Senin, 13 Desember 2021

Friendship

Friendship is a intangible term. It refers to the structure which is built on hope, so that its intangible. Everyone can't embrace hope, but can feel it. 

Friendship is not about togetherness. To be gathered each other in a warm situation is must indeed, but it is not the only thing determining friendship. 

How close we are with our friends does not depend on how often we meet them, but on how deep we trust them.

Im frequently having a coffee with a man or woman but I don't feel a friendship. We talk each other but it is so shallow. Why this happens? Because I do not lie my hope on them and so do they. This will happen too when the hope merely come from one of us.


Minggu, 12 Desember 2021

Crowdedness


Yogyakarta
– No quality in a crowdedness, wherever it is. Jogja is full of people lately. You will find a number of cars whose strange number plates in the road. Or perhap, if you are not a native—I mean you are just student or worker who lives in that fucking city—you are probably meet your neighbor.

It is boring you know, when you have to face such condition after work, whereas you are so tired and conceive hopefully such a relax surrounding through your way home while you are well-contemplated on something else or merely listening music.  

I condemn people’s mindset. They know surely that Jogja will be so crowded in the end year, but they still take their vacation on the city.

It is the first. Secondly, what do they mean by vacation? Is it really important for them or healing? I don’t think so. What they did is purely about following the trend.

They see that having vacation is cool, impresive, and even privilege. They thought that by updating their trip on their story is able to increase their social status such crazy rich and etc., whereas it is just spending money and bad news for their health as they merely eat a fast food and drink a soda along the trip.

It is okey that their vacation could boost a micro enterprises in our romantic city—at least it is what they believe about Jogja—but bullshit with that one. That is goverment responsibily and the most important thing here is Im longing relaxed city.

 

 

 

 

Senin, 17 Juni 2019

Dia, Pacarnya, dan Orang yang Dia Cinta

Rara, sudah tidurkah? Aku ingin bercerita barang beberapa kalimat padamu. Ini soal Fla.

Aku tidak mengerti apa yg sedang terjadi padaku. Kita belum sempat secara formal “jadian”. Tapi, tatapan matanya selalu membuatku berpikir jika dia menaruh rasa padaku. Akhirnya kita menjalaninya. Suatu keputusan yg entah. Hanya karena sepasang mata kita bisa sejauh ini.

Semuanya bermula pada hari Rabu minggu lalu. Sehari sebelumnya, ketika aku dan lingkaran kecil bahagiaku sedang bertukar cerita lepas, Fla menelpon. Dia bilang sedang terjebak di sebuah mal yg ada tempat nontonnya. Pertama terjebak hujan. Kedua terjebak kebijakan baru tempat nonton yg mengharuskan pelanggannya untuk memesan tiket melalui aplikasi di gawai. Dia dan temannya tidak bisa memesan secara daring. Gawainya tidak memungkinkan katanya.

"Bisa minta tolong mesenin tiket tidak, kak?" Begitu tanya Fla dg suara agak dikeraskan. Tempatku ngopi beratapkan seng. Di luar sedang hujan. Jadi, aku sengaja menyuruhnya mengeraskan suara.

Aku tidak paham awalnya. Lalu, dia berkisah soal kesialannya sore itu. Aku bilang padanya jika gawaiku yg ada aplikasi pemesanan tiket nonton, tidak kubawa. Jadi, aku belum bisa bantu. Aku merasa tidak enak. Entah perasaan apa ini, hingga akhirnya aku menjanjikan, "Gimana kalau besok. Nanti biar kupesankan. Dua kursi kan?"

Mendengar tawaranku, dia mengiyakan. Tertawa manja menjadi penutup obrolan daring kami via WA, selepas dia sedikit cerita jika mereka tidak bisa pulang cepat. Hujan menciutkan niat awal mereka.






.…

Paginya, yg itu berarti hari Rabu, aku buka aplikasi di gawai. Rupanya saldo uang elektronikku tidak cukup untuk beli dua tiket. Bagaimanapun, aku harus isi saldo.

Satu-satunya cara isi saldo adalah melalui kartu atm M. Kartu atm-ku BS. Aku mencoba pinjam teman sekamarku. Aku yakin di kartu atm-nya pasti ada uang dan pasti dia akan meminjamiku dg mudah, toh uang gantinya langsung tak kasih saat itu juga. Eh, tapinya, prediksiku salah. Teman sekamarku bilang jika kartu atm M kosong. Ini kebingungan pertama.

Aku tak mau menyerah hanya gara-gara ini, apalagi ini buat Fla, perempuan yg bagiku adalah teka-teki menarik yg tak ingin kuselesaikan. Aku menelpon dua temenku yang lain. Untuk pinjam kartu atm, tapi keduanya sibuk. Aku tidak boleh berhenti di sini. Aku telpon lagi teman ketiga. Alhamdulillah. Yg ini kartu atm-nya bisa dipinjam.

Jam tanganku menunjukkan pukul 10 siang. Hari sangat cerah dan ini aku sedang di kafe biasanya. Kafe yg tidak kenal kata sejuk, tapi kami (aku dan lingkaran kecilku) tetap saja menjadikan tujuan utama, untuk tidak menyebut rumah. Intinya, dari kafe itu, aku segera berangkat menuju teman yg ketiga. Aku pinjam kartunya, isi saldo, dan beres. Selepas semua beres, bibirku bergerak puas dg agak sedikit sombong, "Hah, akhirnya. Dapat juga."
Sesampainya kembali di rumah, eh kedai tadi maksudku, aku tidak langsung memesankan tiket. Sejenak aku bercerita dg Minto, temenku yg penampakannya mirip Sartre, tentang betapa lega rasanya saat kita bisa menjadi bermanfaat buat orang yg kita sayang. Meski dia tidak merespons, aku tetap melanjutkan sampai akhirnya hujan menghentikannya.

Hujan semakin deras. Anginnya juga. Meja kita mulai basah oleh percik-percik ulah angin pada hujan. Buku-buku di atasnya pun tak luput oleh kepyuran. Entah kenapa, situasi ini memakuku pada sesorot ingatan tentangnya.

Aku buka aplikasi. Saldo sudah cukup. Film pesanan Fla sudah kubuka. Kupilihkan jadwal tayang dan lokasi kursi sesuai permintaan. Tapi, kamu tahu Rara, saat masuk bagian pembayaran, aku lupa kata sandi uang elektronikku. Tiga kali kucoba dan gagal. Dan terblokir.

Risau mendadak mendatangiku. Seolah hubungan antara angin, hujan, dan siang yg mulanya cerah ini melahirkan kecemasan. Membuatku sejenak tak berdaya. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana jika nanti mereka gagal nonton, padahal aku sudah menjanjikannya dan mereka sudah menunggu.

Aku putuskan untuk menelpon. Berharap dia punya alternatif lain buatku untukku lakukan. Tapi ternyata harapanku terlalu bangsat. "Ya, semisal tidak bisa, tidak papa kok," begitu jawabnya dg lirih saat kutanya.

Mendengarnya, aku diselimuti kebimbangan. Tidak mngkinlah aku membiarkannya merasa bersalah dg temannya. "Oh begini saja. Nanti jam 2, hujannya mau reda apa tidak, aku tak ke Mal yg satunya. Siapa tau bisa beli langsung. Oke? Gitu saja ya. Kamu yg tenang." Aku mencoba menenangkan, meski aku sendiri kacau, mengetahui sekarang pukul setengah dua dan hujan masih membahana.

Tanganku spontan mengetuk-ketuk meja yg semakin kuyup dg kunci motor. Pandanganku menembus setiap mata yg tak sengaja lewat dalam lintasan tatapku. Aku tak peduli. Hanya alternatif dan alternatif yg memenuhi pertimbanganku. Bagaimana caranya bisa beli tiket bioskop dg tanpa harus pergi ke sana dan tanpa akun aplikasiku.

Banyak menit terbuang sia-sia sampai akhirnya satu nama setibanya lewat begitu saja. Oh iya, Sasa. Dia kan aktivis nonton. Pasti bisa membantu.

Aku lngsung menghubunginya. Dia bersedia. Syukurlah. Aku banyak berterima kasih. Belum jam 2, aku sudah mengantongi dua tiket pesanan Fla. Tiada kelegaan yg sesialan siang ini.

Hujan tidak saja masih turun, tapi juga lebat. Tampak orang-orang mengumpat dengan mimik mukanya. Gas motor menjadi pelampiasan. Pukul setengah enam sore, hujan baru reda.

Malamnya, aku tidak berniat ketemu teman2. Sudah tiga hari berturut, kumembunuh waktu bersama mereka. Bisa kita bayangkan toh Rara, apa yang akan terjadi pada manusia seperti kita ini jika sedang dirundung kebosanan. Namun, rencanaku gagal. Satu teman memaksaku dg mengunjungiku sampai tempat tidurku. Bagaimana lagi. Aku harus pergi.
Sampai pukul 9 semua baik-baik saja. Lepas sekali kita bernyanyi dg suaraku yg masih saja dominan hingga Fla menelpon. Barangkali mereka sudah selesai nonton dan dia ingin bertemu denganku.

Ini adalah kesalahan terbesarku (kusadari selepas semua terjadi): aku membiarkan kita—dia dan aku—bertemu, bukan berjumpa lho ya. Beberapa menit kemudian, kita sudah berada di sisi lain kedai tempat biasa aku menganggurkan diri.

"Bagaimana nontonnya?" Aku memulai obrolan. Dia bercerita banyak. Tidak saja soal nonton ia ceritakan. Kisahnya seharian penuh, ia tumpahkan. Satu aktivitas yg biasa kita lakukan di penghujung hari. Aku mendengarnya dg mataku yg tidak ingin lepas dari sorot matanya.

Matanya agak sayu. Tidak secerah biasanya. Tidak seramah suaranya pula saat telpon siang tadi di sela debur hujan. Aku sedikit kacau, tapi kutepis. Dia masih bercerita sampai aku tahu bahwa kerisauanku barusan tak seharusnya aku tepis.

"Hei. Gmna lanjutannya. Eh, kok malah buka WA," protesku.

"Sebentar," jawabnya singkat dg mimik datar, "Ini lho, aku sebel."

Sambil memperlihatkan obrolannya via WA padaku, dia kembali cerita. Dia mengumpat setelah kuberi saran, ya kalau merasa dicuekin, bilang saja sih: mbok dibales pesanku.

Kamu tahu Rara, dia merespons bagaimana? Dengan muka yg entah, antara berharap dan benci. Antara lelah dan jujur. Ia bilang, "Ya, kalau dia Pacarku, boleh saja aku begitu. Tapi kan. Tapi kan ... Pesan saja tidak pernah dibalas."

Mendengar itu spontan, mataku bergerak mengejar matanya. Tiada sorot settingan di dalamnya. Apa yg diucap, murni keluar dari hati dan pikirannya. Eh satu lagi: rasa lelahnya. Dia bilang, kuulangi lagi ya, "Kalau dia pacarku."

Dia masih bercerita. Tapi, aku masih sibuk dg matanya. Dia bicara apa, aku mendengar, namun tak paham. Aku mengiyakan, tapi seluruh yg ada dalam diriku tidak. Aku melihat teman-temanku di sisi kedai yg berbeda. Ada desir kuat, nakal, bajingan, dan sejenisnya mengumpul pada satu titik dalam benakku.

"Eh, sudah jam setengah sebelas. Kamu ditunggu temanmu lho," potongku.

"Oh iya ya. Kok nda terasa sih."

Semuanya menjadi beda. Bukan cuma pikiranku yg terserang malam ini, tapi entah. Jauh lebih banyak dari itu. Sesaat sebelum beranjak, dia berbisik padaku, Salam ke dia ya. Dengan tertawa kecil polos dia katakan.

Aku tidak bisa menjawab kecuali sebatas, eh ayok ke sana saja sih. Sekalian Pamitan. Dia menerima. Kami beranjak ke tempatku semula. Dia pamit. Garis wajahku serasa menjadi miring ke pojok, atas, bawah, kiri, belakang. Pokoknya ruwet. Dan ini membuatku untuk tidak mengantarnya sampai ke tempat parkir. 

Aku kembali berada di lingkaran kecilku. Namun, kali ini semua berbeda dan barangkali ini akan lama. Lama sekali mungkin. Tapi semoga yang terakhir hanya firasatku. Aku tak mendapatkan "Lepas" itu lagi. Wajahku seolah memiliki pikiran dan hatinya sendiri secara tiba-tiba. Ia tak bisa kuatur.

Kamu pantas risau. Eh, tidak risau lagi, tapi mempertanyakan kualitasmu. Seharian kamu yg ribet sampai akhirnya dia bisa nonton dan senang. Malamnya, dia bilang ingin jadi kekasihnya seseorang yg sama sekali judes padanya. Kha kha, ayolah. Dua pilihan: judeslah sekarang juga atau tinggalkan. Perhatianmu dibeli dg harga yang sangat rumput. Eh atau jgn2 ia tak pernah dibeli. Banyak hari seusainya, percaya kan kamu Rara, itu yg kupikirkan. Terutama sesaat sebelum lelap.


Jogja, 12 April 2019

Selasa, 10 Mei 2016

Melampaui Usul al-Tafsir: Sebuah Pengantar


Adalah melihat disiplin keilmuan Usul al-Tafsir dari sudut pandang Filsafat Ilmu. Kiranya itulah yang diinginkan dari judul di atas. Mengenai perspektif Filsafat Ilmu, sebab ini masih pengantar, maka, setidaknya di sini hanya akan ada tiga poin yang akan diketengahkan, yaitu wilayah cakupan Filsafat Ilmu dan landasan filosofis ilmu. Melalui yang pertama kita akan belajar guna melihat apakah Usul al-Tafsir usai memenuhi syarat untuk disebut sebagai ilmu atau belum dan pula belajar mengamati apa saja yang melandasi Usul al-Tafsir lewat poin kedua. Adapun mengenai Usul al-Tafsir yang dimaksud di sini adalah metode penafsiran al-Quran Ibnu Taimiyah yang secara tersirat dia tuliskan dalam Bukunya Muqaddimah fi Usul al-Tafsir. Lebih spesifik, hal yang akan dibedah nantinya melalui perspektif Filsafat Ilmu adalah langkah metodis Ibnu Taimiyah yang pertama dalam memahami al-Quran, yaitu al-Quran bi al-Quran. Pendek kata, yang ingin disampaikan di sini lewat judul di atas adalah bahwa kita merasa penting untuk belajar melihat “metode penafsiran al-Quran Ibnu Taimiyah” melalui perspektif Filsafat Ilmu.  
            Hal ini menjadi penting sebab pada kenyataannya, banyak dari kita sering lupa bahwa dalam setiap displin keilmuan memiliki body of knowledgenya[1] masing-masing. Sebagai konsekuensinya, secara tanpa sadar kita terjebak dalam apa yang disebut sebagai “pemberhalaan teori”. Ini menjadi mungkin karena dengan tanpa memperhatikan aspek filosofis dari suatu keilmuan, seseorang akan cenderung menempatan teori tertentu pada tempat yang anti-kritik, paling benar, dan universal—dalam arti berlaku untuk semua lokus dan tempus. Dengan lain ungkapan, paling tidak, melalui Filsafat Ilmu, kita bisa mengerti dan menyadari bahwa ilmu pengetahuan tidak lain merupakan representasi dari suatu realitas terbatas yang tidak bisa lepas dari kritik, apalagai selepas melewati beberapa generasi. Dan terkira, di titik inilah judul ini menjumpai momentumnya, yaitu agar teori Usul al-Tafsir Ibnu Taimiyah terhindar dari apa yang disebut oleh Arkoun sebagai Taqdis al-afkar al-diny[2] yang justru dengannya, teori tersebut bisa kehilangan ke-keren-annya.[3]

Ruang Lingkup Filsafat Ilmu
            Berbicara tentang Filsafat Ilmu, di sini terdapat dua model.[4] Yaitu Filsafat Ilmu sebagai satu disiplin keilmuan sendiri yang fokus pada ilmu pengetahuan dan dua, Filsafat Ilmu sebagai landasan filosofis atau sudut pandang. Pertama, ini merupakan model yang menempatkan ilmu pengetahuan sebagai objek materialnya[5]—bedakan dengan “pengetahuan” yang menjadi objek formalnya. Dalam bagian ini pula dijelaskan tentang apa hakikat dari sesuatu atau Ontologi, begaimana cara memperoleh nya, Epistemologi, dan apa manfaat dari sesuatu, Aksiologi. Di wilayah ini, ketiga hal yang merupakan unsur pokok dalam keilmuan apapun tersebut, dilihat sebagai bagian dari objek material—bukan sebagai sudut pandang—yang di dalamnya dibahas bagaimana sejarah dari Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi.[6]
            Selanjutnya, kedua adalah saat kita menjadikan Filsafat Ilmu sebagai sudut pandang dalam mengamati bangunan keilmuan tertentu. Tidak berbeda dengan bagian pertama, di sini juga muncul istilah-istilah seperti Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi. Hanya saja, itu semua dipakai bukan untuk dibedah dan diketahui proses terbentuknya, tetapi justru dijadikan sebagai alat untuk membedah. Pada tataran ini, melalui Ontologi, kita bisa melihat apa hakikat dari suatu keilmuan tertentu.[7] Melalui Epistemologi, kiranya, kita bisa menemukan apa sumber keilmuan tersebut, bagaimana cara memperolehnya, dan apakah hal tersebut bisa diverifikasi. Dan lewat yang terakhir, kita bisa mengerti lebih jauh, jan-jane untuk apakah keilmuan tersebut dibentuk.[8]
            Selain itu, di bagian kedua ini, ada juga yang disebut sebagai landasan filosofis keilmuan. Landasan filosofis ini, biasanya meliputi tiga hal, yaitu asumsi-asumsi dasar, paradigma, dan framework yang dipakai.[9] Dengan lain ucapan, suatu keilmuan, paling tidak tersusun atas tiga hal tersebut dan kiranya adalah suatu kepentingan tersendiri guna mengetahui unsur-unsur tersebut yang bersemayam di balik setiap disiplin keilmuan. Adapun maksud dari asumsi dasar adalah kumpulan beberapa kesimpulan mendasar yang dengannya paradigma bertumpu.[10] Sedangkan paradigma sendiri merupakan seperangkat keyakinan bersama dan mendasar yang memandu tindakan manusia secara tanpa sadar.[11] Dalam hal ini, bagaimana model paradigma sangat ditetukan oleh asumsi dasar yang ada atau yang melandasi paradigma tersebut, apakah asumsi dasarnya rasional, empiris atau bagaimana. Dan yang terakhir, framework, adalah semacam kerangka berpikir yang berfungsi menuntut manusia berpikir. Bisa disebut, bagaimana pemikiran manusia itu tergantung framework apa yang dipakai. Sebagaimana antara asumsi dan paradigma, framework juga begitu ditentukan oleh paradigma. Saat paradigma yang dipakai adalah positifistik, maka kerangka berpikirnya tidak bisa lepas dari angka-angka, persen-persen, dan sebagainya yang serba terukur.[12]
            Masih di sini, berbekal Filsafat Ilmu sebagai landasan filosofis, kita juga bisa menyadari bahwa keilmuan apapun itu tidak lebihnya adalah produk pada masanya atau sering disebut sebagai “anak zaman”. Ini merupakan konsekuensi dari kenyataan kalau ilmu adalah representasi dari realitas pada tenggat waktu tertentu. Pun, dalam proses representasi tersebut tidak bisa tidak ada simplifikasi dan bahkan reduksi yang tidak lain bertujuan agar eksistensinya mudah dijangkau oleh masyaraka di masanya.[13] Pendek kata, yang ingin disampaikan di sini adalah bahwa setiap ilmu itu keren pada tempat waktunya masing-masing. Naskh-mansukh adalah satu disiplin keilmuan yang luar biasa, tetapi pada masa dan tempatnya, begitu juga dengan beberapa cabang Ulum al-Tafsir lainnya.

Cakupan Ilmu
            Adalah membahas tentang apa saja yang bisa disebut sebagai ilmu. Pada masa ketika Paradigma Positivistik merajalela di dunia, bisa disebut bahwa ilmu pengetahuan adalah apa-apa yang terbatas pada hal-hal yang empiris dan terukur. Pada masa itu, hal-hal yang berbau spekulasi, seperti sosial, agama, dan budaya tidak digolongkan sebagai ilmu pengetahuan.[14] Ini, tidak lain, disebabkan oleh dominasi ekstrim kelompok positifistik yang memang ketika itu usai memberikan kontribusi luar biasa bagi perkembangan dunia, seperti teknologi nuklir, robot, pesawat, alat komunikasi, dan sebagainya.
            Akan tetapi, pada perkembangannya, berangkat dari keresahan atas dominasi positivistik yang seakan memaksa semuanya harus terukur, muncul beberapa nama yang melebarkan pengertian ilmu sampai pada ilmu-ilmu sosial. Salah satu dari nama tersebut adalah Wilhelm Dilthey (1833-1911). Dilthey membagi ilmu menjadi dua, yaitu ilmu alam dan ilmu sosial. Sejak masa Dilthey ini, kira-kira, pengertian ilmu pengetahuan bukan saja pada wilayah ilmu alam, tetapi juga ilmu sosial.[15] Adapun, disebabkan sama-sama ilmunya, posisi keduanya bukanlah atas-bawah, tetapi sama.
            Lebih lanjut, klasifikasi ini dilanjutkan oleh Habermas. Habermas membagi ilmu menjadi tiga, yakni empiris-analitis, historis-hermeneutis, dan sosial kritis. Pertama itu meliputi ilmu alam, ilmu hukum, dan ilmu psikologi. Kedua mencakup ilmu agama, filsafat, bahasa, dan antropologi. Sedangkan ketiga terdiri dari ilmu politik, ekonomi, dan sosiologi. Tiga kluster ilmu ini memiliki derajat sama antara satu dengan lainnya.[16] Dengan lain ucapan, di sini tidak ada istilah ilmu superior dan ilmu yang inferior. Dan mengenai Usul al-Tafsir, bisa dibilang, itu masuk pada kluster kedua, yaitu historis-hermeneutis.

