Sebelum masuk pembahasan, saya akan
memulainya dengan pertanyaan ini: apakah Tuhan itu ada? Kita tidak bisa
memungkiri, itu memang pertanyaan yang amat klasik. Sejak ribuan tahun sebelum
masehi, ketika Ibrahim meragukan keyakinannya atas kepercayaan orang-orang di
sekitarnya tentang tuhan-tuhan yang mereka buat sendiri, pertanyaan tersebut
sudahlah menjadi pembahasan yang sensitif sekaligus menarik. Selain itu,
meskipun toh itu dipermak sedemikian rupa dan kembali dibawa-bawa di masa kini
dengan wajah yang berbeda, tetap saja pembahasan tentang tuhan adalah
pembahasan yang sangat spekulatif, melangit, titik tuju yang gelap, sulit
diterima oleh masyarakat pada umumnya, dan sebagainya. Namun, dalam wilayah
keilmuan, itu bukan berarti tidak perlu. Dalam ranah pengetahuan, tidak ada
yang salah dengan pembahasan ketuhanan. Mari kita lihat.
Untuk mengetahui lebih tentang
tuhan, di sini ada dua argument yang besar. Adalah argumen apriori dan argumen
aposteriori. Pertama, itu hanya memiliki satu poin, yaitu alasan ontologis.
Sedangkan kedua, itu memiliki beberapa, yaitu alasan kosmologis, teleologis,
taruhan, moral, dan pengalaman keagamaan atau religion experience.
Argumen
apriori (alasan ontologis)
Argumen ini dinyana
adalah berawal dari Anselmus (1033—1109). Bagi Anselmus, “tuhan” adalah istilah
untuk menyebut suatu wujud PALING agung yang bisa dipahami manusia. Sedangkan
sesuatu hanya bisa dikatakan PALING agung ketika dia bukan saja eksis dalam
pikiran, tetapi juga eksis dalam kenyataan. Untuk itu, disebabkan konsepnya
tersebut, tuhan adalah sesuatu yang memang nyata dan bukan hanya dalam pikiran.
Sebab tuhan adalah PALING, tuhan itu ada.
Mengenai ini, Imanuel Kant
mengungkapkan keberatannya pada alasan Anselmus. Meskipun demikian, kata Kant,
tetap saja itu adalah apriori. Artinya, walaupun Anselmus bicara bahwa
disebabkan oleh sifat PALINGnya, tuhan adalah nyata, itu masih saja tidak bisa dibuktikan
secara konkrit atas adanya tuhan itu sendiri. Itu hanyalah retorika Anselmus,
kata Kant.
Argumen
aposteriori
Selain argumen apriori
yang hanya mendasarkan pemikirannya pada permainan akal semata, dalam hal ini,
ada juga argumen aposteriori. Adalah argumen yang ditarik berdasarkan
pengalaman atau berangkaat dari pengalaman terlebih dahulu baru dilogikakan.
Adapun alasan-alasan dalam bagian ini antara lain:
a.
Alasan
kosmologis
Terkait pembuktin adanya tuhan, poin ini
memiliki dua alasan cabang. Adalah apa yang disebut dengan first cause dan
kontingensi. Untuk yang pertama, itu adalah alasan yang kali
pertama diungkapkan Aristoteles dan kemudian dilanjutkan oleh Thomas Aquinas.
Hal tersebut berangkat dari premis “sesuatu yang ada pasti ada yang
menyebabkannya ada”. Selanjutnya, sebagai akibat dari premis tersebut, muncul premis
baru, yaitu tidak ada sesuatu apapun yang bisa menjadi sebab atas dirinya
sendiri. Kopi tidak mungkin bisa ada karena kopi itu sendiri, kiranya demikian.
Selepas kedua premis di atas, ada lagi satu premis yang melengkapi: “tidak
mungkin ada rangkaian sebab akibat yang tanpa akhir”. Dan akhirnya, dari ketiga
premis tersebut bisa disimpulkan bahwa dalam rentetan sebab akibat yang terjadi
pada alam semesta ini pasti ada sesuatu yang disebut sebagai fisrt cause yang
menjadi penyebab atas semua ini dan itu sendiri tidak disebabkan. Jadi, first
cause itulah yang diklaim sebagai tuhan, tuhan itu ada.
