Tampilkan postingan dengan label budaya -edu. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label budaya -edu. Tampilkan semua postingan

Rabu, 18 Desember 2013

Manganan dan Islam


Dari berbagai Aspek yang telah dijelaskan: mulai dari unsur kebersamaan, kerukunan, perhatian, dan sebagainnya, yang sudah terkover dalam satu ritual ini, dalam kacamata Islam ritual ini masih dipandang baik-baik saja. Karena semua itu memiliki dampak positif seperti apa yang diinginkan Islam pada umumnya, yaitu kemaslahatan. Selain itu, dewasa ini, hal seperti itu juga tidak sampai membawa seseorang untuk meninggalkan ajaran monoteismenya. Meskipun, mereka makan-makan di pemakaman leluhur, tetapi nuansa yang ada masihlah cenderung kepada nuansa Islami. Hal itu bisa dilihat dari bagaimana cara mereka berpakaian—menggunakan peci dan sarung—dan bagaimana cara mereka mengirim doa agar diberi keselamatan: melalui doa-doa dalam Islam. Dengan demikian sampai pada titik ini, tidak ada yang perlu dipermasalahkan.
Akan tetapi jika manganan dilihat lebih perinci, ada satu hal yang masih ganjil dibenak kebanyakan muslim: adanya sesaji.  Dalam satu pihak, dengan adanya sesaji, itu berarti mengakui adanya kekuatan yang maha kecuali Allah atau mudahnya adalah syirik. Sehingga kepercayaan masyarakat dalam pengesaan Tuhan itu tidaklah murni dan total karena ada unsur lain yang dipercaya bisa menghindarkan mereka dari apapun yang tidak mereka inginkan. Dalam arti, sesuatu yang dimohon itu bukanlah Allah , tetapi roh leluhur tersebut. Dan hal tersebut sangatlah tidak dipebolehkan dalam Islam sebab yang hanya boleh dimintai pertolongan adalah Allah semata.
Merespon itu, ada beberapa metode memandang Islam dalam tradisi tersebut. Pertama adalah pendekatan konvensional,[1] yaitu pendekatan yang bersifat ekslusif, tertutup pada aspek tunggal, dan tidak menerima interkoneksi dengan aspek lainya. Sehingga darinya, satu-satunya kesimpulan yang ada adalah boleh dengan syarat: unsur sesaji harus dihapus. Namun, jika hal ini benar-benar diaplikasikan, maka bukanlah penyelasaian yang timbul, tetapi justru sebuah permaslahan baru akibat dari penghapusan sesaji.
Kedua adalah multidimensional,[2] pendekatan yang lebih bisa terbuka, bersifat inklusif, dan mampu menerima aspek lain untuk terlibat di dalamnya. Dalam arti, pendekatan ini juga harus dipahami dari banyak aspek sehingga dengan itu bisa diambil suatu kesimpulan yang objektif dan bisa diterima oleh masyarakat banyak. Berkenaan dengan itu, melalui kacamata ini, sebelum diputuskan bahwa unsur sesaji itu harus dihapuskan, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan terlebih dahulu. Dan itu adalah sisi budaya dan sisi tujuannya. Dengan demikian, ketika dari berbagai aspek sudah dikaji kemudian baru disimpulkan, maka pasti hasilnya akan lebih memuaskan.
Dari sisi budaya, ritual ini—manganan—tidak bisa lepas dari sejarah bagaimana manganan ini bisa ada dan menjadi tradisi. Kali pertamanya, manganan ada hanyalah sebatas sebagai ekspresi nyata dari kepercayaan masyarakat Jawa—khususnya daerah Tuban dan sekitarnya—akan hadirnya roh-roh yang dipercaya bisa berdampak baik bagi kehidupan mereka.[3] Namun, seiring berjalannya waktu dan pupusnya ajaran hindu dan jawa didalam ritual tersebut, masyarakat Jawa mengambil satu simbol sesaji tersebut hanyalah sebagi bentuk penghargaan terhadap tradisi mereka bukan sebagai wujud kepercayaan mereka secara murni. Jadi, meskipun mereka membuat sesaji ditengah-tengah manganan, bukan berarti mereka langsung mengalihkan keimanan mereka kepada roh-roh leluhur, tidak. Hal itu dilakukan hanyalah sebagai wujud penghargaan mereka terhadap tradisi yang selama berabad-abad mengayomi mereka dalam sebuah wadah pemicu kebersamaan dan kerukunan: manganan.
Selain itu, masih di wilayah budaya, selama ini manganan dipandang telah sukses untuk membuat pemandangan daerah tersebut menjadi nyaman, aman, dan rukun. Itu ada karena alur jalannya ritual tidak bisa lepas dari unsur-unsur yang sarat akan kebersamaan, saling berbagi, dan saling peduli. Sampai dikatakan, itu adalah simbol keselarasan antara masyarakat yang kurang mampu dengan yang kaya: masyarakat yang kurang mampu bisa merasa sederajat ketika berbaur dalam ritual ini. Dengan demikian, di titik inilah Islam benar-benar bisa ditemukan.
Selanjutnya adalah di wilayah tujuan. Dalam paragraf ini, singkat kata, adanya sesaji tak lebih hanyalah sebagai perantara atau wasilah bukan tujuan utama. Jika hal ini dipandang sebagai tujuan utama, maka jelas sudah kalau ritual ini bertentangan dengan norma Islam. Akan tetapi karena memang tujuan utama dari adanya sesaji adalah sebagai pendorong atau sesuatu untuk mempermudah seseorang agar bisa yakin sepenuhnya akan adanya satu dzat yang esa: Allah, maka tidak ada alasan untuk menolak satu hal ini.[4] Padahal juga, muslim dewasa ini tidak akan semudah itu beralih kepercayaan hanya gara-gara adanya sesaji dalam manganan. Selain itu, jika memang yang dipermasalahkan adalah kepercayaan atau akidah, maka sebelum menjawab soal tersebut, satu hal yang perlu diingat: kepercayaan itu berkenaan dengan hati yang sangat dinamis dan tidak bisa dipastikan.  
Mengenai teori-teori pendukung, ada Beberapa hal penting yang harus ada dalam merespon tradisi ini, antara lain:[5]
a.      Tradisi yang sudah ada, jika mengandung nilai positif dan tidak berseberangan dengan norma Islam, tidak usah diutak-atik.
b.      Menghilangakn unsur-unsur yang negatif, ada momen untuk menyakiti diri sendiri misalnya. Sebisa mungkin, perlahan semua itu harus dipupuskan.
c.      Jika tradisi dipandang bisa membahayakan kultur, perlahan semua itu harus dirubah hingga mempunyai core yang sama dengan Islam: rahmatan lil alam.
Dan dari ketga teori diatas, jika dihubungkan dengan uraian sebelumnya, maka hasilnya positif: tidak ada alasan untuk menolak tradisi tersebut meski dengan adanya sesaji.
Pada akhirnya, meminjam istilah Bapak Munawwir Sadzali: itu seperti halnya anggur di dalam botol, anggurnya dibuang dan diganti dengan air,[6] maka dari semua uraian di atas bisa digaris bawahi bahwa yang terpenting dalam ritual apapun itu adalah inti darinya. Manganan itu menjalankan Islam dengan kemasan Jawa. 



[1] M. Amien Rais (ed.), Islam di Indonesia suatu ikhtiar mengaca diri (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1994), hlm. 89.
[2] M. Amien Rais (ed.), Islam di Indonesia suatu ikhtiar mengaca diri, hlm. 89.
[3]  Drs. H. M. Darori Amin, MA (ed.), Islam dan Kebudayaan Jawa, hlm. 6.          

[4]  Drs. H. M. Darori Amin, MA (ed.), Islam dan Kebudayaan Jawa, hlm. 124.
[5] M. Amien Rais (ed.), Islam di Indonesia suatu ikhtiar mengaca diri, hlm. 94.

[6] Drs. H. M. Darori Amin, MA (ed.), Islam dan Kebudayaan Jawa, hlm. 109.

Minggu, 08 Desember 2013

Jawa Pos: Sebelum Kematian Paul Walker

Ada beberapa kalimat yang musti diekspose Jawa Pos ketika ada tokoh-tokoh dunia yang meninggal dunia, yaitu tanda-tanda kematian. Dan hal itu terkira bukan hanya Jawa Pos, semua media boleh jadi seperti itu adanya. Karena itu tak luput dari satu tujuan: being interested. Dalam hal ini, sesuatu itu ada di Jawa Pos—barusan edisi kemarin—mengenai satu tanda kalau Paul Walker sebentar lagi akan meninggal dunia. Itu diwakili dengan salah satu liputan yang mendeskripsikan bagaimana jawaban Paul Walker terhadap Romance—pemeran Hans—dalam film Fast Furios 7. Paul Walker yang dalam filmnya menjadi O’Conner itu menjawab: mungkin ada satu lagi pemakaman.
Dalam versi Jawa Pos, kalimat dalam film itulah yang menjadi satu-satunya symbol menjelang kematian Paul Walker. Selayang pandang, jika hal itu dibiarkan terus-menerus, sehingga media selalu membuat ramalan atau prediksi dibalik kematian seseorang, maka dampaknya adalah kepada pemikiran konsumen. Karena terlalu banyaknya media yang yag mendeskripsikan seolah-olah memang hal itu adalah benar dan bisa dijadikan suatu rujukan untuk sesuatu yang lebih komunal.
Lebih detailnya, seandainya hal yang sebenarnya ganjil itu tidak sering diekspose dalam media, seseorang atau konsumen pasti tidak akan membenarkan hal tersebut dan hanya menganggap itu adalah kebetulan saja. Akan tetapi karena media terkesan mencari-cari hal ganjil tersebut dan konsisten dalam pemberitaannya, maka sesuatu yang mulanya abstrak di mata konsumen itu menjadi suatu yang tidak tabu lagi. Dan bahkan itu menjadi suatu pemikiran bagi kalangan tertentu. Seolah kalau ada seseorang yang sudah terlanjur bilang sesuatu yang merujuk kepada kematian, pasti ada ketakutan tersendiri yang terbesit dalam benaknya, kemudian secepat mungkin dia meralat ucapannya tadi. Dengan demikian, dari gambaran sederhana itu—sampai pada munculnya ketakutan sampai adanya ralat ucapan—bisa disimpulkan kalau efek pembodohan media ini sukses menipu masyarakat.
Merespon itu, alangkah lebih profesionalnya media dan masyarakat jika tidak terlalu menganggap sesuatu dibalik sesuatu itu adalah suatu hal yang benar tanpa adanya klarifikasi dan prinsip tertentu. Dan hal itu juga bisa teratasi andai media-media tidak mengada-ada sesuatu yang tidak ada dan meniadakan sesuatu yang ada. Meskipun itu adalah bagian dari salah satu prinsip media, namun minimal ada sebuah ikhtiyar di dalamnya. Sehingga sakralnya sebuah kematian masihlah akan terjaga sampai suatu saat nanti. Zev081213


Rabu, 04 Desember 2013

Mengapa Harus Manganan


Salah satu alasan yang paling bisa diterima dengan mudah oleh semua orang, lebih-lebih untuk para cendekiawan mengenai tradisi manganan adalah kebersamaan. Karena semua ritual-ritual yang selama ini menjadi satu-satunya alasan mengapa tradisi ini harus dipertahankan tidak bisa lepas dari satu unsur tersebut, kebersamaan. Selain itu, dari kebersmaan itu muncullah beberapa istilah lainnya, yaitu gotong-royong, kerukunan, dan pastinya adalah keharmonisan. Sehingga, jika tujuan awal dari tradisi klasik ini adalah hal-hal di atas, maka tidak ada alasan lain mengapa harus melupakan dan bahkan sebelah mata tradisi ini dengan kacamata agama.
Berbicara mengenai agama, sebenarnya dalam agama—secara historis—tidaklah melarang adanya hal-hal yang sinkret layaknya itu. Bahkan sebenarnya, agamalah yang harus menjinakkan dirinya sendiri.[1] Dalam arti, agama harus sebisa mungkin untuk mengalah dengan budaya setempat yang keadaannya lebih dahulu eksistensinya dari pada agama itu sendiri. Sekilas, hal itu memang terkesan menyudutkan agama ke dalam ruang tak berpintu, tetapi jika dipikirkan lebih cenderung kepada sisi aksiologisnya, maka hasilnya akan berbeda. Agama mengalah bukan tanpa alasan, namun itu membawa satu alasan yang kelihatannya hanya dengan itulah islam menjadi lebih bisa dipandang layaknya sebuah agama.[2]
Kembali kepada tradisi manganan, dalam beberapa ritual yang terjalani, ada beberapa yang ganjil dalam pandangan Islam, pembakaran dupa. Akan tetapi, karena itu masih kalah terang dengan manfaat yang lahir darinya, maka masihlah tetap sama: tradisi ini perlu dibudidayakan. Kenyamanan dan kerukunan masyarakat dalam menjalani tradisi itu menjadi prioritas terdepan mengapa ini harus dibudidayakan. Hal itu pulalah yang sesuai dengan apa yang ditulis Grunebaum dalam artikelnya: agama adalah sesuatu yang dapat dianggap oleh pemeluk dan calon pemeluknya sebagai sesuatu yang telah terkait erat dengan dunia mereka.[3]
Di wilayah lain, dalam manganan ada momen tempat saling menukar jajanan atau makanan yang telah dibawa oleh masing-masing masyarakat. Secara tersirat, melalui satu potret ini, bisa dikata kalau ritual ini juga memiliki fungsi yang sama dengan adanya zakat atau qurban dalam Islam. Zakat dan qurban diwajibkan dalam Islam kepada pihak-pihak dengan tujuan supaya terciptanya persamaan rasa antara orang-orang yang mampu dan yang tidak mampu. Dalam arti, dengan adanya zakat dan qurban diharapkan warga-warga yang tidak mampu bisa merasakan bagaimana enaknya makan daging dan bagaimana bahagianya jika sesuatu yang bisa mengepulkan asap dapur itu selalu ada. Seperti halnya itu, dari momen penukaran berkat, warga yang kurang mampu bisa memilih berkat-berkat  yang lebih istimewa dari punyanya. Dan hal itu ternyata sudah ada dalam manganan dan mungkin itu juga yang menjadikan tradisi ini mempunyai fungsi stimulus layaknya agama dalam pandangan Robertson Smith.[4] Itu bisa menjadi alasan tertentu mengapa masyarakat selalu bersemangat untuk manganan.
Dengan demikian, tidaklah salah, jika manganan masihlah menjadi tradisi istimewa di daerah-daerah tertentu di Jawa Timur. Dan dalam hal ini corak yang diambil adalah dari desa Kemuning, Semanding, Tuban, Jawa Timur. 



[1] Mien Joebhar, Ny. R. T. Abdullah, Ny. Emiwati, dan Chalidin bin Abu Bakar (1987), Sejarah dan Masyarakat Lintasan Historis Islam di Indonesia, Jakarta: Pustaka Firdaus, hlm. 3.

[2] Gustave E. Von Grunebaum, modern Islam: The Search of Cultural Identity, New York: Ancore 1964, hlm. 20.

[3] Mien Joebhar, Ny. R. T. Abdullah, Ny. Emiwati, dan Chalidin bin Abu Bakar (1987), Sejarah dan Masyarakat Lintasan Historis Islam di Indonesia, Jakarta: Pustaka Firdaus, hlm. 3.

[4] Raho, Bernard, Agama Dalam Perspektif Sosiologi (Jakarta: OBOR, 2013), hlm. 38.

Selasa, 26 November 2013

Pembacaan Kembali UU Pelarangan Duduk Ngangkang Di Aceh Dengan Pendekatan Ushul Fiqih


             Dari berbagai kajian, baik menurut latar belakang adat-istiadat ataupun hukum ketatanegaraan, respon mengenai pelarangan UU ini hampir semuanya satu suara, yaitu mengecam. Beberapa darinya adalah tokoh-tokoh pemuka agama Indonesia: Din Syamsudin, Ketua Umum Muhammadiyah dan K.H. Amidhan, Ketua MUI saat ini.[1] Mengenai hal ini, mereka mengatakan bahwa hal ini tidaklah berdasarkan kepada agama, tetapi lebih bersifat adat-istiadat. Dengan demikian, menurut versi tokoh sekaliber mereka, isu yang mengatakan bahwa salah satu alasan digalakkan UU ini adalah berbasis pada Syariat Islam—karena antara adat aceh dan Syariat islam adalah sama—[2]itu kuranglah tepat. Dan yang tepat, itu disebut sebagai Syariat Aceh atau Islam Aceh bukan Islam secara umum.
Selanjutnya, jika dikaji menggunakan kacamata berdimensi lain—Ushul Fiqih—maka kesimpulan yang bisa diambil pun tidak berbeda jauh: sama-sama tidak setuju dengan penerapan UU tersebut. Selayang pikir saja, menurut sumber hukum dalam Islam—Qur’an, hadits, hasil qiyas, dan hasil ijma’—itu tidak bisa ditemukan secara jelas kalau duduk ngangkang itu benar-benar dilarang. Justru, jika hal tersebut dikaji dengan pendekatan ini, maka hasilnya malah sebaliknya: duduk ngangkang dianjurkan ketika memang dengan itu pengendara sepeda motor lebih bisa nyaman dan aman. Dengan demikian, baik itu dikaji secara tekstualis, analogis ataupun maslahah, hasilnya akan tetap sama: UU ini perlu dihapus.
1.      1. Pendekatan Tekstual.
Dalam konteks ini, sumber yang dapat diambil adalah ayat al-Qur’an yang menjelaskan kalau Islam itu rahmatan lil alamin (21:107). Di dalamnya tersirat bahwa Islam itu fleksibel dan dalam hal tertentu dia lebih mengedepankan kemaslahatan. Ayat ini hadir di dalam surat al-Anbiya’ tempat beberapa cerita tentang penentangan kaum-kaum para nabi sebelum Islam terhadap para nabinya tertulis. Dan hal itu memicu terteranya ayat-ayat himbauan dan peringatan tentang perilaku mereka. Salah satu darinya adalah ayat yang menjelaskan tentang kepastian terjadinya hari kiamat (21:104). Selain itu, secara implisit, beberapa ayat sebelumnya juga menggambarkan bagaimana sebuah agama itu harus dipandang secara fungsional. Dan itu tergambar dengan adanya dua penekanan dalam beragama, yaitu interaksi yang baik dan monoteisme.
Di titik inilah, salah satu alasan mengapa ayat yang diambil adalah ayat mengenai rahmat bagi seluruh manusia. Jika hal itu dipahami lebih dalam, maka kata rahmatan lil alamin itu sangat terkait dengan sebuah hubungan, baik itu hubungan sesama manusia, alam, dan budaya-budaya yang ada di dalamnya. Dengan demikian, karena alasan pertama dihadirkannya UU di atas adalah penegakan Syariat Islam—yang juga selaku adat setempat yang sarat akan sebuah hubungan—maka tidaklah salah jika peristiwa ini dihubungkan dengan ayat tersebut.
Kemudian, berbicara mengenai hukum, tanpa banyak kata pun, hal itu bisa disimpulkan bahwa larangan hukum duduk ngangkang ini tidak sesuai dengan ayat terkait. Karena—dari berbagai kajian yang ada—penerapan UU ini tidak mengundang manfaat sama sekali dan bahkan malah mengundang mala. Dan hal itu sangat kontras dengan pemahaman rahmatan lil alamin tempat keamanan dan kenyamanan lebih dikedepankan. Sehingga dari sudut pandang ini, hasilnya masih sama: UU ini harus dihilangkan.
Masih berkenaan dengan itu, berangkat dari hadits, kesimpulan tentang itu masih satu warna. Adalah tentang hadits yang diriwayatkan oleh Al-Daraquthni (III/470, no. 4461):

عَنْ أَبِـيْ سَعِيْدٍ سَعْدِ بْنِ مَالِكِ بْنِ سِنَانٍ الْـخُدْرِيِّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّـى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : لَا ضَرَرَ وَلَا ضِرَارَ
Dari hadist yang juga dikeluarkan oleh Imam Malik dalam al-Muwaththa'nya (II/571, no. 31), dari susunan kebahasaannya saja, itu bisa dipahami: Islam itu tidak menginginkan adanya suatu bahaya dan sesuatu yang membahayakan orang lain. Bahkan dalam riwayatnya Al-Baihaqi (VI/69) hal itu sangat dilarang.[3]
Berhubungan dengan itu, menurut berbagai kajian yang sudah ada sejak awal 2013 silam, UU di atas menuai banyak kecaman, baik dari masyarakat dunia dan bahkan dari masyarakat Aceh dan sekitarnya.[4] Hal tersebut sudah menjadi bukti konkrit kalau UU ini tidak mempunyai banyak manfaat sebagaimana UU lainnya. Meski itu ada, tetapi jika dibandingkan dengan banyaknya resiko yang akan terjadi, maka hasilnya tetaplah sama: masih membahayakan orang lain.
Contoh konkritnya: ketika ibu-ibu pergi berbelanja ke pasar dengan menggunakan sepeda motor. Pemandangan yang pasti terjadi selepas ibu-ibu berbelanja adalah kerumitan mereka membawa pulang barang-barang belanjaannya jika mereka tidak duduk ngangkang dan itu juga sangat rawan kecelakaan karena tidak adanya balance antara kiri dan kanan. Selain itu, ketika ada satu keluarga yang sekedar ingin mengajak anak mereka menikmati pemandangan kota, pasti mereka juga akan bingung menaruh anaknya jika sang ibu tidak boleh duduk ngangkang. Dari dua contoh kecil tersebut, itu bisa mewakili bahwa UU ini dapat membahayakan siapa saja dan tidak sesuai dengan apa yang tertulis dari hadits di atas. Sehingga melalui sumber hukum kedua ini pula, UU larangan duduk ngangkang masih harus dihapus.
2.    2.   Pendekatan Analogis
Sebenarnya, melalui pendekatan inipun hasilnya tidaklah berbeda. UU tersebut masih tidak mencerminkan sebuah kebijaksanaan, baik dalam kebangsaan dan keagamaan. Akan tetapi, hal ini lebih dominan kepada komparasi antara manfaat dan mala yang terkandung dalam UU ini. Minimal, diakui atau tidak, UU ini pasti memiliki nilai putih tertentu. Dan disebabkan oleh itu, agar hukum dari keduanya jelas: mana yang harus dikedepankan, maka ada beberapa kaidah yang digunakan dalam hal ini.
Pertama, وَيَتَحَمَّلُ الضَّرَرُ الْخَاصُ لِدَفْعِ ضَرَرٍ عَامٍ: Membiarkan kemadharatan yang sifatnya khusus untuk menghilangkan kemudharatan yang sifatnya umum.[5] Dari sini, terpikir bahwa terjaganya keselamatan, kenyamanan, dan keamanan masyarakat dalam berkendara—sebagai mala yang umum—itu harus lebih didahulukan daripada terjaganya kesopanan perempuan sebagai mala yang khusus toh idealitas kesopanan itu juga masih abstrak. Dan menurut beberapa pendapat hal ini disejajarkan dengan keharusan seseorang yang menimbun barang dagangnya untuk menjualnya sesuai harga pasar demi para pembeli yang bersifat lebih umum.
Kedua, الضَّرَرُ لَا يُزَالُ بِمِثْلِهِ: Kemadharatan tidak dihilangkan dengan kemudharatan yang sebanding.[6] Selayang pandang, ketika itu akan dihilangkan dengan hal sebanding saja tidak bisa apalagi jika dihilangkan dengan hal yang melebihinya, pasti tidak mungkin. Seperti halnya dengan usaha Pemerintah Aceh yang ingin menghilangkan kebiasaan-kebiasaan tidak senonoh—yang mereka pandang sebagai mala—tersebut dengan UU pelarangan yang sarat akan bahaya-bahaya yang lebih dari hanya sekedar ketidaksopanan seorang wanita dalam berkendara.
Pada akhirnya, semua itu bisa dikata bahwa melalui pendekatan yang banyak mempertimbangkan adanya ketidaknyamanan masyarakat ini, UU mengenai larangan duduk ngangkang lebih banyak mengandung mala dari pada manfaatnya. Selain itu juga, jika itu dilihat dari keadaan politik Aceh saat itu, sangat mungkin sekali, pembuatan UU ini tidak bisa lepas dari kepentingan-kepentingan lainnya yang berbeda dengan tujuan inti yang diungkapkan di awal, Syariat Islam.[7]



[1] Sebuah artikel  tanpa penulis, “Perda Yang Menindas Perempuan” dalam Analisa Media, Januari 2013.
[2] Dazni Yuzar, “Implementasi Syariat Islam” dalam Modus Aceh, edisi 7—13 Januari 2013, hlm. 4.
[3] Redaksi matannya مَنْ ضَارَّ ضَرَّهُ اللهُ وَمَنْ شَاقَّ شَقَّ اللهُ عَلَيْه
[4] Warsidi, Adi, “Larangan Duduk Mengangkang = Taliban Pakistan?” dalam http://www.tempo.co, diakses tanggal 27 Nopember 2013.
[5] Yazid bin Abdul Qadir Jawas, “Tidak Boleh Membahayakan Orang Lain” dalam http://almanhaj.or.id, diakses tanggal 27 Nopember 2013.
[6] Ibid.
[7] Aziz Anwar Fachrudin, “Kritikan Larangan Ngangkang” dalam http://azisaf.wordpress.com,diakses tanggal 27 Nopember 2013.

Rabu, 13 November 2013

Tasyua dan Asyuro (Apakah Hadist Terkait Bisa Dijadikan Sebagai Dasar Hukum)



Sedari tadi malam, ada sesuatu yang terasa lucu dalam benak saya sampai sore ini. Adalah tentang pertanyaan spontan Iwan Nasrullah, teman sekontrak saya yang juga jebolan Mambaus Sholihin. Pertanyaan itu simpel, tetapi sangat menggelikan, yaitu: apa puasa tasyua itu? apa manfaatnya? Dan karena saya pun tidak tahu secara bahasa atau istilah pengertian serta manfaat dari tasyua dan asyuro, maka spontan juga saya menjawab: tidak ada manfaatnya kok. Dan ternyata, jawaban saya tadi benar-benar direspon. Iwan tidak ikut berpuasa hari ini, entah karena tidak minat atau yang lainnya.

Masih dalam ruang lingkup pertama, di luar dugaan saya, di kelas, Bapak Muhdlir juga memicu kami untuk berfikir sejenak mengenai puasa yang hari ini saya lakukan. Sebelumnya, hal tersebut membuat saya ragu: karena takut tidak minat untuk berpuasa lagi dengan mendengar pemikiran-pemikiran beliau. Namun, ternyata beliau memberi ruangan yang berbeda untuk kali ini. Hal itu dimanifestasikan dengan lebih memihaknya beliau kepada pemikiran saya dan teman-teman dari pada pemikirannya. Beliau sekedar memberi wacana mengenai hadist yang berhubungan dengan asal mula dianjurkannya dua puasa ini.

Wacana itu terkait dengan hadist yang menyiratkan mengapa dua puasa ini dianjurkan. Ternyata, jauh dari bacaan saya, melalui hadist ini dijelaskan bahwa sebab adanya puasa asyuro ini adalah tindakan ikut-ikutannya Rosul terhadap budaya masyarakat setempat yang ketika itu sedang berpuasa di hari yang sama. Jadi, puasa asyuro ada karena adanya puasa yang terlebih dahulu dibudayakan oleh masyarakat ketika itu. Dan mereka tak lain adalah orang-orang yahudi. Puasa yang sekarang dilakukan oleh banyak orang ini berdasar kepada kebiasaan orang yahudi. Meskipun alasan awal orang Yahudi ini juga kepada puasanya Nabi Musa paska kemenangannya atas Firaun, tetap saja masih terasa tidak nyaman karena terkesan meniru salah satu budaya Yahudi.

Maka dari itu, dalam cerita yang tertulis karena disadari adanya ketidaknyamanan—disebabkan adanya kesamaan antara dua komunitas yang berbeda keyakinan—maka dengan penuh kebijaksanaan, Rosul menambah jumlah puasanya, yang awalnya hanya tanggal sepuluh Muharrom menjadi sepuluh dan sembilan Muharrom. Dengan demikian lahirlah puasa Tasyua. Puasa Tasyua ada hanya sebagai pembeda supaya Islam memang mempunyai sesuatu yang sendiri dan tidak meniru. Dan boleh jadi, inilah ekspresi serta bukti kalau ternyata kadar ikutnya Rosul terhadap budaya Yahudi lebih banyak dari pada terhadap puasanya Nabi Musa. Seandainya ketika itu diyakini bahwa frame yang diikuti adalah Nabi Musa, maka ketiadaan puasa sebelumnya dipandang lebih sesuai.

Sehingga dari semua itu, muncul pertanyaan—yang tadi juga beliau tanyakan kepada saya dan teman-teman—tentang pantas tidaknya dua puasa ini dijatuhi hukum, mengetahui sumber hukumnya—yang dari hadist tadi—seperti itu adanya. Dan jika dipikir sebentar, maka tidak ada alasan yang kuat mengapa hanya dengan kejadian tersebut, dua puasa ini dianjurkan atau bahkan sangat dianjurkan (dilihat dari manfaat-manfaat yang terulis).

Masih mengenai ini, saya teringat sesuatu. Adalah tentang hadist, saya barusan tahu kalau hadist tidak semuanya mempunyai nilai-nilai hukum. Dan mungkin ini salah satunya. Kemudian, ketika sebuah hadist sudah banyak dinyana tidak mempunyai nilai-nilai sebagai dasar hukum, apakah masih perlu untuk dikerjakan? Saya tadi menjawab masih. Namun, tidak tahu untuk lainnya. Semua tergantung takwil dari pribadi teman-teman. Toh, ada beberapa ayat Quran pun yang sekarang jauh dari nilai hukum dan kenyataan yang ada untuk hari ini. Itu adalah tentang teori kedataran bumi yang tersirat dari cerita Dzulkurnain dalam Quran, entahlah.zev131113

Jumat, 04 Oktober 2013

Mambaus Sholihin untuk Indonesia


          Lokomotif itu ternyata berstasiun. Mungkin satu kalimat itu yang pertama kali terbumikan dalam benak saya. Setelah sekian lama harapan itu seakan tak bertepi, di detik ini, di malam ini, di hari ini, di minggu ini, di bulan ini, di tahun ini, dan di angkatan ini terbukti sudah. Harapan itu tertambat. Tambatan yang istimewa untuk segenap lapisan jajaran Pesantren. Luar biasa. saya haru dibuat olehnya.
Masih segar dalam ingatan saya: bagaimana wajah-wajah para rekan-rekan MQK saya di angkatan tahun lalu tidak bisa tembus nasional serentak. Segala perasaan campur ketika itu, antara kecewa, sungkan dan terpaksa bahagia sebagai bentuk penghargaaan kita pada salah satu teman kita yang tembus nasional. Namun tetap saja, rasa itu tidak merakyat.
          Dan baru kali ini, saya merasakan betapa memasyarakatnya rasa itu. Pun, saya yang tidak terlibat sama sekali dengan pengorbanan mereka turut bisa merasakan rasa itu. terbayangkan dalam benak saya, betapa harunya suasana panggung terakhir tadi pagi, berapa mata yang meluapkan air matanya, berapa banyak mulut yang berkomat-kamit sepanjang pengumuman di suarakan, dan berapa banyak juga hati yang bergetar hebat pra dan paska momentum yang bagi saya saja sungguh istimewa ini.
Lagi-lagi di sini, saya mengatakannya: pencapaian ini adalah efek positif. Iya efek positif yang tersalurkan dari masing-masing peserta musabaqoh. Dari kata ini, saya juga tidak menafikan tentang kekalahan-kekalahan mereka di tempo dulu, saya juga tidak menafikan airmata-airmata yang menetes deras diangkatan sebelum-sebelum ini. Dari semua itu, dari semua kekalahan-kekalahan yang gandrung mereka alami sebelum ini, akhirnya menepi, menjadi satu kesatuan, menjadi satu momentum: hari ini. Sehingga untuk semua usaha-usaha di masa lalu dengan tujuan sebuah pencapaian, tetapi belum berhasil, iya inilah wujud nyata dari semua usaha itu. Gresik juara umum. Mambaus Sholihin juara.
          Seoalah, bagi mayoritas orang, malam tadi adalah malam yang biasa, sangat biasa, dan bahkan malam yang membosankan. Ada di luar sana, menghabiskan malamnya dengan menelpon orang-orang yang mereka sayangi, ada yang semalaman hanya fokus dengan kartu bergambar londonya, ada yang sibuk utak-utek blog barunya, ada yang lupa waktu karena seorang yang sangat di sayangi berada di sampingnya, ada yang herak-herek; ngalor ngidul menghabiskan BBM, dan lain sebagainya. Akan tetapi ada juga jauh di luar sana yang sedang menangis tersedu memeluk semua harapan, mimpi, dan doanya yang selama ini tak lepas dari sujud di tahajjudnya. Semua itu bertepi. Lokomotif pengorbanan itu mempunyai stasiun, yang bisa jadi, selepas pengumuman itu langsung bergegas untuk mimpi mereka yang selanjutnya, untuk stasiun yang berikutnya: Nasional. Mambaus Sholihin untuk INDONESIA.zev.051013


Rabu, 25 September 2013

Kesalahan, Ketakwaan, dan Kemanusiaan




          Untuk kali kesekian, banyak sekali jendela yang terbuka dalam pikiran saya mengenai kata takwa dalam arti yang sebenarnya. Masih segar dalam ingatan saya mengenai: bagaimana saya dulu menganggap betapa dominannya kata takwa itu dengan ritual-ritual islami. Seolah takwa itu sebatas sembahyang dluha 8 rakaat, tahajjud 4 rakaat, berpuasa senin-kamis setiap minggu, cuek dengan urusan-urusan dunia, dan kawan-kawannya. Saya dulu menganggap takwa hanya ada dalam pesantren yang sarat akan syariat. Makna takwa tersempitkan dalam ruang pikir saya lalu. Akan tetapi, sekarang berbeda.
          Takwa mempunyai yang lebih dari majemuk. Di setiap maknanya melibatkan dimensi-dimensi yang berbeda. Dalam catatan saya kemarin, takwa melibatkan dua dimensi sekaligus secara seimbang. Adalah antara hubungan kita dengan manusia dan hubungan kita dengan Tuhan. Bukan hanya usaha pendekatan diri di waktu pra subuh saja yang perlu dilakukan, tetapi konsisten pada ucapan kita dalam penetapan janji juga 50% sebanding dengan yang pertama. Bentuk praksis takwa sangatlah luas dan mendasar.
          Di bagian ayat lainnya, saya baru tahu jika Tuhan menitik beratkan takwa pada zona horisontal, zona kemanusiaan. Dalam ayat ini (3.134) sungguh jelas bagaimana takwa diformulasikan dengan begitu simpel. Siapapun bisa menjadi takwa melalui jalur ini. Yaitu mengenai sedekah. Seorang muslim bisa jadi adalah seorang yang takwa kalau sudah bisa konsisten untuk sedekah dalam keadaan apapun, baik ketika susah maupun senang. Tidak mudah marah dan hobi memaafkan kesalahan orang lain, juga terlibat dalam ruangan ini. Dari ayat tersebut, saya berani menyimpulkan tentang pentingnya mengalah dalam berhubungan dengan manusia. Kita hidup di zona kemanusiaan bukan zona ketuhanan. Jadi saya kira poin-poin dalam ayat tersebut lebih penting dan simpel untuk dijadikan parameter seseorang disebut takwa, bukan pada betapa hitamnya dahi mereka sebab sujud-sujud yang terlalu lama.
          Secara tersirat, ayat itu melukiskan betapa perhatiannya Tuhan pada hambanya yang tidak mampu. Sedekah ada karena ada seorang yang membutuhkan. Dan lewat ayat ini Tuhan mengekspresikan bentuk intervensi-Nya pada hambanya yang tidak mampu, melalui hamba lainnya yang lebih mampu. Pun, yang membuat saya heran, ternyata bukan dalam keadaan kaya saja seseorang dianjurkan untuk sedekah. Dalam keadaan dlorro’ (susah) pun, kita dianjurkan untuk sedekah. Satu bukti betapa vitalnya berbagi dengan sesama. Dan jika saya hubungkan dengan ayat yang terpaut tentang takwa dalam surat al-Baqoroh, aplikasi ini sangat direkomendasikan untuk keluarga yang dekat. Sedekah pada keluarga yang terdekat memiliki value yang lebih.
          Dan yang membuat saya gumun adalah keterkaitannya kata salah, jelek, buruk, dan lainnya dalam takwa. Hipotesis saya selama ini menganggap takwa itu bersih dari kata-kata itu. Seorang yang dikata takwa sudahlah jauh meninggalkan sesuatu yang yang berbau khilaf seperti itu. Akan tetapi berbeda dengan ayat ke 134 surat Ali Imran. Dalam pengamatan saya, kekhilafan atau kesalahan seseorang sangat mungkin sekali menjadi bagian terpenting disebutnya yang bersangkutan sebagai seorang yang takwa. Dalam paragraf ini makna takwa sungguh relatif. Dikatakan seorang yang usai berbuat salah lalu sadar dan berkomitmen untuk tidak mengulanginya, sudah pantas disebut takwa. Dalam satu sudut.
          Melalui kacamata yang berbeda, saya memandang keluwesan Quran terhadap takwa sedikit berbeda dengan paragraf sebelum ini. Dalam lain wilayah, ketika sudah jelas terbaca bahwa perilaku negatif juga termasuk bagian dari takwa, seakan tersirat motivasi yang istimewa dari Tuhan. Adalah tentang trial and error. Bisa jadi melalui ayat ini Tuhan bilang: mencobalah selalu, salahlah, dan temukanlah. Kata yang sangat bijak. Pun itu adalah bagian dari makna takwa. Takwa itu simpel: saat yang lainnya istikomah dalam kelurusan orang lain, kita jatuh bangun mencari-cari kelurusan kita sendiri.
          Darinya, saya juga teringat kisah Lincoln. Presiden hebat AS yang hidupnya penuh dengan kata “trial and error”. Satu kalimat yang sudah paten harus ada dalam setiap kehidupan calon manusia-manusia istimewa (takwa).zev250913
         