Tentang Usul al-Tafsir
            Dalam pengantar bukunya Mukaddimah fi Usul al-Tafsir, Ibnu Taimiyah menyebut bahwa maksud dari Usul al-tafsir adalah seperangkat kaidah yang dengannya seseorang bisa memahami al-Quran dengan benar dan tidak sesat. Tidak lain, Ibnu Taimiyah menulis buku tersebut dilatarbelakangi oleh permintaan beberapa temannya untuk merumuskan kaidah-kaidah tertentu supaya seseorang tidak tersesat dalam memahami al-Quran.[17] Dan pada bagian akhir bukunya, dengan tersurat, Ibnu Taimiyah merumuskan beberapa langkah metodis guna memahami al-Quran, yaitu menafsirkan al-Quran dengan al-Quran, menafsirkan al-Quran dengan sunnah, menafsirkan al-Quran dengan pemikiran Sahabat, dan menafsirkan al-Quran dengan pemikiran Tabi’in.[18]
            Terlepas dari semua itu, disebabkan oleh fokus kajian ini bukan pada bagaimana aplikasi atas metode tersebut, maka yang akan dikaji di sini adalah hanya langkah yang pertama, menafsirkan al-Quran dengan al-Quran. Sebelum menelisik lebih jauh, penting untuk kita sepakati bahwa Usul al-Tafsir—untuk menyebut empat langkah metodis, setidaknya—merupakan suatu disiplin keilmuan tersendiri. Kenyataan bahwa syarat mendasar sesuatu bisa disebut “ilmu”[19] adalah adanya objek, subjek, dan pertemuan keduanya merupakan salah satu alasan mengapa bisa demikian. Dalam diskursus ini, objeknya adalah al-Quran, Hadis, dan beberapa kitab klasik, sedangkan subjeknya adalah Ibnu Taimiyah sendiri. Adapun mengenai pertemuan keduanya, itu bisa kita amati dari metodologi Ibnu Taimiyah dalam berinteraksi dengan objeknya yang mungkin akan dijelaskan pada kesempatan lainnya. Sampai di sini, berdasarkan hal tersebut, maka tidak mengada-ada jika disebut bahwa Usul al-Tafsir merupakan suatu disiplin keilmuan yang memiliki rancang bangunnya sendiri.
            Selanjutnya, mari kita mencoba untuk melihat langkah pertama metode Ibnu Taimiyah tersebut dari perspektif Filsafat Ilmu—yang dalam hal ini dicukupkan pada tiga landasan filosofisnya. Pertama adalah asumsi-asumsi dasarnya Ibnu Taimiyah dalam menelorkan konsep tafsir al-Quran bi al-Quran. Dalam poin ini, terkira ada tiga asumsi yang dimiliki Ibnu Taimiyah, yaitu: (1) apa yang disajikan secara global dalam satu tempat, itu usai memiliki penjelasan di tempat lain, (2) apa yang diringkas di satu tempat, itu pasti ada penyajian detailnya di tempat lainnya, (3) dan urutan ayat dan surat dalam al-Quran adalah murni dari Nabi dan Allah. Untuk asumsi terakhir, ini tidak secara tersurat disampaikan Ibnu Taimiyah, tetapi semacam konsekuensi alami atas dua asumsi sebelumnya. Masih di poin ketiga, hal ini biasanya dibedakan dengan apa yang ditulis Jabiri dalam tafsirnya yang berlandaskan tartib al-nuzuly[20] dan Noldeke dengan asumsinya kalau susunan al-Quran rancu.[21] Berhenti sejenak di sini, melihat bagaimana postulasi—meminjam istilahnya Amin Abdullah[22]—Ibnu Taimiyah yang sedemikian rupa, maka wajar mengapa di tahap pertama metode penafsirannya, dia mengharuskan siapapun untuk memulai penafsirannya dengan al-Quran.
            Selanjutnya, mengenai landasan filosofis yang kedua, bisa disebut paradigma yang berkembang di masa Ibnu Taimiyah adalah teologis atau teosentris. Yaitu ketika hal apapun atau penemuan apapun itu tidak bisa lepas dari sisi vertikalnya. Ini bisa kita buktikan dengan bagaimana Ibnu Taimiyah sering mendasarkan pendapatnya pada teks semata, seperti asumsi yang dipakai dalam menelorkan langkah metodis kedua, tafsir al-Quran bi al-Sunnah. Langkah tersebut dibangun Ibnu Taimiyah berdasarkan beberapa ayat al-Quran yang beberapa abad sebelumnya dipakai oleh Safi’i, yaitu al-Nisa’: 105 dan al-Nahl: 44.[23] Di wilayah lain, ini juga bisa kita lihat di ujung penjelasannya tentang langkah metodis menafsirkan; Ibnu Taimiyah menyebut bahwa menafsirkan berlandaskan akal semata adalah haram.[24] Dari beberapa hal tersebut, kita bisa membayangkan bahwa apa yang ada di balik pemikiran Ibnu Taimiyah adalah bayang-bayang otoritas teks yang notabene sebagai suara Tuhan dan secara bersamaan apapun yang Ibnu Taimiyah pikirkan tidak boleh keluar dari bayang-bayang tersebut. Kiranya di titik inilah, kita boleh menyebutnya sebagai paradigma; Ibnu Taimiyah menjalani kehidupannya—termasuk dalam menuliskan Usul al-Tafsir—dengan tanpa sadar berbasis Tuhan sebagai orientasinya.
            Lebih lanjut, ini juga bisa kita amati dari waktu dan tempat Ibnu Taimiyah hidup. Ibnu Taimiyah lahir pada tahun 1263 M atau pada saat Islam mengalami disintegrasi selepas runtuhnya dinasti Abbasiyah. Pada kisaran abad tersebut hidup juga al-Ghazali dan Ibnu Rusyid, untuk menyebut beberapa. Dilihat dari bagaimana al-Gazali dan Ibnu Rusyid terlibat dialektika terkait ketuhanan yang diabadikan dalam bukunya, Tahafut al-Falasifah[25] dan Tahafut al-Tahafut,[26] dengan tanpa pikir panjang, kiranya kita bisa menyimpulkan bahwa nuansa perkembangan keilmuan waktu itu memang sulit untuk lepas dari apa yang disebut Tuhan.[27] Oleh karenanya, sebab Ibnu Taimiyah juga hidup di masa ini pula, maka sekali lagi, tidak terlalu berlebihan saat disebut bahwa paradigma yang dipakai Ibnu Taimiyah dalam teorinya tersebut adalah teosentris.
            Adapun yang terakhir, framework, ini terjalin erat dengan paradigma. Dengan lain ungkapan, sebab paradigma yang berkembang ketika itu adalah teosentris, maka kerangka berpikirnya adalah semacam membatasi kebenaran hanya pada apa yang diyakininya. Lebih jauh, pada prinsipnya ini merupakan konsekuensi dari paradigma yang berkembang saat itu. Saat yang menjadi keyakinan bersama adalah terpusat pada urusan ketuhanan atau teks, maka apa yang berada di luar atau tidak sejalan dengan pemahamannya atas teks, maka salah. Kira-kira demikianlah kerangka berpikir yang dipakai Ibnu Taimiyah dalam teorinya tersebut. Guna membuktikannya, kita bisa melihat ungkapan yang usai disinggung tadi “siapapun yang menafsirkan al-Quran dengan akal semata adalah haram”. Dalam ungkapan tersebut, secara tersirat menunjukkan bahwa Ibnu Taimiyah tidak sependapat dengan kelompok tertentu yang terkesan lebih mengunggulkan akal seperti al-Farabi, Ibnu Sina, dan sebagainya. pendek kata, yang ingin disampaikan di sini adalah bahwa di balik pemikiran Ibnu Taimiyah—terlebih dalam diskursus ini—terdapat semacam pola bahwa kebenaran adalah apa itu yang masih dalam batas-batas otoritas teks. Dan yang terakhir, penting pula bagi kita untuk memahami bahwa apa yang menjadi pemikiran Ibnu Taimiyah ini merupakan sumbangsih yang sungguh luar biasa bagi sejarah peradaban masyarakat Muslim, terlebih masyarakat di masanya pada 8 abad silam.[28]Ipoenk070516
                               





