Menuruti
kata hati adalah hal yang baik, apalagi dalam usaha untuk menjadi diri sendiri.
Menuruti kata hati jugalah yang merupakan solusi paling tepat, saat kita bingung
mencari siapa kita yang sebenarnya. Berusaha menurutinya juga adalah sebuah
usaha dari kita untuk menambah satu warna baru buat dunia. Pun dengan ini, saat
kita dalam masalah yang pelik, kita bisa mendapat pencerahan. Iya, hanya dengan
menuruti kata hati. Menuruti kata hati itu baik.
Namun, disela-sela saya menekuni siapa
diri saya, saya merasa ada sesuatu yang tak genap dalam pribadi saya, saya
teringat satu kata: tiada gading yang tak retak. Dan ternyata kata itu pula
yang sedang saya rasakan saat ini. Sebaik-baik sistem “menuruti kata hati”
masih aja ada kekurangan dalam hal ini. Malahan ini adalah musibah bagi saya
jika saya meneruskan prinsip ini.
Adalah dalam menulis. Sedari dulu mindset saya selalu memaksa saya untuk
mengurungkan keinginan kuat saya dalam menulis saat suasana hati tidak mood. dan itu sangatlah tidak membantu.
Menulis adalah bahasa hati namun tidak berarti harus selalu menuruti hati.
Menulis harus sesuai dengan mood adalah momok yang menjebak saja dan bahkan
menjerumuskan. Apalagi, bagi penulis-penulis pemula.
Dan untuk itu, alangkah lebih baiknya
jika kita menjadikan aktifitas menulis adalah sebuah rutinitas nyata, bukan
rutinitas yang menggantung pada hati. Seperti halnya sholat magrib, yang setiap
senja tiba, kita bersiap-siap untuk menyambutnya. Dalam keadaan apapun itu, dan
dengan hasil yang bagaimanapun itu.
Kedua, selama 7 tahun saya belajar
banyak dari pondok yang sangat berjasa ini,
saya belum pernah memahami istilah bencmarking
dengan benar. Dalam proses pembelajaran selama itu, saya hanya bisa memahami
kalau saya dilarang sekali untuk meniru tipikal tulisan penulis lain. Selain
itu, hanyalah doktrin yang memaksa saya menjadi orang lain dalam menulis. Dan
inilah yang bagi saya sesuatu yang akan lebih indah jika kita berani untuk
sedikit merubahnya.
Bencmarking
atau menjadikan penulis lain sebagai model acuan berbeda dengan meniru. Dan ini
sangatlah vital sebagai tongkat penuntun untuk penulis yang masih buta seperti
kita. Di dalamnya kita akan belajar menganalisa, meneliti, dan belajar tentang
tipikal penulis lain. Sehingga darinya kita akan tahu mana tipikal yang pas
buat kita. Kemudian kita mulai belajar dari penulis itu dan akhirnya kita akan
menemukan ke-khasan kita dalam menulis. Saya merekomendasikan untuk mencari
model acuan penulis yang terhebat, bagimu.
Ketiga adalah krisis tipikal. Semua penulis
mempunyai khas masing-masing, termasuk juga penulis yang ada dalam Mambaus
Sholihin. Dalam hal ini Mambaus Sholihin memilikinya, sungguh hebat memang.
Namun kehebatan itu tertambat. Karena diantara mereka pun tak sedikit yang
saling menghujat, saling membenarkan tipikalnya sendiri dengan alasan: penulis
hebat itu harus siap dihujat. Sehingga tanpa disadari dari sebuah egosentris
itu banyak yang menggantungkan kekhasannya demi sebuah pujian dan menghindari
hujatan dari penulis lainnya. Dan mungkin itulah yang menginspirasi saya untuk
mengatakan: Mambaus Sholihin krisis tipikal.
Memahami karakter penulisan penulis
lain bukanlah dengan membangun alasan untuk menghujat, akan tetapi menghujat
dengan alasan yang membangun.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar