Malam ini kembali kutermenenung dalam pikiranku yang sedari tadi terselimuti oleh bayangan vital hati. Dan untuk keduanya ku kembali menulis, menulis tentang dewa yang mana dalam hal ini tak salah kalau orang-orang yang tak terselebung dalam kehidupannya terdapat aktifitas jam-an yang konsis, yaitu berfikir.
Ujung yang
mengawal dalam tulisan ini, adalah tentang sebuah permasalahan yang tidak
menyenangkan pastinya. Banyak diantara manusia manusia yang gundah, sedih,
kecewa, dan menderita hatinya karena satu kata ini “masalah”. Pun sampai sampai
Ayu ting ting turun tangan dengan iklan “anti galaunya” dalam m3, yang seakan
melukiskan ini adalah sesuatu yang berstadium untuk dibahas.
“Aku tak
mengerti, apa salahku, dan mungkin jika aku bandingkan kerjaku dengan rekan
yang lain aku lebih disiplin dan aktif, namun mengapa beliau kok hanya memarahi
aku. Iya sih aku tahu mungkin aku tidak sepinter mereka dalam hal apapun,
background aku pun tak selurus mereka, its fine…but kenapa sih kok mesti aku
dan aku yang disalahkan. Bahkan tak jarang ku lihat rekan-rekanku, berbuat yang
tak senonoh, but what happen, no action, seakan gag ada papa. Pun ketika dalam
tugas pasti aku dan aku yang berada di posisi bawah, aku tak pernah dianggap
oleh beliau. Ntah, kenapa kok sampai bisa seperti itu. Ya akhirnya tak taulah,
aku hanya bisa membingkai rasa ini dengan senyum di depan mereka”. Satu
contoh curhat diatas misalnya. Didalamnya melukiskan betapa mengeluh dan
sedihnya dia, saat ada hal yang tidak menyenangkan menyapa dia dalam hitungan
lebih dari satu, dua. Dalam satu nafas tak masalah lah, kita mengeluh, toh kita
juga manusia yang tak bisa luput dari masalah, dengan catatan tak haruslah
semua itu lebih dari satu jam dalam sehari.
Tapi, kala
kita mau berfikir lebih lanjut tentang satu ayat Quran “ la’in syakartum
la’azidannakum”, sesungguhnya posisi yang paling tepat dan pas untuk
membalas semua itu adalah posisi yang seperti itu. Posisi dimana berjalan
disamping kita hal-hal yang sangat tidak menyenangkan dan kita bisa sabar
sembari berfikir dan merenung. Kata syukur dalam ayat diatas itu ada karena
telah diturunkannya sesuatu yang menyenangkan kepada kita, lalu ketika kita
bersyukur akan hal itu, pasti Tuhan akan menambahnya. Dari situ jika kita putar
60 derajat kedepan, jika kita bisa mensyukuri semua hal-hal yang tidak
menyenangkan diatas sudah pastilah
bukanlah hanya menambah yang akan dilakukan Tuhan pada kita, namun lebih dari
itu, karena secara tersirat cobaan-cobaan yang telah diberikan kepada kita itu
adalah sebuah nikmat yang terbungkus special buat hamba-hambanya yang mau
berfikir dan bersabar. Dan semua itu sungguhlah masuk akal, toh bersyukur pada
nikmat yang dhohir atau menyenangkan saja Tuhan berjanji menambahnya, apalagi
mensyukuri nikmat yang menyiksa hati.
Dari situ,
sungguhlah masuk akal dan mungkin melebihi logikanya para filosof, jika para
sufi itu lebih memilih anti dunia atau bahasa akrabnya zuhud dan
uzlah dari pada mengejar
nominal-nominal yang tiada berarti didalamnya. Sebab alur pemikiran mereka
dengan semua ketidaknyamanan ini mereka bisa meraih sesuatu yang lebih dari
segalanya. Fitrah mereka sebagai manusia yang ingin selalu mendapat sesuatu
yang lebih begitu mereka tonjolkan dalam konsep berfikir mereka, dan itu
sungguhlah masuk akal. Karena tak ada manusia yang tak ingin lebih. Jadi
sangatlah salah jika kita mengatakan mereka itu tak waras atau apalah yang tak
doyan barang dunia, bukan. Namun semua itu tak lebihnya adalah sebagai usaha
mereka secara logis untuk meraih sesuatu yang selain mereka mustahil untuk
mendapatkannya, yang dalam hal ini adalah
“rizqun nadlor ila wajhikal karim”.
Dan akhirnya,
para manusia-manusia dewa itulah yang menang dan bisa merasakan pesona indahnya
sebuah problema, dengan kekuatan akal dan hatinya yang selalu bisa menganggap
apapun masalah yang menghadang mereka adalah sebuah rezeki dan nikmat seta
kesempatan untuk menjadi berarti buat orang lain. Toh pastinya masalah tak akan
tercipta tanpa sebuah jalan dan sebuah kemenangan.
“karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. karena
sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan”
(QS. Al-Insyiroh; 5-6)
CARA DAN TRIK :
Seusai
membaca uraian diatas, pastilah terngiang-ngiang di awan pikiran kita tentang
bagaimanakah memunculkan hasrat yang siap untuk mensyukuri setiap musibah yang
silih berganti menyapa kita. Jawabannya tak sulit, cukup dengan mendatangkan
sebuah perbandingan yang seolah tidak masuk akal dalam kerangka pemikiran kita.
Konsep perbandingan begitulah saya menyebutnya.
Saat sesuatu
yang sulit datang kepada anda, cobalah untuk membandingkannya dengan sesuatu
yang lebih sulit dan berat dari padanya. Lalu, berfikirlah sekali lagi dan
merenunglah, serta bayangkanlah saat ini anda sedang tertimpa musibah yang
kedua tadi. Perlahan dan terus berimajinasi sampai seakan itu adalah nyata akan
terjadi pada diri anda. Dan sampai pada saatnya terjadi, ternyata Tuhan
mengubah planning musibah tadi yang asalanya kepala anda yang akan pecah
terlindas truck diganti menjadi hape anda yang jatuh dan rusak. Sampai
akhirnya, rasa syukur itu dapat kita rasakan.
Jadi,
finalnya, menuruti contoh diatas, saat kita terkena musibah hape kita jatuh dan
pecah, bukannya sedih dan galau yang akan kita rasakan, tapi malah terima
kasih, karena hanya sepintas hape yang pecah tidak sampai pada kepala. Dan
itulah fungsi real dari konsep perbandingan. /…z_v9213
Tidak ada komentar:
Posting Komentar