Tampilkan postingan dengan label edukasi-pemikiran. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label edukasi-pemikiran. Tampilkan semua postingan

Selasa, 31 Desember 2013

Natural Itu Tidak Baik (As The Suitable Response to The Pragmatisme)

Semalaman kemarin, saya dipertemukan dengan seorang cowok berpenampilan necis dan sangat tidak kelihatan betapa cakap cowok tersebut. Iya, dia adalah salah satu senior di KPMRT, namanya pak Zubair. Saya bertemu dengannya ketika diajak ngobrol-ngobrol oleh pak David dan pak Ihsan di Red kafe, daerah Tuban, Jawa Timur. Dan sepertinya tanpa banyak saya sadari, ada banyak hal yang bisa saya pelajari dari C.O. Indosat cabang daerah Tuban ini.
Dari semua hal yang menurut saya luar biasa itu, ada beberapa yang sampai saat ini membuat otak saya selalu berfikir akan itu. Adalah tentang bagaimana kita memandang arti kata natural. Kali pertama hal itu dikatakan olehnya apapun yang natural itu tidak baik. Meskipun hal itu memang terkesan jujur dan apa adanya, tetapi sulit dirasa jika hanya dengan natural, seseorang bisa melesat dan berproses di tengah-tengah persaingan dunia yang semakin berwajah majemuk ini. Jadi, untuk bisa menjadi seseorang yang maju dalam hal gerak, respon, dan pikiran tidak cukup hanya dengan modal apa adanya. Dalam arti, semua itu harus membutuhkan strategi. Dan di titik inilah natural menjadi bencana besar karena strategi yang paling baik adalah strategi yang ada maunya atau tidak natural dan apa adanya. Bisa juga, hal itu disebut sebagai manifestasi dari pragmatisme masyarakat dewasa ini.
Lebih dalam lagi, berbincang tentang pragmatis—karena pola pikir masyarakat kebanyakan dewasa ini adalah pragmatis—apapun yang sedang dan akan mereka lakukan pasti mempunyai tujuan tempat mereka bisa memperoleh keuntungan tersendiri. Mudahnya, seseorang tidak akan melakukan sesuatu jika dia tidak bisa memperoleh keuntungan apapun dari hal tersebut. Selanjutnya, ketika hal itu dihubungkan dengan natural, hasilnya sudah jelas: tidak sinkron. Natural menuntut seseorang untuk apa adanya, tanpa ada maunya, dan pasrah, sedangkan pragmatisme menuntut seseorang untuk meraih sesuatu dan ada maunya. Sehingga, bagaimanapun juga—jika dilihat dari konteks masa kini—seseorang akan menjadi sangat bodoh ketika dia masih berbuat natural. Natural itu tidak baik.
Seperti halnya itu, jika kita amati secara luas, sesungguhnya manusia sejak dulu sudah diajari untuk tidak natural. Adalah tentang alasan mengapa manusia sampai saat ini masih mengenakan pakaian. Iya, jawabannya sudahlah jelas: itulah salah satu bahwa manusia tidak bisa hidup natural. Darinya, bisa dibayangkan: bagaimana jadinya jika semua manusia itu natural dan tidak mengenakan pakaiannya, pasti semua itu akan terlihat sangat saru, bahkan hal itu sulit untuk disebut sebagai human being. Selain itu, dampak lain yang terasa dengan hadirnya naturalisasi adalah kerancauan dalam memahami keindahan. Hal itu bisa dilihat dari contoh sebelumnya tadi: apakah manusia akan kelihatan indah jika tidak mengenakan sehelai kain pun? Kemudian, apakah mobil avanza akan terlihat sama ketika sudah dimodif dengan ban sport, racing necis, dan sebagainya? Seorang yang jiwanya masih indah, pasti akan menjawab tidak. Jadi, dengan menjadi tidak natural—dalam lebih banyak hal—pasti berdampak kepada sesuatu yang lebih baik.

Di sisi lain, di dalam Islam, sering sekali saya mendengar tentang anjuran untuk tidak mencukur jenggot, menyemir rambut dengan semir hitam, dan sebagainya karena sebuah alasan yang cukup klasik: pencitraan Islam. Jika itu dilihat dengan seksama, ada garis linier antara hal itu dengan perihal di paragraf-paragraf sebelumnya. Adalah tentang naturalisasi. Seandainya waktu itu Rasul apa adanya, pasti Rasul tidak mengucapkan beberapa patah kata tersebut dan tidak berharap Islam harus berbeda dengan Nasrani. Akan tetapi, kenyataannya, ucapan Rasul itu sampai sekarang terbingkai dalam hadist sohih menurut Imam Bukhori. Dengan demikian, hal itu bisa disimpulkan: sejak dulu pun untuk mencapai sebuah tujuan yang baik, bukan berarti tidak natural adalah sesuatu yang tidak baik dan sangat mungkin justru dengan natural itulah semuanya akan menjadi tidak baik. Natural itu gelap. Zev311213