Senin, 23 September 2013

Quran pun Berbudaya




          Hari ini sepertinya saya lebih bisa mengatakan kalau cara membaca buku tercepat dan cara memperoleh ilmu paling mudah adalah diskusi. Iya, diskusi. Hari ini bapak Muhdlir untuk kesekian kalinya tidak bisa mengisi kelas saya. Kesibukan bisa jadi yang paling cocok sebagai alasan beliau tidak bisa hadir. Dan diskusi kayaknya juga lebih baik buat saya dan teman-teman.
          Yaitu tentang Quran dan budaya. Beberapa bulan silam, ketika saya masih berstatus mahasiwa INKAFA, saya menemui sebuah lubang yang tertutup secara tidak rapat. Saya masih belum puas dengan tutup lubang itu. Dulu diterangkan bahwa Al-Quran tetap adalah sebagai sumber segala ilmu termasuk di dalamnya adalah budaya. Al-Quran mengikuti budaya. Saya ulangi lagi: al-Quran mengikuti budaya. Sampai seminggu yang lalu saya masih tidak puas dengan kesimpulan itu.
          Dan hari ini, seakan semua keganjilan itu mengantri memasukki alam pikir saya. Dalam salah satu ayat yang menerangkan tentang puasa (2.183) tersurat makna yang membenarkan adanya budaya puasa sebelum islam. Menurut surat ini bisa jadi Quran mengikuti dengan budaya. Selayang pandang, budaya hadir lebih dahulu dari pada Quran. Teman saya menyamakan dengan konsep logis berdirinya sebuah sekolah beserta peraturannya. Peraturan tidak mungkin tersusun secara rapi terlebih dahulu sebelum sekolah terbangun secara konkit. Budaya adalah wadah dimana Quran eksis dan diaplikasikan.
          Di wilayah lain, antara budaya dengan Quran berjalan dalam relnya masing-masing. Budaya tidak mengikuti Quran dan Quran pun tidak mengikuti Budaya. Jika dikata Quran yang mengikuti budaya kuranglah tepat, karena ajaran inti akan Quran sendiri sudah jauh mendahului semua budaya di dunia ini. Salah satunya adalah cerita tentang Nabi Adam dalam al-Quran. Ayat yang menjelaskan bagaimana budaya apa adanya seorang Adam berinteraksi dengan sesamanya. Dalam konteks ini tidak sesuai juga ketika disimpulkan budaya lebih dahulu dari pada konsep Quran.
          Berbeda lagi adalah tentang pendapat yang menyuarakan Quran adalah awal dari semuanya. Quran adalah kalam murni dari Allah. Kalam dengan Allah adalah satuan yang tak terpisahkan. Sehingga jika Allah Qodim, maka kalam Allah juga kodim. Quran itu qodim. Budaya adalah makhluk. Otomatis menurut pendapat ini Quran dalam arti yang sebenarnya masihlah yang paling terdepan dari pada apapun dalam ranah disiplin keilmuan.
          Dalam pendekatan lain, antara Quran dan budaya tidak ada yang saling mengikuti. Keduanya saling menyesuaikan, bukan hanya Quran yang menyesuaikan, tetapi budaya juga menyesuaikan Quran. Secara nyata, budaya ada terlebih dahulu sebelum adanya Quran. Dan agar ada relasi yang kontinyu antara keduanya, Quran yang baru datang pada abad ke—7 dirancang sesuai dengan dialektika budaya Arab beserta budaya yang telah mengakar di dalamnya. Bisa jadi, Quran juga bukan hanya menyesuaikan tapi menyempurnakan budaya lama yang telah ada sebelumnya. Saya membahasakan: Quran tidak mengikuti budaya, tetapi menyesuaikan.
          Begitu pula dengan budaya. Dulu sebelum Islam datang dan membumi di Indonesia, di Jawa sudah ditemukan ritual-ritual murni yang ketika Islam datang ternyata dalam Islam juga ditemukan ritual yang sama dengan itu. Contohnya adalah ritual menenangkan diri atau pertapaan yang dalam Islam dikenal sebagai uzlah dan lain sebagainya. Dari potret ini bukan budaya yang yang mengikuti Quran atau sebaliknya, tetapi keduanya sudahlah sesuai secara murni.
          Dalam pendekatan sosiologis, masih segar di ingatan saya tentang materi gejala sosial. Dan untuk mengatasi itu duku saya belajar tentang metode presentif dan represif. Presentif adalah ketentuan yang  dibuat sebelum ada kejadian (tindakan pencegahan). Sedangkan, represif adalah ketentuan yang dibuat paska kejadian. Dan jika di hubungkan dengan Quran, kedua metode itu sudah membumi di dalamnya. Ada ketentuan yang ada sebagai solusi atau tanggapan atas sesuatu yang telah terjadi atau sebuah budaya (represif), ada juga ketentuan sebagai bentuk pencegahan (preventif). Akan tetapi, dalam hal ini saya masih belum tahu tentang bentuk konkrit akan keduanya.zev.240913