Minggu, 24 November 2013

Satu-Satunya yang Pasti Adalah Ketidakpastian


Saya ulangi satu kali lagi: satu-satunya yang pasti adalah ketidakpastian. Iya, pasti sudah jamak diketahui bahwa satu ungkapan tersebut adalah salah satu ide Einsten jika dibahasakan dalam B. Indonesia. Insipirasi untuk menulis catatan ada ketika  saya membaca novel 5 CM, entah siapa pengarangnya saya lupa namanya.
Dirasa atau tidak, masih berhubungan dengan ketidakpastian, salah satu keadaan terbaik dalam kehidupan ini adalah ketidakpastian. Mengapa? Pertama, karena tanpa keadaan seperti itu, manusia akan sangat sulit untuk berterima kasih dengan apapun yang telah dia miliki. Dalam hal umur misalnya, ketika manusia sudah mengetahui di umur yang keberapa dia meninggal, maka kemungkinan terbesar yang akan dilakukan manusia tersebut adalah berfoya-foya di 80% hidupnya dan baru ketika kurang 2 tahun dia meninggal, dia berlomba-lomba dalam kebaikan. Hal itu bisa dibayangkan, bagaimana jadinya dunia ini jika semua manusia dalam 80% hidupnya bertindak semaunya tanpa adanya sesuatu yang dia takuti, toh mayoritas penduduk dunia adalah orang-orang yang beragama.[1] Selain itu, contoh lainnya adalah tentang bukti empiris dari orang-orang yang pernah naik kapal laut. Andaikan kapal tersebut berjalan dengan sangat tenang, bisa dipastikan semua penumpang yang berada di dalamnya akan santai dan cenderung tidak berterima kasih akan keadaan nyaman tersebut. Akan tetapi jika kapal itu berjalan berkeok-keok terkena ombak yang cukup besar, maka kemungkinan terbanyaknya para penumpang akan khawatir dan cenderung berharap kepada suatu dzat menurut keyakinannya masing-masing. Orang-orang yang tak percaya akan Tuhan pun pasti akan turut berharap. Dengan demikian, satu hal lagi yang diyakini bisa membuat kepribadian seseorang menjadi baik dan taat adalah ketidakpastian. Bagaimanapun juga keadaan yang selama ini sering dipandang labil memiliki potensi yang luar biasa.
Kedua, yaitu tentang jodoh, bisa dibayangkan jika semua orang sudah mengetahui siapa jodohnya, maka kenyataan yang ada saat ini pasti akan jauh berbeda. Seseorang pasti akan enggan untuk berlomba-lomba menghiasi dirinya sebaik mungkin demi jodohnya, jika dia sudah tahu siapakah jodohnya. Bahkan dia akan cenderung mempermainkan banyak hati dari lawan jenisnya. Disepakati atau tidak, pemandangan yang mulai pupus tentang usaha-usaha tertentu yang dilakukan beberapa manusia untuk menghiasi dirinya demi jodohnya kelak karena keyakinannya adalah suatu pemandangan yang akan sangat dirindukan oleh dunia. Dan hanya dengan satu ketidakpastian ini, boleh jadi budaya tersebut masih akan eksis untuk bertahun-tahun berikutnya.
Ketiga, rezeki. Hal ini tidak berbeda jauh dengan paragraf-paragraf sebelumnya, hanya saja berbeda orientasi. Dalam hal ini, jika rezeki setiap orang sudah pasti dan yang bersangkutan telah mengetahuinya, maka kemungkinan terbaik yang akan terjadi adalah kemalasan manusia untuk bekerja. Bisa dispekulasikan, bagaimana rasanya kehidupan ini kalau tidak ada satu pun orang yang rajin berangkat bekerja di setiap paginya, tiada lagi para sopir trans yang menyetir pagi-pagi, dan tiada lagi toko-toko yang mau buka 24 jam. Dan keadaan seperti itu akan benar-benar terjadi jika ketidakpastian akan rezeki itu tidak ada.
Masih berkenaan dengan itu, di wilayah peribadatan, ternyata kepastian yang selama ini dipandang baku, menurut saya masihlah akan menemui titik ketidakpastian. Adalah tentang 6 rakaatnya sholat ashar. Hal tersebut akan sesuai dengan jumlahnya jika dilakukan sesuai waktu yang dianjurkan oleh ulama ahli fikih, tetapi jika dilakukan selepas 2 jam dari waktu adzan, maka kurang tepat juga jika sholat Ashar dilakukan 6 rakaat. Dan apakah itu masih dinamakan sebuah kepastian? Saya kira tidak.
Dengan demikian, apa yang pernah diidekan Einsten beberapa tahun silam, masih belum bisa dibantah, meski dalam ranah religi-peribadatannya sebuah agama.zev241113







[1] Ippo,”Tujuh Keajaiban Rezeki” dalam seminarnya, 2012.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar