Sekilas
Secara prinsip, agnotisme tidak terlalu
berbeda dengan ateisme. Hanya saja, agnostisme lebih kepada epistemologi,
sedangkan ateisme kepada ontologi. Agnostisme cenderung pada pertanyaan mengapa
seseorang harus mempercayai Tuhan dan bagaimana seseorang harus tidak
mempercayai tuhan. Adapun ateisme lebih kepada ketidakpercayaannya sendiri atas
adanya tuhan, terlepas dari apa alasan yang melatarbelakanginya. Kira-kira itu.
Istilah agnostisme berasal dari kata
“gnostein” yang berarti mengetahui. Jika ditambah awalan “a” agnostein,
maka itu berarti sebaliknya, yaitu tidak mengetahui. Secara umum, “agnostein” sering
dipakai untuk menyebut ketidaktahuan manusia akan apapun. Dengan lain ucapan,
istilah itu sama halnya dengan pernyataan bahwa sifat dasar manusia adalah
tidak mengetahui apapun. Namun, dalam perkembangannya, istilah “agnostein” juga
dipakai dalam kajian keagamaan. Dan di dalamnya, istilah tersebut dipahami
sebagai bentuk ketidakmampuan manusia untuk memahami tuhan sama sekali. Pendek
kata, dalam perkembanganya—wilayah agama—“agnostein” adalah bentuk
ketidakmampuan manusia untuk mengetahui tuhan. Adapun pelopor pertama yang
memasukkan istilah tersebut dalam memakainya dalam ranah agama adalah Thomas
Henry Huxley.
Meskipun demikian,
secara substansional, sebenarnya istilah di atas usai dipakai beberapa abad
sebelumnya. Pun, dalam dunia Islam, itu juga sudah pernah dipakai. Adalah
skeptisisme Phitagoras dan teologi negatifnya Ibnu Arabi. Pertama, itu bisa
terjadi karena memang agnostisme adalah bagian dari skeptisme. Dengan lain
ucapan, agnostisme adalah skeptisme wajah baru atau bagian dari
perkembangannya. Sedangkan kedua, itu adalah teori Ibnu Arabi yang dipakai
untuk memahami tuhan dengan prinsip keragu-raguan. Dengan demikian, tidak
berlebihan kalau dikatakan bahwa substansi agnostisme sudahlah pernah ada.
Pembagian
agostisme
Di
lain sudut, pengertian agnostisme bisa ditinjau dari dua sisi, yaitu sisi
epistemologi atau dari sudut pandang ilmu pengetahuan dan sisi teologis. Dalam
sisi pertama, agnostisme dipahamai sebagai keterbatasan untuk memperoleh
pengetahuan. Adapun di sisi kedua, itu dipahamai sebagai ketidakmampuan manusia
untuk memahami tuhan.
Dari sudut pandang yang pertama, itu
memiliki dua potensi, yaitu positif dan negatif. Positifnya, dengan agnostisme,
seseorang dituntut untuk membebaskan diri dari segala batasan apapun, baik itu
norma ataupun agama, dalam berpikir. Dan baru setelah itu berhasil, dia layak
disebut kelompok inelektua. Pendek kata, dari sini, muncul konsep bahwa
intelektual adalah mereka yang berhasil melepaskan diri dari segala bentuk
batas dalam berpikir tak terkecuali agama. Selama dia masih terbatas dengan
agama atau semacamnya, maka dia bukanlah intelektual. Sedangkan sisi negatifnya
adalah adanya tuntutan untuk menghadirkan bukti dalam hal apapun itu dan jika
tidak, maka itu sama sekali bukanlah kebenaran. Padahal di waktu yang sama:
tidak semua kebenaran itu bisa dibuktikan. Dan di titik inilah, agnostisme
menolak kebenaran atas adanya tuhan.
Antara
agnostik dan agnostisme
Kedua istilah di atas
tidak bisa disamakan secara kasar. Agnostik berbeda dengan agnostisme. Meskipun
akar katanya sama, tetapi pemahamannya berbeda. Agnostik hanyalah sebatas sikap
tidak mengetahui atau sikap tidak begitu saja percaya dengan apapun. Sedangkan
agnostisme sudahlah menjadi ideologi yang kaku. Artinya, selama masih agnostik,
seseorang sangat mungkin untuk merubah sikapnya: yang mulanya tidak mengetahui
menjadi mengetahui dan sebagainya. Namun, ketika sudah menjadi ideologi, itu
sudah tidak bisa dirubah, totaliter dan kaku.
Selanjuntnya, dalam agnostik sendiri
terbagi menjadi dua, yaitu sikap percaya dan sikap menerima. Antara “percaya”
dan “menerima” adalah dua hal yang tidak selalu bisa disejajarkan. Artinya
ketika mendengar sesuatu, seseorang bisa saja menerima hal tersebut, tetapi
tidak mempercayainya. Tidak semua yang diterima itu harus dipercayai, begitu
juga sebaliknya. Itu bisa terjadi karena memang keduanya berbeda. Untuk
mempercayai, seseorang membutuhkan alasan tertentu dan ini disebut sebagai mental
state. Sedangkan untuk menerima, alasan tidak begitu dibutuhkan dan ini
disebut sebagai mental act. Dengan demikian, seorang agnostik bisa saja
menerima suatu pernyataan, tetapi tidak mempercayainya. Dia menerima adanya
tuhan, tetapi tidak mempercayainya.
Jenis
Agnostisisme
Dalam wilayah teologis, agnostisme
memiliki lima jenis. Adalah ateisme, teis, apatis/pragmatis, kuat, dan agnostisme
lemah. Pertama adalah mereka yang tidak mempercayai tuhan tanpa alasan.
Dengan lain ungkapan, mereka sama sekali tidak tahu atau tidak memiliki
argument mengapa mereka tidak mempercayai tuhan. Berbalik arah dengan
sebelumnya, jenis yang kedua adalah mereka yang mempercayai adanya
tuhan, tetapi sama sekali tidak memiliki alasan mengepa mereka demikian. Ketiga
adalah mereka yang magak atau berada di tengah-tengah antara jenis
pertama dan jenis kedua. Kadang mereka mempercayai adanya tuhan dengan tanpa
alasan dan kadang tidak. Adapun yang keempat, itu merupakan pemikiran
yang sepenuhnya yakin bahwa tuhan itu tidak ada dan biasanya ini disertai
dengan argumentasi-argumentasi.
Dan
yang terakhir tidak lain merupakan mereka yang berpikir bahwa akal itu
terbatas, tetapi tidak ada yang tahu bagaimana batas tersebut. Sebagaimana yang
dikatakan Hegel: semakin bertumbuhnya manusia, semakin luas pula gerak batas
akalnya. Pendek kata, agnostisme lemah adalah mereka yang tidak memiliki
kepastian atas adanya tuhan: sekarang menolak, tetapi bisa saja besok menerima
sebab telah menemukan argument, kira-kira itu. Dan sekali lagi, mereka bisa
sedemikian itu sebab mereka memandang bahwa akal bergerak terbatas.
Argumen-argumen tentang
Agnostisme
a. Imanuel
Kant
Kant menyebut dirinya sendiri sebagai
agnostik. Namun, dalam satu kesimpulannya, dia mengatakan bahwa seseorang harus
menyisakan sedikit ruang di sekitar hatinya untuk tuhan. Adapun tujuannya, kata
Kant, adalah untuk mengontrol moral. Tidak bisa tidak, jika tidak ada satu nama
tersebut—tuhan—yang bersemayam dalam diri manusia, maka suatu kemustahilan
moral bisa dikontrol. Dengan lain ungkapan, tuhan adalah satu hal penting yang
harus ada demi terjaganya moral.
Selain tuhan, untuk mengontrol moral,
itu juga memerlukan keabadian dan kebebasan. Kebebasan menjadi salah satu
pengontrol moral sebab moral membutuhkan kesadaran. Dengan lain ungkapan,
seseorang baru bisa sadar—jika tidak dikata terbiasa untuk sadar—ketika dia
memiliki kebebasan. Sebagai ilustrasinya, seorang santri yang tinggal dalam
lingkup pesantren ketat, selamanya dia tidak akan melakoni aktifitas
kesehariannya dengan penuh kesadaran. Akan tetapi, dia hanya melakukannya agar
tidak mendapatkan hukuman. Dan berbeda dengan itu adalah santri yang tinggal di
pesantren longgar, bagaimanapun apapun yang dia lakukan pasti berlandaskan
kesadaran. Mereka sadar karena mereka memiliki kebebasan untuk melakukan apapun
yang ingin dia lakukan.
