Tampilkan postingan dengan label politik. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label politik. Tampilkan semua postingan

Selasa, 04 Februari 2014

Uang Saksi: Money politik wajah 2014


Sebelum berbicara mengenai uang saksi, akan sangat menarik jika pembahasan ini diawali dengan beberapa fakta terkait dengan money politic. Salah satunya adalah tentang ungkapan yang dewasa ini kian merakyat dikalangan bawah rakyat Indonesia. Adalah tentang ungkapan yang menyatakan bahwa mereka akan memilih siapa saja, saya ulangi lagi: siapa saja yang berani memberi mereka uang terbanyak. Sebab, di mata mereka caleg yang sudah berani mengucurkan uang terbanyak adalah sesosok calon yang pemberani. Bukannya sosok calon ideal adalah yang pemberani?. Dan kira-kira itulah logika masyarakat memandang money politic selama ini.
Berpindah dari irama lawas respon masyarakat terhadap strategi-strategi perpolitikan yang kerap berubah, muncul suatu strategi terbaru berwajah lebih halus dan bahkan tidak terlihat sama sekalai kestrategiannya. Itulah isu tentang pemberian uang saksi. Meskipun hal ini dananya bersumber langsung dari pusat yang hampir mau digelontorkan sebanyak 600 Milyar, namun jika itu diamati, maka akan muncul banyak sekali celah untuk berbuat kotor. Keluar dari prasangka buruk terhadap apa dan siapapun, kebijakan ini memungkinkan parpol tertentu untuk intervensi terhadap pembagian uang saksi. Kemudian, ketika parpol sudah intervensi, bisa jadi ada kucuran lain—yang mungkin bagi mereka adalah hadiah—yang akan diselipkan dalam uang saksi tersebut dengan harapan dan bahkan ancaman tertentu. Dan karena uang saksi adalah kebijakan dari pusat, maka meskipun tindakan tersebut benar-benar terlaksana, hal itu tidak akan Nampak layaknya sebuah kecurangan, tetapi sebuah kebaikan. Sehingga jika itu disejajarkan dengan money politic yang seakan-akan sekarang ini sudah legal, hal itu lebih kronis: menyerang dari dalam.
Dalam mekanisme pelaksanakan, uang saksi layak juga dimasukkan dalam pertimbangan yang serius. Sebab, dilihat dari segi namanya saja, hal tersebut sudahlah rumit dan membutuhkan banyak sekali tenaga ekstra. Bagaimana tidak, PEMILU 2014 dikatakan kemarin: bagaimanapun juga harus dilaksakan serentak satu Indonesia. Dan sekarang pertanyaannya, siapa yang bisa menjamin kejujuran semua saksi yang belum tentu kejelasannya dari seluruh wilayah Indonesia ini? Atau lebih ringannya saja, siapa yang bisa menjamin uang saksi ini bisa merata ke seluruh saksi se-Indonesia? Usaha super ekstra saja tidaklah bisa menjamin kedua hal tersebut. Dan berbicara mengenai pemerataan dana, hal itu erat kaitannya juga dengan penyelewengan dana, belum lagi ada penggunaan dana sebagai pencitraan caleg, dan ,lain sebagainya. Dengan demikian, ditilik dari keadaan geografis Indonesia, kebijakan ini sangatlah rawan kriminalitas.
Setiap orang berhak untuk menyuarakan pendapatnya, bahkan menjadikannya sebagai kesimpulan umum dalam sebuah rapat. Hal itu sah dan boleh saja. Akan tetapi, jika di dalamnya terselip sebuah niat yang lain, pasti meski hal itu sudah resmi dijadikan sebuah kebijakan umum pun pasti akan terendus juga. Isu tentang uang saksi ini, boleh jadi hanya salah satu usulan parpol yang sudah terlalu capek memikirkan strategi apalagi yang efektif untuk digunakan sehingga muncullah kebijakan uang untuk saksi dalam PEMILU 2014 ini. zev040214  

Kamis, 19 Desember 2013

Menyebut, mempermasalahkan, dan menyangkutpautkan Pancasila adalah manifestasi untuk memancasilakan Pancasila


Satu hal yang perlu diperhatikan dalam hal ini adalah mengenai pemahaman terhadap sebuah ideologi. Selama ini dan sampai saat ini, ideologi dasar bangsa: pancasila, seakan hanya menjadi pajangan dan pahatan yang fungsinya telah habis. Anggapan seperti itu muncul karena banyak kelompok yang memandang bahwa memang Pancasila itu sebagai Satu-satunya  ideologi bangsa yang paripurna dan lestari,[1] tetapi keduanya hanyalah tinggal bingkai sejarah. Mudahnya, Pancasila itu bisa berfungsi sebagai problem solver dari semua problematika hanya ketika dulu saja, pada masanya, bukan saat ini.
Padahal, secara teori, anggapan diatas tidak bisa begitu saja dibenarkan. Karena sesungguhnya dalam kata ideologi itu bukan berarti sebagai  ideologi secara murni saja: ideologi yang berbasis kepada nilai-nilai luhur bangsa dan latar belakang budaya Indonesia, tetapi juga mengandung arti lainnya, yaitu arti praktis: ideologi yang berpegang kepada pengalaman sejarah yang selalu berubah dan penuh dengan trial, sejak mulai revolusi kemerdekaan, percobaan demokrasi liberal, percobaan demokrasi terpimpin, periode pembangunan, dan sampai saat ini.[2] Dan itu berarti kalau Pancasila selaku ideologi bangsa tidak lagi sebagai pahatan tahun 45 atau teori yang hanya bisa digunakan untuk masa itu saja, tidak. Akan tetapi, itu merupakan suatu fundamental yang bisa dijadikan rujukan untuk semua masa tergantung bagaimana ideologi tersebut bisa dipahami secara praksis bukan hanya murni.
Lebih dalam lagi, ketika suatu ideologi hanya dipahami secara murni, maka hasil yang akan muncul tidaklah berbeda dengan abstrak yang tertulis di paragraf pertama tadi. Namun, kalau itu diimbangi dengan pemahaman secara praksis—yang lebih mengedepankan perubahan pengalaman-pengalaman sejarahnya—maka hasilnya pasti akan lebih baik. Hal itu bisa diibaratkan dengan pendekatan normatif dan historis dalam memahami sebuah agama. pendekatan historis saja tanpa normatif akan kabur, begitu juga dengan praktis saja tanpa murni. Dengan demikian, kedua hal tersebut harus saling menunjuk, kemudian bekerja sesuai tempatnya masing-masing. Karena dengan adanya balance antara keduanya, Pancasila tidak lagi dianggap sebagai suatu yang basi dan tidak lagi perlu untuk disebut, tidak. Akan tetapi justru Pancasila akan selalu dikejar untuk bertanggung jawab dalam penyelesaian bermacam problematika bangsa.
Dan akhirnya, jika pola pikir bangsa sudah diatur sedemikian rupa, maka untuk sekedar tidak melibatkan atau menyebut Pancasila dalam setiap problematika bangsa saja merupakan suatu kesalahan yang besar. Jadi, disamping masyarakat bisa berfikir kembali untuk menyelesaikan masalah berdasarkan Pancasila, itu juga bisa berdampak pada pemulihan anggapan masyarakat Indonesia yang selama ini bisa dikata telah melupakan Pancasila.
Kemudian, darinya, secara otomatis, bagaimanapun juga jika pikiran sudah terstruktur dengan basis pancasila, cara berfikirnya pun pasti merujuk kepada nilai-nilai Pancasila. Dan hal inilah yang diharapkan bisa memperbaiki keadaan Indonesia dewasa ini. Itu semua tidak akan menjadi spekulasi semata jika Pancasila bisa lebih sering untuk disebut, dipermasalahkan, dan disangkutpautkan oleh para pemimpin bangsa khususnya dan oleh segenap masyarakat umumnya dan sebagai contoh konkritnya: alangkah lebih indahnya jika dalam setiap sidang-sidang soal rakyat oleh DPR, MPR, dan segenap lapisan badan formal negara diawali dengan pembacaan dan pereneungan sejenak tentang Pancasila. Itu tak lain agar terciptanya nuansa yang benar-benar Pancasila di Indonesia ini.



[1] Riza Noer Arfani, Demokrasi Indonesia Kontemporer (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996) hlm. 42.

[2] Riza Noer Arfani, Demokrasi Indonesia Kontemporer,  hlm. 41.

