Boleh jadi, salah satu alasan munculnya isu
tentang pendekatan dengan Tuhan tanpa agama atau yang lebih familier disebut
god without religion adalah pupusnya rasa ikhlas dalam setiap hati orang-orang
yang beragama. Sebab, dengan keadaan seperti itu—tanpa adanya
ketulusan—seseorang akan menganggap ritual-ritual yang merupakan bagian dari
kewajiban mereka itu hanyalah sebagai alat penggugur kewajiban. kemudian,
bersama asumsi tersebut, pihak yang diuntungkan bukanlah mereka tapi agama
mereka. Dan ketika yang diuntungkan agamanya bukan pemeluknya, maka tidaklah
salah jika dikata: agama hanyalah peruwet
dari kehidupan. Hal itu disebabkan oleh absennya timbal balik yang didapat
pemeluknya paska menyempurnakan ritual-ritual keagamaannya. Sehingga, bagaimanapun
juga salah satu hal vital dalam beragama dan untuk mengagamakan agama adalah
dengan men-set hati setulus mungkin
dalam setiap ritual yang terjalani.
Dipercaya atau tidak, segala sesuatu yang
dijalankan secara ikhlas pasti akan mengundang manfaat tersendiri dalam benak
masing-masing pelakunya. Hal itu juga tidak berhenti sampai kepada
ritual-ritual dalam beragama. Sholat misalnya, jika hal itu dijalankan secara
ikhlas pasti manfaat yang didapat tidak sebatas kepada agamanya saja, namun
juga kepada pihak yang bersangkutan (7:29). Minimal, dengannya seseorang pasti
akan mendapat kepuasan rohani yang tidak akan didapat ketika semua itu
dijalankan dengan terpaksa. Dengan demikian, dalam hal ini agama bukan lagi
sebagai peruwet kehidupan, tetapi sebaliknya: agama sebagai sesuatu yang bisa
mencerahkan, bisa memberi, dan bisa diandalkan.
Di lain wilayah, jika hal di atas dikaitkan dengan
pragmatisme, sebenarnya semuanya masihlah baik-baik saja. Justru, kalau memang
mereka benar-benar pragmatis, tidak ada alasan yang lebih masuk akal bagi
mereka untuk meninggalkan ritual-ritual keberagamaan mereka. Sebab, sebegaimana
tertulis sebelumnya: semua pasti akan terbalas impas jika dijalani dengan
ikhlas. Contoh lainnya adalah konsep pengabdian yang sudah lama berkembang
dalam Islam. Lebih khususnya, hal itu berkembang di pesantren yang hampir
semuanya ditata dengan konsep pengabdian. Di dalamnya, ketika memang pengabdian
ini dijalankan dengan ikhlas, pasti ada manfaat yang luar biasa yang akan
didapat. Itu tidak berbeda jauh dengan teori karma atau timbal balik: barang
siapa membantu pasti dibantu. Begitu juga dengan pengabdian yang posisinya
adalah membantu secara total instansi yang menaungi mereka. Minimal—meski
dirasa sulit juga untuk mempercayai hal-hal yang nyata tapi masih belum berupa
manfaat materi yang jelas—hanya dengan itulah mereka bisa berbangga diri dan
puas batin karena mereka telah berhasil untuk menjadi sosok-sosok yang
bermanfaat bagi orang lain. Khoiru an-nas man anfa’uhu li an-nas. Zev100214
Tidak ada komentar:
Posting Komentar