Ketiga
pertanyaan di atas spontan muncul dalam benak saya selepas sholat dluha. Dan hal
itu bukan untuk kali pertamanya ini. Sering, hal-hal seperti itu menyelimuti
hati dan perasaan saya. Selain ketiga hal di atas masih banyak perincian sesuatu lain yang sampai saat ini masih menggantung dalam benak. Beberapa darinya adalah tentang keadaan saya sekarang: mengapa saya dilahirkan dari kedua orang tua yang sekarang saya miliki? Mengapa
tidak dilahirkan dari orang tua lain? Mengapa saya dilahirkan di Tuban dengan
lingkungannya yang bersosial tinggi—daripada daerah Surabaya dan sekitarnya—dan
mengapa pula sekarang saya terlempar di sini, di Jogjakarta? Entahlah.
Masih
mengenai tanda tanya itu, saya berfikir: saya juga tidak pernah menginginkan
semua itu, saya tidak mempunyai rencana ataupun sebagainya. Lantas, siapakah
yang menginginkan dan merencanakan sesuatu ini? Dan jawaban yang paling tepat
tentang itu—untuk sekarang—hanyalah tertuju kepada suatu dzat yang dalam
agama saya saat ini, itu disebut sebagai Allah. Iya, Allah, Tuhannya Orang-orang
Islam, Yahudi, Kristen, dan Nasrani.
Sebelum
saya mencatat lebih lanjut, saya masih ingin mempertanyakan beberapa hal
terkait. Itu adalah mengenai tujuan dari semua keinginan yang bukan milik saya
di atas. Jika memang benar itu adalah keinginan dari-Nya, maka tiadanya tujuan
akan hal itu adalah sebuah ketidakmungkinan. Semuanya pasti memiliki tujuan. Dan
tujuan itulah yang membuat saya untuk berfikir kali keduanya.
Tujuan
tersebut sangatlah abstrak, seabstrak hari-hari yang akan kita jalani besok
setelah kematian. Dan dari ini, jika kita menggunakan salah satu metodologi
dalam ushul fiqh—Qiyas—maka keduanya ber-core sama, yaitu ketiadaannya
adalah ketidakmungkinan. Keabstrakan hari-hari setelah kematian sejajar dengan abstraknya tujuan Tuhan tentang persoalan-persoalan tersebut. Persoalan-persoalan tadi memiliki tujuan dan itu ada. Sehingga adanya hari-hari paska kematian itu bukanlah ketidakmungkinan, tetapi kepastian.
di wilayah lain, hal ini telah memberikan saya satu alasan lagi:
mengapa saya harus tidak sepakat dengan pemikiran Marx tentang hari setelah
kematian. Bagaimanapun juga, hari-hari itu layak untuk kita pikirkan demi kita
sendiri dan itu bukanlah sebuah kesia-siaan ataupun ilusi belaka sebagaimana
yang Mark tulis. Seperti halnya, kita perlu menghapus kegelisahan-kegelisahan
yang timbul dari pertanyaan-pertanyaan di awal tadi dengan selalu memandang
optimis dan positif tentang apapun tujuan yang akan tertulis untuk kita. Sehingga
dengan memikirkan itu, semuanya menjadi jelas alasannya: mengapa kita lahir dari
orangtua kita yang sekarang? Mengapa kita harus lahir di suatu daerah yang kita
tidak pernah memiliki kesempatan untuk menentukannya? Dan mengapa kita seperti
ini sekarang?
Pada
akhirnya, sebuah hipotesis bisa ditulis bahwa pemimpinnya para pemimpin hidup
bukan tanpa satu pemimpin tertinggi. Pemimpinnya para pemimpin dunia juga
membutuhkan satu pemimpin yang mampu untuk menjawab semua persoalan-persoalan
dalam hidupnya, termasuk beberapa persoalan di paragraf pertama tadi. Dengan
demikian, saya mengatakan: baik dengan atau tanpa suatu institusi keagamaan,
satu pemimpin tertinggi itu—Tuhan—pasti ada. zev241113
Tidak ada komentar:
Posting Komentar