Sebelum membahas lebih lanjut,
beberapa persoalan bersarang dalam otak saya. Adalah tentang bagaimana mungkin
satu kalimat singkat: bismillahi ar-rahmani ar-rahimi, bisa menempati tempat
satu kalimat Quran yang paling sering disebut setelah suatu kalimat lain yang
ada di surat Ar-Rahman. Mengenai hal itu, sulit untuk dipercaya jika tiada
sesuatu apapun yang tersirat di dalam tragedi nyata ini.
Menggunakan pendekatan bahasa, sebenarnya sudah
jelas sekali bagaimana harusnya satu kalimat itu dipahami dan diaplikasikan.
Akan tetapi, tidak tahu juga, seakan, pandangan mayoritas muslim akan bismillah
sempit sekali. Kebanyakan, satu kalimat ini dipandang sebagai suatu cara. Iya,
sebatas cara atau teori dan bukan untuk diaplikasikan, yaitu cara untuk
mendapat sesuatu secara lebih dan hal itu lebih dominan bermanfaat hanya untuk
dirinya sendiri. Dalam hal makan misalnya, kebanyakan kabar, selama ini
seseorang harus membaca kalimat itu terlebih dahulu jika ingin barakah dan
konon katanya agar makannya cepat kenyang.
Dalam contoh tersebut, bismillah dipandang hanya
sebagai stimulus dan cara. Cara bagaimana seseorang bisa mendapat suatu
kepuasan yang lebih dengan membaca itu. Dan juga sebaliknya, jika seseorang tidak
membaca bismillah di awal kali makan, maka dalam proses makan tersebut yang
bersangkutan sulit untuk merasa kenyang dan selalu ingin tambah karena tidak
barokah. Kira-kira seperti itulah bagaimana mayoritas muslim memandang satu
kalimat penting ini. Mereka lebih mengandalkan keyakinan mereka yang egois
dalam memahami bismillah.
Padahal, jika kita amati lebih pelan dan
aplikasikan dengan suatu persoalan sosial yang konkrit, maka ada garis pembeda
yang membentang di antara keduanya. Dan itu terletak pada bagaimana kita
memandang kata ar-rohman dan ar-rohim di dalam kalimat tersebut. Saya yakin
sekali, bahwa kebanyakan muslim mengetahui makna dari dua lafadz itu. Minimal,
mereka pasti sering membaca terjemah bismillah yang jamak kita temui tertempel
di pintu-pintu rumah mereka. Tuhan yang maha pengasih lagi maha penyayang,
kira-kira itulah artinya. Di dalam bismillah sampai sekarang—yang saya
tahu—tidak pernah ada sesuatu yang menghususkan kalimat itu. Dalam arti, apakah
itu hanya berlaku dengan kedaan tertentu atu tidak. Jadi, kedua hal itu bisa
diberlakukan di semua aspek kehidupan tanpa terkecuali meskipun juga dengan
orang-orang nonmuslim.
Selanjutnya, lebih fokus kepada aplikasi, kalau
memang kalimat tersebut sanggup untuk diaplikasikan, kemungkinan terbanyaknya
adalah penurunan jumlah pandangan yang mengklaim bahwa Islam itu rumit. Hal itu
bisa dibuktikan dengan waktu sholat yang sering membuat seseorang tertuntut dan
terbebani untuk selalu melakukannya tepat waktu. Dalam arti, selama ini, sholat
banyak dipandang sebagai suatu ritus yang lebih baik jika dilakukan langsung
selepas adzan dari pada di penghujungnya, sehingga bagaimanapun juga psikologi
seseorang akan merasa terbebani jika dia tidak bisa melakukannya di awal
waktunya. Padahal, sholat itu bagaimanapun juga—baik dilakukan selepas adzan
tepat atau di penghujung waktunya—pasti akan berpotensi sama: sama-sama baiknya
dan tidak ada istilah lebih baik jika memang di waktu yang sama, yang
bersangkutan masih terlibat suatu persoalan dengan orang lain.
Dengan demikian, singkatnya, dengan memahami
bismillah secara berbeda, seseorang bisa lebih mengutamakan orang lain—dengan
tidak meninggalkan dulu dalam sebuah persoalan yang penting—dari pada harus
meninggalkannya untuk bisa sholat di waktu yang lebih baik. Semua waktu
sholat—dalam keadaan tertentu—tidak mengandung istilah lebih baik, semuanya
sama karena memang Tuhan adalah maha pengertian, maha penyayang, dan maha
pengasih: bismillahi ar-rahmani ar-rahimi.zev281213
Tidak ada komentar:
Posting Komentar