Dalam kajian Linguistik, ada tiga unsur yang
paling penting: langue, langage, dan parole. Ketiganya berfungsi menurut masing-masing
tempatnya. Yang pertama merupakan tempat untuk mengetahui kalau sebuah bahasa
pasti tersistem atau mudahnya, setiap bahasa itu memiliki grammatika
masing-masing yang pastinya berbeda satu dengan lainnya. Yang kedua adalah
tempat untuk membedakan antara bahasa manusia—sebagai makhluk yang tersistem dengan pemikiran yang
ilmiahnya—dengan bahasa hewan—sebagai makhluk hidup tanpa pemikiran
tersistem—yang pastinya hanya bahasa manusia lah yang masuk dalam kajian ilmu
linguistik ini. Selanjutnya adalah parole: keadaan yang menempatkan bahasa
menurut fungsi utamanya, yaitu sebagai alat komunikasi dengan baik dan teratur.
Masih berkenaan dengan itu, hewan yang posisinya
juga sebagai makhluk hidup pasti memiliki bahasa sendiri-sendiri untuk
berinteraksi satu sama lain. Meskipun hal itu tidak bisa dijangkau oleh
kemampuan manusia biasa, tetap saja mereka memiliki konstruksi bahasa mereka
sendiri. Dalam hal kesetiaan merpati misalnya, pasti sebelum merpati cowok
dilepas meninggalkan yang cewek lalu kembali pada dekapan si cewek, ada
komunikasi-komunikasi tertentu yang terjadi di antara keduanya. Selain itu, dalam
kehidupan makhluk-makhluk lain seperti jin dan teman-temannya. Bagaimanapun
juga karena mereka juga eksis dalam kehidupan mereka sendiri, mereka pasti
memiliki bahasa yang berfungsi sebagai alat untuk mengekspresikan pikiran
mereka masing-masing. Pastinya, itu juga sudah tersistem menurut system yang
ada dalam kehidupan mereka. Kemudian—dari hewan dan jin di atas—persoalannya
adalah ketika bahasa tersebut dibenturkan dengan struktur dalam paragraph
pertama tadi: apakah masih bagiannya darinya atau tidak, toh mereka juga
berkomunikasi. Dan jawaban yang paling mendekati tentang itu adalah adanya
perbedaan dimensi. Keduanya—hewan dan jin—tidak masuk pada tataran apapun yang
bisa dinalar. Dengan demikian, bagaimanapun juga meski mereka memiliki bahasa
yang rapi, itu masuk dalam nalar di dunia mereka sendiri, tidak dunia kita.
Di wilayah lain, masih bersinggunggan dengan itu, dalam
surat al-A’raf:52, dengan jelas tertulis bahwa Quran itu dijelaskan atas dasar
pengetahuan yang ilmiah. Dan jika ditarik beberapa surat sebelumnya, tepatnya
al-Baqarah: 3, tertera bahwa orang-orang yang takwa adalah siapa saja yang
percaya kepada hal-hal gaib, mau bersembahyang, dan berinfak. Di sini, satu hal
yang unik: kalimat tentang percaya terhadap hal-hal ghaib diletakkan lebih awal
sendiri dari pada lainnya. Selain itu, kalimat tersebut juga berada di posisi
awal dalam surat kedua dari Quran. Al-Quran—seperti dikatakan sebelumnya—adalah
sesuatu yang berdasarkan pengetahuan ilmiah dan di dalam Quran dijelaskan bahwa
mempercayai hal ghaib—termasuk di dalamnya jin dan lainnya—merupakan salah satu
syarat terpenting untuk bisa meraih derajat takwa. Dengan demikian, jika
ditarik kesimpulan dari kedua premis di atas, maka hasilnya: jin itu juga
ilmiah. Dalam arti, hal itu bisa dinalar, tetapi mungkin permasalahannya
tergantung kepada bagaimana kita menalar jin tersebut. Dan dalam hal ini
termasuk juga mengenai ilmu linguistic yang tadi dikata hanya berlaku untuk
manusia dengan alasan ilmiah. Jin—dari uraian singkat di atas—dalam menurut
Quran adalah sesuatu yang ilmiah, jadi dalam konteks langage, sepertinya tidak
ada salahnya jika bahasa keseharian mereka dimasukkan dalam tataran linguistic.zev160214
Tidak ada komentar:
Posting Komentar