Paska tertangkapnya
Akil sebagai koruptor terpopuler tahun ini, sedari kemarin sampai sekarang
pembahasan dalam rubrik opini di koran-koran masih saja membahas mengenai
korupsi. Banyak sekali pakar-pakar telah menuangkan ide dan gagasan paling
hebatnya dalam bersumbangsih untuk membantu Indonesia keluar dari jeratan para
koruptor, tetapi masih saja tiada hasil yang memuaskan. Bahkan tak kurang
pakar-pakar hukum dari pelbagai perguruan tinggi berkaliber turut menulis di
rubrik itu, namun lagi-lagu hanya sebatas tulisan yang terpajang. Sampai
sekarang masih blur: apakah gagasan-gagasan hebat itu terbaca oleh yang
disindir ataukah hanya sebatas pengisi kekosongan rubrik, saya tidak mengerti
juga, ataukah justru penuangan gagasan hebat itu hanya alat untuk mengisi kantong, entahlah. Diketahui, seakan merekalah orang-orang hebat yang setiap saat memeras
pikiran untuk Indonesia: sebagai penyumbang gagasan.
Dari paragraf di
atas, saya teringat Bung Hatta. Salah satu ucapan beliau yang mungkin tak
terlalu terbingkai dengan sejarah—saya mempunyai tiga istri: indonesia, buku,
dan istri saya—ternyata bermakna penting dalam hal ini. Ucapan simpel bernada guyon
itu mengandung sesuatu yang benar-benar sesuatu. Tidak menutup kemungkinan,
dengan menjadikan Indonesia sebagai istri pertama Hatta, Hatta bisa terhindar
dari sebuah pengkhianatan. Pengkhianatan termaksud adalah korupsi, kolusi, dan
lain sebagainya yang berbau merugikan negara.
Paralel dengan itu,
masih segar dalam ingatan saya kata-kata Anang ningnong ninggung, seorang broadcaster
radio ternama di Jogjakarta. Hampir setiap malam saya mendengarkan celoteh
Anang. Dan yang paling sering dia ucapkan dalam konteks jalinan hubungan dengan
orang lain adalah konsep hati hati. Saya tidak menulis garis penghubung di
tengah dua kata hati tersebut karena keduanya memang berbeda. Mudahnya, dalam
sebuah hubungan itu melibatkan dua hati: kita dan seseorang yang kita sayang.
Sehingga di dalamnya ada dua hati. Jadi kalau kita berhubungan dengan apa dan
siapapun, maka kita harus hati-hati.
Begitu juga dengan
Hatta, dengan pernyataannya yang menganggap negara sebagai salah satu istri
Hatta, secara tidak langsung Hatta sudah terikat dengan konsep hati hati. Di
pelbagai wilayah dan keadaan apapun Hatta pasti hati hati. Sehingga ketika
konsep itu sudah terpatri jauh dalam lubuknya, korupsi, kolusi, dan lain
sebagainya pun sulit untuk terjadi di tubuh salah satu istri tercintanya,
Indonesia.
Darinya, alangkah
indahnya jika semua lapisan yang terlibat dalam kasus korupsi, baik pelakunya,
pengamatnya, penangkapnya, intelejennya, penulis gagasannya, medianya, dan lain
sebagainya bisa menanamkan rasa cinta kepada Indonesia. Cinta yang timbul bukan
karena Indonesia sebagai ibu pertiwi kita, namun sebagai istri tercinta kita. Zev231013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar