Tampilkan postingan dengan label filsafat. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label filsafat. Tampilkan semua postingan

Senin, 24 Agustus 2015

Agnostisme


Sekilas
       Secara prinsip, agnotisme tidak terlalu berbeda dengan ateisme. Hanya saja, agnostisme lebih kepada epistemologi, sedangkan ateisme kepada ontologi. Agnostisme cenderung pada pertanyaan mengapa seseorang harus mempercayai Tuhan dan bagaimana seseorang harus tidak mempercayai tuhan. Adapun ateisme lebih kepada ketidakpercayaannya sendiri atas adanya tuhan, terlepas dari apa alasan yang melatarbelakanginya. Kira-kira itu.
          Istilah agnostisme berasal dari kata “gnostein” yang berarti mengetahui. Jika ditambah awalan “a” agnostein, maka itu berarti sebaliknya, yaitu tidak mengetahui. Secara umum, “agnostein” sering dipakai untuk menyebut ketidaktahuan manusia akan apapun. Dengan lain ucapan, istilah itu sama halnya dengan pernyataan bahwa sifat dasar manusia adalah tidak mengetahui apapun. Namun, dalam perkembangannya, istilah “agnostein” juga dipakai dalam kajian keagamaan. Dan di dalamnya, istilah tersebut dipahami sebagai bentuk ketidakmampuan manusia untuk memahami tuhan sama sekali. Pendek kata, dalam perkembanganya—wilayah agama—“agnostein” adalah bentuk ketidakmampuan manusia untuk mengetahui tuhan. Adapun pelopor pertama yang memasukkan istilah tersebut dalam memakainya dalam ranah agama adalah Thomas Henry Huxley.
          Meskipun demikian, secara substansional, sebenarnya istilah di atas usai dipakai beberapa abad sebelumnya. Pun, dalam dunia Islam, itu juga sudah pernah dipakai. Adalah skeptisisme Phitagoras dan teologi negatifnya Ibnu Arabi. Pertama, itu bisa terjadi karena memang agnostisme adalah bagian dari skeptisme. Dengan lain ucapan, agnostisme adalah skeptisme wajah baru atau bagian dari perkembangannya. Sedangkan kedua, itu adalah teori Ibnu Arabi yang dipakai untuk memahami tuhan dengan prinsip keragu-raguan. Dengan demikian, tidak berlebihan kalau dikatakan bahwa substansi agnostisme sudahlah pernah ada.
Pembagian agostisme
Di lain sudut, pengertian agnostisme bisa ditinjau dari dua sisi, yaitu sisi epistemologi atau dari sudut pandang ilmu pengetahuan dan sisi teologis. Dalam sisi pertama, agnostisme dipahamai sebagai keterbatasan untuk memperoleh pengetahuan. Adapun di sisi kedua, itu dipahamai sebagai ketidakmampuan manusia untuk memahami tuhan.  
          Dari sudut pandang yang pertama, itu memiliki dua potensi, yaitu positif dan negatif. Positifnya, dengan agnostisme, seseorang dituntut untuk membebaskan diri dari segala batasan apapun, baik itu norma ataupun agama, dalam berpikir. Dan baru setelah itu berhasil, dia layak disebut kelompok inelektua. Pendek kata, dari sini, muncul konsep bahwa intelektual adalah mereka yang berhasil melepaskan diri dari segala bentuk batas dalam berpikir tak terkecuali agama. Selama dia masih terbatas dengan agama atau semacamnya, maka dia bukanlah intelektual. Sedangkan sisi negatifnya adalah adanya tuntutan untuk menghadirkan bukti dalam hal apapun itu dan jika tidak, maka itu sama sekali bukanlah kebenaran. Padahal di waktu yang sama: tidak semua kebenaran itu bisa dibuktikan. Dan di titik inilah, agnostisme menolak kebenaran atas adanya tuhan.

Antara agnostik dan agnostisme
        Kedua istilah di atas tidak bisa disamakan secara kasar. Agnostik berbeda dengan agnostisme. Meskipun akar katanya sama, tetapi pemahamannya berbeda. Agnostik hanyalah sebatas sikap tidak mengetahui atau sikap tidak begitu saja percaya dengan apapun. Sedangkan agnostisme sudahlah menjadi ideologi yang kaku. Artinya, selama masih agnostik, seseorang sangat mungkin untuk merubah sikapnya: yang mulanya tidak mengetahui menjadi mengetahui dan sebagainya. Namun, ketika sudah menjadi ideologi, itu sudah tidak bisa dirubah, totaliter dan kaku.
          Selanjuntnya, dalam agnostik sendiri terbagi menjadi dua, yaitu sikap percaya dan sikap menerima. Antara “percaya” dan “menerima” adalah dua hal yang tidak selalu bisa disejajarkan. Artinya ketika mendengar sesuatu, seseorang bisa saja menerima hal tersebut, tetapi tidak mempercayainya. Tidak semua yang diterima itu harus dipercayai, begitu juga sebaliknya. Itu bisa terjadi karena memang keduanya berbeda. Untuk mempercayai, seseorang membutuhkan alasan tertentu dan ini disebut sebagai mental state. Sedangkan untuk menerima, alasan tidak begitu dibutuhkan dan ini disebut sebagai mental act. Dengan demikian, seorang agnostik bisa saja menerima suatu pernyataan, tetapi tidak mempercayainya. Dia menerima adanya tuhan, tetapi tidak mempercayainya.

Jenis Agnostisisme
       Dalam wilayah teologis, agnostisme memiliki lima jenis. Adalah ateisme, teis, apatis/pragmatis, kuat, dan agnostisme lemah. Pertama adalah mereka yang tidak mempercayai tuhan tanpa alasan. Dengan lain ungkapan, mereka sama sekali tidak tahu atau tidak memiliki argument mengapa mereka tidak mempercayai tuhan. Berbalik arah dengan sebelumnya, jenis yang kedua adalah mereka yang mempercayai adanya tuhan, tetapi sama sekali tidak memiliki alasan mengepa mereka demikian. Ketiga adalah mereka yang magak atau berada di tengah-tengah antara jenis pertama dan jenis kedua. Kadang mereka mempercayai adanya tuhan dengan tanpa alasan dan kadang tidak. Adapun yang keempat, itu merupakan pemikiran yang sepenuhnya yakin bahwa tuhan itu tidak ada dan biasanya ini disertai dengan argumentasi-argumentasi.
Dan yang terakhir tidak lain merupakan mereka yang berpikir bahwa akal itu terbatas, tetapi tidak ada yang tahu bagaimana batas tersebut. Sebagaimana yang dikatakan Hegel: semakin bertumbuhnya manusia, semakin luas pula gerak batas akalnya. Pendek kata, agnostisme lemah adalah mereka yang tidak memiliki kepastian atas adanya tuhan: sekarang menolak, tetapi bisa saja besok menerima sebab telah menemukan argument, kira-kira itu. Dan sekali lagi, mereka bisa sedemikian itu sebab mereka memandang bahwa akal bergerak terbatas.

Argumen-argumen tentang Agnostisme
a.    Imanuel Kant
       Kant menyebut dirinya sendiri sebagai agnostik. Namun, dalam satu kesimpulannya, dia mengatakan bahwa seseorang harus menyisakan sedikit ruang di sekitar hatinya untuk tuhan. Adapun tujuannya, kata Kant, adalah untuk mengontrol moral. Tidak bisa tidak, jika tidak ada satu nama tersebut—tuhan—yang bersemayam dalam diri manusia, maka suatu kemustahilan moral bisa dikontrol. Dengan lain ungkapan, tuhan adalah satu hal penting yang harus ada demi terjaganya moral. 
          Selain tuhan, untuk mengontrol moral, itu juga memerlukan keabadian dan kebebasan. Kebebasan menjadi salah satu pengontrol moral sebab moral membutuhkan kesadaran. Dengan lain ungkapan, seseorang baru bisa sadar—jika tidak dikata terbiasa untuk sadar—ketika dia memiliki kebebasan. Sebagai ilustrasinya, seorang santri yang tinggal dalam lingkup pesantren ketat, selamanya dia tidak akan melakoni aktifitas kesehariannya dengan penuh kesadaran. Akan tetapi, dia hanya melakukannya agar tidak mendapatkan hukuman. Dan berbeda dengan itu adalah santri yang tinggal di pesantren longgar, bagaimanapun apapun yang dia lakukan pasti berlandaskan kesadaran. Mereka sadar karena mereka memiliki kebebasan untuk melakukan apapun yang ingin dia lakukan.
Adapun hubungan keduanya dengan moral adalah terletak pada pelampiasannya. Santri yang terkekang akan cenderung melampiaskan semua keinginannya secara liar dan tanpa memperdulikan batasan-batasan moral. Keinginan-keinginan yang sebelumnya terurungkan gara-gara peraturan pesantren merupakan salah satu alasan mengapa mereka melakukan itu. Dan berbeda sama sekali dengannya adalah santri yang longgar: mereka berpotensi lebih kecil untuk melakukan tindakan amoral karena dalam kesehariannya tidak bertemu dengan paksaan-paksaan. Oleh karena itu, tidak terlalu mengada-ada kalau kebebasan merupakan salah satu pengontrol moralitas manusia.
Selanjutnya adalah keabadian. Keabadian yang dimaksud di sini adalah tempat pembalasan. Dengan lain ungkapan, hari tempat semua perbuatan manusia akan dibalas itu bukanlah khayalan. Sehingga dengan adanya itu, manusia akan berpikir ulang untuk bertindak amoral atau menyakiti orang lain. Pendek kata, mereka enggan berbuat amoral karena takut akan dibalas di hari esok. Dan jika dikembalikan ke fungsi adanya tuhan, maka posisi tuhan adalah sebagai pihak yang mengatur keabadiaan. Dengan demikian, dengan meyakini dan memunculkan keyakinan umum atas tiga hal di atas, sangat mungkin moralitas bisa terkontrol.
b.    Positifisme logis
Prinsip positifisme logis adalah rasional dan empiris. Apapun yang tidak bisa dijangkau dengan akal dan tidak bisa dibuktikan secara nyata bukanlah suatu kebenaran. Bagi mereka, kebenaran adalah yang masuk akal dan bisa dibuktikan secara indrawi. Sebagai akibatnya, mereka sama sekali menola metafisika dan juga tuhan. Lebih pasnya, metafisika tidaklah keliru, hanya saja mempercayainya itu tidak ada gunanya, itu hanya membuat capek, dan sama sekali tidak ada untungnya. Mode pembuktian dasar positifisme logis adalah verifikasi.
c.    Falsifikasi Popper
Ini tidak terlalu berbeda dengan positifisme logis. Hanya saja, mode pembuktian yang dipakai bukanlah verifikasi, tetapi falsifikasi. Adalah pembuktian adanya kesalahan. Kalau verifikasi itu pembuktian akan benarnya sesuatu, sedangan yang ini adalah pembuktian atas adanya kesalahan dari sesuatu. Sehingga jika dikaitkan dengan metafisika, itu juga sama sekali tidak bisa dibuktikan kesalahannya. Jadi, itu bukanlah sesuatu yang harus dipercayai apalagi diperjuangkan.
d.    Falsifikasi II (Anthoni Flew)
Setelah Popper, muncul Flew dengan falsifikasi lanjutan. Pendeknya, dia menyindir cara berpikir tentang tuhan dengan kisahnya yang berjudul “The Invisible Gardener”.
e.    Falsifikasi III (Rasionalisme Kritis Hans Albert)
       Secara prinsip, ini tidak jauh berbeda dengan dua falsifikasi sebelumnya. Hanya saja, dalam mekanismenya, ini bukan sekedar falsifikasi biasa, tetapi lebih pada “prinsip dapat difalsifikasi”. Artinya tidak ada satupun kebenaran yang tidak dapat difalsifikasi. Sebagai dampaknya semua kebenaran yang sering dipandang sudah akhir, tetap saja harus difalsifikasi. Dan andai saja itu dipaksakan untuk tidak bisa difalsifikasi, maka itu hanya akan menemui “trilema”, yaitu infinite regres, lingkaran setan logis, dan dogmatisme. Infinite regres adalah keadaan tempat seseorang selalu berbelit dalam menjelaskan suatu kebenaran. Meskipun yang bersangkutan terbukti salah, tetapi masih saja dia menjelaskan bahwa dia benar dan akan selalu menjelaskan jika ditanya lagi, seakan apa yang diyakininya tidak ada salahnya. Tidak berbeda jauh dengan itu adalah terjebak dengan lingkaran setan logis. Itu hanyalah usaha seseorang untuk membela argumennya agar selalu benar. Adapun yang terakhir adalah keadaan tempat seseorang dilarang untuk bertanya dan hanya diperbolehkan untuk menerima.

