Tampilkan postingan dengan label pemikiran-sosial. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label pemikiran-sosial. Tampilkan semua postingan

Selasa, 09 Desember 2014

Berpikir Tentang Masyarakat Komunisme Karl Marx


          Selama ini, banyak orang sering mencampuradukan antara komunis dengan atheis. Atheis adalah paham yang tidak mempercayai adanya Tuhan. Sedangkan komunis—dalam konsep Marx—merupakan salah satu tahapan masyarakat setelah sosialis. Namun, meskipun demikian, tetap saja komunis sering disamakan dengan anti Tuhan. Peristiwa berdarah dalam sejarah Rusia oleh Lenin—yang mengatasnamakan komunis—dan tragedi sadis G/30/S/PKI di Indonesia yang telah membantai banyak nyawa merupakan beberapa sebab mengapa komunis dipandang sebagai gerakan anti Tuhan. Perilaku yang sama sekali tidak mencerminkan perikemanusiaan tersebut dipahami sebagai wujud dari ketidakpercayaan mereka akan Tuhan. Sehingga gerakan yang mengatasnamakan komunis selalu dinilai sebagai paham anti Tuhan.
          Sedikit mengintip sejarah, dalam konsep Marx, komunisme dimasukkan dalam fase perkembangan masyarakat. Selain sebagai fase perkembangan masyarakat, itu juga kerap disebut sebagai sosialisme Marx. Menurut Karl Marx, sebelum masyarakat itu menjadi masyarakat yang sosialis—untuk tidak mengatakan komunis—mereka telah melewati beberapa tahapan, antara lain: Komunisme primitif, Perbudakan, Feodalisme, Kapitalisme, Sosialisme, dan Komunisme.
          Adapun untuk yang pertama, komunisme primitif, adalah fase tempat manusia belum mengenal kepemilikan pribadi. Semua barang dan harta yang ada merupakan milik bersama. Ketika seseorang menginginkan beras, dia tinggal mengambil dari tetangganya yang memiliki beras dan seandainya si tetangga menginginkan sesuatu dari seseorang tadi, maka tinggal mengambil saja darinya. Secara praktek, masyarakat fase ini menggunakan sistem barter atau transaksi tukar menukar barang dalam menjalani kehidupannya. Fase masyarakat awal ini telah benar-benar ada di masa lalu ketika kepemilikan pribadi belum dikenal. Oleh karenanya, fase ini disebut sebagai komunisme primitif.
          Selanjutnya, di fase kedua masyarakat sudah mengenal kepemilikan pribadi. Atau dengan ucapan lain, mereka sudah merasakan nikmatnya memiliki sesuatu. Di fase ini sudah muncul istilah budak sehingga sebagai konsekuensinya pasti ada pemilik budak. Dan oleh sebab itu, fase ini disebut sebagai fase perbudakan, fase tempat masyarakat sudah merasakan nikmatnya memiliki suatu barang, budak.
          Ketiga, dari kesadaran kepemilikan yang telah ada sebelumnya, hal itu memicu lahirnya stratafikasi dalam masyarakat. Di fase ini sudah muncul katagori-katagori seperti priyayi, abangan, dan sebagainya. Disusul pula dengan semakin banyaknya kerajaan dan dinasti yang begitu mendominasi masyarakat. Seakan merekalah satu-satunya yang berhak mengatur masyarakat yang berada di bawahnya. Mereka menggunakan kewenangan yang dibuat-buat sendiri secara sewena-wena dan banyak merugikan masyarakat. Pada akhirnya, fase ini dibuang dan begitu dibenci masyarakat—karena dominasinya yang mencengkeram—hingga melahikan fase berikutnya. Fase ketiga ini disebut sebagai fase  feodalisme.
          Keempat, fase kapitalis. Adalah fase tempat sebagian kecil dari masyarakat memonopoli hak milik. Suatu barang yang sebenarnya adalah milik bersama, diambil alih menjadi miliknya karena hanya dialah yang memiliki peralatan untuk mengolah dan memproduksi barang tadi. Di fase ini, masyarakat tidak memiliki daya untuk menolak, mereka tidak memiliki alat produksi. Masalah pegunungan kapur misalnya, sebenarnya pegunungan kapur beserta kandungan air dan keindahannya adalah milik bersama, namun karena ada segelentir orang yang memiliki peralatan untuk mengolahnya menjadi semen, sedangkan masyarakat lainnya tidak memiliki, maka seakan pegunungan kapur tadi hanyalah milik segelintir orang tadi. Selanjutnya, di atas pegunungan kapur tadi dibangun pabrik semen yang besar dan megah. Masyarakat berbondong-bondong mengirimkan lamaran ke pabrik tersebut dan menjadi karyawan atau bahkan pekerja kontrak kasaran. Mereka menjadi karyawan bukan pemilik. Pegunungan kapur yang sebelumnya tadi adalah milik semua masyarakat—disebabkan adanya praktek kapitalisme—sekarang menjadi milik segelintir orang saja, masyarakat hanya menjadi karyawan, karyawan di tanah sendiri.
          Kelima, adalah fase tempat masyarakat hidup bersama. Mereka hidup bersama dibawah aturan-aturan pemerintahan yang dipandang bisa membantu mereka untuk hidup gotong royong. Mereka mulai sadar pentingnya kebersamaan dan menentang kapitalis. Akan tetapi, itu tidak sesuai dengan apa yang diharapkan. Meski sudah ada peraturan pemerintah, tetap saja praktek kapitalisme berkembang bahkan itu dibawah perlindungan pemerintahan yang terselebung. Wewenang pemerintahan banyak digunakan sewena-wena untuk membodohi masyarakat. Di fase ini marak hegemoni yang membius masyarakat pada umumnya, termasuk hegemoni agama. Sehingga, bagi Marx meski sudah mencapai fase masyarakat sosialis tempat masyarakat memiliki suara untuk turut mengtur negara, tetap saja ini belum cukup. Marx menginginkan fase masyarakat yang lebih dari ini, walapapun harus kembali pada fase primitif.
          Dan akhirnya, muncul di benak Marx fase komunisme, fase keenam. Melalui konsep ini, Marx menginginkan masyarakat kembali pada fase komunisme primitif. Sebab hanya dengan fase tanpa kepemilikan, manusia bisa hidup damai, bersama-sama, tanpa rebutan, tanpa dominasi, tanpa melukai, dan sebagainya. Saat petani membutuhkan semen untuk membangun rumah, dia hanya butuh mengambil dari pemiliki semen dan saat pemilik semen lapar, dia tinggal mengambil beras di petani. Begitulah, masyarakat kembali hidup tanpa kenal kepemilikan. Namun, konsep terakhir Marx ini adalah konsep dunia utopis. Hal semacam itu tidak bisa terjadi dan tidak mungkin terjadi. Itu hanyalah mimpi Marx yang telah terbius dengan agama ciptaannya sendiri.  Kalaupun itu terjadi, sepertinya masyarakat tidak lagi membutuhkan surga. Dunia utopis itulah komunisme.  
       Itulah sedikit penjelasan tentang komunisme yang digagas Karl Marx. Dan sepertinya hal itu jauh berbeda dengan pemahaman atheisme. Apalagi pemahaman yang menyamakan keduanya. Komunisme hanyalah konsep dunia utopisnya Karl Mark.poenk091214

Rabu, 12 Februari 2014

Muhammad: frame Ideal Muslim


Sekitar dua minggu silam, saya terjebak di tengah-tengah hujan bersama salah satu rekan saya ketika sedang asyik menikmati hidangan di salah satu warung pinggir jalan dekat pesantren rekan saya tadi. Di waktu yang sama tubuh saya serasa sangat kedinginan dan berat sekali untuk digunakan berjalan. Dan dalam keadaan yang seperti itu ada sesuatu yang seakan memaksa saya untuk mencari-cari: siapakah yang harus disalahkan dalam hal ini. Saya merasa sangat mengeluh dan tidak bersyukur ketika itu.
Akan tetapi, tidak lama setelah itu, tiba-tiba bayangan tentang Muhammad SAW memenuhi pikiran. Saya teringat bagaimana dulu beliau pernah dilempar kotoran, dicaci, diludah, sampai dilempar batu hingga berdarah. Namun, tidak ada respon sedikitpun yang menunjukkan betapa mengeluhnya Muhammad akan semua itu. Selain itu, saya juga teringat ketika Muhammad menggigil dingin dan ketakutan paska kali pertama bertemu dengan Jibril yang kemudian dihibur oleh Khadijah.
Dan mengenai contoh yang kedua—disaat nabi dihibur oleh Khadijah—ada beberapa kesimpulan yang muncul dalam benak saya. Adalah tentang sebuah bantuan. Dalam arti, kalau memang seseorang mau bersabar, menerima, dan tabah menjalani apapun yang membuat dia lemah dan tak berdaya pasti ada sesuatu yang sudah disiapkan atau sedang disiapkan untuknya agar menghibur dan menenangkannya. Salah satu contoh konkritnya adalah tentang Khadijah tadi. Keluar dari pembahasan kalau nabi sebagai seorang Rosul, Khadijah dipinang Muhammad ketika Muhammad masih berumur muda dan pastinya di umur itu Muhammad belumlah mendapat petunjuk secara langsung dari Allah atau wahyu. Jika hal itu sejenak direnungkan, Muhammad menikahi Khadijah tidak ada intervensi dari Allah: semua murni dari hatinya. Selanjutnya, meski Khadijah adalah pilihan Muhammad sendiri ternyata Khadijah mampu untuk menjadi penerang keresahan hati Muhammad dalam banyak persoalan. Jadi, itu bisa disimpulkan bahwa siapa saja akan dibantu dan ditenangkan dalam setiap keresahannya—baik itu secara langsung ataupun melalui seseorang yang telah terpilih untuknya—kala dia mau tabah dan bersabar. Dan itu tidak hanya untuk nabi dan rosul.zev120214 


Selasa, 31 Desember 2013

Natural Itu Tidak Baik (As The Suitable Response to The Pragmatisme)

Semalaman kemarin, saya dipertemukan dengan seorang cowok berpenampilan necis dan sangat tidak kelihatan betapa cakap cowok tersebut. Iya, dia adalah salah satu senior di KPMRT, namanya pak Zubair. Saya bertemu dengannya ketika diajak ngobrol-ngobrol oleh pak David dan pak Ihsan di Red kafe, daerah Tuban, Jawa Timur. Dan sepertinya tanpa banyak saya sadari, ada banyak hal yang bisa saya pelajari dari C.O. Indosat cabang daerah Tuban ini.
Dari semua hal yang menurut saya luar biasa itu, ada beberapa yang sampai saat ini membuat otak saya selalu berfikir akan itu. Adalah tentang bagaimana kita memandang arti kata natural. Kali pertama hal itu dikatakan olehnya apapun yang natural itu tidak baik. Meskipun hal itu memang terkesan jujur dan apa adanya, tetapi sulit dirasa jika hanya dengan natural, seseorang bisa melesat dan berproses di tengah-tengah persaingan dunia yang semakin berwajah majemuk ini. Jadi, untuk bisa menjadi seseorang yang maju dalam hal gerak, respon, dan pikiran tidak cukup hanya dengan modal apa adanya. Dalam arti, semua itu harus membutuhkan strategi. Dan di titik inilah natural menjadi bencana besar karena strategi yang paling baik adalah strategi yang ada maunya atau tidak natural dan apa adanya. Bisa juga, hal itu disebut sebagai manifestasi dari pragmatisme masyarakat dewasa ini.
Lebih dalam lagi, berbincang tentang pragmatis—karena pola pikir masyarakat kebanyakan dewasa ini adalah pragmatis—apapun yang sedang dan akan mereka lakukan pasti mempunyai tujuan tempat mereka bisa memperoleh keuntungan tersendiri. Mudahnya, seseorang tidak akan melakukan sesuatu jika dia tidak bisa memperoleh keuntungan apapun dari hal tersebut. Selanjutnya, ketika hal itu dihubungkan dengan natural, hasilnya sudah jelas: tidak sinkron. Natural menuntut seseorang untuk apa adanya, tanpa ada maunya, dan pasrah, sedangkan pragmatisme menuntut seseorang untuk meraih sesuatu dan ada maunya. Sehingga, bagaimanapun juga—jika dilihat dari konteks masa kini—seseorang akan menjadi sangat bodoh ketika dia masih berbuat natural. Natural itu tidak baik.
Seperti halnya itu, jika kita amati secara luas, sesungguhnya manusia sejak dulu sudah diajari untuk tidak natural. Adalah tentang alasan mengapa manusia sampai saat ini masih mengenakan pakaian. Iya, jawabannya sudahlah jelas: itulah salah satu bahwa manusia tidak bisa hidup natural. Darinya, bisa dibayangkan: bagaimana jadinya jika semua manusia itu natural dan tidak mengenakan pakaiannya, pasti semua itu akan terlihat sangat saru, bahkan hal itu sulit untuk disebut sebagai human being. Selain itu, dampak lain yang terasa dengan hadirnya naturalisasi adalah kerancauan dalam memahami keindahan. Hal itu bisa dilihat dari contoh sebelumnya tadi: apakah manusia akan kelihatan indah jika tidak mengenakan sehelai kain pun? Kemudian, apakah mobil avanza akan terlihat sama ketika sudah dimodif dengan ban sport, racing necis, dan sebagainya? Seorang yang jiwanya masih indah, pasti akan menjawab tidak. Jadi, dengan menjadi tidak natural—dalam lebih banyak hal—pasti berdampak kepada sesuatu yang lebih baik.

Di sisi lain, di dalam Islam, sering sekali saya mendengar tentang anjuran untuk tidak mencukur jenggot, menyemir rambut dengan semir hitam, dan sebagainya karena sebuah alasan yang cukup klasik: pencitraan Islam. Jika itu dilihat dengan seksama, ada garis linier antara hal itu dengan perihal di paragraf-paragraf sebelumnya. Adalah tentang naturalisasi. Seandainya waktu itu Rasul apa adanya, pasti Rasul tidak mengucapkan beberapa patah kata tersebut dan tidak berharap Islam harus berbeda dengan Nasrani. Akan tetapi, kenyataannya, ucapan Rasul itu sampai sekarang terbingkai dalam hadist sohih menurut Imam Bukhori. Dengan demikian, hal itu bisa disimpulkan: sejak dulu pun untuk mencapai sebuah tujuan yang baik, bukan berarti tidak natural adalah sesuatu yang tidak baik dan sangat mungkin justru dengan natural itulah semuanya akan menjadi tidak baik. Natural itu gelap. Zev311213

Minggu, 22 Desember 2013

Hari Jumat, Hujan, Masjid, dan Kampus


            Hari ini Jumat, pukul dua belas lebih sedikit, namun di waktu yang sangat mepet untuk hanya sekedar berangkat ke masjid saja itu, banyak mahasiswa masih terlihat santai sekali di kantin. Dan beruntungnya saya terlibat di dalamnya bersama Aqil dan Mukthi. Di waktu yang sama, hal itu membuat saya sejenak berfikiri hebat. Pertama: apakah bakso yang barusan saya pesan di waktu itu adalah bakso yang halal secara eksternal mengetahui saya membelinya tepat di saat orang-orang sedang asyik mendengarkan khutbah? Entahlah. Kedua: apakah memang benar, jika saya harus resah dengan keputusan untuk tidak mengikuti sholat jumat? Entahlah.
            Selepas dua puluh empat jam, untuk persoalan yang kedua, seolah saya kembali berdialog dengan-Nya. Iya, hal itu adalah satu lagi pencerahan dari Bapak Muhdlir: salah satu hadist yang menjelaskan mengenai redaksi adzan ketika sedang hujan yang sangat berbeda dan tidak pernah terdengar sebelumnya. Adalah redaksi kalimat: sollu fi buyutikum, sholatlah di rumah kalian masing-masing. Tanpa dijelaskan pun, itu sudah jelas bahwa dalam keadaan tertentu, sholat di rumah lebih dianjurkan daripada harus berjalan menerobos hujan untuk pergi ke masjid. Sehingga jika hadist itu dihubungkan dengan keresahan saya dua empat jam sebelumnya, maka keduanya bertemu: tidak ada alasan untuk resah. Hujan adalah berkah dan anugerah.
Masih berkenaan dengan itu, dari hadist tersebut tersirat bahwa memang muadzin ketika itu disuruh Rasul untuk menggantikan redaksi adzan yang mulanya hayya ala as-sholah menjadi sollu fi buyutikum. Darinya muncul satu kemungkinan terbesar: Islam tidak ingin merepotkan umatnya. Karena ketika perihal itu tidak disampaikan nabi, maka bagaimanapun juga orang-orang islam akan tetap menerobos hujan dan berangkat ke masjid untuk berjamaah. Akan tetapi jika itu diamati lebih dalam, seseorang akan cenderung lebih nyaman berada di rumah untuk sholat daripada berangkat ke masjid karena basah, hujan, dan dingin pastinya. Dan di titik inilah tujuan penggantian redaksi adzan itu muncul: untuk membuat nyaman umatnya. Akan tetapi, tidak diketahui juga, hal itu akan begitu kontroversial jika diterapkan hari ini, entahlah.
Kemudian, mengenai perihal pertama—akad jual beli di siang jumat yang hujan—dengan memahami konteks adanya larangan itu, boleh jadi, larangan itu akan gugur seiring dengan adanya dispensasi untuk tidak sholat jumat. Tujuan adanya larangan itu adalah supaya antara penjual dan pembeli bergegas sholat jumat dan meninggalkan dunianya terlebih dahulu, sehingga jika sholat jumat—yang notabenya adalah sebagai alasan utama dianjurkannya mereka bergegas—itu sudah bisa digantikan dengan sholat dhuhur di rumah masing-masing, maka otomatis tujuan dari adanya larangan itu sudah gugur. Dengan demikian, tidak ada alasan lagi untuk melarang hal itu dijalankan. Akan tetapi, entahlah. Zev221213


Rabu, 27 November 2013

Tujuh Keajaiban Rezeki, Katanya


Di tengah-tengah kejengahan saya kemarin, saya dipertemukan dengan Ippo Santoso. Iya, satu nama yang sangat tidak asing dalam benak saya. Dia adalah penulis buku—Sepiring Inspirasi dari Langit—yang bisa dikata begitu bermanfaat bagi pola pikir saya dulu. Akan tetapi, di sini, saya menemukan sesuatu yang berbeda. Lebih tepatnya, hal itu berbeda dengan spekulasi tentang dia sebelumnya. Apa yang dia sampaikan dalam video seminarnya membuat saya perlu untuk mengaji ulang tentang penilaian saya terhadap bukunya selama ini.
Adalah tentang kesimpulan singkat Ippo dalam tengah-tengah seminarnya. Itu dikatakan bahwa jika seseorang  ingin kaya secara ekstrim, maka yang bersangkutan juga harus berani untuk bersedekah secara ekstrim. Secara tersirat, hal tersebut sangatlah mendewakan materi. Dalam satu wilayah, saya sepakat dengan semua prolog yang disampaikannya. Prolog-prolognya begitu mengalir, provokatif, motivatif, dan inspiratif, namun boleh jadi, Ippo lupa kalau tidak seharusnya yang menjadi tujuan utamanya adalah materi.
Masih dalam ruangan ini, dikatakan juga olehnya: tanpa adanya materi, kita tidak akan bisa total membantu kemajuan umat muslim dunia. Karena yang dunia rindukan sekarang bukanlah semakin meningkatnya jumlah jamaah haji dan semakin meningkatnya jumlah muslim yang bisa sekolah secara mandiri, tidak. Akan tetapi, sesuatu yang dirindukan itu adalah tokoh-tokoh yang bisa menghajikan dan bisa menyekolahkan orang lain. Iya, dalam hal itu, saya seiya-sekata dengan Ippo Santoso.
Namun, alangkah lebih baiknya jika sesuatu yang diprioritaskan itu bukanlah harta atau kekayaan. Menurut saya, dalam hal ini—sedekah—sesuatu yang sebenarnya perlu kita utamakan di dalamnya adalah hasrat untuk berterimakasih. Jadi, kita melakukan hal tersebut bukan semata-mata karena ingin imbalan, tetapi hanya ingin mengekspresikan serta membuktikan kalau kita benar-benar berterimakasih atas semua nikmat yang pastinya semua orang memilikinya. Dan saya kira, keadaan ini lebih bisa mengangkat derajat kita dari sekadar hasrat untuk meraup untung yang sebanyak-banyaknya karena tidak semua orang bisa melakukannya.

Seperti halnya sholat Dhuha. Menurut saya, sholat dhuha itu ada bukan sebagai wahana spiritual untuk melancarkan rezeki seseorang. Namun, itu ada supaya  kita senang untuk berterimaksih atas semua yang sudah kita miliki. Meskipun hasrat untuk kaya itu tidak dilarang, meskipun Tuhan itu juga kaya, dan meskipun kaya itu juga penting, tetapi saya rasa yang lebih penting itu adalah bagaiman caranya agar kita tidak terlihat begitu materialistis dihadapan-Nya. Manusia saja sangat enggan untuk mendekat dengan seorang yang materialistis apalagi Tuhan. Toh walapun kita tidak menggebu meminta kaya dengan sedekah, Tuhan pasti akan membalasnya juga. Zev271113

Selasa, 26 November 2013

Pembacaan Kembali UU Pelarangan Duduk Ngangkang Di Aceh Dengan Pendekatan Ushul Fiqih


             Dari berbagai kajian, baik menurut latar belakang adat-istiadat ataupun hukum ketatanegaraan, respon mengenai pelarangan UU ini hampir semuanya satu suara, yaitu mengecam. Beberapa darinya adalah tokoh-tokoh pemuka agama Indonesia: Din Syamsudin, Ketua Umum Muhammadiyah dan K.H. Amidhan, Ketua MUI saat ini.[1] Mengenai hal ini, mereka mengatakan bahwa hal ini tidaklah berdasarkan kepada agama, tetapi lebih bersifat adat-istiadat. Dengan demikian, menurut versi tokoh sekaliber mereka, isu yang mengatakan bahwa salah satu alasan digalakkan UU ini adalah berbasis pada Syariat Islam—karena antara adat aceh dan Syariat islam adalah sama—[2]itu kuranglah tepat. Dan yang tepat, itu disebut sebagai Syariat Aceh atau Islam Aceh bukan Islam secara umum.
Selanjutnya, jika dikaji menggunakan kacamata berdimensi lain—Ushul Fiqih—maka kesimpulan yang bisa diambil pun tidak berbeda jauh: sama-sama tidak setuju dengan penerapan UU tersebut. Selayang pikir saja, menurut sumber hukum dalam Islam—Qur’an, hadits, hasil qiyas, dan hasil ijma’—itu tidak bisa ditemukan secara jelas kalau duduk ngangkang itu benar-benar dilarang. Justru, jika hal tersebut dikaji dengan pendekatan ini, maka hasilnya malah sebaliknya: duduk ngangkang dianjurkan ketika memang dengan itu pengendara sepeda motor lebih bisa nyaman dan aman. Dengan demikian, baik itu dikaji secara tekstualis, analogis ataupun maslahah, hasilnya akan tetap sama: UU ini perlu dihapus.
1.      1. Pendekatan Tekstual.
Dalam konteks ini, sumber yang dapat diambil adalah ayat al-Qur’an yang menjelaskan kalau Islam itu rahmatan lil alamin (21:107). Di dalamnya tersirat bahwa Islam itu fleksibel dan dalam hal tertentu dia lebih mengedepankan kemaslahatan. Ayat ini hadir di dalam surat al-Anbiya’ tempat beberapa cerita tentang penentangan kaum-kaum para nabi sebelum Islam terhadap para nabinya tertulis. Dan hal itu memicu terteranya ayat-ayat himbauan dan peringatan tentang perilaku mereka. Salah satu darinya adalah ayat yang menjelaskan tentang kepastian terjadinya hari kiamat (21:104). Selain itu, secara implisit, beberapa ayat sebelumnya juga menggambarkan bagaimana sebuah agama itu harus dipandang secara fungsional. Dan itu tergambar dengan adanya dua penekanan dalam beragama, yaitu interaksi yang baik dan monoteisme.
Di titik inilah, salah satu alasan mengapa ayat yang diambil adalah ayat mengenai rahmat bagi seluruh manusia. Jika hal itu dipahami lebih dalam, maka kata rahmatan lil alamin itu sangat terkait dengan sebuah hubungan, baik itu hubungan sesama manusia, alam, dan budaya-budaya yang ada di dalamnya. Dengan demikian, karena alasan pertama dihadirkannya UU di atas adalah penegakan Syariat Islam—yang juga selaku adat setempat yang sarat akan sebuah hubungan—maka tidaklah salah jika peristiwa ini dihubungkan dengan ayat tersebut.
Kemudian, berbicara mengenai hukum, tanpa banyak kata pun, hal itu bisa disimpulkan bahwa larangan hukum duduk ngangkang ini tidak sesuai dengan ayat terkait. Karena—dari berbagai kajian yang ada—penerapan UU ini tidak mengundang manfaat sama sekali dan bahkan malah mengundang mala. Dan hal itu sangat kontras dengan pemahaman rahmatan lil alamin tempat keamanan dan kenyamanan lebih dikedepankan. Sehingga dari sudut pandang ini, hasilnya masih sama: UU ini harus dihilangkan.
Masih berkenaan dengan itu, berangkat dari hadits, kesimpulan tentang itu masih satu warna. Adalah tentang hadits yang diriwayatkan oleh Al-Daraquthni (III/470, no. 4461):

