Kemaren, seperti
biasa, berangkat dari fatwa-fatwa Bapak Muhdlir, saya berjibaku dengan pikiran
saya. Bapak muhdlir dari beberapa hadist yang tidak disebutkan, membantah jika
dikatakan Rosul tidak bisa membaca dan menulis. Sangat konyol sekali jika
seorang pemimpin sekaliber Muhammad tidak mampu menguasai dua aspek yang sangat
vital itu. selayang pikir, sungguh mengada-ada jika disimpulkan bahwa Muhammad
tidak bisa membaca ataupun menulis.
Selepas itu, saya googling
hadist tentang tulisan-tulisan rosul, tetapi tetap saja keganjilan saya masih
tidak tergenapkan. Hadist yang diungkapkan Bapak Muhdlir tidak bisa terkover oleh
mesin pencari sekaliber google. Beliau tidak memaparkan refferensi yang cukup
jelas tentang alur pemikirannya.
Namun, dalam wilayah
lain, saya tidak tahu kenapa, pikiran saya sepakat sekali dengan pendapat
beliau. Di samping memang Muhammad adalah seorang yang luar biasa, Muhammad
juga satu-satunya manusia yang menjadi objek utama dalam kajian hadist.
Meminjam istilahnya Bapak Hart: tidak ada manusia lain yang paling berpengaruh
selain Muhammad. Sehingga, sangat wajar jika apapun yang Muhammad lakukan sudah
menjadi sesuatu yang sakral, bahkan menjadi sebuah doktrin dalam salah satu
agama, islam. Semua penganut Islam, berlomba-lomba melakukan apa yang pernah
Muhammad lakukan. Pun, di dalamnya dijumpai nilai-nilai yang lebih, yaitu
pahala. Dan sekarang, pertanyaannya:
mengapa kita dianjurkan untuk membaca dan menulis, kalau Muhammad saja
tidak pernah melakukannya. Bahkan saking dianjurkannya, membaca Quran itu
mendapat pahala. Dalam ranah pikir saya, dalam kasus ini, akan terjadi
ketimpangan jika Muhammad masih dipandang tidak bisa membaca dan menulis.
Paralel dengan itu, mengenai
peristiwa di gua hiro’, ketika Jibril memaksa Rosul sampai tiga kali untuk
membaca, saya memandangnya, itu bukanlah alasan yang tepat jika diartikan bahwa
Rosul tidak bisa membaca. Di waktu yang sama, Jibril tidak mungkin membawa
spidol dan papan, yang ada jibril hanya mendekte, itu berarti Jawaban
Muhammad—ma ana bi qori—bukan berarti Muhammad tidak bisa membaca, tetapi
memang tidak ada yang dibaca, toh tulisan pun tidak ada.
Dalam kasus
kenegaraan juga. Muhammad dalam sejarahnya adalah seorang presiden yang
istimewa, kehidupannya yang sederhana tidak mencerminkan tahtanya sama sekali.
Namun bagaimanapun juga Muhammad masih membutuhkan sekretaris pribadi. Dan
dalam hal ini, Muhammad memilih Zaid bin Tsabit. Menurut kacamata mayoritas,
ini adalah salah satu bukti bahwa nabi itu mandul tulisan dan bacaan. Nabi
tidak pernah membaca dan menulis. Akan tetapi jika kembali pada konteks dalam
paragraf ini: ketatanegaraan, kesimpulan itu cukup buram. Apakah dengan
pengangkatan Kustanto Widiatmoko sebagai sekretaris pribadi Bapak SBY, itu
menunjukkan ketidakmampuan SBY untuk menulis. Tentu saja semua sepakat untuk
menjawab tidak. SBY menunjuk Bapak Kustanto bukan karena SBY tidak bisa
menulis, tetapi untuk mempermudah SBY memimpin negeri ini. Dan saya kira, itu
adalah kasus yang sama dengan Muhammad dan Zaid. Muhammad bukan tidak bisa
menulis, Muhammad hanya tidak mau menulis. Zev171013
saran, pung..
BalasHapusspasinya ditmbah, biar lebih semangat bacanya :D
Semua artikel yang saya baca mengatakan bahwa pada saat itu nabi menjawab MA ANA BI QIRI..
BalasHapusSaya ingin tahu hadits tentang itu, hadits yang mengatakan bahwa nabi menjawab dengan kalimat MA ANA BI QIRI, siapa perawinya, shohih atau tidak haditsnya, apa Nabi sendiri yang bilang lalu ditulis ulang sama perawi, atau bagaimana?
Kalau bukan nabi yang bilang (mengenai kejadian wahyu pertama itu), lalu artinya perawi hadits itu dong berarti yang bilang bahwa nabi menjawab dengan kalimat MA ANA BI QIRI tsb... bagaimana caranya? Apakah sang perawi mengintip kejadian di gua hiro atau bagaimana?