Selama ini, banyak orang sering
mencampuradukan antara komunis dengan atheis. Atheis adalah paham yang tidak
mempercayai adanya Tuhan. Sedangkan komunis—dalam konsep Marx—merupakan salah
satu tahapan masyarakat setelah sosialis. Namun, meskipun demikian, tetap saja
komunis sering disamakan dengan anti Tuhan. Peristiwa berdarah dalam sejarah
Rusia oleh Lenin—yang mengatasnamakan komunis—dan tragedi sadis G/30/S/PKI di
Indonesia yang telah membantai banyak nyawa merupakan beberapa sebab mengapa
komunis dipandang sebagai gerakan anti Tuhan. Perilaku yang sama sekali tidak
mencerminkan perikemanusiaan tersebut dipahami sebagai wujud dari
ketidakpercayaan mereka akan Tuhan. Sehingga gerakan yang mengatasnamakan
komunis selalu dinilai sebagai paham anti Tuhan.
Sedikit mengintip sejarah, dalam
konsep Marx, komunisme dimasukkan dalam fase perkembangan masyarakat. Selain
sebagai fase perkembangan masyarakat, itu juga kerap disebut sebagai sosialisme
Marx. Menurut Karl Marx, sebelum masyarakat itu menjadi masyarakat yang
sosialis—untuk tidak mengatakan komunis—mereka telah melewati beberapa tahapan,
antara lain: Komunisme primitif, Perbudakan, Feodalisme, Kapitalisme,
Sosialisme, dan Komunisme.
Adapun untuk yang pertama,
komunisme primitif, adalah fase tempat manusia belum mengenal kepemilikan
pribadi. Semua barang dan harta yang ada merupakan milik bersama. Ketika
seseorang menginginkan beras, dia tinggal mengambil dari tetangganya yang
memiliki beras dan seandainya si tetangga menginginkan sesuatu dari seseorang
tadi, maka tinggal mengambil saja darinya. Secara praktek, masyarakat fase ini
menggunakan sistem barter atau transaksi tukar menukar barang dalam
menjalani kehidupannya. Fase masyarakat awal ini telah benar-benar ada di masa
lalu ketika kepemilikan pribadi belum dikenal. Oleh karenanya, fase ini disebut
sebagai komunisme primitif.
Selanjutnya, di fase kedua
masyarakat sudah mengenal kepemilikan pribadi. Atau dengan ucapan lain, mereka
sudah merasakan nikmatnya memiliki sesuatu. Di fase ini sudah muncul istilah
budak sehingga sebagai konsekuensinya pasti ada pemilik budak. Dan oleh sebab
itu, fase ini disebut sebagai fase perbudakan, fase tempat masyarakat sudah
merasakan nikmatnya memiliki suatu barang, budak.
Ketiga, dari kesadaran
kepemilikan yang telah ada sebelumnya, hal itu memicu lahirnya stratafikasi
dalam masyarakat. Di fase ini sudah muncul katagori-katagori seperti priyayi,
abangan, dan sebagainya. Disusul pula dengan semakin banyaknya kerajaan dan
dinasti yang begitu mendominasi masyarakat. Seakan merekalah satu-satunya yang
berhak mengatur masyarakat yang berada di bawahnya. Mereka menggunakan
kewenangan yang dibuat-buat sendiri secara sewena-wena dan banyak merugikan
masyarakat. Pada akhirnya, fase ini dibuang dan begitu dibenci
masyarakat—karena dominasinya yang mencengkeram—hingga melahikan fase
berikutnya. Fase ketiga ini disebut sebagai fase feodalisme.
Keempat, fase kapitalis. Adalah
fase tempat sebagian kecil dari masyarakat memonopoli hak milik. Suatu barang
yang sebenarnya adalah milik bersama, diambil alih menjadi miliknya karena
hanya dialah yang memiliki peralatan untuk mengolah dan memproduksi barang
tadi. Di fase ini, masyarakat tidak memiliki daya untuk menolak, mereka tidak
memiliki alat produksi. Masalah pegunungan kapur misalnya, sebenarnya
pegunungan kapur beserta kandungan air dan keindahannya adalah milik bersama,
namun karena ada segelentir orang yang memiliki peralatan untuk mengolahnya
menjadi semen, sedangkan masyarakat lainnya tidak memiliki, maka seakan
pegunungan kapur tadi hanyalah milik segelintir orang tadi. Selanjutnya, di
atas pegunungan kapur tadi dibangun pabrik semen yang besar dan megah.
Masyarakat berbondong-bondong mengirimkan lamaran ke pabrik tersebut dan
menjadi karyawan atau bahkan pekerja kontrak kasaran. Mereka menjadi karyawan
bukan pemilik. Pegunungan kapur yang sebelumnya tadi adalah milik semua
masyarakat—disebabkan adanya praktek kapitalisme—sekarang menjadi milik
segelintir orang saja, masyarakat hanya menjadi karyawan, karyawan di tanah
sendiri.
Kelima, adalah fase tempat
masyarakat hidup bersama. Mereka hidup bersama dibawah aturan-aturan
pemerintahan yang dipandang bisa membantu mereka untuk hidup gotong royong. Mereka
mulai sadar pentingnya kebersamaan dan menentang kapitalis. Akan tetapi, itu
tidak sesuai dengan apa yang diharapkan. Meski sudah ada peraturan pemerintah,
tetap saja praktek kapitalisme berkembang bahkan itu dibawah perlindungan
pemerintahan yang terselebung. Wewenang pemerintahan banyak digunakan
sewena-wena untuk membodohi masyarakat. Di fase ini marak hegemoni yang membius
masyarakat pada umumnya, termasuk hegemoni agama. Sehingga, bagi Marx meski
sudah mencapai fase masyarakat sosialis tempat masyarakat memiliki suara untuk
turut mengtur negara, tetap saja ini belum cukup. Marx menginginkan fase
masyarakat yang lebih dari ini, walapapun harus kembali pada fase primitif.
Dan akhirnya, muncul di benak Marx
fase komunisme, fase keenam. Melalui konsep ini, Marx menginginkan
masyarakat kembali pada fase komunisme primitif. Sebab hanya dengan fase tanpa
kepemilikan, manusia bisa hidup damai, bersama-sama, tanpa rebutan, tanpa
dominasi, tanpa melukai, dan sebagainya. Saat petani membutuhkan semen untuk
membangun rumah, dia hanya butuh mengambil dari pemiliki semen dan saat pemilik
semen lapar, dia tinggal mengambil beras di petani. Begitulah, masyarakat
kembali hidup tanpa kenal kepemilikan. Namun, konsep terakhir Marx ini adalah
konsep dunia utopis. Hal semacam itu tidak bisa terjadi dan tidak mungkin
terjadi. Itu hanyalah mimpi Marx yang telah terbius dengan agama ciptaannya
sendiri. Kalaupun itu terjadi,
sepertinya masyarakat tidak lagi membutuhkan surga. Dunia utopis itulah
komunisme.
Itulah sedikit penjelasan tentang
komunisme yang digagas Karl Marx. Dan sepertinya hal itu jauh berbeda dengan
pemahaman atheisme. Apalagi pemahaman yang menyamakan keduanya. Komunisme
hanyalah konsep dunia utopisnya Karl Mark.poenk091214