Rabu, 18 Desember 2013

Murba


Kali pertamanya, yaitu paska Indonesia merdeka, Istilah partai-partai barulah muncul dan turut mewarnai dan memulai percaturan politik Indonesia. Awalnya, karena memang bau harumnya kemerdekaan Indonesia yang diraih dengan penuh nuansa heroik masih tajam di hidung bangsa Indonesia, satu institusi ini—partai—ada tanpa adanya tujuan negatif seperti sekarang. Saat itu, partai-partai yang lahir di Nusantara ini tak lain hanyalah untuk mengisi kemerdekaan. Sehingga, semuanya mampu bersaing dan bersama-sama membangun bangsa.
Dan di tengah-tengah atmosfir perpolitikan yang masih segar ketika itu, Partai Murba lahir dari seorang tokoh yang biasa dikenal dengan Tan Malaka. Sebetulnya, Murba dibentuk bukanlah sebagai partai, tetapi sebatas sekolah politik. Dulu, disamping memang partai itu adalah sebagai salah satu wadah untuk kader-kader bangsa belajar politik, tetapi Murba hadir dengan situasi yang berbeda. Murba—yang ketika itu masih berupa sekolah politik—menghadirkan beberapa kajian yang dipandang lebih dari partai lainnya, yaitu analisa pemikiran. Melalui ini, kader-kader yang ada dalam Murba belajar membaca semua pemikiran-pemikiran tokoh-tokoh luar biasa bangsa dan dilanjutkan dengan belajar berfikir seperti mereka. Dengan demikian, tidak salah jika Murba di pandang lebih dari lainnya.
Kemudian, disebabkan adanya kader-kader yang dipandang sudah mampu dan siap untuk berpolitik, Murba bermetamorfosis menjadi partai politik. Kejadian itu terjadi sekitar tahun 1948[1] atas usulan anggota-anggotanya. Selain itu, alasan lainnya yang mendasari berdirinya Murba sebagai Partai adalah pemikiran Tan Malaka yang memandang bahwa Pancasila akan pincang jika tidak diimbangi dengan pemikiran-pemikiran yang brilian dari para generasi-generasinya.[2] Dan hal itu juga tersirat dari salah satu ungkapan Soekarno: setiap tindakan itu harus didahului dengan pemikiran, begitu pula dengan Pancasila. Pancasila adalah cita-cita luhur bangsa yang harus diamalkan, sehingga pemikiran adalah harga mati di dalamnya.
Lebih detailnya, Istilah Murba murni lahir dari benak Tan Malaka. Itu bukan karena pikiran atau kesengajaan berfikir, tidak. Akan tetapi, nama Murba ada selepas Tan Malaka mendengar salah satu falsafah Jawa: Gusti ingkang murbeng Dumadi.[3] Murbeng dalam kalimat tak bertuan itu berasal dari kata murba dan ing yang berarti merujuk, rujukan atau tujuan. Jika perihal tersebut lebih dipahami lebih mendalam lagi, tujuan di situ bermakna ganda: bisa jadi itu terpusat kepada sesuatu yang lebih atas dari yang paling atas, yaitu Tuhan, itu karena ada satu kata Gusti dalam kalimat falsafah Jawa di atas dan boleh jadi juga, itu tertuju pada suatu center point. Dalam arti, bagaimanapun juga Partai Murba ini harus memiliki tujuan yang positif, membangun, jelas, dan konsisten pada tujuan awal didirikannya partai ini: sebagai wadah pembelajaran politik berdasar pemikiran-pemikiran yang bisa dipertanggungjawabkan. Sehingga darinya, Murba terhindar dari kesalahan-kesalahan yang telah banyak dilakukan oleh partai-partai politik dewasa ini yang sangat kontras dengan tujuan kali pertamanya ia didirikan.
Akan tetapi, seiring bergantinya tahun dan periode kepemimpinan, Partai Murba terlibat dengan pemilihan umum 1955 layaknya partai lainnya. Dipungkiri atau tidak, di titik inilah tanda-tanda kehancuran Partai Murba mulai nampak. Dan satu-satunya hal yang paling bertanggung jawab dalam hal ini adalah kekecewaan. Dalam tanda kurung, kekecewaan di sini adalah manifestasi nyata dari beberapa pihak yang kalah dalam pemilihan, sehingga dari kekalahan itu melahirkan tendensi-tendensi baru yang sangat kontras dengan tujuan awal berdirinya partai, yaitu hasrat akan kekuasaan. Sehingga dengan semakin bertambah rumitnya percaturan politik bangsa paska pemilu 1955, muncul istilah pengkambing hitaman yang nantinya Partai Murba inilah yang menjadi sasaran utamanya setelah PKI.
Dari situasi yang semakin memanas tersebut, Partai Murba diklaim sebagai salah satu partai yang tidak berasaskan pancasila. Sehingga, hal itu membuat Partai Murba diburu dan akhirnya berakhir dengan pembekuan partai serta pemikiran-pemikiran Tan Malaka.[4] Dan dari kejadian itu, sesuatu yang paling perlu diperhatikan adalah dijadikannya Pancasila sebagai alasan untuk membekukan partai. Itu merupakan suatu titik absurd yang benar-benar terjadi di masa lalu: bagaimana hal sekecil itu—dalam pandangan masyarakat 2013—bisa merubah nasib partai sekaliber Murba?.