[1] Adalah istilah yang sering dipakai untuk merujuk suatu bangunan pengetahuan yang sistematis dan terstruktur. Lihat Amin Abdullah, Studi Agama: Normativitas atau Historisitas? (Yogyakarta: Pustaka Pelajar: 2015), hlm. 257. Bandingkan dengan Muhammad Muslih, Filsafat Ilmu: Kajian atas Asumsi Dasar, Paradigma, dan Kerangka Teori Pengetahuan (Yogyakarta: Beluka, 2015), hlm. 38
[2]Muhammad Arkoun, dkk., Orientalisme vis a vis Oksidentalisme (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2008), hlm. 11. Istilah ini juga sering dipakai Amin Abdullah dalam tulisannya, salah satunya lihat Amin Abdullah, Falsafah Kalam di Era Postmodern (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), hlm. 19.
[3] Amin menyebut ini sebagai Islamic Doctrin. Istilah tersebut dipakai sebagai parodi untuk beberapa kalangan yang menyebut dirinya sebagai Islamic Studies, tetapi tidak mau menerima anomali sebagai suatu keniscayaan dalam keilmuan, lihat Amin Abdullah, Studi Agama: Normativitas atau Historisitas?, hlm. 103.
[4] Tim Dosen Filsafat UGM, Filsafat Ilmu Sebagai Dasar Pengembang Ilmu Pengetahuan (Yogyakarta: Liberty, 2012), hlm. 44.
[5]  Ini adalah istilah yang sering disejajarkan dengan objek formal. Objek material merupakan titik bidik dalam peneletian atau objek pokok penelitian, sedangkan objek formal adalah sudut pandang dalam membidik titik objek. Lihat Abdul Mustaqim, Metode Penelitian al-Quran dan Tafsir (Yogyakarta: IDEA Press, 2014), hlm. 10.
                [6] Dalam cakupan Filsafat Ilmu yang pertama, di dalamnya juga dibahas mengenai apa itu Ontologi, Epitemologi, dan Aksiologi bukan sebagai sudut pandang, tetapi sebagai objek material. Ontologi misalnya, dalam bagian ini, Ontologi dilihat sebagai suatu penyelidikan kefilsafatan yang paling kuno. Ini terlihat dari perkembangan paling awal perenungan di Yunani adalah mengenai hakikat dari sesuatu, yaitu hakikat Alam: Thales misalnya, memandang bahwa hakikat terdalam alam semesta adalah Air. Di samping itu, aliran ini juga membahas masalah monoisme (hakikat terdalam dari kenyataan hanyalah satu), dualism (hakikat kenyataan adalah dua), pluralisme (hakikat kenyataan tidaklah tunggal atau ganda, tetapi banyak), dan nihilisme (tidak ada hakikat dalam kenyataan). Lebih jauh, lihat Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu (Depok: Rajagrafindo Persada, 2013), hlm. 131-148. Bandingkan dengan Listiyono Santoso dkk., Epistemologi Kiri (Yogyakarta: ar-Ruzz Media, 2012), hlm. 7.
[7] Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, hlm. 132. Bandingkan dengan Jujun S., Ilmu dalam Perspektif: Sebuah Kumpulan Karangan Tentang Hakikat Ilmu (Jakarta: Obor, 2012), hlm. 5.
[8] Muhammad Muslih, Filsafat Ilmu: Kajian atas Asumsi Dasar, Paradigma, dan Kerangka Teori Pengetahuan, 36.
[9] Muhammad Muslih, Filsafat Ilmu: Kajian atas Asumsi Dasar, Paradigma, dan Kerangka Teori Pengetahuan, 40.
[10] Amin Abdullah, Studi Agama: Normativitas atau Historisitas? (Yogyakarta: Pustaka Pelajar: 2015), hlm. 101.
[11] Muhammad Muslih, Filsafat Ilmu: Kajian atas Asumsi Dasar, Paradigma, dan Kerangka Teori Pengetahuan, 88.
[12]  Muhammad Muslih, Filsafat Ilmu: Kajian atas Asumsi Dasar, Paradigma, dan Kerangka Teori Pengetahuan, 92.
[13]  Bahkan dalam hal ini, suatu keilmuan harus menemukan anomalinya atau menuju wilayah  Revolutionary science, jika masih ingin dianggap sebagai “ilmu”. Sebab “ilmu” tidak bisa tidak berkembang dan dalam setiap perkembangan terdapat anomali-anomali. Oleh karenanya, sampai di sini, tidak ada alasan lagi untuk tetep kekeh dengan produk keilmuan dari satu masa tanpa adanya usaha sedikitpun untuk merekonstruksnya, lihat Amin Abdullah, Studi Agama: Normativitas atau Historisitas?, hlm. 103. Bandingkan dengan Muhammad Muslih, Filsafat Ilmu: Kajian atas Asumsi Dasar, Paradigma, dan Kerangka Teori Pengetahuan, 37.
[14] Tidak lain, ini disebabkan oleh pandangan saat itu bahwa yang disebut Ilmu adalah yang empiris, terukur, dan kuantitatif. Meski toh pada perkembangannya muncul istilah “fisika sosial”, sebagai bagian dari ilmu pengetahuan, tetap saja itu berbeda dengan “Ilmu Sosial”  yang dikembangkan selanjutnya oleh Dilthey. Dalam “Ilmu Sosial”, metode yang digunakan tidak lagi erklaeren, sebagaimana Fisika Sosial, tetapi verstehen, lihat Tim Dosen Filsafat UGM, Filsafat Ilmu Sebagai Dasar Pengembang Ilmu Pengetahuan, hlm. 7.
[15] Tim Dosen Filsafat UGM, Filsafat Ilmu Sebagai Dasar Pengembang Ilmu Pengetahuan, hlm. 7.  
[16] Muhammad Muslih, Filsafat Ilmu: Kajian atas Asumsi Dasar, Paradigma, dan Kerangka Teori Pengetahuan, 37.
[17] Ibnu Taimiyah, Muqaddimah fi Usul al-Tafsir (Kota: Penerbit, 1971), hlm. 33.
[18] Ibnu Taimiyah, Muqaddimah fi Usul al-Tafsir, hlm. 93-105. Dalam pengantarnya, ini usai dijelaskan dengan cukup ringkas oleh pentahkik, Adan Zurzur, hlm. 20.  
[19] Muhammad Muslih, Filsafat Ilmu: Kajian atas Asumsi Dasar, Paradigma, dan Kerangka Teori Pengetahuan, 60.
[20]  Ini adalah salah satu model tafsir yang ditulis dengan orientasi kronologi turunnya ayat. Jabiri sering menyebut ini sebagai upaya membaca sirah nabawiyah melalui al-Quran dan sebaliknya. Dalam menelorkan tafsirnya ini, fahm al-Quran al-Hakim: al-Tafsir al-Wadhih Hasba Tartib al-Nuzul, Jabiri menggunakan dua prinsipnya, yaitu prinsip fasl dan wasl. Pertama meliputi pendekatan struktural, analisis histori, dan kritik ideologis, sedangkan kedua cukup dengan rasionalisasi atau prinsip kontinuitas. Mengenai ini pula Jabiri terinspirasi oleh al-Syatibi terkait bagaimana memahami al-Quran dalam bukunya al-Muwafaqat, Lihat Muhammad Yahya, “fahm al-Quran al-Hakim: al-Tafsir al-Wadhih Hasba Tartib al-Nuzul Karya al-Jabiri”, al-Quran dan Hadis, Vol. 11, No. 1, hlm. 1-22.
[21]Ini bisa diamati dari bagaimana Abdullah Saeed menulis tentang Noldeke: “Quran as a book composed of unstable words and letters, and full of variants which, as result, could not possibly be devine”, lihat Abdullah Saeed, The Quran an Introduction (New York: Routledge, 2008), hlm. 107.                                     
[22]Ini merupakan nama lain dari “asumsi dasar”, yaitu sebagai salah satu unsur yang wajib ada dalam setiap upaya pemecahan masalah, baik itu dalam suatu pendapat ilmiah, tulisan ilmiah, dan sebagainya. Tanpa postulasi yang kokoh, jelas, dan sistematis, semua analisis pemecahan masalah tidak akan sampai pada modelnya yang fokus dan tajam, lihat Amin Abdullah, Studi Agama: Normativitas atau Historisitas?, hlm. 101.
[23] Ibnu Taimiyah, Muqaddimah fi Usul al-Tafsir, hlm. 93.
[24] Ibnu Taimiyah, Muqaddimah fi Usul al-Tafsir, hlm. 105.  
[25]Pada prinsipnya, melalui kitab ini, salah satunya, Ghazali hanya ingin mengungkapkan ketidaksetujuannya atas Islamic Aristotelian—para teolog rasional berlandaskan metafisika Aristoteles—yang memiliki asumsi bahwa rasio manusia mampu menyelesaikan banyak persoalan teologi. Mengenai ini, selepas mengkritik rasional metafisik, Ghazali menawarkan bantuan intuisi atau wahyu dalam menjawab persoalan semacam ini, lihat Amin Abdullah, Antara al-Ghazali dan Kant: Filsafat Etika Islam (Bandung: Mizan, 2002), 58.
[26]A. Khudori Soleh, Wacana Baru Filsafat Islam (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), hlm. 100.  
[27]Lebih jauh, ini bisa dilihat dari bagaimana model pemikiran antara al-Farabi, Ibn Sina, dan Ibnu Rusyd yang bisa disebut masih berkutat dalam bidang metafasika. Mengenai itu, al-Farabi cenderung pada Plotinus dan mecoba menemukan sintesisnya dengan apa Yang Esa dalam al-Quran. Kemudian, upaya al-Farabi ini, melalui jalan yang agak berbeda,  dilanjutkan oleh Ibnu Sina dengan kombinasi antara Yang Esa dengan Yang Wujud. Dan di masa selanjutnya, Ibnu Rusyid hadir dengan model yang sama sekali berbeda, yaitu melalui pengaruh Aristoteles, meskipun golnya masih identik: semua tentang metafisika. Lihat  A. Khudori Soleh, Wacana Baru Filsafat Islam, hlm. 98.  
[28]Ini bisa kita amati dari bagaimana pengaruh Ibnu Taimiyah terhadap beberapa pemikir setelahnya. Beberapa darinya adalah Ibnu Katsir dengan beberapa penjelasan tentang ahsan turuq al-tafsir dalam muqaddimah tafsirnya dan Suyuti dengan kaidah nomer 78 tentang ma’rifat syurut al-mufassir wa adabihi. Lihat Adnan Zurzur dalam pengantar Ibnu Taimiyah, Muqaddimah fi Usul al-Tafsir, hlm. 22.