Merespon itu, jika hal tersebut kita amati
lebih dalam, maka ada beberapa kerancauan dalam logika yang dipakai. Pertama:
terdapat kontradiksi dalam premisnya, yaitu antara premis kedua dan keempat.
Premis kedua mengatakan bahwa tidak ada satupun sebab yang tidak berasal dari
luar, namun dalam premis keempat dijelaskan kalau rupanya sesuatu itu ada,
yaitu yang diklaim sebagai first cause, kira-kira itu. Kedua: jika
memang komposisi premisnya demikian, maka secara bersamaan, itu sama sekali
tidak memungkiri adanya sebab yang lebih dari satu. Itu berarti, terdapat lebih
dari satu tuhan. Ketiga: Masih dengan kompisi tersebut, secara tidak
langsung, itu telah menjadikan tuhan tidak memiliki otoritas apa-apa untuk ikut
campur urusan manusia, sebab dia hanyalah penyebab pertama, sedangkan manusia
adalah akibat darinya yang sangat jauh ke depan.
Adapun
untuk yang kedua, kontingensi, adalah bagian yang berbicara tentang
keniscayaan akan sesuatu. Dengan lain ucapan, secara prinsip, wujud dari segala
sesuatu itu hanya ada dua: kalau tidak wujud “mungkin” ya wujud “pasti”.
Selanjutnya, jika memang wujud “mungkin” itu ada, tidak bisa tidak, juga ada
wujud “pasti” sebab kepadanya wujud “mungkin” bergantung. Dan saat wujud
“pasti” itu niscaya adanya sebagai akibat dari adanya wujud “mungkin”, maka
itulah tuhan. Tuhan itu ada.
Namun,
jika hal itu kembali ditinjau, masih saja ada cacat dalam logika berpikirnya.
Adalah tiadanya keniscayaan atas adanya tuhan yang satu. Artinya, sesuatu yang
“pasti” itu berpotensi mengarah kepada sesuatu selain tuhan. Sebab sesuatu yang
sering dipakai sebagai tempat bergantung bukan hanya tuhan. Malahan, dewasa
ini, kiyai-kiyai atau tokoh-tokoh tertentu lebih sering dijadikan tempat
bergantung yang lebih nyaman dari pada tuhan itu sendiri. Itulah
ketidakefektifannya.
b.
Alasan
teleologis
Alasan ini memiliki fungsi seperti qiyas. Artinya,
alasan teleologis ini berani menyimpulkan sesuatu yang tidak nampak dengan
sesuatu yang nampak. Konkritnya, melalui ini, kita bisa menyimpulkan kalau
tuhan itu ada sebab adanya alam semesta ini. Andai kursi ini ada sebagai hasil
pikiran kreatif manusia, maka alam semesta yang jauh lebih kompleks dan indah
ini jugalah ada sebagai hasil kreatifitas dari suatu perancang yang melebihi
segalanya, yaitu tuhan. Oleh karenanya, bersamaan dengan keindahan serta
kompleksitas alam semesta ini, tidak mungkin kalau tidak ada tuhan sebagai
perancangnya.
Merespon alasan ini, David Hume amat keberatan.
Suatu hal yang begitu prematur, kata Hume, saat disimpulkan bahwa alam semesta
ini begitu indah. Melalui logika sederhana saja, kita tidak mungkin bisa
menyimpulkan alam semesta yang maha luas ini hanya dengan pengetahuan kita terhadap
bumi yang amat kecil ini. Pun, di dalam bumi, tidak semua sepakat bahwa bumi
ini indah. Itu tidak lebihnya adalah hasil kesimpulan yang sama sekali
subjektif. Selain itu, dari sudut pandang lain, analogi yang dipakai dalam
alasan di atas itu gagal. Sebab dalam proses penyimpulannya, mereka tidak
memiliki alam semesta tandingan. Itu berarti, di dalam proses penyimpulan untuk
menentukan ini indah atau tidak, satu hal yang tidak boleh kita lupakan adalah
komparasi. Sebagai ilustrasinya, si A ini tidak mungkin kita klaim cakep ketika
tidak ada si B yang jelek. Begitu juga dengan ini, kita sama sekali tidak boleh
mengklaim alam semesta ini indah kalau tidak ada alam semesta tandingan yang
mungkin saja jelek. Dan kalaupun itu tetap saja dipaksakan, maka itu tidak
lebihnya adalah omong kosong.
c.