[1] “Murba” dalam http://id.wikipedia.org/wiki/Murba diakses pada 17 desember 2013.
[2] Argawi Kandito, Tan Malaka The leadership Secrets of (Jakarta: ONCOR, 2012) hlm. 64.
[3] Argawi Kandito, Tan Malaka The leadership Secrets of, hlm. 60.

[4] Argawi Kandito, Tan Malaka The leadership Secrets of, hlm. 61.

Jumat, 22 November 2013

Canberra dan Jakarta


Baru beberapa menit ini, secara tidak sengaja, saya mendengar perbincangan yang cukup seru dan terkesan saling mendahulukan kepentingan pribadi masing-masing di salah satu saluran televisi populer. Di dalamnya tersiarkan, antara narasumber dari FPI, moderator—yang sekaligus pembawa beritanya—dan satu lagi seorang pengamat politik, entah siapa, saya lupa namanya. Permasalahan yang dibahas di dalamnya adalah tentang retaknya hubungan diplomatis antara Australia dengan Indonesia. Dan dari perbincangan singkat itu, terlihat, pembawa berita sedikit tidak sepakat dengan solusi yang dikoar-koarkan dari pihak FPI yang tadi dikatakan adalah sebagai perwakilan dari rakyat Indonesia. Dalam hal ini, FPI hanya memberi satu solusi, yaitu pemutusan hubungan dengan Australia dalam hal apapun. Dan jika besok ada kebijakan-kebijakan diplomatis dari pihak Australia, perlu diklarifikasi dengan cermat mengenai tulus-tidaknya kebijakan itu. Indonesia harus tegas dalam hal ini.
Menyikapi masalah itu, saya lebih suka akan reaksi geram pembawa berita kepada narasumber dari FPI barusan. Tindakan itu setidaknya menyiratkan ketidaksepakatannya dengan solusi dari FPI yang terlalu normatif. Alangkah lebih baiknya, jika dalam masalah ini mereka bisa menanggapinya dengan spekulasi yang berbeda tentang Australia.
Dalam pengamatan saya, dari berbagai pakar yang banyak berbicara di media-media masa, mereka memandang permasalahan ini dengan hati yang menyimpan rasa dendam kepada Australia sehingga pemikiran yang dihasilkan pun bernuansa geram. Dan hal itu menyebabkan lahirnya solusi-solusi yang geram pula. Bagi saya, sesuatu yang geram itu bukanlah solusi, tetapi justru masalah baru.
Upaya pertama yang lebih baiknya diberi penekanan adalah mengenai bentuk konkrit kerugian negara dari kejadian ini. Jika bentuk kerugian negara hanya sebatas hilangnya harga diri, sepertinya kurang tepat jika kita membalas mereka dengan tindakan fisik seperti pemberhentian hubungan diplomatis secara total. Kemudian, jika bentuk kerugiannya berupa nominal, perlu kiranya kita bandingkan dengan kerugian nasional akibat ulah kreatif para tikus bangsa, dan jika ternyata tidak lebih banyak darinya, maka kurang bijaksana juga kalau penutupan jembatan pendidikan, bisnis, dan lain sebagainya harus dilanjutkan. Dengan demikian, perlu adanya sesuatu yang lebih dingin untuk menghadapi permasalahan yang jarang terjadi ini.
Itu adalah tentang keberanian kita untuk memandang bentuk permasalahan ini dengan kedua mata. Dalam hal ini permasalahannya adalah penyadapan. Penyadapan bukanlah serangan fisik yang langsung melukai semua rakyat. Akan tetapi itu bersifat sangat rahasia dan bahkan tidak terlihat, abstrak. Selain itu, korbannya pun hanyalah beberapa oknum yang dipandang sangat berpengaruh di Nusantara ini. Sehingga, darinya, seolah Indonesia ini hanyalah milik beberapa orang, dan ketika beberapa orang tadi sedikit saja dilukai, semua rakyat harus mengatakan bahwa yang dilukai adalah negara, tetapi nyatanya tidak.
Jadi, alangkah lebih bijaksananya, jika untuk menghadapi masalah yang terpantik dari sesuatu yang abstrak ini, kita juga menggunakan sesuatu yang abstrak pula. Bagaimana caranya? Dalam pandangan saya, kita tidak perlu memutus hubungan apapun dengan mereka. kita mengalir saja, seolah tidak ada masalah yang serius. Akan tetapi bukan berarti kita diam saja, kita perlu menengok kepada taktik ngambek ala pemuda-pemudi tanah air dewasa ini. Ketika semua dipandang baik-baik saja, kita mulai menjalankan taktik tersebut dengan memilih cuek terhadap apapun yang mereka suarakan, baik itu masalah politik, permintaan bantuan, ekspor, impor, militer, dan sebagainya. Konkritnya, ketika dari pihak sana meminta ekspor apapun yang mereka sangat membutuhkannya atau tentang bantuan militer, Indonesia hanya perlu menumpuk surat diplomasi tersebut tanpa perlu membukannya, begitu juga lainnya. Sehingga, dengan tanpa dipandang kaku, kita sudah perlahan bisa membalas aksi abstrak mereka.

Pada akhirnya, dengan tindakan bawah tanah itu, boleh jadi hubungan diplomasi kedua negara akan tampak dan dipandang baik-baik saja, tidak ada masalah. Akan tetapi, dibalik itu, kita bisa memberi mereka sebuah kekecewaan yang lebih dalam dari apa yang sekarang presiden rasakan. Dalam tanda kutip, semua itu harus dibarengi dengan profesionalitas yang konsisten dari segenap masyarakat.

Minggu, 27 Oktober 2013

Pemimpin, Malaikat, dan Habermas


Masih segar dalam ingatan saya tentang kesimpulan spontan pembina KPMRT Jogjakarta, Bapak Marzuki, tentang konsepsi bahasa kepemimpinan yang dewasa ini semakin dipopulerkan. Tidak jarang ditemukan dalam beberapa seminar, acara organisasi, dan sebagainya, yang menggunakan kata leadership sebagai tema utama ataupun judul seminar. Tidak ada yang salah dalam hal ini, tetapi secara singkat, semua itu seakan terlalu mendewakan pemimpin. Dalam ranah pikiran juga, seakan, dari gejala seperti itu, muncul asumsi bahwa sekarang manusia semuanya ingin sekali menjadi pemimpin. Dan darinya, satu pertanyaan muncul: kalau semua ingin jadi pemimpin, siapa yang akan menjadi rakyat.
Paralel dengan itu, Mbak Hidayah, mahasiswa UGM program pascasarjana, mengajukan apologi atas asumsi Bapak Marzuki di atas. Kesimpulan baru yang Mbak Hidayah paparkan dalam rapat KPMRT kemaren ialah pemimpin di situ merupakan pemimpin yang bukan untuk sebuah formal pemerintahan, namun pemimpin pada diri sendiri. saya pribadi kurang sependapat dengan Mbak yang barusan saya kenal di acara KPMRT kemaren. Bagaimanapun juga, jika kepemimpinan sudah dijadikan suatu tema dalam pentransferan ilmu, pasti sudah terikat dengan formalitas keilmuan dan tendensi politik. Sederhananya, jika memang makna lain dari materi kepemimpinan adalah untuk memimpin diri sendiri, maka tidak seharusnya materi tentang kepemimpinan ini diseminarkan apalagi tertulis sebagai keyword utama. Sehingga dari penempatan kata kepemimpinan serta substansi yang diberi saat seminar, masih dalam kesepakatan awal: Masyarakat sekarang gila kepemimpinan.
Di wilayah lain sesuatu yang terkait dalam paragraf di atas adalah ayat Quran yang menyinggung mengenai penciptaan manusia sebagai kholifah. Sampai malam ini, saya masih memahami kholifah dalam ayat tersebut adalah sebagai pemimpin. Dan mayoritas pasti memahaminya juga sebagai pemimpin, minimal pemimpin untuk dirinya sendiri bukan sebagai pemimpin pemerintahan. Dalam hal ini semuanya bisa sepakat.
Namun, dalam sejarahnya, ketika Tuhan menerapkan konsep demokrasi kali pertamanya dengan malaikat, mereka malah mengecam kebijakan Tuhan tentang penciptaan Manusia sebagai kholifah. Dalam hal ini, yang masih menjadi pertanyaan saya adalah apakah yang sebenarnya dipermasalahkan malaikat itu, penciptaan manusianya atau terangkatnya manusia menjadi pemimpin? Toh meski manusia dijadikan sebagai pemimpin, wilayah yang dipimpin pun tidak sampai menjangkau wilayah malaikat. Kalau juga karena alasan keprihatinan malaikat akan rusaknya dunia, sejak kapan malaikat mempunyai rasa prihatin?. Dengan demikian kurang cocok jika dari penggalan sejarah tentang bentuk protes malaikat tersebut dipahami sebagai salah satu motivasi kepemimpinan. Seakan, itu lebih condong kepada bentuk konsepsi demokrasi Tuhan yang berada dalam wilayah kepemimpinan. Sederhananya, dengan sejarah di atas, bisa jadi, Tuhan menginginkan konsep demokrasi dalam sebuah kepemimpinan.