عَنْ أَبِـيْ سَعِيْدٍ سَعْدِ بْنِ مَالِكِ بْنِ سِنَانٍ الْـخُدْرِيِّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّـى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : لَا ضَرَرَ وَلَا ضِرَارَ
Dari hadist yang juga dikeluarkan oleh Imam Malik dalam al-Muwaththa'nya (II/571, no. 31), dari susunan kebahasaannya saja, itu bisa dipahami: Islam itu tidak menginginkan adanya suatu bahaya dan sesuatu yang membahayakan orang lain. Bahkan dalam riwayatnya Al-Baihaqi (VI/69) hal itu sangat dilarang.[3]
Berhubungan dengan itu, menurut berbagai kajian yang sudah ada sejak awal 2013 silam, UU di atas menuai banyak kecaman, baik dari masyarakat dunia dan bahkan dari masyarakat Aceh dan sekitarnya.[4] Hal tersebut sudah menjadi bukti konkrit kalau UU ini tidak mempunyai banyak manfaat sebagaimana UU lainnya. Meski itu ada, tetapi jika dibandingkan dengan banyaknya resiko yang akan terjadi, maka hasilnya tetaplah sama: masih membahayakan orang lain.
Contoh konkritnya: ketika ibu-ibu pergi berbelanja ke pasar dengan menggunakan sepeda motor. Pemandangan yang pasti terjadi selepas ibu-ibu berbelanja adalah kerumitan mereka membawa pulang barang-barang belanjaannya jika mereka tidak duduk ngangkang dan itu juga sangat rawan kecelakaan karena tidak adanya balance antara kiri dan kanan. Selain itu, ketika ada satu keluarga yang sekedar ingin mengajak anak mereka menikmati pemandangan kota, pasti mereka juga akan bingung menaruh anaknya jika sang ibu tidak boleh duduk ngangkang. Dari dua contoh kecil tersebut, itu bisa mewakili bahwa UU ini dapat membahayakan siapa saja dan tidak sesuai dengan apa yang tertulis dari hadits di atas. Sehingga melalui sumber hukum kedua ini pula, UU larangan duduk ngangkang masih harus dihapus.
2.    2.   Pendekatan Analogis
Sebenarnya, melalui pendekatan inipun hasilnya tidaklah berbeda. UU tersebut masih tidak mencerminkan sebuah kebijaksanaan, baik dalam kebangsaan dan keagamaan. Akan tetapi, hal ini lebih dominan kepada komparasi antara manfaat dan mala yang terkandung dalam UU ini. Minimal, diakui atau tidak, UU ini pasti memiliki nilai putih tertentu. Dan disebabkan oleh itu, agar hukum dari keduanya jelas: mana yang harus dikedepankan, maka ada beberapa kaidah yang digunakan dalam hal ini.
Pertama, وَيَتَحَمَّلُ الضَّرَرُ الْخَاصُ لِدَفْعِ ضَرَرٍ عَامٍ: Membiarkan kemadharatan yang sifatnya khusus untuk menghilangkan kemudharatan yang sifatnya umum.[5] Dari sini, terpikir bahwa terjaganya keselamatan, kenyamanan, dan keamanan masyarakat dalam berkendara—sebagai mala yang umum—itu harus lebih didahulukan daripada terjaganya kesopanan perempuan sebagai mala yang khusus toh idealitas kesopanan itu juga masih abstrak. Dan menurut beberapa pendapat hal ini disejajarkan dengan keharusan seseorang yang menimbun barang dagangnya untuk menjualnya sesuai harga pasar demi para pembeli yang bersifat lebih umum.
Kedua, الضَّرَرُ لَا يُزَالُ بِمِثْلِهِ: Kemadharatan tidak dihilangkan dengan kemudharatan yang sebanding.[6] Selayang pandang, ketika itu akan dihilangkan dengan hal sebanding saja tidak bisa apalagi jika dihilangkan dengan hal yang melebihinya, pasti tidak mungkin. Seperti halnya dengan usaha Pemerintah Aceh yang ingin menghilangkan kebiasaan-kebiasaan tidak senonoh—yang mereka pandang sebagai mala—tersebut dengan UU pelarangan yang sarat akan bahaya-bahaya yang lebih dari hanya sekedar ketidaksopanan seorang wanita dalam berkendara.
Pada akhirnya, semua itu bisa dikata bahwa melalui pendekatan yang banyak mempertimbangkan adanya ketidaknyamanan masyarakat ini, UU mengenai larangan duduk ngangkang lebih banyak mengandung mala dari pada manfaatnya. Selain itu juga, jika itu dilihat dari keadaan politik Aceh saat itu, sangat mungkin sekali, pembuatan UU ini tidak bisa lepas dari kepentingan-kepentingan lainnya yang berbeda dengan tujuan inti yang diungkapkan di awal, Syariat Islam.[7]



[1] Sebuah artikel  tanpa penulis, “Perda Yang Menindas Perempuan” dalam Analisa Media, Januari 2013.
[2] Dazni Yuzar, “Implementasi Syariat Islam” dalam Modus Aceh, edisi 7—13 Januari 2013, hlm. 4.
[3] Redaksi matannya مَنْ ضَارَّ ضَرَّهُ اللهُ وَمَنْ شَاقَّ شَقَّ اللهُ عَلَيْه
[4] Warsidi, Adi, “Larangan Duduk Mengangkang = Taliban Pakistan?” dalam http://www.tempo.co, diakses tanggal 27 Nopember 2013.
[5] Yazid bin Abdul Qadir Jawas, “Tidak Boleh Membahayakan Orang Lain” dalam http://almanhaj.or.id, diakses tanggal 27 Nopember 2013.
[6] Ibid.
[7] Aziz Anwar Fachrudin, “Kritikan Larangan Ngangkang” dalam http://azisaf.wordpress.com,diakses tanggal 27 Nopember 2013.

Kamis, 21 November 2013

Apa itu Nabi, Apa itu Rasul, dan Kapan itu Hadist


Selama ini, jauh dari kesadaran, saya memandang adanya suatu kerancauan dalam pemahaman beberapa istilah yang sangat familiar di kalangan orang-orang beragama. Adalah tentang Nabi dan Rasul. Sejauh ini, kedua istilah tersebut—banyak dipahami—memiliki perbedaan yang sangat mendasar, yaitu tentang diwajibkannya menyampaikan dan sebaliknya. Jika Nabi, maka tidak ada kewajiban apapun untuk menyampaikan wahyu yang didapat. Sedangkan Rasul: memiliki kewajiban untuk menyampaikan wahyu kepada kaumnya. Keduanya berbeda dalam hal yang sangat fundamental, dilarang tidaknya sebuah dakwah.
Saya teringat salah satu ayat dalam Quran (2:61) yang menceritakan bagaimana teganya kaum Israel membunuh nabi-nabinya sendiri. Darinya, bukan mengenai kejamnya kaum Israel yang akan ditekankan dalam paragraf ini, tetapi tentang alasan mengapa nabi-nabi ketika itu banyak dibantai oleh kaumnya sendiri. Jika direnungkan lebih dalam, hal itu tidak akan terjadi ketika para nabi hanya diam dan tidak menyampaikan wahyunya seperti pengertian di awal tadi. Akan tetapi karena mereka menyampaikan wahyu dan mendakwahkannya kepada kaum Israel, maka terjadilah pembunuhan itu. Dan boleh jadi, hal itu disebabkan adanya ketidakcocokan pemikiran antara nabi-nabi dan kaum Israel atau ketidaksukaan kaum Israel terhadap cara menyampaikan wahyu itu.
Pada akhirnya, dari kenyataan di atas, pengertian mengenai nabi dan rasul yang selama ini banyak dipahami, kuranglah tepat. Karena ternyata nabi pun juga menyampaikan apa yang dia peroleh dari Tuhannya—wahyu—sehingga mereka terbunuh dengan jumlah yang tidak sedikit. Dengan demikian antara nabi dan rasul adalah dua istilah yang sama-sama mempunyai kewajiban untuk menyampaikan wahyu dan berdakwah tentang monoteisme kepada kaumnya.
Namun, dari pengertian yang baru tersebut bukan berarti keduanya tidak mempunyai perbedaan. Keduanya memiliki itu, yaitu mengenai sesuatu yang disampaikannya. Jika Rasul, maka sesuatu yang disampaikan adalah ajaran yang baru dan yang berbeda dengan ajaran rasul sebelumnya. Dengan demikian, ketika disebut rasul itu berjumlah ratusan ribu, maka ajaran-ajaran Tuhan juga berjumlah sedemikian banyaknya. Ajaran monoteisme lebih berjumlah ratusan ribu.
Kemudian nabi, sesuatu yang disampaikan nabi bukanlah ajaran baru seperti halnya rasul, tetapi ajaran yang sebelumnya pernah disampaikan oleh rasul yang hidup sebelumnya. Mudahnya, itu bisa dipahami bahwa nabi hanyalah sebagai penerus bukan penggagas. Dan di sinilah titik perbedaan keduanya itu tertambat. Rasul yang bertugas sebagai penggagas dan penyampai berbeda dengan nabi yang hanya bertugas sebagai penerus sekaligus penyampai untuk kali keduanya.
Masih terkait dengan itu adalah tentang hadist. Beberapa pertanyaan muncul dari semua pendapat di atas: sejak kapan apapun tentang Muhammad—perkataan, perilaku, dan ketetapan—itu disebut sebagai hadist dan sunnah? Apakah ketika berumur 40 tahun? Atukah ketika masih 25 Tahun? Kemudian, kapan juga Muhammad berperan sebagai nabi dan meneruskan dakwah rasul sebelumnya? Dan apakah peran Muhammad sebagai nabi dan rasul itu dimulai bersamaan? Jawabannya pasti sangat majemuk. Entahlah.
Namun, dari semua tanda tanya itu, ada beberapa kesimpulan baru yang saya dapat. Pertama, hal itu membuktikan bahwa Islam sangatlah luar biasa karena Islam bisa merubah kebudayaan yang buta moral hanya dalam waktu 22 tahun: islam baru ada paska diturunkannya wahyu di umur Muhammad yang ke—40. Kedua, itu membuktikan bahwa di antara Muhammad menjadi rasul dan manusia biasa, lebih lama Muhammad menjadi manusia biasa. Selama 40 Tahun lamanya, Muhammad harus bersabar dengan ketidaktahunnya tentang apapun dan hanya dengan akhlak yang luar biasa hebatnya Muhammad bisa menjalani semua itu dengan istimewa. Sehingga, darinya juga bisa tersimpulkan bahwa keputusan Muhammad untuk hanya menikahi Khodijah adalah murni dari hatinya. Dan itu berbeda dengan keputusan Muhammad untuk poligami—paska 40 tahun—yang sudah terkontaminasi dengan wahyu. Hadist terkover setelah Muhammad berumur 40 tahun.zev201113


Senin, 11 November 2013

Pesantren, Terbelakang atau Terdepan



5 jam perjalanan yang melelahkan dari stasiun Lempuyangan Jogjakarta hingga stasiun Gubeng Surabaya seakan tidak bisa memupuskan rasa bahagia saya bertemu dengan teman-teman saya di pondok Mambaus Sholihin. Saya merasa begitu berharga di mata mereka. Sofyan, teman yang sudah lama menemani saya ketika di pesantren, memanggil semua teman yang available untuk sejenak melihat bagaimana saya saat ini. Saya juga dipaksa dengan hormat untuk mengisi sesuatu di kelas lama saya, TH Inkafa. Keadaan yang sangat tidak sesuai dengan janji saya silam saat dengan dera saya berhadapan dengan kebijakan-kebijakan pesantren yang saya tidak tahu apakah itu terbelakang atau terdepan.
Dan di waktu yang sama, saya terjebak razia alat-alat elektronik yang digalakkan dari pihak eksternal kampus. Potret yang bagi mereka sangat cerah itu kembali membuat saya memutar pola pikir saya 4 bulan silam. Di tengah-tengah kebahagiaan saya bisa melepas rindu dengan nama-nama yang sampai sekarang saya kagumi, razia oleh pihak pesantren itu menghentikannya dengan alasan yang bagi mereka adalah sebuah keharusan. Dengan berpesantren saya harus mengorbankan kebahagiaan saya berkumpul, berbaur, dan berpositif dengan teman-teman lama saya. Sehingga di akhir momen ketika saya harus meninggalkan kelas secara tiba-tiba, terbesit dalam benak saya: apakah dengan menjadi santri saya harus mengorbankan semua yang bisa membahagiakan. Entahlah.
Dari, kejadian itu, saya kembali berpikir tentang pesantren ini. Pesantren yang diidamkan menurut beberapa peneliti mancanegara yang tertulis jelas dalam bukunya Kuntowijoyo, Paradigma Islam, dan menurut Bapak Marzuki salah satu tokoh penting pergerakan kaum pesantren di Jogjakarta adalah pesantren yang yang masih benar-benar pesantren. Pesantren dimaksud adalah pesantren salaf. Hal itu bermaksud mengeluarkan kata-kata institut, sekolah tinggi, universitas, sekolah formal dan lainnya. Dengan demikian, menurut paragraf ini pesantren Mambaus Sholihin tidak termasuk di dalamnya, Mambaus Sholihin tidak termasuk dalam daftar pesantren idaman masyarakat Internasional yang sangat diharapkan geraknya dalam mengatasi permasalahan zaman.
Kembali pada konteks pertama, bagi saya tidak masalah Mambaus Sholihin begitu adanya, tidak masalah jika Mambaus Sholihin me-mix semua kelebihan pesantren lainnya menjadi satu tatanan tersempurna MBS, tidak masalah salaf dan modern berbaur menjadi satu di dalam naungannya, tetapi satu hal yang perlu diperhatikan, yaitu konsekuensi. Efek paling logis jika seseorang menggunakan LPG adalah ledakan yang mematikan jika terjadi sedikit kesalahan saja, begitu juga dengan pengadaan Institut di Mambaus Sholihin. Jika itu sudah  berani didirikan, maka konsekuensi paling ringannya adalah diperbolehkannya alat-alat yang mendukung kehidupan kampus di dalamnya. Akan tetapi, saya tidak menemukan bentuk konsekuensi itu. Sehingga, saya membahasakan mereka itu tidak bertanggung jawab, mereka mencuri madu dari lebah yang tidak ingin madunya dicuri. Semua itu akan terlihat ideal jika di dalam kampus yang sudah mereka dirikan sendiri itu ada sedikit kebebasan untuk mengenal lebih dalam tentang teknologi, mengenal kemajuan pemikiran tokoh terkini, mengenal bagaimana kehidupan kampus yang ideal, dan satu lagi: tidak ada razia.
Dalam konteks minimum, minimal ada pembedaan wilayah dalam pesantren. Antara dunia salaf yang dianut pesantren dengan dunia kampus yang digalakkan pesantren harus ada dinding pembeda. Larangan untuk tidak terlibat sama sekali dengan tekonolgi harus ditempatkan sesuai dengan tempatnya, yaitu wilayah pesantren. Sedangkan untuk wilayah kampus larangan itu tidak seharusnya ada. saya masih ingat dengan jelas bagaimana saya dulu diajari tentang adil dari berbagai literatur klasik oleh guru-guru yang tidak diragukan lagi keilmuannya, tetapi mengapa dalam implementasinya semua itu seakan diam? Bukannya salah satu poin penting dari semua ceramah yang disampaikan setiap minggu tidak pernah keluar dari permasalahan ilmu yang bermanfaat? Entahlah, pastinya pihak-pihak yang bersangkutan lebih mengerti tentang bagaimana menempatkan sesuatu pada tempatnya dan bagaimana harus menerima konsekuensi dari setiap gerakannya.
Bersinambung dengan itu, masih segar dalam ingatan saya tentang apa yang pernah disimpulkan Bapak Grunebeum: apakah dengan menjadi islam kita harus mengorbankan kebahagiaan dengan sesama yang sudah lama ada. Dan saya kira kejadian kemarin itu sangat sesuai dengan kesimpulan tersebut. Dari potret itu, islam melalui pesantren ini tampak kejam dengan berbagai kebijaksanaannya. Kebijaksanaan yang bagi Grunebeum malah akan menghilangakn status islam sebagai agama dan menghilangkan status Mambaus Sholihin sebagai pesantren.
Pesantren lahir tidak lain adalah untuk menjawab kegelisahan masyarakat umum yang sudah menggejala. Hal itu membutuhkan kader-kader yang pastinya harus paham betul tentang gejala dalam masyarakat bahkan harus terlibat. Dengan demikian, alangkah lebih baiknya jika pesantren lebih fokus kepada hal tersebut, bukan kepada semua kebijakan internalnya. Toh apakah dengan keadaan yang bagi saya terlalu itu akan membawa kepada penyelesaian masalah-masalah kemasyarakatan? Saya kira tidak, karena objek utama kita adalah masyarakat umum bukan masyarakat pesantren. Saya ulangi sekali lagi: masyarakat umum bukan masyarakat pesantren. Mambaus Sholihin harus dijadikan pesantren yang pesantren. Zev311013



