never imitate |
Dewasa ini kata “dilema” bukan lagi identik
dengan seragam putih biru atau abu-abu, satu kata itu sudah menjelma dalam
sepasang pakaian kerja lengkap dengan dasi serta kaos kakinya dan tak terlihat
lagi hanya cocok untuk kaum-kaum galau versi pemuda masa kini, namun usai sudah
merambat pada dunia berdasi. Dari yang tidak ada hingga di ada-ada, sampai yang
ada hingga tiada, semuanya yang berbau pendidikan berbau dilematis. Dalam hal niat
misalnya, sebenarnya banyak dari para pendidik-pendidik yang apa adanya dalam
mendidik anak didiknya, namun berhubung program-program dari pemerintah sendiri
itulah seakan mereka tidak tulus akan itu.
Satu sisi, dengan tanpa
menduakan perhatian pemerintah, adanya legalisasi para guru yang terbungkus
dalam sertifikasi yang semakin tahun semakin ketat itu malah menjadi faktor
utama berkurangnya integritas mereka dalam mendidik. Bagaikan sebuah sayembara
umum yang pesertanya dibuka lebar untuk semua kalangan, ketika dalam kegiatan
belajar mengajar tidak ditemukan perangkat sekaliber hadiah (bahasa sayembara)
pasti siapa saja itu, akan apa adanya melakoni apa yang harusnya mereka lakukan
tanpa ada embel-embel apapun. Namun semua akan beda, ketika satu makhluk yang
bernama hadiah itu muncul ditengah-tengah mereka, sedikit tidaknya pasti
terbesit di hati masing-masing dari mereka untuk berebut meraih hadiah itu,
masalahnya juga tidak mungkin kalau hadiah itu diobral secara umum, dan
semuanya bisa mendapatkannya. Jadi mau tidak mau mereka harus bersaing untuk
itu. Dari situ pertanyaannya adalah, “bukankah lebih cocoknya yang mengadopsi
istilah fastabiqul khoirot itu peserta didik mereka? Kok malah mereka
sendiri sih?”, ntahlah.
Se-rel dengan itu,
kalau kita memandang dari banyak kaca mata, tidak apa-lah hal semacam itu
membumi di kalangan para pengajar. Namun permasalahannya juga, jalan utama
untuk bisa menggapai hadiah itu adalah lewat legalitas bukan kualitas, dan
itulah yang seharusnya merupakan titik problema kita saat ini. Semuanya serba
dilema, andai kata-kata sertifikasi itu terbingkai secara tersirat dimana
intinya itu adalah kehidupan yang layak buat pahlawan tanpa tanda jasa bangsa
ini, pasti tak akan ada lagi yang namanya, jual beli ijazah dan lain
sebagainya, yang mana karena orang-orang kalengan seperti mereka lah yang
merusak citra guru itu sendiri. Tapi lagi-lagi semua itu tak semudah kita menggayuh
becak.
Dalam hemat penulis,
akan lebih baik jika untuk mengatasi masalah ini, disamping kita terus
mengalirkan tunjangan-tunjangan sebagai satu ekspresi penghargaan yang luar
biasa terhadapnya, bisa juga kita memberi lowongan untuk orang-orang nonakademis
(nonpendidik) untuk mendidik bangsa ini. Sedikit banyaknya pasti akan beda,
antara seseorang yang berprovesi jadi guru ketika mengajar dengan seseorang
yang berprofesi sebagai politisi saat mengajar. Sebab politisi yang mengajar
itu menjadikan keringatnya sebagai wujud kewajiban mereka untuk berbagi
mengenai apa yang mereka punya, sedang kebanyakan dari seorang yang berprofesi
guru apalagi yang usai mendapat hadiah, memandang keringat yang tiap pagi
menetes membahasi dahinya itu adalah wujud dari usahanya untuk menghidupi anak
istrinya. Beda toh?
Pun ironisnya, fakta membuktikan, kaum
minoritas pendidik bangsa ini kesemuanya sepakat untuk memilih menduakan
pekerjaan mereka sebagai guru. Dan dalam kacamata tulisan ini, memang dengan
begitulah bentuk ketulusan mereka bisa terbingkai. Karena bagaimanapun itu,
tidak bisa dipungkiri kalau “GURU BUKANLAH PROFESI”, sehingga tidak terlalu
ekstrim jika dikatakan bahwa salah satu profesi yang sesat adalah guru.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar