Dari berbagai kajian, baik menurut latar
belakang adat-istiadat ataupun hukum ketatanegaraan, respon mengenai pelarangan
UU ini hampir semuanya satu suara, yaitu mengecam. Beberapa darinya adalah
tokoh-tokoh pemuka agama Indonesia: Din Syamsudin, Ketua Umum Muhammadiyah dan
K.H. Amidhan, Ketua MUI saat ini.[1]
Mengenai hal ini, mereka mengatakan bahwa hal ini tidaklah berdasarkan kepada
agama, tetapi lebih bersifat adat-istiadat. Dengan demikian, menurut versi
tokoh sekaliber mereka, isu yang mengatakan bahwa salah satu alasan digalakkan
UU ini adalah berbasis pada Syariat Islam—karena antara adat aceh dan Syariat
islam adalah sama—[2]itu
kuranglah tepat. Dan yang tepat, itu disebut sebagai Syariat Aceh atau Islam Aceh
bukan Islam secara umum.
Selanjutnya,
jika dikaji menggunakan kacamata berdimensi lain—Ushul Fiqih—maka kesimpulan
yang bisa diambil pun tidak berbeda jauh: sama-sama tidak setuju dengan
penerapan UU tersebut. Selayang pikir saja, menurut sumber hukum dalam
Islam—Qur’an, hadits, hasil qiyas, dan hasil ijma’—itu tidak bisa ditemukan
secara jelas kalau duduk ngangkang itu benar-benar dilarang. Justru, jika hal
tersebut dikaji dengan pendekatan ini, maka hasilnya malah sebaliknya: duduk
ngangkang dianjurkan ketika memang dengan itu pengendara sepeda motor lebih
bisa nyaman dan aman. Dengan demikian, baik itu dikaji secara tekstualis,
analogis ataupun maslahah, hasilnya akan tetap sama: UU ini perlu dihapus.
1. 1. Pendekatan Tekstual.
Dalam
konteks ini, sumber yang dapat diambil adalah ayat al-Qur’an yang menjelaskan
kalau Islam itu rahmatan lil alamin (21:107). Di dalamnya tersirat bahwa
Islam itu fleksibel dan dalam hal tertentu dia lebih mengedepankan
kemaslahatan. Ayat ini hadir di dalam surat al-Anbiya’ tempat beberapa cerita
tentang penentangan kaum-kaum para nabi sebelum Islam terhadap para nabinya
tertulis. Dan hal itu memicu terteranya ayat-ayat himbauan dan peringatan
tentang perilaku mereka. Salah satu darinya adalah ayat yang menjelaskan
tentang kepastian terjadinya hari kiamat (21:104). Selain itu, secara implisit,
beberapa ayat sebelumnya juga menggambarkan bagaimana sebuah agama itu harus
dipandang secara fungsional. Dan itu tergambar dengan adanya dua penekanan
dalam beragama, yaitu interaksi yang baik dan monoteisme.
Di
titik inilah, salah satu alasan mengapa ayat yang diambil adalah ayat mengenai
rahmat bagi seluruh manusia. Jika hal itu dipahami lebih dalam, maka kata rahmatan
lil alamin itu sangat terkait dengan sebuah hubungan, baik itu hubungan
sesama manusia, alam, dan budaya-budaya yang ada di dalamnya. Dengan demikian,
karena alasan pertama dihadirkannya UU di atas adalah penegakan Syariat Islam—yang
juga selaku adat setempat yang sarat akan sebuah hubungan—maka tidaklah salah
jika peristiwa ini dihubungkan dengan ayat tersebut.
Kemudian,
berbicara mengenai hukum, tanpa banyak kata pun, hal itu bisa disimpulkan bahwa
larangan hukum duduk ngangkang ini tidak sesuai dengan ayat terkait.
Karena—dari berbagai kajian yang ada—penerapan UU ini tidak mengundang manfaat
sama sekali dan bahkan malah mengundang mala. Dan hal itu sangat kontras dengan
pemahaman rahmatan lil alamin tempat keamanan dan kenyamanan lebih
dikedepankan. Sehingga dari sudut pandang ini, hasilnya masih sama: UU ini
harus dihilangkan.
Masih
berkenaan dengan itu, berangkat dari hadits, kesimpulan tentang itu masih satu
warna. Adalah tentang hadits yang diriwayatkan oleh Al-Daraquthni (III/470, no.
4461):
عَنْ أَبِـيْ سَعِيْدٍ سَعْدِ بْنِ مَالِكِ
بْنِ سِنَانٍ الْـخُدْرِيِّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّـى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : لَا ضَرَرَ وَلَا ضِرَارَ
Dari
hadist yang juga dikeluarkan oleh Imam Malik dalam al-Muwaththa'nya (II/571,
no. 31), dari susunan kebahasaannya saja, itu bisa dipahami: Islam itu tidak
menginginkan adanya suatu bahaya dan sesuatu yang membahayakan orang lain.