Jumat, 08 November 2013

Agamaku dan Perselingkuhan


Kemarin saya telat masuk kelas bahasa. Seperti biasa, kemalasan dan cuaca yang mengantukan menjadi alasan rutin saya ketika telat. Di kelas, baru sekitar tiga puluh menit-an saya duduk, dosen sudah meminta izin untuk break karena ada rapat mendadak dari pihak fakultas. Hal itu sangat menyenangkan perasaan saya, bukan karena saya bisa pulang lebih awal dari biasanya, tetapi karena dengan waktu yang sangat singkat saya mendapat satu pemikiran lagi dari guru pemikiran saya itu.
Dalam kesempatan ini, saya diajak berselancar di dunia paska remaja, yaitu dunia rumah tangga. Sejenak, saya teringat hubungan asmara yang selama ini sudah saya jalin lama dengan seseorang jauh di luar sana. Saya teringat itu bukan karena ada kerinduan di dalam kelas, tidak. Akan tetapi, itu berhubungan dengan perselingkuhan dalam sebuah hubungan. Hari ini saya mangguk-mangguk entah untuk kali ke berapa karena kesimpulan yang barusan saya dapat: dalam Islam, selingkuh itu sangat diperbolehkan.
Kesimpulan itu berhulu kepada ayat-ayat yang menceritakan keadaan asmara nabi Yusuf AS  dengan Nyonya Zulaikho. Sejarah menjelaskan dengan jelas bagaimana cinta bisa membuat Zulaikho menenggelamkan bahtera rumah tangganya sendiri yang ketika itu sedang dijalin dengan Pak Aziz. Zulaikho, dengan menggenggam satu alasan—cinta—memutuskan untuk berselingkuh dengan Yusuf yang telah mencuri seluruh hatinya. Dan ternyata cinta itu direspon oleh Yusuf: cinta itu tidak bertepuk sebelah tangan, keduanya saling mencinta (12:24), dan manifestasi dari rasa itu sudahlah jelas pula, yaitu rayuan-rayuan Zulaikho yang menghiasi rumah mereka(12:23). Dan boleh jadi karena ada suatu ketertarikan itu Zulaikho berani untuk mengajak Yusuf kepada momen yang paling intim dalam sebuah perselingkuhan: bersetubuh. Akan tetapi itu tertolak.
Jika saya tarik ke dalam ranah psikologi, maka hasilnya sesuai. Seorang cewek tidak akan pernah berani untuk menindaklanjuti sebuah hubungan ke jenjang yang lebih intim jika respon dari pihak cowoknya negatif. Jadi, jika disimpul balikkan, seorang cewek pasti berani untuk melanjutkan ke jenjang yang lebih intim kalau pihak cowoknya memberi respon. Dan saya rasa hal itu juga dirasakan oleh Zulaikho dan Yusuf sehingga hubungan keduanya pun berakhir dengan sebuah pernikahan yang paling populer di kalangan muslim dunia (sampai terselip dalam doa-doa pernikahan kebanyakan muslim).
Kisah cinta yang terlukiskan apik dalam ayat-ayat Quran ini secara tidak langsung menggambarkan bagaimana sebuah rumah tangga yang istimewa antara Yusuf dan Zulaikho ternyata bermula dari sebuah perselingkuhan. Dalam satu wilayah dan berbasis dengan hal ini, Islam tidak melarang adanya perselingkuhan. Dan saya rasa kisah dari Quran ini sudah bisa mewakili dengan jelas bagaimana keduanya saling menggebu dalam hubungan yang mereka jalin (12:24). Pun, itu bisa dipastikan :keduanya sudah mengetahui jika Zulaikho sudah bersuami.    
Satu bukti lain yang sealiran dengan hal di atas adalah adanya sebuah pertemuan paska kejadian itu. Setelah Zulaikho diusir oleh suaminya dan menggelandang di jalan tanpa harta apapun, akhirnya mereka dipertemukan kembali dan menikah. Darinya, jika dipikir dan dipikir kembali, tidak mungkin keduanya langsung memutuskan untuk menikah jika sebelumnya belum pernah ada hubungan yang spesial. Dengan demikian kesimpulan yang paling benar adalah keduanya sudah pernah memupuk cinta dalam hatinya masing-masing. Dan semua itu terbingkai dalam Quran tanpa adanya hukuman sama sekali. saya mengatakan sekali lagi: tidak ada hukuman yang jelas tentang kisah perselingkuhan yang paling baik ini.  Selayang pikir, Quran membenarkan hubungan gelap yang terjalin di antara keduanya, tetapi masihlah semua itu berpayung dengan illat hukumnya masing-masing. Islam itu tidak melarang sebuah perselingkuh. Zev081113


Selasa, 22 Oktober 2013

Muhammad Hatta: Saya Mempunyai Tiga Istri—Indonesia, Buku, dan Istri Saya.