Minggu, 15 Desember 2013

La Ikraha Fi Ad-Din


Selama ini, banyak diasumsikan bahwa dalam Islam tidak ada pemaksaan. Dan itu tersimbol dalam salah satu ayat yang tertulis: la ikraha fi ad-din. Tanpa menyangkutkan ayat tersebut dengan ayat-ayat sebelum dan sesudahnya, tersurat bahwa memang Islam itu anti dengan yang namanya pemaksaan. Selain itu juga, dalam aplikasi kesehariannya, mayoritas masyarakat muslim terlihat sering menggunakan itu sebagai salah satu alasan untuk tidak intervensi dengan hal-hal negatif yang dilakukan muslim lainnya. Dalam arti, mereka cenderung cuek dengan teman-teman muslim mereka dan enggan untuk memperingatkan mereka dengan alasan tersebut.
Akan tetapi, berbeda dengan itu, di wilayah lain, ada peristiwa yang mengharukan: dicemoohnya seseorang yang telah berpindah agama dari Islam. Darinya bisa dikatakan bahwa memang kebanyakan muslim akan cenderung mencerca dan memandang sebelah mata siapapun orangnya yang telah keluar dari Islam. Dan jika hal itu dianalisa lebih lama lagi, maka sesuatu yang mendasari terjadinya peristiwa itu adalah kurangnya pemahaman keberagamaan mereka, lebih-lebih mengenai satu kalimat di atas: la ikraha fi ad-din, yang di awal tadi disebut bahwa hal itu sudah akrab dibenak mereka, katanya.
Dan di titik inilah terjadi kerancauan. Dalam satu sisi, ada yang menjadikan itu sebagai sesuatu yang mencegah seseorang untuk berbuat baik—mengingatkan muslim lain—namun sebaliknya, di sisi lain, justru ada sesuatu yang sangat tidak mencerminkan hal tersebut. Kemudian, kalau kenyataan yang terjadi seperti ini adanya, hanya ada beberapa pertanyaan terkait: apakah pemahaman La ikraha fi ad-din itu? Apakah memang benar bahwa dalam Islam itu mempunyai prinsip tersebut? Dan apakah dalam agama lainnya tidak?
Sebelum merespon beberapa perihal di atas, ada beberapa hal yang perlu dikaji. Salah satunya adalah tentang adanya kewajiban dan hukuman. Hal itu berarti: jika ada sesuatu yang wajib itu tidak dikerjakan, maka akan ada hukuman dan sebaliknya. Selayang pikir, berdasar dengan analogi kewajiban dan hukuman di atas, maka dengan mudah bisa disebut bahwa memang dalam Islam masihlah ada pemaksaan. Itu disebabkan oleh adanya hukuman. Dan jika berbicara mengenai hukuman, maka hubungannya adalah paksaan. Seorang tersangka kejahatan tidak akan mau dipenjara kalau tidakada sedikit paksaan dari pihak yang berwajib, begitu juga dalam Islam. Dengan demikian—karena masih adanya hukuman—dalam Islam masih ada paksaan.
Kedua adalah tentang pernyataan salah satu tokoh dari Belanda, saya lupa namanya, yang termuat dalam satu media cetak bulan lalu. Tokoh tersebut menyatakan dengan jujur bahwa dia tidak menyukai Islam: bukan agamanya, tetapi para pemeluknya. Dan di akhir wawancaranya, dia menyatakan dengan jelas dan tegas: jika ini saya lakukan bukan untuk Islam, semua pasti akan baik-baik saja. Dari hal tersebut, mudahnya, bisa dipahami bahwa seolah Islam itu memaksa semua orang untuk menghormati dan menganggap baik dirinya. Padahal dalam hal ini pula, Islam bukanlah seperti itu.
Dan dari semua kejadian tersebut, bagi saya, alangkah lebih baiknya jika ayat la ikraha fi ad-din itu tidak langsung diartikan secara umum dan hanya untuk Islam, tidak. Karena, di samping hal itu bukan hanya untuk Islam, ayat ini juga erat kaitannya dengan dakwah-dakwah rasul termasuk Muhammad SAW. Banyak ayat terkait yang menerangkan bahwa kewajiban Muhammad hanya menyampaikan dan mengingatkan, kemudian berkenaan dengan diterima atau tidaknya peringatan itu bukanlah urusan Muhammad. Itulah titik yang menurut saya adalah sesuatu sampel yang tepat untuk memahami istilah di atas: Muhammad menyampaikan apa yang dia punya tanpa harus memaksa mereka untuk menerima apapun yang dia sampaikan. Zev161213


Sabtu, 23 November 2013

Mengapa Saya Seperti Ini Sekarang, Mengapa Saya di Sini Sekarang, dan Mengapa Saya Tidak Mengerti Sekarang (Kegelisahan Saya dan Kegelisahan Karl Marx)

Ketiga pertanyaan di atas spontan muncul dalam benak saya selepas sholat dluha. Dan hal itu bukan untuk kali pertamanya ini. Sering, hal-hal seperti itu menyelimuti hati dan perasaan saya. Selain ketiga hal di atas masih banyak perincian sesuatu lain yang sampai saat ini masih menggantung dalam benak. Beberapa darinya adalah tentang keadaan saya sekarang: mengapa saya dilahirkan dari kedua orang tua yang sekarang saya miliki? Mengapa tidak dilahirkan dari orang tua lain? Mengapa saya dilahirkan di Tuban dengan lingkungannya yang bersosial tinggi—daripada daerah Surabaya dan sekitarnya—dan mengapa pula sekarang saya terlempar di sini, di Jogjakarta? Entahlah.

Masih mengenai tanda tanya itu, saya berfikir: saya juga tidak pernah menginginkan semua itu, saya tidak mempunyai rencana ataupun sebagainya. Lantas, siapakah yang menginginkan dan merencanakan sesuatu ini? Dan jawaban yang paling tepat tentang itu—untuk sekarang—hanyalah tertuju kepada suatu dzat yang dalam agama saya saat ini, itu disebut sebagai Allah. Iya, Allah, Tuhannya Orang-orang Islam, Yahudi, Kristen, dan Nasrani.

Sebelum saya mencatat lebih lanjut, saya masih ingin mempertanyakan beberapa hal terkait. Itu adalah mengenai tujuan dari semua keinginan yang bukan milik saya di atas. Jika memang benar itu adalah keinginan dari-Nya, maka tiadanya tujuan akan hal itu adalah sebuah ketidakmungkinan. Semuanya pasti memiliki tujuan. Dan tujuan itulah yang membuat saya untuk berfikir kali keduanya.
Tujuan tersebut sangatlah abstrak, seabstrak hari-hari yang akan kita jalani besok setelah kematian. Dan dari ini, jika kita menggunakan salah satu metodologi dalam ushul fiqh—Qiyas—maka keduanya ber-core sama, yaitu ketiadaannya adalah ketidakmungkinan. Keabstrakan hari-hari setelah kematian sejajar dengan abstraknya tujuan Tuhan tentang persoalan-persoalan tersebut. Persoalan-persoalan tadi memiliki tujuan dan itu ada. Sehingga adanya hari-hari paska kematian itu bukanlah ketidakmungkinan, tetapi kepastian.

di wilayah lain, hal ini telah memberikan saya satu alasan lagi: mengapa saya harus tidak sepakat dengan pemikiran Marx tentang hari setelah kematian. Bagaimanapun juga, hari-hari itu layak untuk kita pikirkan demi kita sendiri dan itu bukanlah sebuah kesia-siaan ataupun ilusi belaka sebagaimana yang Mark tulis. Seperti halnya, kita perlu menghapus kegelisahan-kegelisahan yang timbul dari pertanyaan-pertanyaan di awal tadi dengan selalu memandang optimis dan positif tentang apapun tujuan yang akan tertulis untuk kita. Sehingga dengan memikirkan itu, semuanya menjadi jelas alasannya: mengapa kita lahir dari orangtua kita yang sekarang? Mengapa kita harus lahir di suatu daerah yang kita tidak pernah memiliki kesempatan untuk menentukannya? Dan mengapa kita seperti ini sekarang?


Pada akhirnya, sebuah hipotesis bisa ditulis bahwa pemimpinnya para pemimpin hidup bukan tanpa satu pemimpin tertinggi. Pemimpinnya para pemimpin dunia juga membutuhkan satu pemimpin yang mampu untuk menjawab semua persoalan-persoalan dalam hidupnya, termasuk beberapa persoalan di paragraf pertama tadi. Dengan demikian, saya mengatakan: baik dengan atau tanpa suatu institusi keagamaan, satu pemimpin tertinggi itu—Tuhan—pasti ada. zev241113

Kamis, 14 November 2013

Pemahaman Islam Normatif dan Historis


Sebenarnya antara Normatif dan Historis adalah dua pendekatan yang berbeda tapi saling terkait dan terikat. Pendekatan Normatif banyak digunakan oleh kaum-kaum teks, yaitu yang lebih mengutamakan teks dari pada konteksnya, misalnya adalah pesantren salaf yang sampai saat ini masih eksis di Indonesia. Selain itu ada kelompok-kelompok pembaru yang lebih berpihak kepada konteks dan condong langsung terhadap Quran dan Sunnah, yang tak lain adalah Bapak Quraish Shihab, Buya HAMKA, Muhammad Abduh dan lainnya. Sehingga karena perbedaan dan keterkaitannya ini, itu sering disebut sebagai Islam Normatif dan Historis. Keduanya bukan aliran ataupun komunitas, tetapi manhaj, metodologi atau pendekatan.
          Lebih detailnya, normatif berasal dari kata norma yang berarti nilai, aturan atau ketentuan yang mengikat. Dan dalam Islam, hal itu dimanifestasikan dengan Quran dan Hadist. Quran dan hadist mengandung nilai-nilai yang sakral dan tidak bisa berubah sampai kapanpun. Keduanya memiliki teks atau bentuk tulisan, dan kepada kedua teks inilah pendekatan normatif berdasar. Jadi, apapun yang terjadi, semua hukum yang diatur dalam Islam tidak boleh keluar dari teks. Jika teks berbunyi A, maka hukum yang ada pun harus A. Meski di wilayah lain ada hukum B yang berinti sama dengan teks A. Itulah pendekatan normatif.
Selanjutnya adalah Historis. Historis berasal dari kata histori yang berarti sejarah. Dan jika yang dibahas sejarah, maka tidak bisa tidak apapun yang berhubungan dengan sejarah harus juga dibahas. Itu adalah tentang keadaan sosialnya, ekonominya, politiknya, psikologinya, kulturalnya, antropologinya, dan lainnya. Semua itu dari waktu ke waktu dan tempat satu ke tempat lainnya pasti berbeda. Keadaan sosial-politik ketika masa Rosul di Makkah ketika itu pasti berbeda dengan yang ada di Indonesia hari ini. Dengan demikian, berbasis kepada keadaan yang sangat dinamis tersebut, di dalam pendekatan Historis, ditarik suatu kesimpulan hukum yang lebih fleksibel, merakyat, dan tidak semuanya harus berbasisi kepada teks. Toh, tidak semua permasalahan manusia bisa terjawab hanya dengan teks. Pendekatan ini lebih mengedepankan keadaan masyarakat setempat yang dinamis dari pada teks. Seakan, dalam hal ini, Islam harus mengalah dengan keadaan masyarakat yang notabenya adalah sebagai tempat Islam dipraktekkan.

Dan akhirnya, benang merah yang bisa ditarik adalah titik fokus dari keduanya. Islam Normatif lebih fokus kepada tekstualnya: basis dari segala hukum harus tertulis dengan jelas dalam Quran dan Hadist. Sedangkan Islam Historis titik fokusnya kepada kebutuhan masyarakat. Dan dalam hal ini, metode yang digunakan bisa berupa qiyas (analogi) ataupun maslahah yang condong terhadap kebutuhan masyarakat.zev151113 

Rabu, 06 November 2013

Bapak Muhdlir: Apakah Semua Hadist yang Sohih itu Berarti Sebuah Anjuran atau Bahkan Kewajiban


Untuk kali kesekiannya, pikiran saya yang selama ini sudah saya klaim terbuka, dibuka lagi dengan kesimpulan Bapak Muhdlir tadi sore. Seperti biasanya, pelajaran yang mulanya adalah bahasa Arab selalu beliau isi dengan penyampaian pemikiran-pemikiran luar biasanya. Dan dalam kesempatan kali ini beliau memupuskan kebosanan teman-teman sekelas saya dengan pendapat beliau tentang pentingnya menemukan alasan mengapa suatu hukum harus dihukumi baik atau buruk.
Adalah tentang anjuran membunuh cicak. Dari sini, saya teringat beberapa tahun silam. Dulu saya pernah terlibat dengan perbincangan serius mengenai wajibnya membunuh cicak. Di waktu yang sama saya sama sekali tidak mengenali apa itu hadist sohih, dloif, dan sebagainya. Yang ada dalam benak saya saat itu hanyalah kesimpulan bahwa jika kita mengaku muslim, maka harus membunuh cicak. Alasannya cukup simpel: karena cicak memberitahu orang-orang quraish tempat persembunyian nabi ketika nabi dikejar-kejar oleh mereka. Hal itu membumi dalam benak saya dan baru tadi sore pikiran itu terbuka untuk kali kesekiannya.
Akan tetapi alasan yang benar mengapa cicak halal untuk dibunuh bahkan dianjurkan adalah karena ulah nakalnya meniup api yang membakar Nabi Ibrahim tempo dulu. Imam Bukhori dan Muslim menceritakan: ketika nabi Ibrahim dilempar oleh umatnya ke dalam kobaran api; semua hewan bersusah payah untuk memadamkan apinya kecuali cicak—cicak malah meniupnya—sehingga dari bingkai sejarah yang sangat perlu untuk dibahas itu cicak dianjurkan untuk dibunuh.
Dari paragraf tersebut muncul beberapa pertanyaan terkait. Pertama: bagaimana gambaran konkrit dari keadaan cicak yang sedang meniup? Toh, meskipun itu benar-benar terjadi apakah efek yang ditimbulkan dari tiupan hewan sekecil cicak tadi benar bisa membesarkan kobaran api?. Bersambung dengan itu bukannya dalam beberapa cerita juga sudah diceritakan bahwa Nabi Ibrahim adalah salah satu nabi yang kebal dengan api, jadi meski gajah pun misalnya, waktu itu ikut meniup kobaran api bisa dipastikan kobaran api itu tidak sampai melukai tubuh Ibrahim. Sampai di sini saya masih belum menemukan titik pencerahan.
Pertanyaan kedua, yaitu berapakah jumlah cicak yang meniup api tersebut? Apakah semua cicak sedunia berkumpul dan bersama-sama meniup api Ibrahim? Kalau memang iya, apakah cicak-cicak yang terlibat dalam tragedi itu masih hidup sampai sekarang? Kalau sudah mati, mengapa masih saja ada anjuran untuk membunuh cicak secara mutlak? Kemudian, apakah dalam hukum cicak, semua anak cicak itu terbebani dengan dosa-dosa nenek moyangnya? Sejak kapan? Toh, dalam hukum manusia saja, status bayi hasil zina masihlah suci dan muslim.
Pertanyaan ketiga: Bagaimanakah gambaran nyata hewan-hewan lainnya saat berusaha memadamkan api Ibrahim? Apakah dengan berbondong-bondong mencari air? Atau bagaimana? Entahlah. Sehingga dari semua tanda tanya itu, hipotesis saya mengatakan: Hadist Sohih ini mengajak kita untuk semakin mendramatisir kehidupan yang sudah mendrama ini. Saya memandang hadist itu mengajak kita untuk memasalahkan sesuatu yang tidak masalah. Semua makhluk hidup mempunyai hak untuk hidup dengan damai, begitupun dengan cicak. bagaimanapun juga cicak perlu dibela dan lestarikan.
Dan dalam ruang ini, saya sepakat dengan kesimpulan Bapak Muhdlir di awal tadi: semua hadis sohih tidak berarti adalah sebuah anjuran atau bahkan kewajiban. Pemahaman masyarakat umum yang pernah saya rasakan dulu perlu untuk diperbarui. Pengetahuan akan alasan mengapa sebuah hadist menetapkan hukum baik atau buruk harus diselidiki terlebih dahulu meskipun itu sohih. Zev061113


Kamis, 17 Oktober 2013

Muhammad dan Tulisannya


Kemaren, seperti biasa, berangkat dari fatwa-fatwa Bapak Muhdlir, saya berjibaku dengan pikiran saya. Bapak muhdlir dari beberapa hadist yang tidak disebutkan, membantah jika dikatakan Rosul tidak bisa membaca dan menulis. Sangat konyol sekali jika seorang pemimpin sekaliber Muhammad tidak mampu menguasai dua aspek yang sangat vital itu. selayang pikir, sungguh mengada-ada jika disimpulkan bahwa Muhammad tidak bisa membaca ataupun menulis.
Selepas itu, saya googling hadist tentang tulisan-tulisan rosul, tetapi tetap saja keganjilan saya masih tidak tergenapkan. Hadist yang diungkapkan Bapak Muhdlir tidak bisa terkover oleh mesin pencari sekaliber google. Beliau tidak memaparkan refferensi yang cukup jelas tentang alur pemikirannya.
Namun, dalam wilayah lain, saya tidak tahu kenapa, pikiran saya sepakat sekali dengan pendapat beliau. Di samping memang Muhammad adalah seorang yang luar biasa, Muhammad juga satu-satunya manusia yang menjadi objek utama dalam kajian hadist. Meminjam istilahnya Bapak Hart: tidak ada manusia lain yang paling berpengaruh selain Muhammad. Sehingga, sangat wajar jika apapun yang Muhammad lakukan sudah menjadi sesuatu yang sakral, bahkan menjadi sebuah doktrin dalam salah satu agama, islam. Semua penganut Islam, berlomba-lomba melakukan apa yang pernah Muhammad lakukan. Pun, di dalamnya dijumpai nilai-nilai yang lebih, yaitu pahala. Dan sekarang, pertanyaannya:  mengapa kita dianjurkan untuk membaca dan menulis, kalau Muhammad saja tidak pernah melakukannya. Bahkan saking dianjurkannya, membaca Quran itu mendapat pahala. Dalam ranah pikir saya, dalam kasus ini, akan terjadi ketimpangan jika Muhammad masih dipandang tidak bisa membaca dan menulis.
Paralel dengan itu, mengenai peristiwa di gua hiro’, ketika Jibril memaksa Rosul sampai tiga kali untuk membaca, saya memandangnya, itu bukanlah alasan yang tepat jika diartikan bahwa Rosul tidak bisa membaca. Di waktu yang sama, Jibril tidak mungkin membawa spidol dan papan, yang ada jibril hanya mendekte, itu berarti Jawaban Muhammad—ma ana bi qori—bukan berarti Muhammad tidak bisa membaca, tetapi memang tidak ada yang dibaca, toh tulisan pun tidak ada.

Dalam kasus kenegaraan juga. Muhammad dalam sejarahnya adalah seorang presiden yang istimewa, kehidupannya yang sederhana tidak mencerminkan tahtanya sama sekali. Namun bagaimanapun juga Muhammad masih membutuhkan sekretaris pribadi. Dan dalam hal ini, Muhammad memilih Zaid bin Tsabit. Menurut kacamata mayoritas, ini adalah salah satu bukti bahwa nabi itu mandul tulisan dan bacaan. Nabi tidak pernah membaca dan menulis. Akan tetapi jika kembali pada konteks dalam paragraf ini: ketatanegaraan, kesimpulan itu cukup buram. Apakah dengan pengangkatan Kustanto Widiatmoko sebagai sekretaris pribadi Bapak SBY, itu menunjukkan ketidakmampuan SBY untuk menulis. Tentu saja semua sepakat untuk menjawab tidak. SBY menunjuk Bapak Kustanto bukan karena SBY tidak bisa menulis, tetapi untuk mempermudah SBY memimpin negeri ini. Dan saya kira, itu adalah kasus yang sama dengan Muhammad dan Zaid. Muhammad bukan tidak bisa menulis, Muhammad hanya tidak mau menulis. Zev171013

Selasa, 15 Oktober 2013

Islam dan Masyarakat (Konstruksi Nyata Islam Historis)


agama adalah sesuatu yang dapat dianggap oleh pemeluk dan calon pemeluknya sebagai sesuatu telah terkait erat dengan dunia mereka.
(Gustave E. Von Grunebaum)[1]
Untuk merespon salah satu ungkapan Grunebaum di atas, masih ada beberapa pertanyaan terkait dan terikat: Apakah dengan penerimaan islam berarti mengorbankan semua budaya yang telah lama melekat pada sebuah tatanan masyarakat.[2] Jawaban paling disepakati adalah tidak. Penerimaan islam bukan penghilangan kultural-kultural pra-islam, tetapi sebatas kelanjutan dari kultural yang usai mengakar di suatu wilayah. Islam bukan asimilasi. Islam itu Akulturasi.
Jika islam masih ingin dikata sebagai agama, bagaimanapun juga, Islam harus mengalah. Adat setempat perlu dimenangkan. Tetapi tetap pada tujuan awal, doktrin Islam mengalah bukan tanpa tujuan. Tujuan inti dari pengalahan doktrin dengan budaya setempat adalah untuk menyelaraskan kebutuhan para pemeluk islam maupun calon pemeluk dengan kebutuhan-kebutuhan mereka sebagai manusia yang berbudaya dan bersosial. Selama pengalahan doktrin Islam akan budaya setempat dipandang lebih banyak mengandung kemaslahatan dan pemenuhan kebutuhan-kebutuhan di atas, maka tidak ada yang salah dengan pengalahan doktrin Islam.
Namun sebaliknya, jika dipandang dengan manifestasi agama sebagai hasil akulturasi doktrin dan sosial budaya masih saja tidak bisa menemukan apa yang dicita-citakan, akulturasi ini tidak diperlukan. Seperti halnya apa yang telah dilakukan Gandhi dan Tagore. Sebagai sesosok nasionalis yang hidup ditengah-tengah ajaran Hinduisme dan kultur yang konservatif di India, mereka melakukan pembaruan dengan basis yang bertitik tekan pada keselarasan antara agama mereka dengan kebutuhan hidup yang pasti mengalir dengan peredaran zaman (akhir abad XIX).[3] Alasan yang mereka gunakan adalah keselarasan antara agama dan kebutuhan hidup, bukan agama dan budaya. Dengan demikian, agama tidak hanya perlu luwes dengan budaya masing-masing pemeluknya, seperti yang ada dalam Islam di Indonesia. Keluwesan akan dinamika zaman yang bertepi pada majemuknya kebutuhan pemeluk juga dibutuhkan.
Lebih fokus kepada Islam dan masyarakat Indonesia, dalam sejarah telah kentara bahwa Islam menyebar luas ke semua pelosok Nusantara tidak menggunakan topeng Timur Tengah. Islam menjelma menjadis sesosok yang akrab dengan budaya setempat. Menyadari karena sebenarnya Islam bukan hanya bertugas untuk menjinakkan objek tujuannya, namun juga menjinakkan dirinya sendiri.[4]
Tindakan seperti itu dapat dilihat dari manifestasi agama yang dilakukan oleh walisongo. Walisongo melakukan itu bermula dari benturan-benturan yang terjadi  antara budaya dengan doktrin Islam. benturan tersebut memaksa Islam untuk menggunakan topeng atau simbol-simbol kebudayaan setempat sebagai penyelaras agar dapat ditangkap oleh masyrakat setempat.[5] Konkrtinya adalah Sunan Maulana Makhdum Ibrahim dengan strategi bonangannya di Tuban Jawa Timur. Dengan membaca keadaan masyarakat yang suka sekali dengan alat musik bonang, hanya bertiket wudlu dan membaca syahadat, masyarakat setempat bisa menikmati alunan musik bonangan yang diadakan beliau tanpa biaya sepeserpun. Secara doktriner alat-alat musik semacam itu adalah haram, namun karena Islam dipandang secara historis dan atas nama kemaslahatan dan pemenuhan kebutuhan, potret itupun menjadi bingkai sejarah yang menarik untuk dibahas juga diterapkan.
Di wilayah lain, memang tidak bisa dipungkiri, keadaan seperti di atas, dapat menimbulkan penafsiran yang agak terpisah dengan wahyu yang utuh dan abadi.[6] Tetapi meminjam istilahnya Bapak Taufik Abdullah: Bagaimanapun juga, penghayatan agama harus didekati dengan menanggalkan untuk sementara keyakinan pribadi. Toh, kesimpulan tersebut bukan berarti memang wahyu yang utuh di atas yang salah. Bisa jadi, penafsiran akan itu yang justru tidak sesuai bukan wahyunya.
Dengan demikian, berbasis pada keselarasan antara budaya dan agama yang berujung pada pemenuhan kebutuhan masing-masing pemeluknya, pendekatan Islam Historis diharapkan mampu menjadi salah satu perumusan yang ideal dalam menjawab dinamika zaman.





[1] Gustave E. Von Grunebaum, modern Islam: The Search of Cultural Identity, New York: Ancore 1964, hlm. 20.
[2] Mien Joebhar, Ny. R. T. Abdullah, Ny. Emiwati, dan Chalidin bin Abu Bakar (1987), Sejarah dan Masyarakat Lintasan Historis Islam di Indonesia, Jakarta: Pustaka Firdaus, hlm. 3.
[3] Salah satu artikel W.F. Wertheim (penulis Indonesia soceity in transition) yang telah diterjemah: gerakan-gerakan pembaruan agama di Asia Selatan dan Asia Tenggara.
[4] Mien Joebhar, Ny. R. T. Abdullah, Ny. Emiwati, dan Chalidin bin Abu Bakar (1987), Sejarah dan Masyarakat Lintasan Historis Islam di Indonesia, Jakarta: Pustaka Firdaus.

[5] Ibid.
[6] Ibid.

Selasa, 08 Oktober 2013

Fankihu ma toba lakum min an nisa'




Hari ini saya seperti dalam hutan belantara tanpa kompas di tangan. Pelatihan minggu lalu membawaku pada kondisi ini. Satu hari absen saja, seakan kelas ini sudah jauh meninggalkan saya. Saya tidak kebagian kelompok, tidak bisa berbagi, dan tidak bisa mengimbangi. Tersadar, persaingan dunia ini smakin dipertinggi. Meski saya berlari, tetap saja ada perbedaan.

Hampir semua kelompok, serempak menyuarakan kalau hukum poligami masih diperbolehkan. Meskipun redaksi awal mereka tegas menolak poligami tetap saja di epilognya masih ada sedikit udara segar untuk poligami. Poligami akhir-akhirnya juga tidak ditolak. Semua kelompok satu suara.