Selasa, 17 November 2015

Kahlil Gibran


    Adalah seorang Lebanon yang akibat alasan tertentu dia pindah ke Amerika. Sebelum pindah ke Amerika, namanya adalah Khalil Jubran dan saat sudah di Amerika namanya diganti Kahlil Gibran. Perpindahan tersebut terjadi di umurnya yang ke—10 tahun. Mengenai perjalanan hidupnya, bisa dibilang, kehidupannya cukup tragis. Selain, dia sering berpindah-pindah, di waktu tertentu dia sangat terpukul saat mendapati beberapa keluarganya meninggal dunia, termasuk ibu yang sangat dia sayangi saat dia tengah menuntut ilmu di negara lain.
    Sebagaimana jamak diketahui, Gibran adalah seorang pujangga yang mendunia berkat karya-karyanya yang luar biasa. Akan tetapi, selain itu, rupanya, dia juga adalah seorang pelukis. Beberapa lukisannya mendapatkan banyak apresiasi di masa dia hidup. Lebih jauh, nuansa lukisan Gibran lebih pada model romantis atau model back to nature. Kenyataan bahwa Gibran hidup di masa romantisisma adalah salah satu alasan mengapa model lukisannya demikian. Adapun tentang modus berpikir, Gibran selalu cenderung ke arah cinta. Gibran lahir pada Januari 1883 dan meninggal di umurnya yang ke—48 dengan keadaan masih belum memiliki istri.  

