Tampilkan postingan dengan label catatan harian. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label catatan harian. Tampilkan semua postingan

Minggu, 03 Agustus 2014

ISSABA, Prasmanan, dan Fidel Castro




          Acara ISSABA tahun ini, 2014, berjalan meriah. Setelah kurang lebih satu setengah jam, saya dengan Nazih menikmati acara, akhirnya sampai juga kepada penghujung yang selalu dinanti. Iya, ramah tamah, begitulah orang-orang di sekitar kami menyebutnya. Terlihat Nazih menikmati hidangan yang disajikan. Begitu juga denganku. Namun, ada sedikit perbedaan. Di tengah saya menikmati hidangan yang cukup mewah di kelas ISSABA ini, pikiran saya tersita oleh bayangan masa lalu. Beberapa tahun silam, tepatnya ketika saya masih menjabat sebagai ketua ISSABA, ISSABA tidak seraksasa ini. Kemajuan yang sungguh pesat.  Saya bangga dengan semua ini. Saya hampir saja meneteskan air mata untuk sekotak nasi mewah. Dulu yang ISSABA masih berjalan tertatih yang hanya dengan lengseran kami semua bisa tersenyum puas bangga luar biasa, tetapi sekarang ISSABA sudah menjadi bagian dari organ raksanan di Mambaus Sholihin. Semua ini perlu disyukuri, terima kasih untuk teman-teman semua.
          Dalam keadaan seperti ini, kebiasaan buruk saya mulai tidak terkontrol. Iya, kebiasaan itu adalah kebiasaan mengamati. Pemandangan apik teman-teman santri yang sedang menikmati hidangannya masing-masing menjadi objek utama pengamatanku. Seperti halnya Tan ketika kesepian tanpa buku-bukunya di Rusia yang akhirnya Tan memutuskan untuk hanya mengamati dan mengamati apapun yang ada di sana, lebih-lebih mengenai komunisme. Saya selalu tertarik untuk memikirkan  apa yang sedang mereka pikirkan. Dan akhirnya saya tersadar, mereka tidak seresah yang saya resahkan dan tidak sebahagia yang saya bahagiakan.
          Hal itu tidak berjalan lama. Panitia dengan gerak agak memaksa, ya memang memaksa sih, membuat saya harus duduk dibarisan orang-orang besar dan menepis pikiran singkatku sebelumnya. Saya menciut di hadapan mereka. Dan itu membuat saya berpikir keras. Saya merasa eman  sekaligus sungkan ketika melihat teman-teman di luar sana tidak bisa ikut masuk ruang prasmanan. Di antara banyak teman, hanya saya dan Nazih yang boleh menikmati prasmanan. Ini luar biasa. Iya luar biasa. Tetapi meresahkan pikiran ini. Sehingga akhirnya saya teringat Fidel Castro, salah satu tokoh pemberontak Kuba yang tertangkap oleh tentara AS, yang pernah menyuarakan dengan lantang: sejarahlah yang akan membebaskan saya. Castro berhasil meyakinkan dirinya sendiri dan para pengikutnya dengan rangkaian kata tersebut.  Tidak berbeda dengan keadaan ini, saya dengan ISSABA pernah terloibat dalam momeh-meomen sejarah yang tidak sedikit. Hari-hari yang paling membosankan dan paling membahagiakan pernah saya rasakan dengan ISSABA. Dan saya kira: that’s the answer. Saya menemukan alasan mengapa hari ini saya di dalam sini bersama orang-orang besar dan mereka masih di luar. Saya baru mengerti bahwa teman-teman tidak memiliki sejarah yang bisa membebaskan mereka hari ini seperti apa yang sekarang sedang saya rasakan bersama Nazih, sosok yang selalu ada di samping saya. Saya mengangguk dan tersenyum. Sejarah itu benar-benar membuat saya berbeda, membuat bebas, dan membuat bahagia.poenk40814

Selasa, 20 Mei 2014

Civic Reason


            Dalam diskusi yang lumayan hidup kemarin bersama rekan-rekan HAMAM di kebun laras tempat kami mendapatkan banyak ide terkait isu mengharukan yang sedang melanda kampus kita, INKAFA, saya akhirnya menemukan titik terang. Adalah civic reason. Hal ini terkait dengan alasan Pak Amin yang tidak sependapat dengan pemikiran saya untuk membuat satu buku atas nama HAMAM dari semua cabang guna mengkritik dan memberi saran yang membangun buat INKAFA. Dikatakan bahwa bagaimanapun juga INKAFA adalah yayasan yang dimiliki pondok pesantren Mambaus Sholihin. Yayasan tidak dapat diganggu gugat dan memang harus ada pandangan yang membedakan antara yayasan dengan lembaga yang sudah resmi milik negeri layaknya kampus-kampus negeri lainnya. Berangkat dari landasan itulah pak Amin dan senior-senior HAMAM Yogyakarta ketika itu tidak sependapat dengan ide saya tadi.
            Sebagai respon itu, saya tertarik untuk mengundang An-Na’im dalam menjawab kegelisahan kami bersama ini. Adalah istilah civic reason tadi yang dengan ini semua lembaga, baik itu swasta maupun negeri, atau kalau meminjam bahasanya Habermas adalah public sphere, harus mampu menerima kritik dari semua lapisan masyarakat. Dengan catatan, kritikan tersebut harus disertai dengan argument yang bisa dipertanggung jawabkan. Selain itu, juga harus ada diskusi umum terkait kritikan itu guna menghindari kesalahpahaman di antara kedua belah pihak.
            Dan mengenai pesantren tadi, saya beranggapan pesantren adalah termasuk di dalamnya. Hal itu bisa dibuktikan dengan adanya pengesahan-pengesahan terkait beberapa badan formal di dalamnya yang otomatis hal itu tidak bisa tidak membutuhkan Negara. Dengan demikian, tidak ada kesalahan sama sekali seandainya masyarakat setempat berkeinginan untuk menyuarakan keinginannya atau keluhannya mengenai kebijakan-kebijakan pesantren selama ini. Apalagi dari pihak-pihak seperti kita yang posisinya bisa dikata masihlah sebagai anaknya: justru itu malah dianjurkan. Mambaus Sholihin di samping harus fokus dengan anak-anak didiknya, tetapi tidak boleh melupakan kalau ia masihlah hidup di tengah masyarakat yang sangat dinamis. Poenk200514


Selasa, 08 Oktober 2013

Fankihu ma toba lakum min an nisa'




Hari ini saya seperti dalam hutan belantara tanpa kompas di tangan. Pelatihan minggu lalu membawaku pada kondisi ini. Satu hari absen saja, seakan kelas ini sudah jauh meninggalkan saya. Saya tidak kebagian kelompok, tidak bisa berbagi, dan tidak bisa mengimbangi. Tersadar, persaingan dunia ini smakin dipertinggi. Meski saya berlari, tetap saja ada perbedaan.

Hampir semua kelompok, serempak menyuarakan kalau hukum poligami masih diperbolehkan. Meskipun redaksi awal mereka tegas menolak poligami tetap saja di epilognya masih ada sedikit udara segar untuk poligami. Poligami akhir-akhirnya juga tidak ditolak. Semua kelompok satu suara.

Hipotesis teman-teman mengganjilkan benak saya. Salah satu alasan teman-teman tentang pendapatnya adalah katagori adil di ayat 3 an-nisa' yang kontradiksi dg ayat 129 an-nisa'. Dan darinya, diambil kesimpulan singkat bahwa katagori adil dalam hal ini hanya sebatas adil secara materi: giliran, belanja, pendidikan anak, dan lain sebagainya. Berbasis itu, disuarakan, poligami masih mendapat lampu hijau untuk dilakukan.

Bagi saya, kesimpulan itu adalah jawaban atas makna adil di ayat 3 dan 129, yang sudah lama sekali masalah itu dibahas. Ditinjau dari kedua ayat itu, implementasi adil tidak akan pernah ada. Hukum diperbolehkannya poligami sama dengan dilarangnya. Bisa jadi, ayat ini ada, hanya sebagai apologi atas sejarah Muhammad yg beristrikan 11. Hanya bisa diimplementasikan di masa itu saja dan dalam keadan sosial politik seperti itu.

Dan mengenai katagori adil, semuanya sudah jelas, semua manusia tidak bisa adil dalam hal ini. Syarat mutlak diperbolehkannya poligami adalah adil. Adil dalam konteks ini tidak ada. Dengan demikian, poligami tidak ada.

Di samping mengatasnamakan gender dan kemaslahatan, di tempat lain Nando Pelusi, seorang psikolog klinis, menyimpulkan: manusia itu cenderung menciptakan asuransi cinta, agar saat yg dimiliki tidak available, dia masih mempunyai cadangan.

Sederhananya, hati itu cenderung untuk membandinkan. Hati tidak bisa adil, pun meski seseorang itu sudah menikah, hati masih tetap akan mencari orang lain. Ini sesuai dengan ayat 129 an-nisa', walaupun manusia ingin selalu adil dalam hal rasa, tetap saja tidak bisa.

Beranjak darinya, berbasis historisitas di atas, poligami tetap terlarang. Dalam keadaan apapun itu.zev.081013

Senin, 07 Oktober 2013

Di Antara Beribu Permainan


          Pagi ini saya sangat terinspirasi dan juga tersindir atas salah satu lagunya JHF (jogja hip-hop fondation). Dalam salah satu liriknya terdengar: meskipun hidup ini permainan tapi jangan mau dipermainkan dan mempermainkan. Sesuai sekali dengan perasaan resah yang melanda saya selepas terlibat dalam tes mental oleh ARENA tadi. Salah satu LPM yang saya ikuti di kampus baru saya.
Di kampus rakyat ini saya sudah resmi terlibat dengan tiga keluarga: SPBA, PMII, dan ARENA. Anehnya, dari semuanya itu tidak ada yang tidak menuntut loyalitas. Mulai dari PKD di PMII sampai pada wilayah keluarga penulis pun, loyalitas seakan menjadi satu pertanyaan pertama yang sangat membekas dalam benak. Dan itu saya rasakan di tes mental tadi. Meskipun sudah ketahuan jika semuanya adalah permainan belaka, tetapi tidak bisa saya pungkiri rasa tanggung jawab sebagai insan yang selalu ingin loyal demi keluarganya pastilah ada. Dan di waktu yang sama, sampai detik ini, perasaan itu masih meresahkan pikiran saya. Saya ingin sekali menjadi apa yang saya katakan tadi, untuk selalu siap mengabdi demi ARENA, tetapi saya juga tidak tahu, perbedaan antara sesuatu yang bermanfaat, lebih bermanfaat, dan paling bermanfaat berbeda tipis.
Dalam satu wilayah, pikiran ini menghentikan saya pada sebuah kesimpulan: hidup dan apapun yang ada di dalamnya adalah sebatas game. Dan termasuk di dalamnya adalah PMII, ARENA, dan SPBA. Saya tampak begitu bodoh sekali dihadapan cermin ketika memandang diri saya dengan menggunakan kacamata ini. Semuanya adalah drama, sinetron, dan permainan belaka, tetapi kenapa herus terfikirkan sedalam ini. Kadang, tepat juga jika dikata: pemikir itu selalu mengalir dan bahkan terhanyut dalam sebuah episode kehidupan. Dan itu tidaklah salah.
Masih segar dalam ingatan saya tentang novel 5 cm. Meskipun ini adalah permainan kecil dari sebuah permainan yang kosmos, saya dapat belajar banyak darinya. Dari sesuatu permainan yang mikro saja dapat disimpulkan satu pelajaran, apalgi yang dari permainan makro seperti kehidupan ini. Pasti tersimpan jutaan pelajaran di dalamnya, meski itu adalah sebuah permainan. Dalam wilayah ini, saya lebih memilih untuk terhanyut dalam derasnya aliran permainan mereka.
          Kembali pada 5 cm, pernah terucap dari salah satu dari tokoh-tokohnya, saya lupa siapa namanya, adalah mengenai keberanian untuk salah. Kita itu tidak pernah salah, apapun yang sedang, telah, dan akan kita lakukan tidak pernah salah karena kita sedang belajar. Belajar tentang apapun, siapapun, dan darimanapun. Kita sedang berproses untuk selalu mencoba dan selalu gagal. Keduanya adalah harga mati bagi semua pelajar di dunia. Trial and error.

          Pandangan saya atas kegagalan orasi saya tadi sore di panggung demokrasi, perlahan mulai mencair. Saya lebih bisa berfikir jernih. Kesalah tadi adalah awal dari kesalahan-kesalahan selanjutnya. Dan berangkat darinya, saya berani mengatakan: saya mempunyai keluarga baru, belajar darinya, berbagi dengannya, dan mengabdi untuknya. Untuk semua permainan dalam kehidupan ini.zev.071013

Rabu, 17 Juli 2013

KITA ADALAH SEJARAH



Diiringi sorotan kuat cahaya mentari tadi pagi, saya selalu menyempatkan melihat pemandangan desa di tepi telaga yang indah ini. Diwaktu yang sama saya dengan tidak sengaja selalu berfikir tentang pemandangan sapi dimandikan itu. Tidak bisa dibantah semua ini pasti akan menjadi sebuah masa lalu. Dan bagi kalangan tertentu kejadian seperti ini juga-lah yang disebut sebagai sejarah.
          Sedikit blur rasanya ketika aku teruskan uneg-uneg tadi. Pertama, tentang nasib para sejarawan besok. Kalau sejarawan sekarang masih pantas di sebut sebagai ahli riset dimensi lain karena mereka harus melalui proses  heuristik (pencarian), verifikasi (kritik), intrepetasi, dan historiografi dalam menentukan keabsahan sebuah kejadian di masa lampau. Namun kalau para sejarawan besok apa yang perlu di proses, mengetahui semua kejadian saat ini semua sudah jelas dan akan awet sampai kapanpun yang tak lain adalah akibat dari hadirnya kamera video dan lain sebagainya.
          Dalam bagian lain, sejarawan masa depan masih akan eksis tapi dengan kenyataan yang sangat berbeda dengan saat ini. Kalau saat ini mungkin kebanyakan para sejarawan masih kesulitan untuk menentukan bentuk, rupa atau yang berhubungan dengan itu dalam menentukan sebuah riset tertentu karena memang pada saat itu belum ada kamera, jadi penelitian mereka sebatas sisi exteriornya saja. Dan jika kita hubungkan dengan sejarawan masa depan, pastinya mekanisme serta objeknya akan beda. Sejarawan masa depan tidak akan bingung dengan keadaan fisik sebuah objek, namun mereka akan lebih masuk tentang keadaan psikologi, kecenderungan individual, hasrat saat itu, dan lain sebagainya yang pastiny semua itu belum ada di zaman sekarang.
          Seiring dengan berkembanganya zaman, apa yang sekarang tidak terbesit dipikiran orang-orang jenius pun besok akan menjadi proyek besar bagi mereka. mungkin saja di masa depan sudah ada alat pengubah wajah dan bentuk, sehingga mereka akan sibuk dengan meneliti satu persatu manuskrip dan menelitinya apakah perubahan itu ada atau tidak pada saat ini. Dan pastinya kan belum ada.
          Dan seharusnya itulah PR besar buat kita, untuk menemukan sesuatu yang akan di anggap biasa di masa depan, jarang di sadari hadirnya, tapi sangat bermanfaat. Saya yakin pada 3500 SM silam masyarakat di selatan polandia jarang ada yang menyadari betapa pentingnya hadirnya sebuah roda dalam kehidupan mereka, tapi saat ini bisa diliat betapa ruwetnya kehidupan kita jika tanpa roda.
          Pada saat itu mungkin tidak terbesit dalam pikiran mereka kalau mereka bakal menjadi sejarah yang penting bagi kehidupan dunia, tapi nyatanya itulah salah satu sejarah yang luar biasa. Jadi, tidak menutup kemungkinan juga kita sekarang adalah sejarah yang luar biasa untuk masa depan. Minimal sejarah untuk keluarga kita sendiri.