Paska tertangkapnya Akil sebagai koruptor terpopuler tahun ini, sedari kemarin sampai sekarang pembahasan dalam rubrik opini di koran-koran masih saja membahas mengenai korupsi. Banyak sekali pakar-pakar telah menuangkan ide dan gagasan paling hebatnya dalam bersumbangsih untuk membantu Indonesia keluar dari jeratan para koruptor, tetapi masih saja tiada hasil yang memuaskan. Bahkan tak kurang pakar-pakar hukum dari pelbagai perguruan tinggi berkaliber turut menulis di rubrik itu, namun lagi-lagu hanya sebatas tulisan yang terpajang. Sampai sekarang masih blur: apakah gagasan-gagasan hebat itu terbaca oleh yang disindir ataukah hanya sebatas pengisi kekosongan rubrik, saya tidak mengerti juga, ataukah justru penuangan gagasan hebat itu hanya alat untuk mengisi kantong, entahlah. Diketahui, seakan merekalah orang-orang hebat yang setiap saat memeras pikiran untuk Indonesia: sebagai penyumbang gagasan.
Dari paragraf di atas, saya teringat Bung Hatta. Salah satu ucapan beliau yang mungkin tak terlalu terbingkai dengan sejarah—saya mempunyai tiga istri: indonesia, buku, dan istri saya—ternyata bermakna penting dalam hal ini. Ucapan simpel bernada guyon itu mengandung sesuatu yang benar-benar sesuatu. Tidak menutup kemungkinan, dengan menjadikan Indonesia sebagai istri pertama Hatta, Hatta bisa terhindar dari sebuah pengkhianatan. Pengkhianatan termaksud adalah korupsi, kolusi, dan lain sebagainya yang berbau merugikan negara.
Paralel dengan itu, masih segar dalam ingatan saya kata-kata Anang ningnong ninggung, seorang broadcaster radio ternama di Jogjakarta. Hampir setiap malam saya mendengarkan celoteh Anang. Dan yang paling sering dia ucapkan dalam konteks jalinan hubungan dengan orang lain adalah konsep hati hati. Saya tidak menulis garis penghubung di tengah dua kata hati tersebut karena keduanya memang berbeda. Mudahnya, dalam sebuah hubungan itu melibatkan dua hati: kita dan seseorang yang kita sayang. Sehingga di dalamnya ada dua hati. Jadi kalau kita berhubungan dengan apa dan siapapun, maka kita harus hati-hati.
Begitu juga dengan Hatta, dengan pernyataannya yang menganggap negara sebagai salah satu istri Hatta, secara tidak langsung Hatta sudah terikat dengan konsep hati hati. Di pelbagai wilayah dan keadaan apapun Hatta pasti hati hati. Sehingga ketika konsep itu sudah terpatri jauh dalam lubuknya, korupsi, kolusi, dan lain sebagainya pun sulit untuk terjadi di tubuh salah satu istri tercintanya, Indonesia.
Darinya, alangkah indahnya jika semua lapisan yang terlibat dalam kasus korupsi, baik pelakunya, pengamatnya, penangkapnya, intelejennya, penulis gagasannya, medianya, dan lain sebagainya bisa menanamkan rasa cinta kepada Indonesia. Cinta yang timbul bukan karena Indonesia sebagai ibu pertiwi kita, namun sebagai istri tercinta kita. Zev231013


Rabu, 16 Oktober 2013

Nasionalisme Bapak Marzuki


Saya tidak tahu, apakah sebutan saya kepada Bapak Marzuki sebagai seorang Nasionalis ini benar atau tidak. Saya kali pertama kenal sesosok seperhatian beliau ini juga barusan tadi. Saya dikenalkan oleh keluarga baru saya: KPMRT. Komunitas tempat mahasiswa-mahasiswa se-Jogjakarta saling berbagi. Hanya karena alasan sreg dan tidak, saya menyebut Bapak Marzuki ini sebagai seorang Nasionalis Jogja.
Latar belakang motivasi saya menulis tentang beliau malam ini adalah tentang pemikiran unik beliau. Dalam ranah pemikirannya, beliau mengecam para mahasiswa yang hanya belajar dibangku kuliah. Beliau mengibaratkannya seperti memasak. Untuk bisa membuat satu masakan, kita membutuhkan banyak sekali sesuatu untuk dimasak. Bukan hanya garam atau nasi. Dan disini Bapak Marzuki mengibaratkan kuliah adalah tempat kita kulakan garam. Sehingga apakah masakan akan tersaji jika kita hanya mengandalkan garam.
Dan di sinilah fungsi sesuatu-sesuatu lainnya. Dan sesuatu itu dalam dunia kampus biasanya disebut dengan kegiatan ekstrakulikuler. Di sinilah kita bisa kulakan berbagai macam sesuatu untuk dimasak. Dengan demikian, ketika kita sudah bisa kulakan segala keperluan untuk memasak, masakan yang direncanakn akan tersajikan sesuai harapan. Kampus saja tidak cukup untuk menjawab dinamika permasalahan zaman.
Dalam hal yang sama, Bapak Marzuki dengan keyakinannya menyimpulkan bahwa, apapun yang ekstra itu bukan berarti harus dinomorduakan dan yang intra itu diprimerkan. Sangat mungkin sekali kegiatan ekstrakulikuler kampus malah menjadi sesuatu yang sangat primer. Pun tidak tertutup kemungkinan, sesuatu yang selama ini dipandang sebagai intra, sangat urgen, dan primer malah perlu disekunderkan.
Kesimpulan itu berbasis kepada asal mula gudang keilmuan yang tersedia dikampus. Semua disiplin ilmu yang telah ada di kampus manapun itu tidak bisa lepas dari penelitian. Untuk merumuskan satu kesimpulan tentang suatu ilmu, dibutuhkan penelitian. Penelitian pasti mempunyai objek yang diteliti. Objek yang diteliti adalah masyarakat. Masyarakat hidup secara live di lapangan. Jadi, kesimpulannya: ilmu yang ada di kampus manapun itu adalah berasal dari lapangan. Sehingga alangkah beruntungnya kita, jika kita bisa langsung belajar atau kulak dari sumber penelitian: lapangan. Ilmu sumber tersebut tidak akan pernah ada dalam kampus. Itu masuk wilayah lapangan.
Dalam bahasa saya sendiri, antara ilmu kuliah dan ilmu lapangan tidak bisa terpisahkan. Meminjam istilahnya Bapak Amin Abdullah: keduanya seperti normativitas islam dan historisitasnya. Keduanya perlu dipadukan, dan terjawablah persoalan-persoalan yang setiap hari semakin pelik.

Saya sangat tertarik dengan Bapak Marzuki. Pertemuan singkat tadi sore menjelang magrib mengenai rencana apologi kepada para petani Kulonprogo yang akan terampas haknya, menyisakan sesuatu dalam benak saya. Beliau seperti jembatan yang menghubungkan antara peran mahasiswa dengan kebutuhan petani. Aksi mahasiswa diperlukan dalam hal ini. Minimal, dengan turunnya aksi, para petani masih bisa bernafas dengan penuh kepercayaandiri karena masih ada yang mendukung mereka. Mereka semua membutuhkan dukungan, uluran, dan bukan sekedar doa. Bapak Marzuki berperan penting dalam hal ini.zev161013 

Selasa, 15 Oktober 2013

Islam dan Masyarakat (Konstruksi Nyata Islam Historis)


agama adalah sesuatu yang dapat dianggap oleh pemeluk dan calon pemeluknya sebagai sesuatu telah terkait erat dengan dunia mereka.
(Gustave E. Von Grunebaum)[1]
Untuk merespon salah satu ungkapan Grunebaum di atas, masih ada beberapa pertanyaan terkait dan terikat: Apakah dengan penerimaan islam berarti mengorbankan semua budaya yang telah lama melekat pada sebuah tatanan masyarakat.[2] Jawaban paling disepakati adalah tidak. Penerimaan islam bukan penghilangan kultural-kultural pra-islam, tetapi sebatas kelanjutan dari kultural yang usai mengakar di suatu wilayah. Islam bukan asimilasi. Islam itu Akulturasi.
Jika islam masih ingin dikata sebagai agama, bagaimanapun juga, Islam harus mengalah. Adat setempat perlu dimenangkan. Tetapi tetap pada tujuan awal, doktrin Islam mengalah bukan tanpa tujuan. Tujuan inti dari pengalahan doktrin dengan budaya setempat adalah untuk menyelaraskan kebutuhan para pemeluk islam maupun calon pemeluk dengan kebutuhan-kebutuhan mereka sebagai manusia yang berbudaya dan bersosial. Selama pengalahan doktrin Islam akan budaya setempat dipandang lebih banyak mengandung kemaslahatan dan pemenuhan kebutuhan-kebutuhan di atas, maka tidak ada yang salah dengan pengalahan doktrin Islam.
Namun sebaliknya, jika dipandang dengan manifestasi agama sebagai hasil akulturasi doktrin dan sosial budaya masih saja tidak bisa menemukan apa yang dicita-citakan, akulturasi ini tidak diperlukan. Seperti halnya apa yang telah dilakukan Gandhi dan Tagore. Sebagai sesosok nasionalis yang hidup ditengah-tengah ajaran Hinduisme dan kultur yang konservatif di India, mereka melakukan pembaruan dengan basis yang bertitik tekan pada keselarasan antara agama mereka dengan kebutuhan hidup yang pasti mengalir dengan peredaran zaman (akhir abad XIX).[3] Alasan yang mereka gunakan adalah keselarasan antara agama dan kebutuhan hidup, bukan agama dan budaya. Dengan demikian, agama tidak hanya perlu luwes dengan budaya masing-masing pemeluknya, seperti yang ada dalam Islam di Indonesia. Keluwesan akan dinamika zaman yang bertepi pada majemuknya kebutuhan pemeluk juga dibutuhkan.
Lebih fokus kepada Islam dan masyarakat Indonesia, dalam sejarah telah kentara bahwa Islam menyebar luas ke semua pelosok Nusantara tidak menggunakan topeng Timur Tengah. Islam menjelma menjadis sesosok yang akrab dengan budaya setempat. Menyadari karena sebenarnya Islam bukan hanya bertugas untuk menjinakkan objek tujuannya, namun juga menjinakkan dirinya sendiri.[4]
Tindakan seperti itu dapat dilihat dari manifestasi agama yang dilakukan oleh walisongo. Walisongo melakukan itu bermula dari benturan-benturan yang terjadi  antara budaya dengan doktrin Islam. benturan tersebut memaksa Islam untuk menggunakan topeng atau simbol-simbol kebudayaan setempat sebagai penyelaras agar dapat ditangkap oleh masyrakat setempat.[5] Konkrtinya adalah Sunan Maulana Makhdum Ibrahim dengan strategi bonangannya di Tuban Jawa Timur. Dengan membaca keadaan masyarakat yang suka sekali dengan alat musik bonang, hanya bertiket wudlu dan membaca syahadat, masyarakat setempat bisa menikmati alunan musik bonangan yang diadakan beliau tanpa biaya sepeserpun. Secara doktriner alat-alat musik semacam itu adalah haram, namun karena Islam dipandang secara historis dan atas nama kemaslahatan dan pemenuhan kebutuhan, potret itupun menjadi bingkai sejarah yang menarik untuk dibahas juga diterapkan.
Di wilayah lain, memang tidak bisa dipungkiri, keadaan seperti di atas, dapat menimbulkan penafsiran yang agak terpisah dengan wahyu yang utuh dan abadi.[6] Tetapi meminjam istilahnya Bapak Taufik Abdullah: Bagaimanapun juga, penghayatan agama harus didekati dengan menanggalkan untuk sementara keyakinan pribadi. Toh, kesimpulan tersebut bukan berarti memang wahyu yang utuh di atas yang salah. Bisa jadi, penafsiran akan itu yang justru tidak sesuai bukan wahyunya.
Dengan demikian, berbasis pada keselarasan antara budaya dan agama yang berujung pada pemenuhan kebutuhan masing-masing pemeluknya, pendekatan Islam Historis diharapkan mampu menjadi salah satu perumusan yang ideal dalam menjawab dinamika zaman.





[1] Gustave E. Von Grunebaum, modern Islam: The Search of Cultural Identity, New York: Ancore 1964, hlm. 20.
[2] Mien Joebhar, Ny. R. T. Abdullah, Ny. Emiwati, dan Chalidin bin Abu Bakar (1987), Sejarah dan Masyarakat Lintasan Historis Islam di Indonesia, Jakarta: Pustaka Firdaus, hlm. 3.
[3] Salah satu artikel W.F. Wertheim (penulis Indonesia soceity in transition) yang telah diterjemah: gerakan-gerakan pembaruan agama di Asia Selatan dan Asia Tenggara.
[4] Mien Joebhar, Ny. R. T. Abdullah, Ny. Emiwati, dan Chalidin bin Abu Bakar (1987), Sejarah dan Masyarakat Lintasan Historis Islam di Indonesia, Jakarta: Pustaka Firdaus.

[5] Ibid.
[6] Ibid.

Kamis, 10 Oktober 2013

Antara Pluralitas Keagamaan, Islam Historis, dan Islam Normatif


Salah satu sebab terkonsepnya pendekatan historis-kritis adalah pluralnya agama dalam suatu daerah. Ketika dikatakan sebuah daerah hanya memiliki agama tunggal, islam misalnya, sedikit kemungkinan akan ditemukan perbedaan-perbedaan yang mendasar di dalamnya. Kebudayaan daerah setempat dengan nilai-nilai keagamaan masyarakat sudah menjumpai titik temu. Sehingga konflik perbedaan tidak terlalu banyak. Tetapi sebaliknya, jika dalam sebuah daerah dijumpai lebih dari satu agama, toleransi menjadi harga mati. Dan disinilah Islam Historis menjadi pahlawan tersendiri bagi masyarakat yang terlibat langsung dengan pluralitas keagamaan suatu wilayah.
Dalam satu bagan, toleransi muncul karena adanya alasan yang tepat mengenai: kenapa saya harus peduli dan menghargai. Dan jalan yang paling mudah untuk mendapatkan alasan itu adalah melalui kepercayaannya masing-masing.[1] Jika suatu agama diinterpretasikan untuk menggagalkan suatu ritual keagamaan lainnya dengan alasan tidak sesuai dengan ajaran agamanya, maka jelas sudah, toleransi tidak akan pernah ada. Tetapi sebaliknya, semua lapisan masyarakat akan berjalan bersama-sama ketika masing-masing dari kepercayaanya diintrepretasikan untuk turut berbaur dengan ritual keagamaan mereka. dengan catatan: hanya sebagai ekspresi penghargaan kepada si empunya ritual keagamaan, tanpa turut membaurkan kepercayaan masing-masing.
Berbicara tentang pluralitas agama, pengalaman pluralitas agama di setiap wilayah berbeda-beda. Semisal Amerika, pengalaman pluralitasnya tidak sama dengan yang ada di Indonesia. Di samping agama mayoritasnya berbeda, basis akannya pun berbeda. Amerika menghayatinya dengan keasadaran budaya yang sekular. Sehingga, pengalaman pluralitas agama yang dialami setiap warganya pasti tidak sama. Sedangkan Indonesia menghayatinya dengan kesadaran budaya yang religius. Di titik inilah Islam historis kritis sangat diperlukan: untuk menyikapi budaya yang telah menyatu dengan masyarakat setempat.  
Di lain keadaan, dominasi agama tertentu di wilayah yang memiliki pluralitas agama, mempunyai pengaruh yang besar dalam pendekatan Islam Historis. Di Timur Tengah tempat agama hindhu dan budhanya relatif tidak berkembang, ekspresi Islam Historis pasti berbeda dengan ekspresi Islam Historis di India, Thailand, dsb. Islam di Thailad dan India berada di garis minor. Sehingga dengan perbedaan itu, Islam historisnya muslim Timur Tengah dan Thailand tidak sama. Islam historis boleh tidak sejalan, namun berada dalam satu normatif masihlah menjadi sebuah keperluan dan kesatuan.
Dan diantara semua wilayah tadi, Indonesia dirasa yang paling sesuai dengan pendekatan Islam Historis. Masyarakat Indonesia meski belum dilandasi dengan studi agama yang akademik kritis sudah mencerminkan kerukunan antar umat beragama yang istimewa. Dan tidak bisa dipungkiri, potret inilah yang berhasil menarik peminat peneliti-peneliti luar untuk menjadikan Indonesia sebagai objek penelitian.[2] Dengan demikian, sungguh tidak melebihkan jika dikata: pendekatan Islam Historis akan sangat sesuai untuk dipraktikan di Indonesia. Antara sosial, budaya, dan agama bisa berjalan beriringan di bumi nusantara ini sebagai wujud integrasi atas pluralitas agama, normatifitas, dan historisitas.





[1] Zagorin, Perez (2003). How the Idea of Religious Toleration Came to the West. Princeton University Press. ISBN 0691092702.
[2] Abdullah, M. Amin, Studi Agama Normatifitas atau Historisitas?. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset.