Sajian
keagamaan yang disampaikan di acara ISSABA begitu mengalir damai di telinga. Beberapa
contoh terkait barakah tersampaikan dengan baik dan bisa langsung diterima oleh
teman-teman santri. Salah satu darinya adalah tentang santri yang bodoh,
miskin, dan jelek yang masuk surga hanya gara-gara menghafal daftar belanjaan
kiyai yang diserahkan kepadanya. Dia masuk surga karena barakah dari kiyai.
Sebuah contoh yang langsung bisa diterima oleh telinga-telinga awam dengan
baik. Contoh yang secara tidak langsung ingin menjelaskan kepada teman-teman
bahwa bagaimanapun keadaannya, guru itu adalah dewa. Corak motivasi yang baik.
Terkait
itu, meskipun hal tersebut baik, pasti akan lebih baik kalau konsep barakah itu
dijelaskan dengan corak yang lebih bisa diterima oleh akal telanjang. Sebab,
sepertinya pemikiran teman-teman sudahlah penuh dengan harapan-harapan yang
utopis seperti itu. Karenanya, tidak salah juga kalau dulu, Marx memutuskan
untuk membenci agama dari pada harus tenggelam dengan motivasi-motivasi yang
sulit diterima. Saya kira hal yang menyebabkan seperti itu terletak pada
kuantitas penyampaian. Masyarakat Marx yang miskin dan terbodohi ketika itu
terlalu banyak dan sering mengumbar hal-hal semacam itu. Dengan demikian, tidak
menutup kemungkinan hal serupa akan terjadi kalau Pesantren, lebih-lebih
ISSABA, selalu dicekoki hal-hal seperti itu. Dan pastinya tidak ada yang
berharap demikian.
Semisalnya tentang sedekah. Sebisa mungkin kita
harus memandang bahwa Dengan sedekah, selain kita telah membantu orang lain
keluar dari kesulitannya, secara tidak langsung pula kita sudah membuat ikatan
persaudaraan dengan mereka. Yang kedepannya, kita pasti bisa lebih akrab
dengannya, tersenyum bersamanya, dan bisa jadi dia juga tidak enggan untuk
membantu kita, entah itu secara materi maupun lainnya. Atau selain itu, minimal
kita bisa mendapat kepuasaan hati. Sebuah kebanggaan karena tanpa kita sadari
dengan hal itu kita sudah menjadi orang yang bermanfaat buat orang lain. Itulah
poinnya. Itulah barakah. Barakah yang memiliki nilai yang nyata.
Saya
teringat Soekarno dulu ketika masih miskin bersama Inggih Garnasih. Soekarno
pernah berhutang mentraktir secangkir kopi terhadap sahabatnya. Dan ketika
sahabatnya mengunjungi rumahnya dengan niat mengajak ngopi bersama sembari
membahas PNI, Soekarno bingung karena tidak memiliki uang sepeserpun. Namun
karena sungkan—sebab sudah berkali-kali
tertunda—Soekarno tetap menyanggupi ajakan sahabatnya. dan kebetulan ketika di
warung kopi ada wartawan sedang bingung mencari tulisan. Akhirnya dengan
beberapa penawaran, Soekarno mau menulis untuk wartawan dengan imbalan beberapa
rupiah. Tidak sampai 15 menit tulisan selesai dan Soekarno bisa mentraktri kopi
sahabatnya dan Inggit. Bisa dilihat bersama, begitulah kebiasaan sedekah di
antara dua sahabat yang berani mentraktir sahabatnya meski tidak punya uang.
Dari sedekah itu muncullah suatu keakraban. Dari sedekah muncullah suatu
kebahagiaan yang nyata, senyuman yang nyata, dan ketulusan yang terbuktikan.
Sekali lagi saya katakana: that’s the point. Barakah tidak harus dengan materi.
Tidak harus juga menunggu hari setelah kematian.
Selain
itu pula, secara prinsip, sedekah itu adalah ibadah sosial. Dan yang namanya
sosial itu poinnya adalah kepada kenyamanan orang lain bukan kenyamanan diri
sendiri. Ketika pemikiran seseorang masih saja terbelenggu dengan
doktrin-doktrin kalau sedekah itu hanya bermanfaat untuk membuat kaya dirinya,
itu bukanlah sedekah tetapi serakah. Sebab sekali lagi, titik tekan dalam hal
ini adalah orang lain bukan diri sendiri. Barakah harus dikonsepsikan berbeda. Barakah
itu benar-benar barakah ketika yang bersangkutan tahu, mengapa dia menyebutnya
barakah.
Dengan
demikian, untuk ISSABA kedepan, alangkah lebih baik dan indahnya kalau
teman-teman santri sedini mungkin sudah diajari ngalap barakah dengan cara yang berbeda, pandangan yang berbeda,
dan kepuasaan yang berbeda. Tidak cukup rasanya hanya dengan menjadi robot
guru. Barakah itu menemukan alasan bukan sebagai alasan.poenk30814
Tidak ada komentar:
Posting Komentar