Bahkan dalam riwayatnya Al-Baihaqi (VI/69) hal itu sangat dilarang.[3]
Berhubungan
dengan itu, menurut berbagai kajian yang sudah ada sejak awal 2013 silam, UU di
atas menuai banyak kecaman, baik dari masyarakat dunia dan bahkan dari masyarakat
Aceh dan sekitarnya.[4]
Hal tersebut sudah menjadi bukti konkrit kalau UU ini tidak mempunyai banyak
manfaat sebagaimana UU lainnya. Meski itu ada, tetapi jika dibandingkan dengan
banyaknya resiko yang akan terjadi, maka hasilnya tetaplah sama: masih
membahayakan orang lain.
Contoh
konkritnya: ketika ibu-ibu pergi berbelanja ke pasar dengan menggunakan sepeda
motor. Pemandangan yang pasti terjadi selepas ibu-ibu berbelanja adalah
kerumitan mereka membawa pulang barang-barang belanjaannya jika mereka tidak
duduk ngangkang dan itu juga sangat rawan kecelakaan karena tidak adanya balance
antara kiri dan kanan. Selain itu, ketika ada satu keluarga yang sekedar ingin
mengajak anak mereka menikmati pemandangan kota, pasti mereka juga akan bingung
menaruh anaknya jika sang ibu tidak boleh duduk ngangkang. Dari dua contoh
kecil tersebut, itu bisa mewakili bahwa UU ini dapat membahayakan siapa saja
dan tidak sesuai dengan apa yang tertulis dari hadits di atas. Sehingga melalui
sumber hukum kedua ini pula, UU larangan duduk ngangkang masih harus dihapus.
2. 2. Pendekatan Analogis
Sebenarnya,
melalui pendekatan inipun hasilnya tidaklah berbeda. UU tersebut masih tidak
mencerminkan sebuah kebijaksanaan, baik dalam kebangsaan dan keagamaan. Akan
tetapi, hal ini lebih dominan kepada komparasi antara manfaat dan mala yang
terkandung dalam UU ini. Minimal, diakui atau tidak, UU ini pasti memiliki
nilai putih tertentu. Dan disebabkan oleh itu, agar hukum dari keduanya jelas:
mana yang harus dikedepankan, maka ada beberapa kaidah yang digunakan dalam hal
ini.
Pertama,
وَيَتَحَمَّلُ الضَّرَرُ الْخَاصُ لِدَفْعِ ضَرَرٍ
عَامٍ: Membiarkan
kemadharatan yang sifatnya khusus untuk menghilangkan kemudharatan yang
sifatnya umum.[5]
Dari sini, terpikir bahwa terjaganya keselamatan, kenyamanan, dan keamanan
masyarakat dalam berkendara—sebagai mala yang umum—itu harus lebih didahulukan
daripada terjaganya kesopanan perempuan sebagai mala yang khusus toh idealitas
kesopanan itu juga masih abstrak. Dan menurut beberapa pendapat hal ini
disejajarkan dengan keharusan seseorang yang menimbun barang dagangnya untuk
menjualnya sesuai harga pasar demi para pembeli yang bersifat lebih umum.
Kedua, الضَّرَرُ لَا يُزَالُ
بِمِثْلِهِ:
Kemadharatan tidak dihilangkan dengan kemudharatan yang sebanding.[6]
Selayang pandang, ketika itu akan dihilangkan dengan hal sebanding saja tidak
bisa apalagi jika dihilangkan dengan hal yang melebihinya, pasti tidak mungkin.
Seperti halnya dengan usaha Pemerintah Aceh yang ingin menghilangkan
kebiasaan-kebiasaan tidak senonoh—yang mereka pandang sebagai mala—tersebut
dengan UU pelarangan yang sarat akan bahaya-bahaya yang lebih dari hanya
sekedar ketidaksopanan seorang wanita dalam berkendara.
Pada akhirnya, semua itu bisa dikata
bahwa melalui pendekatan yang banyak mempertimbangkan adanya ketidaknyamanan
masyarakat ini, UU mengenai larangan duduk ngangkang lebih banyak mengandung
mala dari pada manfaatnya. Selain itu juga, jika itu dilihat dari keadaan
politik Aceh saat itu, sangat mungkin sekali, pembuatan UU ini tidak bisa lepas
dari kepentingan-kepentingan lainnya yang berbeda dengan tujuan inti yang
diungkapkan di awal, Syariat Islam.[7]
[1] Sebuah artikel tanpa penulis, “Perda Yang Menindas
Perempuan” dalam Analisa Media, Januari 2013.
[4]
Warsidi, Adi, “Larangan Duduk
Mengangkang = Taliban Pakistan?” dalam http://www.tempo.co, diakses
tanggal 27 Nopember 2013.
[5] Yazid bin Abdul Qadir Jawas, “Tidak
Boleh Membahayakan Orang Lain” dalam http://almanhaj.or.id, diakses
tanggal 27 Nopember 2013.
[7] Aziz Anwar Fachrudin, “Kritikan
Larangan Ngangkang” dalam http://azisaf.wordpress.com,diakses
tanggal 27 Nopember 2013.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar