Rara, sudah tidurkah? Aku
ingin bercerita barang beberapa kalimat padamu. Ini soal Fla.
Aku tidak mengerti apa yg
sedang terjadi padaku. Kita belum sempat secara formal “jadian”. Tapi, tatapan
matanya selalu membuatku berpikir jika dia menaruh rasa padaku. Akhirnya kita
menjalaninya. Suatu keputusan yg entah. Hanya karena sepasang mata kita bisa
sejauh ini.
Semuanya bermula pada hari
Rabu minggu lalu. Sehari sebelumnya, ketika aku dan lingkaran kecil bahagiaku
sedang bertukar cerita lepas, Fla menelpon. Dia bilang sedang terjebak di
sebuah mal yg ada tempat nontonnya. Pertama terjebak hujan. Kedua terjebak
kebijakan baru tempat nonton yg mengharuskan pelanggannya untuk memesan tiket
melalui aplikasi di gawai. Dia dan temannya tidak bisa memesan secara daring.
Gawainya tidak memungkinkan katanya.
"Bisa minta tolong
mesenin tiket tidak, kak?" Begitu tanya Fla dg suara agak dikeraskan.
Tempatku ngopi beratapkan seng. Di luar sedang hujan. Jadi, aku sengaja
menyuruhnya mengeraskan suara.
Aku tidak paham awalnya.
Lalu, dia berkisah soal kesialannya sore itu. Aku bilang padanya jika gawaiku
yg ada aplikasi pemesanan tiket nonton, tidak kubawa. Jadi, aku belum bisa
bantu. Aku merasa tidak enak. Entah perasaan apa ini, hingga akhirnya aku
menjanjikan, "Gimana kalau besok. Nanti biar kupesankan. Dua kursi
kan?"
Mendengar tawaranku, dia
mengiyakan. Tertawa manja menjadi penutup obrolan daring kami via WA, selepas
dia sedikit cerita jika mereka tidak bisa pulang cepat. Hujan menciutkan niat
awal mereka.
.…
Paginya, yg itu berarti
hari Rabu, aku buka aplikasi di gawai. Rupanya saldo uang elektronikku tidak
cukup untuk beli dua tiket. Bagaimanapun, aku harus isi saldo.
Satu-satunya cara isi
saldo adalah melalui kartu atm M. Kartu atm-ku BS. Aku mencoba pinjam teman
sekamarku. Aku yakin di kartu atm-nya pasti ada uang dan pasti dia akan
meminjamiku dg mudah, toh uang gantinya langsung tak kasih saat itu juga. Eh,
tapinya, prediksiku salah. Teman sekamarku bilang jika kartu atm M kosong. Ini
kebingungan pertama.
Aku tak mau menyerah hanya
gara-gara ini, apalagi ini buat Fla, perempuan yg bagiku adalah teka-teki
menarik yg tak ingin kuselesaikan. Aku menelpon dua temenku yang lain. Untuk
pinjam kartu atm, tapi keduanya sibuk. Aku tidak boleh berhenti di sini. Aku
telpon lagi teman ketiga. Alhamdulillah. Yg ini kartu atm-nya bisa dipinjam.
Jam tanganku menunjukkan
pukul 10 siang. Hari sangat cerah dan ini aku sedang di kafe biasanya. Kafe yg
tidak kenal kata sejuk, tapi kami (aku dan lingkaran kecilku) tetap saja
menjadikan tujuan utama, untuk tidak menyebut rumah. Intinya, dari kafe itu,
aku segera berangkat menuju teman yg ketiga. Aku pinjam kartunya, isi saldo,
dan beres. Selepas semua beres, bibirku bergerak puas dg agak sedikit sombong,
"Hah, akhirnya. Dapat juga."
Sesampainya kembali di
rumah, eh kedai tadi maksudku, aku tidak langsung memesankan tiket. Sejenak aku
bercerita dg Minto, temenku yg penampakannya mirip Sartre, tentang betapa lega
rasanya saat kita bisa menjadi bermanfaat buat orang yg kita sayang. Meski dia
tidak merespons, aku tetap melanjutkan sampai akhirnya hujan menghentikannya.
Hujan semakin deras.
Anginnya juga. Meja kita mulai basah oleh percik-percik ulah angin pada hujan.
Buku-buku di atasnya pun tak luput oleh kepyuran. Entah kenapa, situasi
ini memakuku pada sesorot ingatan tentangnya.
Aku buka aplikasi. Saldo
sudah cukup. Film pesanan Fla sudah kubuka. Kupilihkan jadwal tayang dan lokasi
kursi sesuai permintaan. Tapi, kamu tahu Rara, saat masuk bagian pembayaran,
aku lupa kata sandi uang elektronikku. Tiga kali kucoba dan gagal. Dan
terblokir.
Risau mendadak
mendatangiku. Seolah hubungan antara angin, hujan, dan siang yg mulanya cerah
ini melahirkan kecemasan. Membuatku sejenak tak berdaya. Aku tidak bisa
membayangkan bagaimana jika nanti mereka gagal nonton, padahal aku sudah
menjanjikannya dan mereka sudah menunggu.
Aku putuskan untuk
menelpon. Berharap dia punya alternatif lain buatku untukku lakukan. Tapi
ternyata harapanku terlalu bangsat. "Ya, semisal tidak bisa, tidak papa
kok," begitu jawabnya dg lirih saat kutanya.
Mendengarnya, aku
diselimuti kebimbangan. Tidak mngkinlah aku membiarkannya merasa bersalah dg
temannya. "Oh begini saja. Nanti jam 2, hujannya mau reda apa tidak, aku
tak ke Mal yg satunya. Siapa tau bisa beli langsung. Oke? Gitu saja ya. Kamu yg
tenang." Aku mencoba menenangkan, meski aku sendiri kacau, mengetahui sekarang
pukul setengah dua dan hujan masih membahana.
Tanganku spontan
mengetuk-ketuk meja yg semakin kuyup dg kunci motor. Pandanganku menembus
setiap mata yg tak sengaja lewat dalam lintasan tatapku. Aku tak peduli. Hanya
alternatif dan alternatif yg memenuhi pertimbanganku. Bagaimana caranya bisa
beli tiket bioskop dg tanpa harus pergi ke sana dan tanpa akun aplikasiku.
Banyak menit terbuang
sia-sia sampai akhirnya satu nama setibanya lewat begitu saja. Oh iya, Sasa.
Dia kan aktivis nonton. Pasti bisa membantu.
Aku lngsung menghubunginya.
Dia bersedia. Syukurlah. Aku banyak berterima kasih. Belum jam 2, aku sudah
mengantongi dua tiket pesanan Fla. Tiada kelegaan yg sesialan siang ini.
Hujan tidak saja masih
turun, tapi juga lebat. Tampak orang-orang mengumpat dengan mimik mukanya. Gas
motor menjadi pelampiasan. Pukul setengah enam sore, hujan baru reda.
Malamnya, aku tidak berniat ketemu teman2. Sudah tiga hari berturut, kumembunuh waktu bersama mereka. Bisa kita bayangkan toh Rara, apa yang akan terjadi pada manusia seperti kita ini jika sedang dirundung kebosanan. Namun, rencanaku gagal. Satu teman memaksaku dg mengunjungiku sampai tempat tidurku. Bagaimana lagi. Aku harus pergi.
Malamnya, aku tidak berniat ketemu teman2. Sudah tiga hari berturut, kumembunuh waktu bersama mereka. Bisa kita bayangkan toh Rara, apa yang akan terjadi pada manusia seperti kita ini jika sedang dirundung kebosanan. Namun, rencanaku gagal. Satu teman memaksaku dg mengunjungiku sampai tempat tidurku. Bagaimana lagi. Aku harus pergi.
Sampai pukul 9 semua
baik-baik saja. Lepas sekali kita bernyanyi dg suaraku yg masih saja dominan
hingga Fla menelpon. Barangkali mereka sudah selesai nonton dan dia ingin
bertemu denganku.
Ini adalah kesalahan
terbesarku (kusadari selepas semua terjadi): aku membiarkan kita—dia dan aku—bertemu,
bukan berjumpa lho ya. Beberapa menit kemudian, kita sudah berada di sisi lain
kedai tempat biasa aku menganggurkan diri.
"Bagaimana
nontonnya?" Aku memulai obrolan. Dia bercerita banyak. Tidak saja soal
nonton ia ceritakan. Kisahnya seharian penuh, ia tumpahkan. Satu aktivitas yg
biasa kita lakukan di penghujung hari. Aku mendengarnya dg mataku yg tidak
ingin lepas dari sorot matanya.
Matanya agak sayu. Tidak
secerah biasanya. Tidak seramah suaranya pula saat telpon siang tadi di sela
debur hujan. Aku sedikit kacau, tapi kutepis. Dia masih bercerita sampai aku
tahu bahwa kerisauanku barusan tak seharusnya aku tepis.
"Hei. Gmna
lanjutannya. Eh, kok malah buka WA," protesku.
"Sebentar,"
jawabnya singkat dg mimik datar, "Ini lho, aku sebel."
Sambil memperlihatkan
obrolannya via WA padaku, dia kembali cerita. Dia mengumpat setelah kuberi
saran, ya kalau merasa dicuekin, bilang saja sih: mbok dibales pesanku.
Kamu tahu Rara, dia
merespons bagaimana? Dengan muka yg entah, antara berharap dan benci. Antara
lelah dan jujur. Ia bilang, "Ya, kalau dia Pacarku, boleh saja aku begitu.
Tapi kan. Tapi kan ... Pesan saja tidak pernah dibalas."
Mendengar itu spontan, mataku bergerak mengejar matanya. Tiada sorot settingan di dalamnya. Apa yg diucap, murni keluar dari hati dan pikirannya. Eh satu lagi: rasa lelahnya. Dia bilang, kuulangi lagi ya, "Kalau dia pacarku."
Dia masih bercerita. Tapi,
aku masih sibuk dg matanya. Dia bicara apa, aku mendengar, namun tak paham. Aku
mengiyakan, tapi seluruh yg ada dalam diriku tidak. Aku melihat teman-temanku
di sisi kedai yg berbeda. Ada desir kuat, nakal, bajingan, dan sejenisnya
mengumpul pada satu titik dalam benakku.
"Eh, sudah jam
setengah sebelas. Kamu ditunggu temanmu lho," potongku.
"Oh iya ya. Kok nda
terasa sih."
Semuanya menjadi beda.
Bukan cuma pikiranku yg terserang malam ini, tapi entah. Jauh lebih banyak dari
itu. Sesaat sebelum beranjak, dia berbisik padaku, Salam ke dia ya.
Dengan tertawa kecil polos dia katakan.
Aku tidak bisa menjawab
kecuali sebatas, eh ayok ke sana saja sih. Sekalian Pamitan. Dia
menerima. Kami beranjak ke tempatku semula. Dia pamit. Garis wajahku serasa menjadi
miring ke pojok, atas, bawah, kiri, belakang. Pokoknya ruwet. Dan ini membuatku
untuk tidak mengantarnya sampai ke tempat parkir.
…
Aku kembali berada di
lingkaran kecilku. Namun, kali ini semua berbeda dan barangkali ini akan lama.
Lama sekali mungkin. Tapi semoga yang terakhir hanya firasatku. Aku tak
mendapatkan "Lepas" itu lagi. Wajahku seolah memiliki pikiran dan
hatinya sendiri secara tiba-tiba. Ia tak bisa kuatur.
Kamu pantas risau. Eh,
tidak risau lagi, tapi mempertanyakan kualitasmu. Seharian kamu yg ribet sampai
akhirnya dia bisa nonton dan senang. Malamnya, dia bilang ingin jadi kekasihnya
seseorang yg sama sekali judes padanya. Kha kha, ayolah. Dua pilihan: judeslah
sekarang juga atau tinggalkan. Perhatianmu dibeli dg harga yang sangat rumput.
Eh atau jgn2 ia tak pernah dibeli. Banyak hari seusainya,
percaya kan kamu Rara, itu yg kupikirkan. Terutama sesaat sebelum lelap.
Jogja,
12 April 2019