Hipotesis teman-teman mengganjilkan benak saya. Salah satu alasan teman-teman tentang pendapatnya adalah katagori adil di ayat 3 an-nisa' yang kontradiksi dg ayat 129 an-nisa'. Dan darinya, diambil kesimpulan singkat bahwa katagori adil dalam hal ini hanya sebatas adil secara materi: giliran, belanja, pendidikan anak, dan lain sebagainya. Berbasis itu, disuarakan, poligami masih mendapat lampu hijau untuk dilakukan.

Bagi saya, kesimpulan itu adalah jawaban atas makna adil di ayat 3 dan 129, yang sudah lama sekali masalah itu dibahas. Ditinjau dari kedua ayat itu, implementasi adil tidak akan pernah ada. Hukum diperbolehkannya poligami sama dengan dilarangnya. Bisa jadi, ayat ini ada, hanya sebagai apologi atas sejarah Muhammad yg beristrikan 11. Hanya bisa diimplementasikan di masa itu saja dan dalam keadan sosial politik seperti itu.

Dan mengenai katagori adil, semuanya sudah jelas, semua manusia tidak bisa adil dalam hal ini. Syarat mutlak diperbolehkannya poligami adalah adil. Adil dalam konteks ini tidak ada. Dengan demikian, poligami tidak ada.

Di samping mengatasnamakan gender dan kemaslahatan, di tempat lain Nando Pelusi, seorang psikolog klinis, menyimpulkan: manusia itu cenderung menciptakan asuransi cinta, agar saat yg dimiliki tidak available, dia masih mempunyai cadangan.

Sederhananya, hati itu cenderung untuk membandinkan. Hati tidak bisa adil, pun meski seseorang itu sudah menikah, hati masih tetap akan mencari orang lain. Ini sesuai dengan ayat 129 an-nisa', walaupun manusia ingin selalu adil dalam hal rasa, tetap saja tidak bisa.

Beranjak darinya, berbasis historisitas di atas, poligami tetap terlarang. Dalam keadaan apapun itu.zev.081013

Sabtu, 14 September 2013

Angelology



Jumlah malaikat itu tidak terkira banyaknya, demikian yang saya mengerti. Dan diantara beribu malaikat, pilihan tuhan hanya ada sepuluh yang wajib kita ketahui. Dan selama ini, pikiranku cuma berhenti pada jumlah itu. Pembahasan malaikat, bagi saya cuma sebatas meyakini sepuluh tadi. Sangat mikro. 

Akan tetapi, hipotesis saya selama ini gugur barusan, setelah saya buka pengantar theologinya bpak zuhri. Ternyata malaikat tidak sebatas itu. Pikiran saya menjadi terbuka. Utopia saya selama ini masih kurang. 

Adalah tentang segala elemen fisis yang tersebar di seluruh sudut dunia. Tumbuhan yg setiap saat tumbuh dalam kediamannya, laut yg setiap hari riuh tertepa angin, dan ikan-ikan yg istiqomah menciptakan gelembung-gelembung kecil di dasar laut. Semuanya berjalan begitu adanya tanpa terbesit di pikiran saya kalau semua itu juga berdzikir pada Tuhan, seperti ungkapan para novelis. 

Malaikat itu banyak, dan mungkin sebanyak jumlah ikan, tumbuhan, dan busa ombak di lautan atau bahkan lebih. Iya, dalam satu wilayah kata fehmi jadanne dalam bukunya "La Place de Angles Dans la Theologique Musulmane", itu memang benar: malaikat juga termasuk dari semua itu. Mulai dari tumbuhan yg taat berdzikir pada-Nya dan teman-temanya. Malaikat bukan hanya nyata di alam metafisis dan abstrak dalam dunia empirik, tidak, tapi diantara keduanya. 

Intervensi tuhan pada kita tidak bisa lepas dari peran malaikat. Mereka adalah jembatan penghubung antara wilayah samawat (wilayah Tuhan) dengan wilayah dunya (alam semesta). Meski secara teoritis Tuhan tidak perlu perantara untuk hanya sekedar mencabut nyawa hambanya, setidaknya dengan adanya intervensi dari para angel, sisi kemahakuasaannya lebih mencolok. Dia terlalu kuasa untuk sekedar masuk di wilayah manusia. Dan di sinilah peran malaikat tertambat: angelology.zev.140913 

Jumat, 08 Februari 2013

MANUSIA SEMPURNA, katanya?



            Tak ingin ku menahu ntah berlandas pada motivasi apakah mereka, temen-temenku malam malam ini tak enggan untuk menginjakkan kakinya di Musholla demi mengikuti pengajian biasa luarnya, namun luar biasa dalamnya. Haha lucu memang dan semoga ini bisa berlanjut dan berdasar pada hati masing-masing dari mereka.

            Berbincang mengenai hati, apa yang usai disampaikan oleh bapak Haris Fahrudin barusan sungguh luar biasa. Saya menemukan sebuah pencerahan bari dalam hal pandangan dan asumsi saya pada kitab klasik karya-karya penulis tempo dulu. “Sungguh hebat mereka”, begitu aku mengaguminya dan mengekspresikannya lewat bahasa.
            Manusia berfikir dalam satu jam, tak kurang pentingnya dari pada manusia yang beribadah satu tahun lamanya. Dalam satu nafas tidaklah masuk akal pernyataan itu, dan karena dalam fitrah alam, tak ada yang namanya nepotisme, jadi walaupun berfikir adalah merupakan satu keluarga dengan akal, disini saya tetap mengatakan hal itu tidaklah masuk akal, karena disini saya menggunakan pendekatan temporal. Satu jam dibanding seribu tahun, satu poin yang sulit diterima oleh akal saya, dan itu tidaklah masuk akal.
            Namun, memang benar seperti itulah adanya, akal adalah raja diraja dalam kerajaan tubuh kita, dan hatilah patihnya. Pun untuk memuaskan pertanyaan akal kita akan itu, cukup lewat tubuh kita sendiri inilah praktisnya. Seluruh alam semesta ini semisal, semuanya yang ada dilangit dan bumi ini sebenarnya usai terlukis dalam tubuh ciptaan-NYA, yaitu manusia. Alam ini punya tanah yang tumbuh diatasnya tumbuh-tumbuhan yang besar kecil, lebat jarang, dan lain sebagainya, begitu pula dengan manusia, dia punya kulit yang tumbuh juga diatasnya rambut-rambut yang tebal hingga bulu-bulu yang halus bak rumput di taman sebuah kota, cocok dengan alam. Alam punya air yang 3/4 % mendominasi bumi, sama dengan manusia dengan tubuhnya yang 3/4nya adalah air. Pun mulai dari air bersih, kotor, keruh, hingga pada air bah pun ada dalam tubuh manusia, dan semua itu bisa direnungkan sendiri. Dan yang paling dominan adalah manusia juga punya nafas yang tanpanya tak akan ada kehidupan, begitu pula dengan alam ini yang dilengkapi dengan angin yang semilir berhembus membelai siapapun orang didalamnya. dan berlabuh dari situ tak salah jika saya mengatakan; “Segala sesuatu dan dalam apapun itu akanlah sangat berarti dan berharga jika semua itu diperdanai oleh aktifitas berfikir”.
            Lebih lanjutnya mengenai angin, dan focus pada judul yang tertera diatas, salah dan sangatlah salah jika dikatakan manusialah yang menggerakan semua yang bergerak dalam tubuhnya. Sepintas memang seakan manusialah yang punya kekuatan dalam segala aktifitas apapun yang dikerjakan olehnya, namun saat kita benar-benar merenungi dan berfikir, tidaklah mungkin jika robot yang bergerak dengan sendirinya itu bisa tahu dan paham tentang mengapa tangannya bisa bergerak dan mengapa kakinya bisa berjalan. Sama dengan manusia, kalau memang benar dikatakan manusialah yang menggerakkan tangannya sendiri misalnya, pasti manusia itu sadar dan paham berapa ukuran tangan mereka masing-masing sehingga bisa bergerak tanpa harus memberati  lengannya, dan mengerti berapa diameter yang pas untuk sebuah tangan yang pas buatnya dengan porsi tubuh yang mereka miliki. Dalam memandang juga misalnya, pasti mereka akan cakap menjawab dan memastikan berapa kalikah mereka berkedip dalam sehari ataupun bernafas dalam sehari kalau benar adanya merekalah yang menggerakkan semua itu. Jadi ketika jawaban dari semua itu masih ketidaktahuan mereka, itu berarti ada satu dzat dimana DIAlah yang menggerakkan semua itu. Manusia hanya mempunyai irodat yang menimbulkan asumsi seakan dan seolah tadi, namun irodah manusia itu tak akan ada, tanpa disandarkan dan digantungkan pada irodah satu dzat barusan. Begitu juga dengan robot, dia tak tahu apapun tentang dirinya, yang dia tahu dia hanya diperintah dan dijalankan. Manusia bagai robot dimata sang pemilik kehidupan ini, seperti ketika manusia menjalankan apapun yang tak diketahui oleh robot.
            Tidak cukup sampai disini, dalam lingkup yang lebih lebar, ketika kita memandang sebuah guru besar, atau bahasa akrabnya adalah professor, tidaklah terlalu melebihkan jika kita memanggilnya sebagai manusia sempurna. Oke, tidak masalah namun alangkah lebih baiknya jika kita berfikir dua kali lebih keras lagi, hingga sampailah pada sebuah tanda Tanya besar, “bisakah professor-profesor terhebat dunia itu mengatur turunnya hujan?” sudah mesti dunia tak akan langgeng sampai sekarang jika mereka semua bisa. Untuk mengatur turun tidaknya hujan atau banyak sedikitnyan hujan dan dimanakah seharusnya hujan diturunkan tidaklah semudah memainkan dadu, dan tidak cukup pula hanya dengan mengandalkan ilmu alam, ilmu geografi atau apalah itu yang professor miliki. Memang alam bisa mengatur semuanya tentang hal-hal diatas? Memang alam bisa mengerti bumi bagian manakah yang membutuhkan air, atau manusia manakah yang enggan dengan air? Tidak toh. Maka, tidak bisa dipungkiri lagi, di antara gaduhnya suara-suara professor diluar sana ada satu dzat yang sangat cerdas, yang mampu mengatur dan mengayomi semua kesemestaan ini.
            Jadi, sungguh tidak salah jika dalam kitab risalah al-mu’awwanah milik Abdullah bin alawi al-attas ini menerangkan kalau “tafakkuru sanatin khoirum min ibadatu sanatin”, efek samping dari berfikir sungguhlah dasyat terasa. Tanpa merenung dan berfikir tak mungkin adalah kesimpulan diatas, dan tanpanya kalau saya hubungkan dengan ibadah pasti saat terucap dari mulut kita “hamdalah”, tak akan ada bayangan-bayangan miris yang memaksa kita untuk berterima kasih melintas dalam benak kita, hingga penghayatan atas hamdalah kita pun sebatas uapan nafas. Lain lagi jika kita berfikir, disetiap ucapan hamdalah kita pasti terputar didalamnya perbandingan-perbandingan yang ironis dimana nantinya akan mengalirkan hati kita pada  kederasan syukur yang luar biasa tentang segala sesuatu yang saat ini kita miliki. 
            Sehingga dengan satu ilmu yang berawal dari pengetahuan sepintas saya malam ini, dapat saya simpulkan, bahwa sungguhlah kita salah jika kita berkata; kitalah yang menggerakkan semua yang ada dalam tubuh kita ini. Dan dari sini juga saya menjadi berani untuk bilang kepada mereka yang anti TUHAN, “emmmm pasti akal dan hati kalian sudah niyengen ya?. Hehehe salam saya buat mereka. 8213

Kamis, 07 Februari 2013

SEKOLAH JURNALISTIK : Bentuk Rasionalisasi “ Al-ilmu An-Naafi' ”


          Kalau kita membahas tentang pesantren pasti tak lekang didalamnya tentang apa itu kaidah-kaidah salafi yang masih kental meng-hawa didalam pesantren. Bagaikan embun yang hadir dan menetes ditiap pagi seutas daun, begitulah kiranya kami menye-olahkan keduanya. Tak jauh dari itu, sebuah kata tentang kemanfaat sebuah ilmu, atau bahasa akrab pesantrennya adalah “al-ilmu an-nafik”, sering terucap dan mungkin menjadi tujuan utama dari pesantren, dimana kebanyakan  satu konsep klasik itu hanya bisa didapat dengan satu kata juga yaitu “barokah”. Sederhananya, pesantren mengajarkan peserta didiknya untuk benar-benar mempunyai ketulusan niat agar ilmu yang usai peserta didiknya curi itu bisa bermanfaat buat orang lain, dengan apa adanya sam’an wa tho’atan pada guru, dan bukan hanya untuk sehelai kertas yang setiap tahun semua peserta didik dunia mengejarnya, yaitu ijazah.
            Agak kontras dengan itu, dan di latar belakangai oleh dunia yang makin hari makin menuntut kita untuk serba logis, turut berdampak pula terhadap mindset santri yang semakin menolak konsep klasik diatas. Tidak salah memang, sebab kita hidup pun dalam tatanan kenegaraan yang berkembang, dan tanpa mengalir dengan itu, pasti akan terkuncilah kita pada satu kamar dalam rumah yang terpencil jauh dari perkembangan. Dalam pendekatan lain, seakan semuanya harus serba masuk akal, apalagi dalam hal pendidikan yang sifatnya terus berkembang dan selalu berkembang. Jadi, cukuplah sulit untuk bisa menerima konsep diatas.
            Dan masih dalam ruangan ini, menyikapi itu Al-fikrah mempunyai terobosan baru sebagai salah satu wujud nyata dari teori-teori yang mendukung konsep klasik pesantren diatas. Dan itu adalah Sekolah Jurnalistik. Sekolah yang lahir dengan bidan redaksi-redaksi sendiri ini mengusung konsep yang melekat dengan keterbukaan komunikasi dan penggunaan yang baik, serta individu-individu tenaga pengajar yang kreatif. Disadari, sebab dalam tatanan keilmuan, Ilmu sendiri itu terbit dengan sifat ke-individualannya, dan terbenam dengan sifat sosialnya yang tinggi. Yang finalnya nanti juga berdampak pada dapat dimanfaatkannya sebuah keilmuan oleh masayarakat disekitar.
            Para ilmuwan, atau orang-orang yang berilmu tanpa banyak yang menyadarinya, mereka itu mempunyai sebuah tanggung jawab yang sulit, dan itu sudah merupakan fitrah mereka sebagai individu yang menggandrongi banyak ilmu dan hidup dalam sebuah tatanan kemasyarakatan yang tentunya juga punya kepentingan langsung dengan masyarakat, maka untuk mentransfer ilmunya kepada masyarakat itu adalah sebuah fitrah dan tanggung jawab, karena hanya dengan itulah arti hadir mereka dalam masyarakat benar-benar ada dan penting. Mudahnya, ketika seorang individu sudah berhasil menimba ilmu, maka untuk membenamkannya pada masyarakat dimana ia tinggal itu juga adalah sebuah keharusan yang berlandaskan akan fitrah kemasyarakatan. Bukan hasil akhir dari proses belajar kita, yang kerap dimata santri hal itu hanya bisa didapat lewat barokah.
            Dan sedari 20 september 2012 kamaren, Sekolah Jurnalistik lahir membawa obor ketentraman, yang menyinari gelapnya hati santri akan sebuah pembaruan dalam bidang keilmuan berkonsep “Al-ilmu An-Nafik” diatas. Menilik, dari salah satu tujuan berdirinya sekolah ini memang adalah sebagai jembatan antara kami “redaksi” dengan segenap santri. Sekolah Jurnalistik kali ini berfitur open minded, lebih mendahulukan aklamasi dari pada otorisasi, yang mana selama ini, Al-Fikrah dimata santri ibarat bangunan tua yang angker, yang siapapun berada didalamnya pasti tidak betah. Maka, disini melalui Sekolah Jurnalistik kami berusaha untuk lebih dekat selangkah lagi dengan pembaca dengan memprioritasakn komunikasi yang baik antara peserta didik (pembaca) dengan segenap redaksi.
            Selain dari komunikasi itu sendiri, lewat Sekolah ini perbaikan individual masing-masing redaksi pun perlahan turut kami perhatikan. Sekata atau tidak, ketika siapapun itu mempunyai sebuah tanggungan dalam hal apapun, pasti memercik dalam hatinya semangat untuk tampil sebaik mungkin demi suksesnya tanggungan tadi. Demikian pula dengan redaksi yang notabennya adalah staff pengajar dalam ESJE, bagaimanapun juga kami redaksi akan berusaha mencetak individu-individu tutor yang kreatif didalamnya, hingga nantinya bisa menenggelamkan ilmunya secara efektif kepada masyarakat santri dimana posisinya ialah sebagai masyarakat yang mempunyai kepentingan terhadap setiap individu yang berilmu.    
Lebih jelasnya, disini Al-fikrah tak lebihnya adalah individu yang berilmu, yang tinggal dalam sebuah desa bernama Mambaus Sholihin. Sebuah desa dimana tinggal didalamnya pelbagai macam masyarakat termasuk Al-fikrah. Dan ketika Al-Fikrah itu tidak bisa memanfaatkan ilmunya, maka itu adalah sebuah kesalahan yang telak,  dan tidak masuk akal. Karena fungsi individu yang berilmu sendiri itu tidak berhenti pada penelaahan dan keilmuan secara mendalam saja namun juga ikut bertanggung jawab agar produk keilmuannya sampai dan dapat dimanfaatkan oleh masyarakat Mambaus Sholihin. Nah disini, selayang pandang fungsi ESJE sangatlah tampak dan cerah. Melalui sekolah ini kami berusaha menjadikan semua beban berbagi ilmu kepada segenap santri ini adalah sebuah tanggung jawab yang masuk akal, bukan karena embel-embel barokah atau ntah apalah itu. Dan sekali lagi, bukan saja karena Al-Fikrah ini adalah warga masyarakat yang kepentingannya terlibat secara langsung di masyarakat, tapi yang lebih penting adalah karena Al-Fikrah mempunyai fungsi tertentu dalam kelangsungan hidup bermasyarakat.
Memahami seperti itu, dapat disimpulkan bahwasanya untuk memakai konsep “Al-ilmu An-Nafik”  tidak usahlah menunggu datangnya barokah kepada kita. Karena satu kata itu secara otomatis dapat kita rasakan saat kita menganggap konsep klasik itu adalah sebuah tanggung jawab kita, dan bukan hasil akhir dari usaha kita. Sebab kalau kita memandang itu adalah sebuah hasil akhir maka sudah, selesai dan cukup sampai disitu.
Dan Akhirnya, tak terlalu melebihkan jika dengan Sekolah ini kami selaku redaksi bisa belajar untuk menjadi bertanggung jawab akan semua yang ada dalam diri kami. Berlandaskan  kekreatifitasan serta sistem komunikasi sosial yang terbuka diantara kami dengan masyarakat desa Mambaus Sholihin. Dan dengan ini Al-Fikrah siap untuk menuju proses pengembangan ilmu yang berjalan secara efektif dan semakin dekat dengan pembaca, salam…../ipoenk .6213