ketika kita sedang melihat kereta api dalam
keadaan mempunyai masalah dengan kampus, banyak kemungkinan pikiran kita akan
mengikat sedikit spekulasi tentang kereta tersebut.
terdapat
banyak sekali gerbong yang mengekor dibelakangnya bahkan ditambah berapapun
gerbongnya masihlah elok dan layak disebut dengan ka. yang lajunya begitu
cepat, namun semua itu tergantung pada satu gerbang paling depan, yaitu gerbong
mesin.
begitupun dengan dosen, megahnya kampus, dan
lengkapnya fasilitas tanpa banyak tanda tanya kita pasti akan mempunyai asumsi
yg sama dengan kereta api diatas. dosen bagai gerbong mesin, yang bagaimanapun
juga arti hadirnya adalah yang menentukan jalan tidaknya belasan gerbong di
belakangnya. dapat diambil kesimpulan bahwasanya sekecil apapun sebuah
universitas, itu tergantung pada manusia yang bernama dosen ini.
tapi ketika kita sadar dan terbangun dari
mimpi mimpi kita, banyak mahasiswa yang bukan kualitas dosennya yang mereka
jadikan almameternya namun malah seberapa tenarkah kampus mereka. ironis
memang, satu aspek mendukung bahwa kecondongan mereka terhadap kuantitas kampus
memang sangatlah wajar. karena sulit dirasa kalau kampus berkelas enggan
menerima dosen-dosen yang tidak berkualitas.
aspek lain, hal seperti ini pun ternyata
memicu kesenjangan sosial. tak sedikit fakta yang mengutuk bahwa kampus level
teri hanya berdosenkan guru-guru yang tak berkualitas. dan terpantik dari situ,
dalam hal ini tidak ada pihak yang salah dan menyalahkan, semua serba dilema.
menindaklanjuti problema itu, saat ada
keputusan vonis "tak ada yang harus disalahkan", bukan berarti
tulisan ini harus cukup sampai disini, tidak. namun, dalam masalah ini harus
ada pihak yang merasa salah yang "future implikasinya" nanti adalah
sebagai problem solving atas dilematika yang terjadi.
ada ungkapan sederhana namun nylekit,
"skg teknologipun sudah bisa menggantikan dosen, apalagi dosen yg
killer", andai penulis dosen pasti akan saya tambah "skg dosen pun
lebih suka seperti wp 7 nokia lumia 800, hehe"
pertanyaannya,
kenapa sampai segitunya para dosen di pandang satu mata? jawaban pertama,
karena dosen dosen skg apalagi yang di naungi oleh institusi2 ataupun sekolah
tinggi swasta itu kurang bisa berbangga dengan almameter yg dikenakannya,
pengennya semua serba berkelas hingga akhirnya mereka tak lebihnya hanyalah
seorang guru smp yang tanpa hadirnya pun anak2 didiknya bisa mendapatkan
sesuatu yang lebih dari teknologi.
Kedua, kadar
kedosenan seseorang itu secara mudah dapat diketahui lewat produktifitasnya
dalam berkarya. sebab hanya dengan satu cara inilah mereka bisa melepas kutukan
rival beratnya tadi (teknologi). tak jauh berbeda dengan wp 7 lumia 800, dari
segi tampilan serta labelnya, wp 7 lumia bisa menarik
banyak konsumen sampai sempat menggeser sistem kinerja android di pasaran. tapi
ketika tahu produk wp 7 lumia 800 itu tak bisa di upgrade menjadi wp 8 ataupun
10, pemasarannya pun derastis menurun, harga jualnya pun menjadi rendah. Dan seperti itulah dosen yang tidak bisa
mengupgrade pribadinya lewat produktif berkarya, harga jualnya pun lama-lama tak ubahnya wp 7 lumia 800. Lebih terasa mending, kala sesuatu yang menaunginya tadi selevel
microsoft dan nokia, coba kalau selevel cross ataupun mito, "apa yang akan
terjadi?".
Kadang, memang menjadi dosen tak semudah mengayuh becak, tapi tentu bukan masalah
untuk satu jam dari 24 jam kita, kita gunakan untuk berbenah. Sedikit banyak, mahasiswa pasti membutuhkan motivasi dan perhatian lebih dari
dosen, sebab hanya dg itulah mahasiswa bisa merasakan sentuhan langsung kasih
sayang dari dosen, dimana tak akan pernah mereka dapatkan dari
teknologi manapun. Pun
terfikirkan, untuk menepis ungkapan miring tentang dosen, tak ada salahnya jika
dosen- dosen itu bisa bersaing dalam menelorkan karya-karya dan pemikiran
mereka, lewat menulis simpelnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar