Tampilkan postingan dengan label pemikiran. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label pemikiran. Tampilkan semua postingan

Senin, 07 Oktober 2013

Di Antara Beribu Permainan


          Pagi ini saya sangat terinspirasi dan juga tersindir atas salah satu lagunya JHF (jogja hip-hop fondation). Dalam salah satu liriknya terdengar: meskipun hidup ini permainan tapi jangan mau dipermainkan dan mempermainkan. Sesuai sekali dengan perasaan resah yang melanda saya selepas terlibat dalam tes mental oleh ARENA tadi. Salah satu LPM yang saya ikuti di kampus baru saya.
Di kampus rakyat ini saya sudah resmi terlibat dengan tiga keluarga: SPBA, PMII, dan ARENA. Anehnya, dari semuanya itu tidak ada yang tidak menuntut loyalitas. Mulai dari PKD di PMII sampai pada wilayah keluarga penulis pun, loyalitas seakan menjadi satu pertanyaan pertama yang sangat membekas dalam benak. Dan itu saya rasakan di tes mental tadi. Meskipun sudah ketahuan jika semuanya adalah permainan belaka, tetapi tidak bisa saya pungkiri rasa tanggung jawab sebagai insan yang selalu ingin loyal demi keluarganya pastilah ada. Dan di waktu yang sama, sampai detik ini, perasaan itu masih meresahkan pikiran saya. Saya ingin sekali menjadi apa yang saya katakan tadi, untuk selalu siap mengabdi demi ARENA, tetapi saya juga tidak tahu, perbedaan antara sesuatu yang bermanfaat, lebih bermanfaat, dan paling bermanfaat berbeda tipis.
Dalam satu wilayah, pikiran ini menghentikan saya pada sebuah kesimpulan: hidup dan apapun yang ada di dalamnya adalah sebatas game. Dan termasuk di dalamnya adalah PMII, ARENA, dan SPBA. Saya tampak begitu bodoh sekali dihadapan cermin ketika memandang diri saya dengan menggunakan kacamata ini. Semuanya adalah drama, sinetron, dan permainan belaka, tetapi kenapa herus terfikirkan sedalam ini. Kadang, tepat juga jika dikata: pemikir itu selalu mengalir dan bahkan terhanyut dalam sebuah episode kehidupan. Dan itu tidaklah salah.
Masih segar dalam ingatan saya tentang novel 5 cm. Meskipun ini adalah permainan kecil dari sebuah permainan yang kosmos, saya dapat belajar banyak darinya. Dari sesuatu permainan yang mikro saja dapat disimpulkan satu pelajaran, apalgi yang dari permainan makro seperti kehidupan ini. Pasti tersimpan jutaan pelajaran di dalamnya, meski itu adalah sebuah permainan. Dalam wilayah ini, saya lebih memilih untuk terhanyut dalam derasnya aliran permainan mereka.
          Kembali pada 5 cm, pernah terucap dari salah satu dari tokoh-tokohnya, saya lupa siapa namanya, adalah mengenai keberanian untuk salah. Kita itu tidak pernah salah, apapun yang sedang, telah, dan akan kita lakukan tidak pernah salah karena kita sedang belajar. Belajar tentang apapun, siapapun, dan darimanapun. Kita sedang berproses untuk selalu mencoba dan selalu gagal. Keduanya adalah harga mati bagi semua pelajar di dunia. Trial and error.

          Pandangan saya atas kegagalan orasi saya tadi sore di panggung demokrasi, perlahan mulai mencair. Saya lebih bisa berfikir jernih. Kesalah tadi adalah awal dari kesalahan-kesalahan selanjutnya. Dan berangkat darinya, saya berani mengatakan: saya mempunyai keluarga baru, belajar darinya, berbagi dengannya, dan mengabdi untuknya. Untuk semua permainan dalam kehidupan ini.zev.071013

Rabu, 25 September 2013

Kesalahan, Ketakwaan, dan Kemanusiaan




          Untuk kali kesekian, banyak sekali jendela yang terbuka dalam pikiran saya mengenai kata takwa dalam arti yang sebenarnya. Masih segar dalam ingatan saya mengenai: bagaimana saya dulu menganggap betapa dominannya kata takwa itu dengan ritual-ritual islami. Seolah takwa itu sebatas sembahyang dluha 8 rakaat, tahajjud 4 rakaat, berpuasa senin-kamis setiap minggu, cuek dengan urusan-urusan dunia, dan kawan-kawannya. Saya dulu menganggap takwa hanya ada dalam pesantren yang sarat akan syariat. Makna takwa tersempitkan dalam ruang pikir saya lalu. Akan tetapi, sekarang berbeda.
          Takwa mempunyai yang lebih dari majemuk. Di setiap maknanya melibatkan dimensi-dimensi yang berbeda. Dalam catatan saya kemarin, takwa melibatkan dua dimensi sekaligus secara seimbang. Adalah antara hubungan kita dengan manusia dan hubungan kita dengan Tuhan. Bukan hanya usaha pendekatan diri di waktu pra subuh saja yang perlu dilakukan, tetapi konsisten pada ucapan kita dalam penetapan janji juga 50% sebanding dengan yang pertama. Bentuk praksis takwa sangatlah luas dan mendasar.
          Di bagian ayat lainnya, saya baru tahu jika Tuhan menitik beratkan takwa pada zona horisontal, zona kemanusiaan. Dalam ayat ini (3.134) sungguh jelas bagaimana takwa diformulasikan dengan begitu simpel. Siapapun bisa menjadi takwa melalui jalur ini. Yaitu mengenai sedekah. Seorang muslim bisa jadi adalah seorang yang takwa kalau sudah bisa konsisten untuk sedekah dalam keadaan apapun, baik ketika susah maupun senang. Tidak mudah marah dan hobi memaafkan kesalahan orang lain, juga terlibat dalam ruangan ini. Dari ayat tersebut, saya berani menyimpulkan tentang pentingnya mengalah dalam berhubungan dengan manusia. Kita hidup di zona kemanusiaan bukan zona ketuhanan. Jadi saya kira poin-poin dalam ayat tersebut lebih penting dan simpel untuk dijadikan parameter seseorang disebut takwa, bukan pada betapa hitamnya dahi mereka sebab sujud-sujud yang terlalu lama.
          Secara tersirat, ayat itu melukiskan betapa perhatiannya Tuhan pada hambanya yang tidak mampu. Sedekah ada karena ada seorang yang membutuhkan. Dan lewat ayat ini Tuhan mengekspresikan bentuk intervensi-Nya pada hambanya yang tidak mampu, melalui hamba lainnya yang lebih mampu. Pun, yang membuat saya heran, ternyata bukan dalam keadaan kaya saja seseorang dianjurkan untuk sedekah. Dalam keadaan dlorro’ (susah) pun, kita dianjurkan untuk sedekah. Satu bukti betapa vitalnya berbagi dengan sesama. Dan jika saya hubungkan dengan ayat yang terpaut tentang takwa dalam surat al-Baqoroh, aplikasi ini sangat direkomendasikan untuk keluarga yang dekat. Sedekah pada keluarga yang terdekat memiliki value yang lebih.
          Dan yang membuat saya gumun adalah keterkaitannya kata salah, jelek, buruk, dan lainnya dalam takwa. Hipotesis saya selama ini menganggap takwa itu bersih dari kata-kata itu. Seorang yang dikata takwa sudahlah jauh meninggalkan sesuatu yang yang berbau khilaf seperti itu. Akan tetapi berbeda dengan ayat ke 134 surat Ali Imran. Dalam pengamatan saya, kekhilafan atau kesalahan seseorang sangat mungkin sekali menjadi bagian terpenting disebutnya yang bersangkutan sebagai seorang yang takwa. Dalam paragraf ini makna takwa sungguh relatif. Dikatakan seorang yang usai berbuat salah lalu sadar dan berkomitmen untuk tidak mengulanginya, sudah pantas disebut takwa. Dalam satu sudut.
          Melalui kacamata yang berbeda, saya memandang keluwesan Quran terhadap takwa sedikit berbeda dengan paragraf sebelum ini. Dalam lain wilayah, ketika sudah jelas terbaca bahwa perilaku negatif juga termasuk bagian dari takwa, seakan tersirat motivasi yang istimewa dari Tuhan. Adalah tentang trial and error. Bisa jadi melalui ayat ini Tuhan bilang: mencobalah selalu, salahlah, dan temukanlah. Kata yang sangat bijak. Pun itu adalah bagian dari makna takwa. Takwa itu simpel: saat yang lainnya istikomah dalam kelurusan orang lain, kita jatuh bangun mencari-cari kelurusan kita sendiri.
          Darinya, saya juga teringat kisah Lincoln. Presiden hebat AS yang hidupnya penuh dengan kata “trial and error”. Satu kalimat yang sudah paten harus ada dalam setiap kehidupan calon manusia-manusia istimewa (takwa).zev250913
         

Kamis, 19 September 2013

Ujung Akhir dari Ilmu Pengetahuan Adalah Awal dari KEYAKINAN


          Salah satu dimensi yang tidak bisa dipungkiri adalah dimensi sejarah. Sejarah tidak lagi retorika ataupun teori omong kosong, tetapi bukti nyata sebuah teori di masa lalu yang sudah menyata, sehingga disebut sebagai sejarah. Apalagi itu berbasis pada satu masterpiece yang tak diragukan  lagi kebenarannya: Al-Quran. Sudah pasti bagi golongan tertentu itu adalah satu frame nyata yang perlu untuk kaji dan ditiru. Dalam ilmu tulis-menulis, itu adalah acuan yang pas untuk dijadikan benchmarking.
          Acuan sejarah itu adalah tentang Ibrahim. Dalam pendekatan teologis, nama Ibrahim berperan urgen dalam membidani lahirnya disiplin keilmuan ini. Dalam bukunya “Pengantar Studi Tauhid”, bapak Zuhri menyebutkan ada tiga pilar berdirinya perumusan tentang teologi islam. Pertama adalah tentang sejarah perjalanan Ibrahim mencari Tuhannya. Banyak sekali Tuhan-tuhan yang dianggap Ibrahim sebagai Allah. Perenungan panjang selalu menghiasi hari-hari Ibrahim sebelum akhirnya Ibrahim menemukan siapakah Allah yang sebenarnya itu. Dia bukanlah matahari, bintang, maupun bulan. Dia adalah satu-satunya Yang Ada dan mengadakan segala sesuatu yang ada: Allah.
          Dalam sekual ini, bisa dibilang filosof muslim pertama adalah Ibrahim. Penjelasan dalam Al-Quran memang sangat singkat jika dibandingkan dengan berapa lama pencarian Ibrahim. Dan ketika semua kisah Ibrahim diejawentahkan bisa jadi melebihi kisah Socrates dan murid-muridnya. Dalam ayatnya: al-An’am 76-78, dikutip beberapa anasir yang sebelumnya Ibrahim meyakininya sebagai Tuhan, tetapi tidak. Salah satunya adalah matahari (6.77), tidak mungkin jika hipotesis Ibrahim tentang matahari sebagai Tuhan itu tanpa alasan. Ibrahim pasti telah melewati pemikiran, pencarian, perenungan, dan penelitian secara intens sebelum menentukan kalau matahari adalah Tuhan. Begitu juga dengan bintang dan bulan. Semuanya mempunyai tahapan-tahapan yang dalam dan logis.
          Dalam bukunya HAMKA: Filsafat Ketuhanan, iman dalam arti yang sebenarnya bukan hanya meyakini, menerima, dan melakukan. Akan tetapi dominan pada aksi untuk mencari tahu secara dalam. Perjalanan akal adalah harga mati dalam dimensi ini. Akal harus dijalankan hingga menemukan titik pemberhentian. Dan di titik itulah iman akan benar-benar menjadi iman. Begitu pula dengan Ibrahim, Ibrahim baru menemukan titik pemberhentian itu selepas berinteraksi langsung dengan alam lewat dimensi pikirannya.
          Titik pemberhentian di sini dimaksudkan adalah keadaan dimana akal tidak lagi bisa menjangkaunya. Mengapa ombak berguling? Karena udara. Mengapa udara bergerak? Karena hawa panas. Dari mana datangnya panas? Karena matahari. Siapa yang meletakkan panas pada matahari? Tidak ada jawaban. Kira-kira itulah core dari pembahasan ini versi HAMKA.
          Di dalam salah satu sekuel keterangannya al-Ghozali dalam Ihya’nya, beliau menggambarkan bahwa keabstrakan Allah itu disebabkan oleh ketiadaan bandingan akan-Nya. Matahari dapat dikatakan sebagai matahari yang mempunyai cahaya yang luar biasa, dikarenakan adanya malam yang gelap. Sehingga akal manusia bisa menjangkau jika ini dinamakan cahaya matahari ketika sudah datang gelap. Dan ini disebut gelap jika sudah terbit matahari. Sederhananya, tidak akan ada putih jika hitam pun tiada. Tuhan tidak mempunyai bandingan. Jadi, sejauh-jauh akal manusia meraba tetap saja tidak bisa menjangkaunya. Dan keabstrakannya itulah merupakan wujud Allah yang nyata. Bisa jadi, perjalanan akal Ibrahim tidak jauh berbeda dengan konsep al-Ghozali tersebut. Sehingga berhenti pada matahari, Ibrahim menemukan halte pemikiran: Allah.
          Kedua adalah sejarah Muhammad. Konstruksi pencarian konsep ketuhanan Muhammad berbeda dimensi dengan Ibrahim. Jika Ibrahim berorientasi dengan pikiran sebagai seorang filsuf, Muhammad dengan will (kemauan). Dalam dimensi ini Tuhan tidak lagi intervensi dengan urusan-urusan Muhammad, tetapi terlibat langsung dengannya. Sehingga upaya Muhammad tidak lagi meyakinkan hati dan pikirannya sendiri akan Adanya Yang Ada, tetapi bagaimana memasak semua itu menjadi masakan yang pas dan sesuai dengan selera umat. Dimensi ini tiga kali lebih sulit dari dimensi sebelumnya. Apalagi objek sasarannya tergolong kaum-kaum yang sulit untuk mengakui sebuah kebenaran: kaum jahiliyah. Dan konsekuensi logis dari dimensi ini adalah pengakuan dari pihak lain bahwa yang membawa konsep ini adalah seorang pahlawan dan seorang pemimpin. Muhammad adalah pemimpin terhebat sepanjang masa, Michael Hart, penulis “100 Tokoh Paling Berpengaruh dalam Sejarah”.
          Dengan demikian, keislaman seseorang tanpa adanya pencarian terlebih dahulu akan keislamannya, masih dirasa sangat kurang. Perlu adanya islamisasi sejarah seseorang menjadi muslim. Semuanya perlu untuk dipertanyakan, sampai berhenti pada sebuah pemberhentian akal. Dan kira-kira itulah alasan kenapa Teologi Islam (ketauhidan) lahir menjadi sebuah disiplin keilmuan yang penting untuk diimplementasikan. Mengutip kesimpulan al-Kindy: ujung akhir dari ilmu pengetahuan adalah permulaan dari KEYAKINAN.zev.190913



Rabu, 18 September 2013

Dari HAMKA sampai pada Ali Imran


          Sudah kesekian kalinya saya mendapat sesuatu yang benar-benar meyakikan saya: semua ini dari-Nya. Kemaren selepas saya dan teman-teman kelompok untuk materi ketauhidan diskusi, saya membawa mereka sejenak masuk dalam alam pikirku. Pikiran-pikiran nakalku sebagian aku ceritakan pada mereka. Komentar pun banyak yang datang. Dari pihak laki-laki tersirat dari wajahnya mereka mengangguk tanda sepakat dengan saya. Akan tetapi wajahnya masih kelihatan terbingungkan. Berbeda dengan pihak cowok, pihak cewek lebih mengedepankan keacuhan mereka. Mereka masih yakin seyakinm-yakinnya akan ego baiknya masing-masing.
          Adalah tentang menyegarkan sejarah keislaman kita. Mayoritas keislaman muslim Indonesia adalah turunan, kebanyakan dari mereka menganggap agama adalah sebatas keyakinan. Sehingga jika keyakinan itu disentuh sama artinya dengan tidak beragama. Anggapan yang sempit. Dalam bahasanya bapak Ulil Absor Abdalla: Islam itu bukanlah batu pahatan di abad 6 masehi, yang tidak boleh tersentuh oleh siapapun.
          Saya menyederhanakannya sebagai upaya untuk mengislamkan sejarah keislaman kita. Kita perlu tahu ada apa dibalik agama ini. Dan bukan hanya sekedar tahu, tetapi terlibat secara langsung dalam perjalanan pencarian keislaman kita.
          Dan dari bukunya bapak HAMKA, saya menemukan titik temu dialog saya dengan Dia. Seolah sebelum bapak HAMKA menuliskan bukunya tentang “Filsafat Ketuhanan”, beliau sudah tahu kalau akan ada hari ini. hari dimana ada seseorang yuang sangat mengharapkan jawaban atas yang selama ini diragukannya. Itu ada dalam bukunya beliau.
          Dengan sangat yakin beliau membedakan antara iman dengan taklid. Iman tidak cukup dengan adanya keyakinan dalam hati, tetapi harus ada perjalanan untuk melegitimasi keimanan tersebut, sehingga bertemu pada sebuah pemberhentian. Sejauh-jauh pikiran manusia berjalan pasti akan menemui titik pemberhentian. Dan itulah yang HAMKA sebut sebagai sesuatu Yang Ada. Ketika kita sudah terlibat dalam perjalanan itu,  baru kita bisa berkata: kita iman.
          Ketika iman tadi hanya berhenti dan vakum dalam hati, tiada perjalanan, tiada upaya untuk mengetahui lebih dalam, sudah pasti itu bukanlah iman, tetapi taklid. Saya masih belum iman dalam arti sebenarnya.
          Selepas sejenak belajar dari bapak HAMKA, keraguan saya semakin berkembang biak dalam benak. Ternyata ada banyak orang-orang di luar sana yang sama dengan saya.
          Namun, tidak lama paska momen itu, saya agak berfikir tentang salah satu ayat dalam surat Ali Imran ayat 78-81. Semua ayat itu paralel bak bocoran dalam soal ujian saya kali ini. Iya saya menemukan sesuatu yang menarik dari keempat ayat tersebut. Dan mungkin kalau pikiran nakal ini tidak menuntun saya, keempat ayat luar biasa itu hanyalah sebatas ayat yang mendapat pahala jika dibaca. Ini tidak demikian. Semua ajaran murni dalam agama-agama pra islam, kurang tepat jika dikata salah. Semuanya mengarah pada keesaan Tuhan. Tetapi kurang tepat juga jika sekarang semua ajaran itu dikata benar.zev.190913



Kamis, 12 September 2013

Nabi Persia: Zoroaster


         
Sejak seminggu silam saya masuk kelas, baru hari ini saya terlibat dalam sebuah diskusi yang serius. Diskusi ini membahas mengenai agama, keyakinan, surga, dan neraka. Semuanya berjalan seru, menarik, dan lancar. Jam yang seharusnya diisi materi B. Arab oleh bapak Muhdlir, full terisi dengan diskusi. Dan rasanya, hari ini saya lebih banyak dapat ilmu dari pada hari-hari sebelumnya.
          Dari panjangnya perjalanan diskusi yang dipimpin langsung oleh pak ketua kelas saya tadi, ada beberapa hal yang sangat menarik hati dan pikiran saya untuk memperdalaminya lebih jauh. Pertama, dari ungkapan Agus Setiadi tentang agama samawi. Dengan jelas dan unik dia menjelaskan kalau agama samawi itu adalah apapun agamanya yang asalnya dari langit, dalam tanda kutip berasal dari wahyu.
Sampai malam ini saya belum tahu arti sebenarnya tentang agama samawi itu sendiri. Tapi menurut saya, kalau dipukul rata agama samawi adalah yang berasal dari wahyu, berarti islam adalah agama samawi. Padahal, setahu saya islam ya islam, dan justru agama-agama yang ada sebelumnya itulah yang disebut sebagai agama samawi. Saya masih belum tahu jelasnya
          Kedua adalah tentang agama Zoroaster. Agama ini disebut juga sebagai agama samawi. Alasan Agus menyebutnya adalah adanya kitab suci dalam agama tersebut. Namanya adalah kitab suci Avesta. Pertanyaan saya, apakah semua kitab suci itu pasti berasal dari wahyu. Dalam hal ini saya juga belum bisa menemukan kejelasan. Namun, dalam bukunya Drs. Samsul Munir Amin, M.A.: Sejarah Peradaban Islam, tertulis bahwa dalam agama ini juga tercipta seorang nabi. Nabi ini tenar dengan sebutan “Nabi Persia”. Di waktu yang sama, pikiran saya heboh dengan sendirinya. Kalau agama ini dibawa oleh seorang nabi, tidak menutup kemungkinan agama ini tidaklah terlalu melenceng dengan islam.
          Dalam kacamata lain, saya teringat bukunya Bapak Dawam Rahardjo: Paradigma Al-Quran. Di dalamnya beliau mengintepretasikan ayat Quran (40.78) sebagai basis untuk menyimpulkan kalau nabi tidaklah sedikit dan sebatas di kawasan Arab dan sekitarnya, tapi bisa lebih dari itu. Di Jepang, Cina, dan bagian-bagian lainnya sangat memungkinkan adanya nabi. Dan jika seseorang berpotensi disebut sebagai nabi pasti di sana ada keagamaan, ada ajaran, dan ada suatu keyakinan. Zoroaster salah satunya. Sebatas pengetahuan saya, agama ini menyimpulkan bahwa alam ini berjalan sesuai dengan “kanun” tertentu dan dalam alam selalu ada pertentangan, ada hitam ada putih, gelap-terang, subur-tandus dan lain sebagainya. Sekilas saya membaca, ajaran seperti itu sudah lebih dari cukup jika diterapkan menjadi sebuah keyakinan dan acuan spiritual, mengetahui agama ini telah ada sekitar tahun 583 SM.
          Dalam satu nafas, saya menilai konsepsi tentang Allah belumlah ada pada saat itu. Konsep Ketuhanan manusia-manusia Zoro masih sangat terbatas. Sehingga, secara praksis mereka masih dominan pada praktek agama-agama sebelumnya yaitu menyembah api. Meski yang mereka sembah adalah api, saya kira ajaran yang terkandung dalam agama ini berbeda.
          Dan hingga akhir diskusi, saya masih belum menemukan jawaban yang sesuai dengan pikiran saya. Semuanya masih blur. Tidak ada alasan yang jelas untuk mengatakan kalau para pemeluk agama Zoroaster adalah calon penghuni neraka, begitu juga sebaliknya.
Menurut beberapa sumber, secara umum, sejarah lahirnya mu’tazilah juga mirip dengan core dalam catatan ini. Mu’tazilah ada sebagai solusi atas beberapa golongan yang ragu akan masa depan abadinya kelak: surga atau neraka.zev.110913

Sabtu, 07 September 2013

Pikiran, Keadaan, dan Kecemasan


          Sudah lama sekali saya merasakan kecemasan dengan konstruksi seperti ini. Tapi waktu yang lama itu kayaknya masih belum bisa membuat saya bisa mengungkapkan kecemasan itu dalam bentuk catatan harian. Saya masih buta akan kosakata yang pas untuk membahasakan sesuatu yang sampai saat ini masih menyerang pikiran saya.
          Dan baru semenjak saya menginjakkan kaki di UIN Yogyakarta ini, saya mulai menemui banyak sekali pencerahan redaksi untuk saya tulis. Pertama saya terinsiprasi dengan Pramodya Ananta: salah satu penulis zaman pra kemerdekaan. Dalam salah satu bukunya dia membahas tentang pergolakan dalam pikirannya. Sehingga akhirnya Pram menulis sesuatu yang hingga saat ini masih dikenang dibenak para mahasiswa-mahasiswa muda: mahasiswa itu harus adil sejak dalam pikiran. Kedua adalah dari Gie. Dari catatan harianya saya sangat tahu sekali kalau hidupnya juga tidak bisa lepas dari kegelisahan pikiran yang tak bertepi, hingga maut menjemputnya. Saya bisa mengatakan kedua manusia hebat ini adalah korban gejolak pikirannya masing-masing.
          Saya tidak tahu juga, apakah kecemasan ini paralel dengan yang mereka cemaskan atau tidak. Yang pasti baru malam ini saya berani untuk membingkainya menjadi sebuah catatan.
          Adalah dari pikiran saya tentang salah satu teman cewek saya. Saya lupa namanya siapa. Setiap kali saya masuk kelas dan terlibat di dalamnya dengan teman-teman yang lainnya, dia selalu diam. Saya bisa merasakan bagaimana sulitnya memahami pelajaran yang tidak kita sukai. Mungkin dia juga merasakan itu. Dia termenung dalam kesendirian dan kebingungannya. Saya tidak pernah melihatnya di samperin sama teman-teman sekelas. Saya mengatakan dia kayaknya mengalami masalah dalam berinteraksi.
          Saya dan dia sama-sama membayar untuk belajar dan mendapatkan kasih sayang dari dosen maupun teman-teman di kampus ini. Namun, kenapa dengan basis yang sama hasil nyatanya bisa berbeda. Saya prihatin melihatnya. Dia belum mendapat semua yang telah saya dapat di kampus ini.
          Dalam wilayah lain, saya sering merenung tentang tukang becak yang setiap pagi sampai malam menunggu di pinggir angkringan tempat saya, Nasikin, Sukran, dan Albab biasa sarapan. Beliau menunggu sesuatu yang bagi saya sangat tidak pasti: penumpang. Tukang becak itu harus menghabiskan waktu sebanyak itu setiap harinya untuk menunggu penumpang. Dan hal itu disebut sebagai pekerjaan di negeri ini.
          Di waktu yang sama, saya melihat banyak sekali mobil-mobil kelas atas, seliweran ngalor ngidul melewati tukang becak tadi. Sejenak pikir saya: apa yang membedakan mereka sehingga mereka bisa berbeda jauh. Saya ingin sekali mengetahui masing-masing kisah hidup keduanya. Apakah pola hidup mereka berbeda ataukah sama. Siapa di antara mereka yang sering meremehkan waktu. Saya tertarik untuk mengetahuinya.

          Kadang, saya terhanyut dalam kecemasan saya sendiri. Sehingga kecemesan itu membuat saya balik bertanya pada diri saya sendiri: apa usahamu untuk mengatasi kecemasan itu. Saya merasa malu, saya masih belum bisa. Saya hanya mahasiswa baru yang ingin sekali tahu tentang mereka di saat yang sama ketika dulu mereka seumuran saya. Kecemasan ini tak bertepi tapi hanya sebatas dalam pikiran.zev.070913

Selasa, 29 Januari 2013

DIBALIK AWAN DAMSIK


“Who is ur god”.“Allah”.“Who is ur god”“ALLAHU ROBBI”.“BUGG, aaaaaarghhh”, desah salah satu oposisi yang mengeram menahan sakit yang luar biasa.

Satu potret kehidupan miris bangsa timur tak lebihnya bisa di ekspresikan dengan sedikit cuplikan bahasa cerpen diatas. Namun, tak ubahnya seekor kucing yang tertindas dijalan perkotaan, bangsa kita hanya berpangku tangan memandang fakta pahit 2012 ini. “Hiii tega banget ya iran sampek seperti itunya memanjakan manusia, padahal sama-sama muslimnya, tidak berperikemanusiaan blass”, orang jakarta bilang dengan sedikit meluapkan kekecewaan pada temannya. “Ya allah ikuw uwong reg, sampek koyok ngono, ikuw masjid cah, makame nabi dzulkifli, kok isokk sampek di uyohi barang”, ungkap orang-orang jawa asli. Ya, tak lebihnya hanya itulah sumbangsih kita akan penderitaan mereka-mereka di kolong langit syiria.
Lingkup lain,  bukan hanya seperti itu versi berpangku tangan yang harus kita ritualkan. Bagi kita yang tak enggan berfikir, kejadian unik nan nyata oleh kalangan muslim timur tengah ini layak untuk kita jadikan frame untuk merenungi 66 tahun indonesia merdeka. “nduh kok bisa lo”, mungkin itu pertanyaannya. Pertama, secara mudah dan praktisnya, tragedi damsik ini merupakan sebuah penjajahan oleh bangsa sendiri dimana itu tidak terlalu jauh dengan keadaan kita silam, ketika kakek nenek kita dilanda krisis apapun dan hanya bisa menerima penderitaan yang membingkai sebuah kepedihan yang luar biasa. Pun seperti itulah yang dirasa bangsa oposisi damsik. Dari situ tak cukuplah kalau kita hanya memandang perjuangan mereka saja, cobalah kita flashback pada era pra kemerdekaan, selama 360 tahun lebih bangsa ini terjajah, sudah berapa kilogram darah martir kita yang tumbang merebut tanah air ini. Dan ketika perasaan nasionalisme itu sudah terkover dihati manusia indonesia masing-masing, penulis yakin kalau versi berpangku tangan kita untuk berbagi dengan mereka akan auto-upgrade kepada sesuatu yang lebih bisa mereka rasakan. “kejadian ini adalah gambaran indonesia 1940 silam”, simpul salah satu sejarawan bangsa.
Tidak cukup demikian, berbongkah doa pun seakan tidak mampu mengurangi sedikit penderitaan mereka. Tidak akan ada sentuhan secara langsung jika hanya doa dan doa yang kita persembahkan. Disini bukan maksud penulis memandang miring akan kehebatan sebuah doa, namun alangkah lebih baiknya jika kita turut menganalisa dan berfikir, sebenarnya apa yang mereka inginkan dari kita. Apakah hanya doa? Ataukah sumbangsih tenaga maupun harta? Tampaknya bukan, toh sesuai dengan yang pernah diwartakan mereka menikmati semua itu, mereka berjuang dan bahagia. Dalam satu kacamata mereka hanya ingin berteriak kepada dunia bahwa musuh mereka selama ini bukanlah lagi dari golongan syiah yang notabenya adalah seiman dan seislam, bukan. Tapi semua darah yang tumpah meresap disetiap bumi damsik dan hembusan nafas pejuang-pejuang muslim yang mengudara dibalik awan damsik adalah perbuatan orang-orang majusi. Yang pasti tiadalah mereka selain MAJUSI”, seperti itulah syaikh Ali As-Shobunni berkoar-koar menepis semua anggukan dunia yang usai serempak mengeberikan orang-orang syiah.
Dalam kelas lain, tregedi perang syiria ini seakan adalah bentuk nyata dari isu-isu tentang kiamat yang sempat booming penghujung tahun 2012. Dan untuk menanggapi itu penulis bisa se-iya dengan pendapat itu. Sebab kala kita lebih perinci memperhatikan kejadian di damsik, kita akan menemukan gambaran-gambaran kecil kiamat yang selama ini banyak ditulis dipelbagai buku buku bacaan. Pertanyaan seperti diawal paragraf pembuka artikel ini misalnya,  bukanlah saat Dajjal kali pertama muncul membawa racun dan madu, dengan pertanyaan seperti itu. Barang siapa tidak mengakui kalau tiada TUHAN selain dajjal akan dibunuh, dan jika sebaliknya akan mendapatkan akselerasi kemerdekaan. Pers-pers dunia pun turut megekspos tragedi ironi tersebut, seolah dengan itulah suara dajjal bisa menggaung hingga sampai pada pelosok desa Kerek Tuban, memberitahukan pada dunia kalau Allah bukanlah Tuhan. Namun, mengetahui seperti itu ternyata respon dunia malah jauh dari harapan. Dunia menganggap semua itu adalah karya tangan sesame muslim di    Timur Tengah sana, nama islam tercoreng begitu hitam meliputi awan damsik, berharap ada sesosok imam Mahdi yang bisa mengubah semua derita-derita mereka.
          Sehingga disini enyahlah, tak banyak bisa dikata. Dan mungkin air mata mereka bisa katakan lebih banyak harapan dari semua pesan yang disampaikan oleh kata. Setidaknya di Tahun 2013 ini , bukan hanya spiritual dan materi saja yang kita sumbangkan kepada mereka, namun intelejensi untuk menyikapi semua itu juga perlu, minimal sebagai stimulus untuk bisa tulus memberi simpati terhadap saudara damsik kita yang saat ini terjajah jahat. Pun perlu di ketahui bukanlah sesama muslim yang se-kitab, se-hadis yang tega membumi hanguskan jiwa dan gaung mereka selaku manusia, namun seseorang yang tak manusia itulah yang berdikari sebagai DAJJAL 2013.  Untuk kita, berfikirlah dan kita berjuang…….../ ipoenk23012013