Ruang Gelap Penulis MBS



Menuruti kata hati adalah hal yang baik, apalagi dalam usaha untuk menjadi diri sendiri. Menuruti kata hati jugalah yang merupakan solusi paling tepat, saat kita bingung mencari siapa kita yang sebenarnya. Berusaha menurutinya juga adalah sebuah usaha dari kita untuk menambah satu warna baru buat dunia. Pun dengan ini, saat kita dalam masalah yang pelik, kita bisa mendapat pencerahan. Iya, hanya dengan menuruti kata hati. Menuruti kata hati itu baik.
          Namun, disela-sela saya menekuni siapa diri saya, saya merasa ada sesuatu yang tak genap dalam pribadi saya, saya teringat satu kata: tiada gading yang tak retak. Dan ternyata kata itu pula yang sedang saya rasakan saat ini. Sebaik-baik sistem “menuruti kata hati” masih aja ada kekurangan dalam hal ini. Malahan ini adalah musibah bagi saya jika saya meneruskan prinsip ini.
          Adalah dalam menulis. Sedari dulu mindset saya selalu memaksa saya untuk mengurungkan keinginan kuat saya dalam menulis saat suasana hati tidak mood. dan itu sangatlah tidak membantu. Menulis adalah bahasa hati namun tidak berarti harus selalu menuruti hati. Menulis harus sesuai dengan mood adalah momok yang menjebak saja dan bahkan menjerumuskan. Apalagi, bagi penulis-penulis pemula.
          Dan untuk itu, alangkah lebih baiknya jika kita menjadikan aktifitas menulis adalah sebuah rutinitas nyata, bukan rutinitas yang menggantung pada hati. Seperti halnya sholat magrib, yang setiap senja tiba, kita bersiap-siap untuk menyambutnya. Dalam keadaan apapun itu, dan dengan hasil yang bagaimanapun itu.
          Kedua, selama 7 tahun saya belajar banyak dari pondok yang sangat berjasa ini,  saya belum pernah memahami istilah bencmarking dengan benar. Dalam proses pembelajaran selama itu, saya hanya bisa memahami kalau saya dilarang sekali untuk meniru tipikal tulisan penulis lain. Selain itu, hanyalah doktrin yang memaksa saya menjadi orang lain dalam menulis. Dan inilah yang bagi saya sesuatu yang akan lebih indah jika kita berani untuk sedikit merubahnya.
          Bencmarking atau menjadikan penulis lain sebagai model acuan berbeda dengan meniru. Dan ini sangatlah vital sebagai tongkat penuntun untuk penulis yang masih buta seperti kita. Di dalamnya kita akan belajar menganalisa, meneliti, dan belajar tentang tipikal penulis lain. Sehingga darinya kita akan tahu mana tipikal yang pas buat kita. Kemudian kita mulai belajar dari penulis itu dan akhirnya kita akan menemukan ke-khasan kita dalam menulis. Saya merekomendasikan untuk mencari model acuan penulis yang terhebat, bagimu.
Ketiga adalah krisis tipikal. Semua penulis mempunyai khas masing-masing, termasuk juga penulis yang ada dalam Mambaus Sholihin. Dalam hal ini Mambaus Sholihin memilikinya, sungguh hebat memang. Namun kehebatan itu tertambat. Karena diantara mereka pun tak sedikit yang saling menghujat, saling membenarkan tipikalnya sendiri dengan alasan: penulis hebat itu harus siap dihujat. Sehingga tanpa disadari dari sebuah egosentris itu banyak yang menggantungkan kekhasannya demi sebuah pujian dan menghindari hujatan dari penulis lainnya. Dan mungkin itulah yang menginspirasi saya untuk mengatakan: Mambaus Sholihin krisis tipikal.
          Memahami karakter penulisan penulis lain bukanlah dengan membangun alasan untuk menghujat, akan tetapi menghujat dengan alasan yang membangun.