Acara ISSABA tahun ini, 2014, berjalan
meriah. Setelah kurang lebih satu setengah jam, saya dengan Nazih menikmati
acara, akhirnya sampai juga kepada penghujung yang selalu dinanti. Iya, ramah
tamah, begitulah orang-orang di sekitar kami menyebutnya. Terlihat Nazih
menikmati hidangan yang disajikan. Begitu juga denganku. Namun, ada sedikit
perbedaan. Di tengah saya menikmati hidangan yang cukup mewah di kelas ISSABA
ini, pikiran saya tersita oleh bayangan masa lalu. Beberapa tahun silam,
tepatnya ketika saya masih menjabat sebagai ketua ISSABA, ISSABA tidak
seraksasa ini. Kemajuan yang sungguh pesat.
Saya bangga dengan semua ini. Saya hampir saja meneteskan air mata untuk
sekotak nasi mewah. Dulu yang ISSABA masih berjalan tertatih yang hanya dengan lengseran kami semua bisa tersenyum puas
bangga luar biasa, tetapi sekarang ISSABA sudah menjadi bagian dari organ raksanan
di Mambaus Sholihin. Semua ini perlu disyukuri, terima kasih untuk teman-teman
semua.
Dalam keadaan seperti ini, kebiasaan
buruk saya mulai tidak terkontrol. Iya, kebiasaan itu adalah kebiasaan
mengamati. Pemandangan apik teman-teman santri yang sedang menikmati
hidangannya masing-masing menjadi objek utama pengamatanku. Seperti halnya Tan
ketika kesepian tanpa buku-bukunya di Rusia yang akhirnya Tan memutuskan untuk
hanya mengamati dan mengamati apapun yang ada di sana, lebih-lebih mengenai
komunisme. Saya selalu tertarik untuk memikirkan apa yang sedang mereka pikirkan. Dan akhirnya
saya tersadar, mereka tidak seresah yang saya resahkan dan tidak sebahagia yang
saya bahagiakan.
Hal itu tidak berjalan lama. Panitia
dengan gerak agak memaksa, ya memang memaksa sih, membuat saya harus duduk
dibarisan orang-orang besar dan menepis pikiran singkatku sebelumnya. Saya
menciut di hadapan mereka. Dan itu membuat saya berpikir keras. Saya merasa eman sekaligus sungkan ketika melihat teman-teman
di luar sana tidak bisa ikut masuk ruang prasmanan. Di antara banyak teman,
hanya saya dan Nazih yang boleh menikmati prasmanan. Ini luar biasa. Iya luar
biasa. Tetapi meresahkan pikiran ini. Sehingga akhirnya saya teringat Fidel
Castro, salah satu tokoh pemberontak Kuba yang tertangkap oleh tentara AS, yang
pernah menyuarakan dengan lantang: sejarahlah
yang akan membebaskan saya. Castro berhasil meyakinkan dirinya sendiri dan
para pengikutnya dengan rangkaian kata tersebut. Tidak berbeda dengan keadaan ini, saya dengan
ISSABA pernah terloibat dalam momeh-meomen sejarah yang tidak sedikit.
Hari-hari yang paling membosankan dan paling membahagiakan pernah saya rasakan
dengan ISSABA. Dan saya kira: that’s the
answer. Saya menemukan alasan mengapa hari ini saya di dalam sini bersama
orang-orang besar dan mereka masih di luar. Saya baru mengerti bahwa
teman-teman tidak memiliki sejarah yang bisa membebaskan mereka hari ini
seperti apa yang sekarang sedang saya rasakan bersama Nazih, sosok yang selalu
ada di samping saya. Saya mengangguk dan tersenyum. Sejarah itu benar-benar
membuat saya berbeda, membuat bebas, dan membuat bahagia.poenk40814
Tidak ada komentar:
Posting Komentar