah posisi hermeneutika romantic Schleiermacher
berada.
3.
Hermeneutika
Romantis
Hermeneutika
romantis adalah istilah lain dari hermeneutika aliran Objektivis Schleiermacher.
Aliran ini muncul dalam wilayah hermeneutika Modern. Selain aliran ini, dalam
hermeneutika modern ada aliran subjektivis dan Subjektiv cum Objektiv. Aliran
subjektivis titik tekannya kepada pembaca, aliran objektivis kepada kandungan
maksud asal dari sebuah teks, dan sedangkan subjektivis cum objektivis berusaha
menengahi perdebatan antara keduanya.
a.
Biografi
Schleiermacher
Nama
lengkapnya adalah Friedrich Daniel Ernst Schleiermacher. Dia lahir pada tahun
1768 di Breslau, Jerman dalam keluarga Protestan. Kakeknya, Daniel
Schleiermacher adalah seorang pastor dan ayahnya seorang tentara pendeta.
Lingkungan yang seperti itu membawa Schleiermacher kecil memulai
pendidikan formal di institusi-institusi
protestan: Morovian Brethren.
Akan tetapi, semua itu tidak bisa memuaskan keraguan Schleiermacher dan justru
malah membuatnya semakin ragu terhadap doktrin-doktrin protestan.
Pada
tahun 1787, sebab tidak adanya kepuasan tadi, dia—meski tidak searah dengan
harapan ayahnya—pindah ke Universitas Halle yang dipandangnya lebih liberal dan
sesuai dengan keinginannya, yaitu memperdalam humanisme. Di Halle, dia
mengambil Teologi. Pada tahun 1790, dia lulus dalam bidang Teologi Kristen lalu
bertugas sebagai tutor swasta sampai 1793.
Di
waktu yang sama—dari 1790 sampai 1794—dia menggunakan waktu luangnya untuk
mempelajari pemikiran-pemikiran raksasa ketika itu, Kant dan Spinoza.
Pendeknya, setelah sepenuhnya memahami kedua pemikiran keduanya, Schleiermacher
menuangkan idenya sendiri melalui kritikan terhadap beberapa pemikiran Kant.
Sedangkan untuk Spinoza, dia mendukung pemikirannya. Dan semua itu bisa dilihat
dalam beberapa karyanya: On Fridom dan Spinosizm.
Pada
tahun 1793, karena ada konflik pemikiran dengan pemilik institusi,
Schleiermacher diberhentikan sebagai tutor. Pada 1794, dia menjadi pastor di
Landsberg sampai 1796. Selanjutnya dia memutuskan untuk pindah ke Berlin,
bekerja dalam sebuah rumah sakit. Dan di sinilah dia bertemu dengan tokoh-tokoh
romantis—Friedrich dan August Wilhelm—yang nantinya berdampak terhadap
pemikiran hermeneutiknya sebagai hermeneutic romantic. Pada tahun-tahun
berikutnya, dia lebih aktif menulis artikel-artikel dan buku-buku yang penting.
Dan itu berlanjut sampai dia diangkat sebagai professor teologi dai Unversitas
Berlin. Banyak karya-karya Schleiermacher yang begitu berharga dalam bidang
filsafat bahasa, teologi, dan hermeneutika. Dia menutup usianya pada 1834.
b.
Pemikiran
Hermeneutika Schleiermacher.
1.
Posisi
Hermeneutika dalam ranah keilmuan
Bagi Schleiermacher objek hermeneutika
bukan hanya pada teks-teks bibel. Lebih dari itu, Schleiermacher, menempatkan
hermeneutika di posisi yang luas. Artinya, objek hermeneutika bukan hanya
sebatas teks bibel, namun apapun itu yang memiliki makna. Dia memandang,
hermeneutika bukan hanya sebagai metode penafsiran. Akan tetapi, hal itu juga
sebagai sesuatu yang membicarakan tentang hal-hal yang mendasar, semisal
tentang mengapa kita mampu memahami, mengapa kita harus memahami, dan
sebagainya. Sehingga, melalui Schleiermacher, di samping hermeneutika berbicara
tentang bagaimana memahami secara benar, juga berbicara tentang mengapa
seseorang mampu memahami.
Berpijak
dari pandangan yang seperti itu, secara tidak langsung, Schleiermacher telah
membagi pengertian hermeneutik ke dalam dua bagian: sempit dan luas. Yang
pertama karena Schleiermacher masih menganggap hermeneutika sebagai metode
penafsiran dan yang kedua karena dia telah menempatkan hermeneutika sebagai
hermeneutika filosofis. Schleiermacher memiliki pandangan seperti itu karena dia
menginginkan hermeneutika bisa berdiri sendiri sebagai sebuah teori ilmu pengetahuan
atau mudahnya sebagai sebuah disiplin keilmuan yang mandiri.
Sebagai
manifestasi dari pemikirannya, Schleiermacher mencoba memposisikan hermeneutika
di tengah-tengah cabang keilmuan lainnya, lebih-lebih logika dan filologi. Akan
tetapi, dia mengakui sendiri, untuk mencapai hal itu tidaklah mudah. Hal itu
disebabkan oleh adanya hermeneutika sendiri—selama berabad-abad—hanyalah
sebagai keterangan tambahan, appendix, dari logika maupun filologi.
Selain itu, hermeneutika juga selalu terikat dengan retorika dan dialektika. Sehingga
sebuah hal yang sulit, untuk menjadikan hermeneutika sebagai disiplin keilmuan
yang mandiri.
Hermeneutika
tidak bisa dipisahkan dengan retorika sebab retorika adalah tindakan berkata.
Sedangkan hermeneutika adalah tindakan memahami. Berkata tanpa adanya proses
memahami tidak akan pernah ada. Begitu juga sebaliknya—terlepas dari bagaimana
model retorika—tanpa berkata proses memahami tidak akan pernah ada. Maka dari
itu, Schleiermacher menyebut bahwa setiap tindakan memahami merupakan inversion
of speech—act.
Begitu
juga dengan dialektika. Hermeneutika tidak bisa lepas darinya. Mudahnya,
hermeneutika adalah proses dari bahasa ke pemikiran. Sedangkan dialektika
merupakan proses dari pemikiran ke bahasa. Dalam proses dialektika pasti
melibatkan situasi dan kondisi. Dengan demikian, dialektika berpengaruh penting
terhadap hermeneutika. Bahasanya Vedder: dialektika itu hermeneutis dan
hermeneutika itu dialektis.
2.
Hermeneutika
Grammatikal dan Psikologis.
Terkait
sub bagian ini, Schleiermacher mengatakan bahwa pokok kajian hermeneutikanya
adalah tentang grammatical dan psikologis. Secara simpel dia menyimpulkan bahwa
pemahaman hanyalah sebuah keberadaan dua keadaan yang saling terkait:
grammatikal dan psikologi. Hermeneutika grammatikal mempelajari tentang bahasa
dan sejarahnya. Sedangkan yang kedua memandang bahasa itu sebagai ungkapan
hidup seseorang.
Hermeneutika
Grammatikal
Adalah penafsiran yang didasarkan atas
analisa bahasa. Melalui analisa bahasa—menurut Schleiermacher—sisi objektif
sebuah penafsiran bisa ditemukan. Artinya, untuk memahami secara objektif,
seseorang harus melalui dengan menganalisa bahasanya. Dan untuk menemukan itu,
ada beberapa kaidah linguistik yang perlu dibahas.
a.
Pengetahuan
terhadap sejarah kapan kali pertamanya bahasa yang ditafsirkan itu muncul.
Berbicara tentang ini, berbicara pula
tentang sasaran pertama bahasa tadi ditujukan. Artinya, dalam memahami
grammatikal sebuah teks misalnya, seseorang harus mengetahui makna teks itu
sendiri dan konteksnya. Termasuk di dalamnya adalah siapa yang pertama
menerimanya, kapan diterimanya, dan sistem bahasa ketika itu.
b. Hubungan
antarkata dalam kalimat dan hubungan antarkalimat.
Melalui ini, Schleiermacher memandang
bahwa untuk memahami sebuah kata, seseorang harus memahami pula kata-kata
sebelum maupun sesudah kata tadi. Sebagai konsekuensinya, hal itu akan
melahirkan pemahaman yang luas. Dan pemahaman yang seperti itulah yang lebih
dekat dengan pemahaman yang objektif.
c. Whole dan part
Adalah menjadikan sejarah hidup
penulis—whole—sebagai bagian dari tulisan-tulisannya—part—dan menjadikan
tulisan-tulisannya sebagai sejarah hidupnya. Secara sederhana, karya seseorang
itu hanya dapat dipahami secara baik dengan cara memperhatikan sistem bahasa
yang dimiliki penulis beserta sejarah hidupnya. Begitu juga sebaliknya: sistem
bahasa dan sejarah hidup seseorang bisa dipahami melalui karyanya. Sehingga,
dengan prinsip ini, seseorang tidak akan kehilangan maksud awal dari pengarang
dalam menuliskan karyanya.
Hermeneutika
Psikologis
Inti pembahasan dalam
wilayah ini adalah bahwa sebuah teks tidak bisa dipahami sendiri—atau secara
terpisah—tanpa melibatkan keadaan pengarang teks. Menurut Schleiermacher teks
tak lain hanyalah sebuah ekspresi diri seseorang. Ekspresi diri seseorang
merupakan respon dari lingkungannya. Artinya, sebuah teks itu tidak bisa
terlepas dari keadaan historis ketika teks itu ditulis. Dan hanya dengan
memahami kejiwaan pengarang teks, keterkaitan keduanya—teks dan lingkungan
ketika itu—bisa dipahami. Hal itu berimplikasi kepada pemahaman secara utuh,
termasuk di dalamnya adalah tentang apa maksud asli dari pengarang.
Secara praktek, Schleiermacher
menawarkan dua metode: divinatory dan komparasi. Divinatory adalah
penyelaman langsung ke dalam jiwa seseorang. Sedangkan komparasi adalah
metode membandingkan seorang pengarang dengan orang-orang lain dengan asumsi
bahwa semuanya memiliki kesamaan-kesamaan. Kedua metode ini bisa disebut
sebagai metode hirarki. Artinya, keduanya tidak bisa dipisahkan. Untuk mengukur
sudah seberapa jauhkah seseorang berhasil menyelami jiwa pengarang adalah
dengan metode komparasi. Awalnya, seseorang harus mencari beberapa orang yang
diasumsikan memiliki beberapa kesamaan—ini adalah proses komparasi—kemudian
kesemuanya diselami sampai muncul adanya perbedaan pemahaman terhadap
masing-masing dari mereka.
3. Kesimpulan
sederhana
Dari semua pembahasan di atas, tujuan
intinya adalah agar seorang penafsir mampu menguak kembali makna yang secara
historis dimaksudkan oleh author atau makna objektif. Dan untuk
menghindari kesalahpahaman di wilayah ini, Schleiermacher menawarkan beberapa
analisis: objectively historical analysis, objectively divinatory analysis,
subjectively historical analysis, dan subjectively divinatory analysis. Sehingga,
berangkat dari semua ini, Hermeneutika Schleiermacher termasuk dalam
aliran objektivis.