Adapun
hubungan keduanya dengan moral adalah terletak pada pelampiasannya. Santri yang
terkekang akan cenderung melampiaskan semua keinginannya secara liar dan tanpa
memperdulikan batasan-batasan moral. Keinginan-keinginan yang sebelumnya
terurungkan gara-gara peraturan pesantren merupakan salah satu alasan mengapa
mereka melakukan itu. Dan berbeda sama sekali dengannya adalah santri yang
longgar: mereka berpotensi lebih kecil untuk melakukan tindakan amoral karena
dalam kesehariannya tidak bertemu dengan paksaan-paksaan. Oleh karena itu,
tidak terlalu mengada-ada kalau kebebasan merupakan salah satu pengontrol
moralitas manusia.
Selanjutnya
adalah keabadian. Keabadian yang dimaksud di sini adalah tempat pembalasan.
Dengan lain ungkapan, hari tempat semua perbuatan manusia akan dibalas itu
bukanlah khayalan. Sehingga dengan adanya itu, manusia akan berpikir ulang
untuk bertindak amoral atau menyakiti orang lain. Pendek kata, mereka enggan
berbuat amoral karena takut akan dibalas di hari esok. Dan jika dikembalikan ke
fungsi adanya tuhan, maka posisi tuhan adalah sebagai pihak yang mengatur
keabadiaan. Dengan demikian, dengan meyakini dan memunculkan keyakinan umum
atas tiga hal di atas, sangat mungkin moralitas bisa terkontrol.
b.
Positifisme logis
Prinsip
positifisme logis adalah rasional dan empiris. Apapun yang tidak bisa dijangkau
dengan akal dan tidak bisa dibuktikan secara nyata bukanlah suatu kebenaran.
Bagi mereka, kebenaran adalah yang masuk akal dan bisa dibuktikan secara
indrawi. Sebagai akibatnya, mereka sama sekali menola metafisika dan juga
tuhan. Lebih pasnya, metafisika tidaklah keliru, hanya saja mempercayainya itu
tidak ada gunanya, itu hanya membuat capek, dan sama sekali tidak ada
untungnya. Mode pembuktian dasar positifisme logis adalah verifikasi.
c.
Falsifikasi Popper
Ini
tidak terlalu berbeda dengan positifisme logis. Hanya saja, mode pembuktian
yang dipakai bukanlah verifikasi, tetapi falsifikasi. Adalah pembuktian adanya
kesalahan. Kalau verifikasi itu pembuktian akan benarnya sesuatu, sedangan yang
ini adalah pembuktian atas adanya kesalahan dari sesuatu. Sehingga jika
dikaitkan dengan metafisika, itu juga sama sekali tidak bisa dibuktikan
kesalahannya. Jadi, itu bukanlah sesuatu yang harus dipercayai apalagi
diperjuangkan.
d.
Falsifikasi II (Anthoni
Flew)
Setelah
Popper, muncul Flew dengan falsifikasi lanjutan. Pendeknya, dia menyindir cara
berpikir tentang tuhan dengan kisahnya yang berjudul “The Invisible Gardener”.
e.
Falsifikasi III
(Rasionalisme Kritis Hans Albert)
Secara prinsip, ini tidak jauh berbeda
dengan dua falsifikasi sebelumnya. Hanya saja, dalam mekanismenya, ini bukan
sekedar falsifikasi biasa, tetapi lebih pada “prinsip dapat difalsifikasi”.
Artinya tidak ada satupun kebenaran yang tidak dapat difalsifikasi. Sebagai
dampaknya semua kebenaran yang sering dipandang sudah akhir, tetap saja harus
difalsifikasi. Dan andai saja itu dipaksakan untuk tidak bisa difalsifikasi,
maka itu hanya akan menemui “trilema”, yaitu infinite regres, lingkaran
setan logis, dan dogmatisme. Infinite regres adalah keadaan tempat
seseorang selalu berbelit dalam menjelaskan suatu kebenaran. Meskipun yang
bersangkutan terbukti salah, tetapi masih saja dia menjelaskan bahwa dia benar
dan akan selalu menjelaskan jika ditanya lagi, seakan apa yang diyakininya
tidak ada salahnya. Tidak berbeda jauh dengan itu adalah terjebak dengan
lingkaran setan logis. Itu hanyalah usaha seseorang untuk membela argumennya
agar selalu benar. Adapun yang terakhir adalah keadaan tempat seseorang
dilarang untuk bertanya dan hanya diperbolehkan untuk menerima.
Singkatnya, pemaksaan atas tidak
adanya kesalahan dalam setiap kebenaran hanya akan berakhir pada
rekayasa-rekayasa yang apologetic. Dan biasanya ini selalu dipakai dalam
kepetingan-kepentingan agama.