          Singkatnya, pemaksaan atas tidak adanya kesalahan dalam setiap kebenaran hanya akan berakhir pada rekayasa-rekayasa yang apologetic. Dan biasanya ini selalu dipakai dalam kepetingan-kepentingan agama. 

Kamis, 04 Juni 2015

ATEISME


Selayang Pandang
          Adalah semacam penolakan terhadap adanya tuhan dengan tanpa dibarengi aksi provokatif.  Disebut tidak provokatif karena istilah ini sering disejajarkan dengan istilah antiteisme yang lebih provokatif. Selain istilah ateisme ada beberapa istilah lain yang terkait, yaitu nonteisme, antiteisme sebagaimana yang usai disinggung sedikit tadi, aphateisme, agnostisme, ignosticisme, antireligion, irreligion, dan secular humanism. Semua istilah tersebut memiliki titik tekan yang berbeda satu sama lain, tetapi secara umum, tetap saja, poinnya adalah menolak eksistensi tuhan.
          Pertama, itu merupakan istilah tempat seseorang tidak mempercayai sama sekali adanya tuhan. Kata “tidak mempercayai” dan “menolak” adalah dua kata yang berbeda. Kata “menolak” masih mengindikasikan adanya kepercayaan dalam hati, hanya saja, itu ditolak. Namun, kata “tidak mempercayai” sama sekali tidak mengindikasikan adanya sedikitpun kepercayaan dalam hati. Dan di waktu yang sama, di situlah letak perbedaan antara nonteisme dan ateisme. Ateisme “menolak”, sedangkan nonteisme “tidak mempercayai” atau sama sekali tanpa tuhan.
          Kedua adalah antiteisme. Pada dasarnya, ini tidaklah berbeda dengan ateisme. Hanya saja, istilah ini lebih menekankan pada wilayah provokatifnya. Sedangkan ateisme sama sekali tidak provokatif. Dengan lain ucapan, antiteisme adalah keadaan menolak tuhan dengan disertai upaya-upaya untuk mendakwahkan keadaan tersebut. Adapun ateisme hanyalah sekedar keadaan menolak tuhan tanpa sama sekali berupaya untuk mempengaruhi orang lain guna mengikutinya.
          Ketiga adalah aphateisme. Itu adalah istilah yang sering digunakan untuk menyebut ateisme praktis. Artinya, dari segi pengakuan, mereka masih mengakui adanya tuhan. Akan tetapi dari segi praksisnya, perilaku mereka sama sekali tidak mencerminkan seorang yang mengakui adanya tuhan. Pendek kata, mereka mengakui mempercayai tuhan, tetapi di waktu yang sama, mereka melakukan hal-hal yang sering dilakoni para ateis atau bahkan melebihinya. Dalam bahasa Qurannya, itu termasuk katagori munafik.
          Keempat, itu tidak berbeda jauh dengan antiteisme yang provokatif dalam menolak tuhan. Hanya saja, kelompok ini provokatifnya lebih pada epistemologinya. Dengan lain kata, mereka memiliki episteme yang kuat dalam menolak eksistensi tuhan. Dengan apapun yang tidak empiris, mereka selalu pasang aksi skeptis. Dan eksistensi tuhan sama sekali tidak empiris. Sehingga mereka selalu skeptis dengan adanya tuhan.
