Rabu, 06 November 2013

Bapak Muhdlir: Apakah Semua Hadist yang Sohih itu Berarti Sebuah Anjuran atau Bahkan Kewajiban


Untuk kali kesekiannya, pikiran saya yang selama ini sudah saya klaim terbuka, dibuka lagi dengan kesimpulan Bapak Muhdlir tadi sore. Seperti biasanya, pelajaran yang mulanya adalah bahasa Arab selalu beliau isi dengan penyampaian pemikiran-pemikiran luar biasanya. Dan dalam kesempatan kali ini beliau memupuskan kebosanan teman-teman sekelas saya dengan pendapat beliau tentang pentingnya menemukan alasan mengapa suatu hukum harus dihukumi baik atau buruk.
Adalah tentang anjuran membunuh cicak. Dari sini, saya teringat beberapa tahun silam. Dulu saya pernah terlibat dengan perbincangan serius mengenai wajibnya membunuh cicak. Di waktu yang sama saya sama sekali tidak mengenali apa itu hadist sohih, dloif, dan sebagainya. Yang ada dalam benak saya saat itu hanyalah kesimpulan bahwa jika kita mengaku muslim, maka harus membunuh cicak. Alasannya cukup simpel: karena cicak memberitahu orang-orang quraish tempat persembunyian nabi ketika nabi dikejar-kejar oleh mereka. Hal itu membumi dalam benak saya dan baru tadi sore pikiran itu terbuka untuk kali kesekiannya.
Akan tetapi alasan yang benar mengapa cicak halal untuk dibunuh bahkan dianjurkan adalah karena ulah nakalnya meniup api yang membakar Nabi Ibrahim tempo dulu. Imam Bukhori dan Muslim menceritakan: ketika nabi Ibrahim dilempar oleh umatnya ke dalam kobaran api; semua hewan bersusah payah untuk memadamkan apinya kecuali cicak—cicak malah meniupnya—sehingga dari bingkai sejarah yang sangat perlu untuk dibahas itu cicak dianjurkan untuk dibunuh.
Dari paragraf tersebut muncul beberapa pertanyaan terkait. Pertama: bagaimana gambaran konkrit dari keadaan cicak yang sedang meniup? Toh, meskipun itu benar-benar terjadi apakah efek yang ditimbulkan dari tiupan hewan sekecil cicak tadi benar bisa membesarkan kobaran api?. Bersambung dengan itu bukannya dalam beberapa cerita juga sudah diceritakan bahwa Nabi Ibrahim adalah salah satu nabi yang kebal dengan api, jadi meski gajah pun misalnya, waktu itu ikut meniup kobaran api bisa dipastikan kobaran api itu tidak sampai melukai tubuh Ibrahim. Sampai di sini saya masih belum menemukan titik pencerahan.
Pertanyaan kedua, yaitu berapakah jumlah cicak yang meniup api tersebut? Apakah semua cicak sedunia berkumpul dan bersama-sama meniup api Ibrahim? Kalau memang iya, apakah cicak-cicak yang terlibat dalam tragedi itu masih hidup sampai sekarang? Kalau sudah mati, mengapa masih saja ada anjuran untuk membunuh cicak secara mutlak? Kemudian, apakah dalam hukum cicak, semua anak cicak itu terbebani dengan dosa-dosa nenek moyangnya? Sejak kapan? Toh, dalam hukum manusia saja, status bayi hasil zina masihlah suci dan muslim.
Pertanyaan ketiga: Bagaimanakah gambaran nyata hewan-hewan lainnya saat berusaha memadamkan api Ibrahim? Apakah dengan berbondong-bondong mencari air? Atau bagaimana? Entahlah. Sehingga dari semua tanda tanya itu, hipotesis saya mengatakan: Hadist Sohih ini mengajak kita untuk semakin mendramatisir kehidupan yang sudah mendrama ini. Saya memandang hadist itu mengajak kita untuk memasalahkan sesuatu yang tidak masalah. Semua makhluk hidup mempunyai hak untuk hidup dengan damai, begitupun dengan cicak. bagaimanapun juga cicak perlu dibela dan lestarikan.
Dan dalam ruang ini, saya sepakat dengan kesimpulan Bapak Muhdlir di awal tadi: semua hadis sohih tidak berarti adalah sebuah anjuran atau bahkan kewajiban. Pemahaman masyarakat umum yang pernah saya rasakan dulu perlu untuk diperbarui. Pengetahuan akan alasan mengapa sebuah hadist menetapkan hukum baik atau buruk harus diselidiki terlebih dahulu meskipun itu sohih. Zev061113


Tidak ada komentar:

Posting Komentar