Alasan
Taruhan
Ini adalah argumen yang sering dipakai Pascal
dalam berbicara mengenai ada tidaknya tuhan. Dengan begitu simpel, Pascal
menggambarkan demikian:
|
Tuhan ada
|
Tuhan tidak ada
|
Beriman
|
Kebahagiaan abadi, tetapi sedikit susah di
dunia
|
Sedikit rugi
|
Tidak beriman
|
Kesusahan abadi
|
Sedikit beruntung
|
|
|
|
d.
Alasan
Moral
Selepas mengkritik argumen Anselmus, rupanya
Kant usai menyiapkan argumennya sendiri terkait adanya tuhan—untuk tidak
mengatakan FUNGSI adanya tuhan. Bagi Kant, tuhan itu harus ada atau ya memang
ada, demi terjadinya moral. Artinya, moralitas manusia itu hanya bisa terbentuk
dan terjaga ketika ada tuhan. Kenyataan bahwa dengan adanya tuhan yang akan
diyakini sebagai pengontrol keabadiaan dan pembalas segala perilaku buruk
manusia merupakan salah satu alasan mengapa adanya tuhan ini dikaitkan dengan
terjaganya moral. Melalui adanya tuhan, manusia akan wegah untuk berbuat
amoralitas sebab mereka takut kelak semua perilakunya tersebut akan dibalas
oleh tuhan. Oleh karenanya, berbasis itu, tuhan itu ada.
Akan tetapi, karena itu juga adalah hasil
pemikiran manusia, dalam hal ini konsep Kant tersebut sulit diterima. Sebab
apa-apa yang dibicarakan Kant tentang tuhan itu bukanlah argumen untuk
membuktikan ada tidaknya tuhan. Namun, itu hanyalah argumen untuk menjaga
moralitas yang dibungkus oleh Kant sedemikian rupa. Atau bisa juga, kita
menyebutnya sebagai argumen tentang perlunya tuhan itu ada.
e.
Alasan
religion experience
Sepertinya, alasan ini lebih simpel dari
alasannya Pascal. Alasan ini hanya berdasarkan pada pernyataan bahwa tuhan itu
sama sekali tidak perlu untuk dibuktikan. Tuhan hanya perlu untuk dirasakan.
Sesuatu yang bisa dibuktikan itu belum tentu ada dan nyata dan sesuatu yang
hanya bisa dirasakan itu belum tentu juga tidak ada dan tidak nyata. Kira-kira
itu.
Sebagi kelanjutannya, alasan di atas rupanya
juga tidak lepas dari kritik. Adalah menyangkut posisi pengalaman keagamaan yang
sangat subjektif. Akibatnya, ketika hal tersebut kita jadikan alasan, itu sama
halnya kita tidak memiliki alasan. Sebab alasan yang didasarkan pada sesuatu
yang sangat subjektif itu tidak bisa diverifikasi dan kalau tidak bisa
diverifikasi, entahlah bagaimana kita menyebut itu.
Kiranya,
itulah model-model argumen yang berbicara banyak tentang adanya tuhan. Setiap
dari mereka mengemukakan argumentasinya masing-masing untuk membuktikan bahwa
tuhan itu ada. Akan tetapi, di waktu yang sama, di sela-sela mereka, ada pula
pihak-pihak yang tidak sependapat, mengkritiknya, dan kemudian menciptakan
konsep baru. Model sedemikian ini akan selalu berlanjut dan selalu begitu. Dan yang
pasti: mereka tengah dan usai membuktikan adanya tuhan, bukan membuktikan
ketiadaan tuhan. Selamanya, kita tidak bisa membuktikan kalau tuhan itu tidak
ada sebab apapun yang tidak ada, itu ya tidak usah dicari bukti ketiadaannya,
toh memang itu tidak ada. Haha, entahlah.