19 januari kemarin, sepertinya bukan hanya saya
yang menjadikan hari itu sebagai hari yang sangat disayangkan. Iya, dalam
pemakaman Najib, teman dekat saya selama di pesantren, tidak saja dihadiri oleh
sekelompok teman yang dari blok saya saja, namun dari blok teman-teman
seangkatannya juga tampak berduyun-duyun turut merasakan kehilangan di rumah
duka. Dan mungkin, itulah alasan saya mengatakan kalau hari kemarin itu adalah
hari tersayang bersama.
Dari hal itu, di sisi lain, ada sesuatu yang
terpikirkan tepat ketika saya harus melihat Najib—dari jarak satu
meter—dikebumikan. Itu adalah bayangan betapa mengerikannya sebuah kematian. Seakan,
di waktu yang sama, bayangan kematian mengubah persepsi seseorang terhadap Tuhan.
Dan hal itu memungkinkan seseorang untuk memandang Tuhan sebagai sesuatu yang
mengerikan dan lebih mengerikan. Sehingga, andai mayat bisa berkomentar, banyak
kemungkinan dia akan ketakutan saat tahu dia akan dikebumikan. Dan dari sini,
seakan Tuhan tampil berbeda dihadapan makhluknya.
Selepas pemakaman, saya beranjak ke Masjid dan
menunaikan sholat Dhuhur. Dalam jangka
waktu yang relatif singkat—setelah pemakaman Najib—saya merasa ada
sesuatu yang berbeda. Adalah tentang pandangan terhadap Tuhan. Tadi, tepat
ketika saya melihat Najib dikebumikan—tanpa tersadar—saya menjumpai Tuhan
sebagai sesosok yang mengerikan, jahat,
dan penyiksa. Akan tetapi, sejenak kemudian, di saat sholat, spontan Tuhan
menjadi sesosok yang jauh berbeda: penyayang, perhatian, dan sangat dibutuhkan.
Dan hal ini sangatlah berbeda jika disejajarkan dengan pandangan mayat terhadap
Tuhan. Satu memandang-Nya sebagai Yang Maha penyayang sedangkan yang satunya
memandang-Nya sebagai Yang Maha penyiksa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar