Dalam peta hukum khitan perempuan, salah satu poinnya—menurut beberapa pendapat—adalah
dihukumi wajib. Pendapat itu berangkat dari salah satu hadist yang diriwayatkan
oleh Imam Bukhari tentang kewajiban mandi peska bertemunya dua khitan. Dalam
matan hadist tersebut, tertulis bertemunya dua khitan, antara khitan laki-laki
dan perempuan. Hadist adalah salah satu jendela untuk mengetahui bagaimana
keadaan kultur orang-orang Arab—yang dekat dengan Muhammad—beberapa abad silam.
Kemudian, hadist di atas secara tersirat—dalam titik focus lainnya—bisa
dipahami bahwa perempuan juga dikhitan dengan mempertimbangkan kalimat
bertemunya dua khitan. Dengan demikian, dalam hal ini, pendapat di atas tidak
salah ketika menjadikan hadist ini dasar akan diwajibkannya khitan bagi
perempuan dengan mempertimbangkan adanya kultur yang pernah ada di masa Muhammad.
Akan tetapi, jika kita amati lebih dalam lagi,
terlihat ada beberapa keganjilan di dalamnya. Pertama adalah tentang titik
fokusnya. Bagaimanapun juga, ketika hadist itu dijadikan dasar tentang
diwajibkannya khitan perempuan, maka hadist tersebut akan kehilangan titik
fokusnya yang pertama: tentang kewajiban mandi besar. Kedua adalah tentang
ketimpangan makna yang dihasilkan. Ketika hadist tersebut bertitik focus
majemuk—diwajibkannya khitan dan mandi besar—maka ada salah satu darinya yang
akan keluar dari rel yang sebenarnya. Salah satu yang mewajibkan mandi besar
adalah ketika sudah bersetubuh atau paska bertemunya dua kelamin, baik itu
sudah dikhitan atau belum. Itu adalah kesimpulan pertama dari hadist di atas
sebelum makna khitan dijadikan titik focus lainnya. Kemudian, ketika kata
khitan tersebut dijadikan sebuah landasan diwajibkannya khitan bagi perempuan,
maka ada perubahan yang jelas dari pemahaman hadistnya. Dan darinya—seandainya
hadist ini dijadikan landasan wajib
khitan bagi perempuan—kewajiban mandi besar untuk muslim hanya wajib
dilakukan ketika antara laki-laki dan perempuannya sudah dikhitan dan
seandainya belum, maka tidaklah wajib mandi. Satu unsur yang melahirkan unsur lain yang jauh berbeda bahkan
bertentangan.
Dengan demikian, bagaimanapun juga sepertinya
kurang tepat jika hadist itu dijadikan landasan utama diwajibkannya khitan
perempuan. Selain itu, cukup naïf juga jika tanpa melakukan
pertimbangan-pertimbangan yang serius—dan hanya mengandalkan kajian
pustaka—khitan perempuan bisa diwajibkan. Alangkah lebih baiknya, baik itu
mengenai kajian pustaka ataupun empirik, kesimpulan untuk hukum khitan
perempuan ini lebih focus kepada pertimbangan manfaat dan mala yang akan
dilahirkan jika memang salah satu kultur Islam tersebut dipraktekkan.zev170214