          Kelima: ignosticisme. Adalah jenis ateisme yang begitu terikat dengan paradigma positivesme. Segila-gilanya manusia usai membahas tuhan, berusaha mempercayai, dan lain sebagainya, tetap saja, itu adalah sia-sia. Adapun alasannya adalah eksistensi tuhan sendiri yang sama sekali tidak bisa dipandang secara positifistik, sedangkan ukuran sesuatu bisa dikatakan bermanfaat adalah ketika itu bisa dilihat secara positif. Kesimpulannya, mempercayai adanya tuhan adalah tindakan yang sia-sia.
          Selanjutnya untuk keenam dan ketujuh, keduanya itu semacam tidak menyukai agama. Artinya, mereka menolak agama, tetapi di lain sisi, mereka masih menginginkan spiritual. Dalam wilayah ini, titik tekannya adalah pada kritik terhadap agama. Bagi mereka, agama adalah satu mahkluk aneh yang tidak memiliki fungsi apapun kecuali mengganggu kebebasan manusia. Agama dipandang terlampau banyak memberikan aturan-aturan yang mengikat pemeluknya. Kira-kira itu.
          Dan yang terakhir adalah secular humanism. Jika dibandingkan dengan ateisme, istilah ini bisa dikatakan mending. Sebab dengan itu, seseorang masih mempercayai adanya tuhan. Hanya saja, mereka tidak mempercayai kalau tuhan masihlah mengurus dunia. Artinya, mereka sangat percaya kalau tuhan sudahlah pensiun atau tidak berguna. Tuhan masih ada, tetapi dia hanyalah penonton, tidak memiliki dampak apapun pada kehidupan manusia. secular humanism sangat berpotensi untuk memunculkan deisme, kemudian dari deisme ke agnostisme, dan baru ateisme.
          Ateisme memiliki beberapa cabang, yaitu jenisnya dan pembagiannya. Ateisme memiliki dua jenis: ateisme negatif dan ateisme positif. Sedangkan dalam pembagian, itu terbagi menjadi ateisme praktis dan ateisme teoritis.
          Ateisme memiliki dua jenis: negatif dan positif. Untuk jenis pertama, itu sama halnya dengan istilah ateisme itu sendiri, yaitu hanya sekedar menolak adanya tuhan dengan tanpa menunjukkan bukti apapun tentangnya. Sedangkan jenis kedua, itu disertai dengan menunjukkan bukti-bukti bahwa memang tuhan tidak ada. Dan jenis yang kedua ini tidak bukan adalah istilah lain dari antiteisme.

Ateis Praktis
          Adalah istilah lain dari aphateisme. Yaitu sesuatu yang dengannya seseorang masih mempercayai adanya tuhan, tetapi perilakunya sama sekali tidak mencerminkan kalau dia percaya dengan tuhan. Pendek kata, mereka tidak pernah mengatakan kalau dirinya ateis, tetapi di waktu yang sama, mereka juga tidak pernah melakukan apa yang harusnya dilakukan oleh seorang yang percaya.
          Adapun ciri-ciri dari ateis praktis adalah sebagai berikut:
-       Apapun yang mereka lakukan bukan berbasis dorongan agama atau motivasi agama.
-       Mereka tidak pernah berpikir terlalu dalam dank eras tentang tuhan. Sebab, pada dasarnya, mereka tidak percaya.
-       Mereka menganggap bahwa hal-hal yang supranatural atau tidak empiris adalah sesuatu yang tidak penting.
-       Dalam segala aktifitasnya, mereka selalu tidak menghadirkan tuhan.

Ateis Teoritis
          Berbeda dengan sebelumnya, ateis ini lebih berbicara kepada mengapa seseorang mempercayai tuhan. Dengan lain bahasa, ateis teoritis menjelaskan tentang argumen-argumen yang menentang tuhan. Dan dalam diskusi ini, hanya akan diuraikan empar argument besar tentang tuhan, yaitu argument epistemologis, argument metafisik, argument koherensi, dan argument antroposentris.
1.    Argument epistemologis.
Argumen yang pertama ini memuat empat teori, yaitu teori imanensi subjek, teori agnostis Imanuel Kant, teori skeptisisme David Hume, dan teori ignostisisme.  Untuk yang pertama, itu adalah argument yang mendasarkan dirinya pada kesimpulan bahwa setiap individu memiliki bayangan yang berbeda-beda tentang tuhan. Sebagai ilustrasinya, si A memandang tuhannya seperti sesosok yang besar, berjenggot, dan berjubah. Dia memproyeksikan tuhan sedemikian rupa karena dia adalah seorang muslim kelompok tradisionalis. Sedangkan si B memandang tuhannya sebagai sosok yang rapi, wangi, dan indah. Dia memproyeksikannya seperti itu sebab dia seorang muslim kelompok pembaru. Meski dalam satu atap agama, keduanya berbeda tentang konsepi terhadap Tuhan. Setiap orang tidak bisa tidak memiliki konsepsi yang berbeda-beda tentang Tuhan. Oleh karena itu, pertanyaan besarnya, yaitu: apakah masih perlu seseorang mempercayai sesuatu yang sangat tidak jelas dan berbeda-beda seperti itu. Dan kira-kira di situlah letak epistemologis penolakan mereka terhadap tuhan.
Kedua, itu adalah teori yang menganggap bahwa sampai kapanpun, agama tidak akan pernah bisa dipahami ataupun diakses oleh manusia. Sebab itu berada di luar jangkauan akal. Dan apapun yang tidak bisa terjangkau oleh akal manusia, itu berarti juga tidak bisa diakses oleh manusia. Oleh karena itu, untuk apa manusia harus mempercayai sesuatu yang dirinya saja tidak akan pernah bisa mengaksesnya.
Ketiga adalah skeptisisme David Hume. Itu merupakan teori yang memandang bahwa apapun yang boleh diterima adalah yang empiris. Agama bukanlah suatu yang empiris sehingga itu tidaklah bisa diterima. Sampai di sini, teori ini tidak berbeda jauh dengan teori sebelumnya. Namun, itu tidaklah berhenti di sini.
     Selanjutnya, kalaupun itu—penerimaan terhadap tuhan—dipaksa, maka yang ada hanyalah permainan akal manusia. Dengan lain kata, itu semacam apologi seseorang untuk memaksakan sesuatu yang sudah jelas tidak mungkin, tetapi masih saja diterobos. Sehingga yang ada bukanlah kenyataan apa adanya, tetapi hanyalah permainan pikirannya. Sesuatu yang jelas tidak mungkin tadi ibarat tuhan yang tidak bisa diakses, selanjutnya seseorang yang memaksakan di atas ibarat manusia yang memaksa akalnya untuk mengakses tuhan, sehingga yang muncul hanyalah permainan akal. Peristiwa seperti ini sering disebut sebagai teologi natural.
Masih tentang istilah, Hume menyebut realitas di atas sebagai gagasan kompleks. Itu merupakan gagasan yang sengaja dimunculkan guna menyimpelkan sesuatu yang sebenarnya sangat rumit untuk dipahami atau bahkan sama sekali tidak bisa dipahami. Dengan lain kata, itu berfungsi menjadikan sesuatu yang sebenarnya tidak bisa dipahami menjadi sesuatu yang ringan untuk dipahami. Dan diterima atau tidak, pada dasarnya, seperti itulah agama. Agama hanya berisi gagasan-gagasan komplek. Sebagai ilustrasinya, konsep tentang surga yang selalu digambarkan dengan air yang mengalir dan konsep malaikat yang  sering digambarkan bersayap tidak bukan hanyalah beberapa bentuk dari gagasan kompleks dalam Islam.
     Keempat,  itu adalah teori yang orientasinya pada positifisme logis. Dalam positifisme logis, apapun yang tidak empiris dan tidak bisa diukur adalah sesuatu yang tidak bisa diterima. Tuhan merupakan salah satu entitas yang tidak empiris dan tidak juga bisa diukur. Dengan demikian, bagi pengikut teori ini, mempercayai adanya tuhan adalah suatu kebodohan. Mereka sama sekali tidak memiliki alasan yang memadai untuk mempercayai eksistensinya.
2.    Argumen Metafisik
       Sebagaimana namanya, argument ini menolak adanya tuhan dengan membenturkan dua entitas yang saling bertolak belakang, yaitu materi dan immateri. Materi tidak bukan adalah dasar atas realitas manusia. Sedangkan yang kedua, itu tidak lebih dari buat-buatan manusia. Sehingga, bisa ditarik garis simpul bahwa tuhan hanyalah buat-buatan manusia sebab posisinya yang immateri.
3.    Argumen Koherensi
Adalah argument yang menyandarkan dirinya pada kritik terhadap adanya inkonsistensi antara sifat-sifat tuhan dan inkonsistensi sifat tuhan dengan realitas yang ada. Pertama, itu bisa diamati dengan kebanyakan sifat tuhan yang tidak bisa tidak memiliki kontradiktif. Sebagai ilustrasinya adalah tuhan itu maha pengasih, tetapi di waktu yang sama, tuhan juga maha penyiksa. Antara sifat pengasih dan penyiksa adalah dua hal yang kontradiktif. Dengan demikian, tidak salah jika dikata bahwa tuhan memang sama sekali tidak konsisten.
     Kedua, itu bisa diamati dengan jelas ketika ada konflik berdarah antar sekte dalam satu agama. Artinya, andai tuhan memang konsisten dengan sifatnya yang penyayang, maka tidak mungkin dia membiarkan hambanya terlibat konflik berdarah. Akan tetapi, pada kenyataannya, konflik berdarah terus berlanjut bahkan usai terlalu lama sehingga bisa disimpulkna dengan cepat kalau memang tuhan tidaklah konsisten. Dan kira-kira, di titik inkonsistensi inilah, ateisme benar-benar menolak tuhan.

4.    Argumen Antroposentris
       Adalah argumen yang menolak adanya tuhan dengan dalih bahwa adanya tuhan itu tergantung pada manusia. Dengan lain ucapan, tuhan hanyalah ciptaan manusia. Ketika manusia ingin tuhan itu ada, maka diciptakanlah tuhan, begitu juga sebaliknya. Pendek kata, pihak yang menentukan untuk bertuhan atau tidak adalah manusia, bukan tuhan. Di sini, kunci dalam kehidupan adalah manusia.
          Di lain sisi, itu juga bisa dipahami bahwa sesungguhnya, pihak yang membutuhkan adalah tuhan, bukan manusia. Tuhanlah yang membutuhkan manusia untuk menjadikannya tuhan, bukan sebaliknya. Simpelnya, andai saja tidak ada manusia, tuhan tidak akan pernah ada. Pun, kalau misalnya manusia ada, tetapi mereka tidak mau mengakui tuhan, maka tuhan tetaplah tidak ada. Oleh karenanya, bisa disimpulkan bahwa ada tidaknya tuhan itu tergantung pada bagaimana manusia mengakuinya.

Para Pembunuh Tuhan
          Ada suatu pemikiran, ada pula yang menelorkannya. Adalah beberapa tokoh yang menggandrungkan pola berpikir tanpa batas. Selama berpikir itu masih terbatasi, maka itu bukanlah berpikir dan kira-kira itu juga berlaku untuk intelektul. Tokoh-tokoh tersebut, yaitu Feurbach, Karl Marx, Nietczhe, Freud, dan Sartre.
1.    Feurbach
       Baginya, tuhan tidak lain adalah buah pikiran manusia. Adapun postulasi feurbach adalah pandangan bahwa manusia selalu ingin berpikir secara sempurna dan menghasilkan sesuatu yang sempurna pula sampai-sampai itu melampaui dirinya sendiri. Dan salah satu dari hasilnya adalah tuhan. Dengan pikiran selalu ingin sempurna, mereka sukses menghasilkan tuhan sebagai sesuatu yang sangat sempurna sehingga mereka sendiri—selaku yang memikirkan—terlampaui dan bahkan itu ditakuti oleh mereka sendiri. Kira-kira, demikianlah apa yang dipikirkan Feurbach.
2.    Marx
      Pemikiran Marx tidak terlalu berbeda dengan Feurbach. Hanya saja, dia melanjutkan pertanyaan Feurbach, yaitu lebih pada mengapa manusia bisa memiliki keinginan untuk berpikir yang serba sempurna atau mengapa mereka selalu ingin memproyeksikan wujud tuhan. Adapun alasannya bagi Marx adalah realitas yang deskriminatif terhadap mereka. Kenyataan yang selalu tidak adil terhadap mereka berhasil membuat mereka—kalau tidak disebut memaksa—mencari tempat lain guna mendapatkan kebahagiaanya. Dan akhirnya, berpikirlah mereka tentang tuhan dan agama. Agama bagi mereka hanyalah tempat pelarian yang tidak lain adalah untuk memberikan mereka secercah harapan guna melanjutkan hidup. Namun, bagaimanapun, bagi Marx itu semua semu, itu hanya ganja yang memberikan kebahagiaan sesaat.
3.    Nietczhe
       Dibanding kedua tokoh sebelumnya, bisa dikata Nietzhe adalah yang lebih ekstrim. Baginya, tuhan harus dibunuha. Alasannya, tuhan tidak lebih dari rekayasa pikiran manusia atau manusialah yang menciptakannya. Dari segi manfaatnya, itu sama sekali tidak bermanfaat sebab tuhan hanyalah permainan akal manusia sendiri. Akan tetapi, dari segi kerugian, itu sangat merugikan manusia. Adanya tuhan hanya akan membentuk pola pikir manusia menjadi pengecut, cengeng, tidak mandiri, dan hanya akan menjadikan manusia budak. Dengan demikian, mengetahui itu, tuhan harus dibunuh, toh adanya malah menimbulkan banyak kerugian.
4.    Freud
       Freud memandang agama menjadi dua wajah, yaitu agama itu neurosis kolektif dan ilusi infantil. Pertama, itu disebabkan oleh posisi agama yang hanya berfungsi untuk memberikan ketakutan-ketakutan tertentu pada pemeluknya. Bagi Freud, ketakutan yang timbul dari pengaruh agama tersebut muncul dari super ego. Dan jika sudah demikian, maka agama hanya akan menganggu kehidupan manusia sebab efek takut yang ditumbulkan. Sebagai ilustrasinya, konsep surga yang selalu membayang-bayangi pikiran pemeluk agama tertentu sehingga dia menjadi tidak bebas dalam berpikir.
       Kedua, itu semacam sindrom anak-anak. Agama selalu dipandang bahwa dia mampu menyelematkan pemeluknya dari segala macam gangguan dan penderitaan. Akan tetapi, pada realitasnya, manusia sama sekali tidak terselamatkan dan justru terganggu. Dengan lain ucapan, ini semacam pemberian harapan palsu. Agama hanya memberikan harapan-harapan palsu. Sebagaimana anak kecil, ketika seseorang mempercayai agama, mereka hanya akan selalu dibujuk dan diberi harapan-harapan tidak jelas.
5.    Sartre

Sartre memiliki semangat yang sama dengan Nietczhe, yaitu membunuh tuhan. Hanya saja, dia lebih menekankan pada alasan eksistensi manusia. Baginya, manusia baru benar-benar bisa dikatakan manusia ketika dia sudah bisa mengatur hidupnya sebebas apa yang dia inginkan. Di waktu yang sama, selama manusia masih mempercayai tuhan, maka dia tidak akan pernah bebas. Sehingga, untuk menjadi manusia yang manusia, tuhan harus dibunuh.