Kepribadian
     Dalam hal kepribadian, Gibran terbilang memiliki kebiasaan yang unik. Gibran adalah seorang yang introvert atau murung, suka merenung, dan suka kesendirian. Bagi dia hanya dengan menciptakan jarak tersendiri dengan masyarakatlah seseorang bisa berpikir jernih. Selain itu, hal tersebut juga berguna agar kita tidak mudah terbawa arus dalam masyarakat yang nantinya melalui itu, kita bisa mudah untuk instropeksi diri. Seseorang yang terlibat aktif dalam satu komunitas, baginya sulit untuk mengetahui apa saja yang salah pada komunitasnya berikut dirinya. Untuk itu, penting kiranya mengambil jarak ini, guna memudahkan hal tersebut.
    Di benak Gibran, hanya ada tiga hal yang paling dia cintai, yaitu ibunya sendiri, Negaranya—Lebanon—dan perempuan-perempuannya. Dari yang pertama, Gibran belajar banyak sekali hal. Dari yang kedua, dia sangat mencintainya sebab keindahannya. Bagi Gibran, Lebanon adalah Parisnya Timur Tengah. Sedangkan yang terakhir, tidak lain adalah lima perempuan yang begitu dia cintai, tetapi kesemuanya gagal.

Sumber Inspirasi Gibran
    Kiranya, ada tujuh sumber inspirasi Gibran, yaitu ibunya sendiri, Salim Dahir, Budaya China, Tagore, Injil dan Yesus, Nietzsche, dan para seniman Boston. Pertama, melalui ibunya, Kamile Rahma, Gibran belajar seni musik, Bahasa Prancis, dan yang terpenting adalah belajar bagaimana hati berbicara. Kedua, dia adalah seorang tokoh sufi penggembara yang begitu diidolakan Gibran dan juga adalah guru Gibran. Ketiga, itu disebabkan tempat tinggal Gibran waktu di Boston berada di suatu kampong yang mayoritas penduduknya berasal dari China. Keempat, dia adalah seorang pujangga besar dari India. Gibra banyak sekali terpengaruh dengan karya-karya Tagore.
     Kelima, ini bisa terjadi sebab misi Gibran dengan Injil ataupun Yesus adalah sama, yaitu kasih sayang atau cinta. Keenam, itu terlihat dari corak puisinya yang begitu eksistensialis. Banyak dari puisinya menyiratkan suatu kemandirian atas tujuan harmoni. Bagi Gibran, jauh lebih baik seseorang itu sendiri dan mandiri daripada bareng-bareng, tetapi banyak peraturan yang nantinya berujung pada pemaksaan. Akan tetapi, meski terpengaruh, model eksistensi antara keduanya berbeda. Model Gibran lebih pada harmoni, sedangkan Nietzsche lebih pada penaklukkan agar tidak diinjak-injak. Baik Gibran atau Nietzsche sama-sama mengidolakan UberMensch atau manusia super. Dan yang terakhir, itu adalah suatu komunitas di Boston yang di dalamnya ada banyak seniman, pujangga, dan semacamnya. Tidak bisa dipungkiri, rupanya ini juga banyak menginspirasi Gibran.

Gagasan Gibran
   Ada beberapa gagasan Gibran yang akan disinggung di sini, yaitu pandangannya tentang hidup, cinta, Tuhan, alam, dan manusia. Dimulai dari hidup. Bagi Gibran, hakikat hidup itu tergantung kepada kita sebagai yang memiliki hidup. Adapun cara prinsip untuk mengatur kehidupan itu sendiri adalah dengan mengusahakan empat hal, yakni cinta, kerja, pengetahuan dan tujuan. Secara hirarkis, kita membutuhkan tujuan dalam menjalani hidup supaya terkontrol dengan seimbang, tetapi untuk merancang suatu tujuan, kita membutuhkan pengetahuan, dan sepertinya pengetahuan akan sia-sia tanpa ada kerja, lebih lanjut kerja pun akan banyak merusak saat tidak dilandasi cinta. Global kata, kita membutuhkan cinta untuk menciptakan suatu tujuan yang brilian yang nantinya dengan itu, kita bisa menyeimbangkan kehidupan kita. Kehidupan adalah cinta.
    Kedua, cinta, itu adalah sesuatu yang cukup dirasakan dan cukup menjadi pasrah. Cukup dirasakan sebab semakin banyak kita berbicara tentang cinta semakin pula kita tidak pas dalam memahaminya. Seorang yang sudah merasakan cinta, dia tidak akan banyak bicara karena memang itu rumit untuk dibicarakan. Sedangkan itu cukup menjadi pasrah sebab kalau kita masih banyak komplain dan bahkan menuntut, itu namanya bukan cinta. Kira-kira demikian. Ketiga, itu adalah sesuatu yang tidak menyatu dengan kita, tetapi berada di sekitar kita. Dan Dia tidak pernah bertentangan dengan segala macam bentuk cinta lainnya. Tuhan adalah cinta itu sendiri. Keempat, alam, tidak lain adalah sesuatu yang seharusnya dengannya kita penting untuk kembali kepada alam atau back to nature, bertindak senatural mungkin, dan tidak membuat sekat atau katagori-katagori sendiri yang hanya akan menyebarkan virus kebencian.
     Dan yang terakhir adalah manusia. Bagi Gibran, manusia di dunia ini ada tiga model. Pertama: mereka yang mengutuk dunia, kedua: mereka yang memberkati dunia, dan ketiga adalah mereka yang merenungi dunia. Kepada yang pertama, marilah mencintai mereka karena penderitaannya. Kepada yang kedua, marilah mencintai mereka karena kedermawanannya dan kepada yang ketiga, cintailah mereka karena kebajikannya.


Menjauhlah dari kebijaksanaan yang tidak berbumbu tangisan, filsafat tanpa tawa,

dan kebesaran tanpa anak-anak