Masih dalam satu pembahasan, saya teringat pemikiran Habermas, saya menemukan suatu kesamaan tujuan di dalamnya. Itu adalah tentang pengkotakan tujuan: di satu wilayah, manusia menjadi pemimpin umum, di wilayah lain, sebatas pemimpin diri sendiri. Dalam teori kritis paradigma barunya, habermas mengubah konsep komunikasi yang mulanya berbasis pada penaklukan menjadi komunikasi yang berbasis rasio. Sebelum ada revisi dari Habermas, teori kritis yang berada dalam naungan Frankfrut—teori kritis lama—yang masih dimotori oleh Merx Horkheimer dan Theodor Adorno konsep tentang komunikasi manusia itu berbasis pada konsep penaklukan. Kemudian kunci kendali Frankfrut diambil oleh Habermas dan teori intinya diubah menjadi teori kritis paradigma baru.  Di dalamnya Habermas menjelaskan bahwa salah satu yang menjadi karakter dasar manusia adalah berkomunikasi atau berinteraksi dengan sesama secara rasional. Dampak gerakan konsep ini bukan berkutat kepada dirinya sendiri, tetapi kepada orang-orang di sekelilingnya. Dengan demikian, mengaca dari paragraf ini, manusia memang terlahir untuk menjadi pemimpin umum, semuanya berhak menjadi presiden, dan semuanya berhak untuk tidak menjadi seseorang yang dipimpin. Berbasis pendapat ini dan keluar dari paragraf sebelumnya: takwil ayat tentang kepemimpinan manusia bisa diartikan sebagai kepemimpinan formal.
Pengkotakan Habermas yang lainnya adalah sifat dasar manusia untuk bekerja. Di wilayah ini, manusia lebih mengedepankan egonya. Dan di bagian inilah manusia mempunyai tuntutan untuk memenuhi dirinya sendiri, memikirkan kehidupannya, sendiri, dan bekerja untuk dirinya sendiri. Jika dihubungkan dengan takwil ayat di atas, kata kholifah lebih cocok dipahami sebagai pemimpin yang hanya memimpin dirinya sendiri.
Dan dari pengkotakan Habermas tentang manusia tersebut, kholifah di situ berpotensi majemuk: bisa sebagai pemimpin diri sendiri, pemimpin umum atau pemimpin di situ hanya sebagai tendensi perlunya konsep demokrasi dalam setiap organ kepemimpinan. Semuanya masih abstrak, tergantung masing-masing individu mau dibawa kemanakah makna pemimpin itu. Dan tampaknya, respon Tuhan kepada protes malaikat tersebut secara blur adalah sesuatu yang benar-benar sesuatu. Sesuatu yang pasti menjadi sesuatu jika manusia sudah mengundang hikmah at-tasyri’ di dalamnya.zev271013


Selasa, 22 Oktober 2013

Muhammad Hatta: Saya Mempunyai Tiga Istri—Indonesia, Buku, dan Istri Saya.


Paska tertangkapnya Akil sebagai koruptor terpopuler tahun ini, sedari kemarin sampai sekarang pembahasan dalam rubrik opini di koran-koran masih saja membahas mengenai korupsi. Banyak sekali pakar-pakar telah menuangkan ide dan gagasan paling hebatnya dalam bersumbangsih untuk membantu Indonesia keluar dari jeratan para koruptor, tetapi masih saja tiada hasil yang memuaskan. Bahkan tak kurang pakar-pakar hukum dari pelbagai perguruan tinggi berkaliber turut menulis di rubrik itu, namun lagi-lagu hanya sebatas tulisan yang terpajang. Sampai sekarang masih blur: apakah gagasan-gagasan hebat itu terbaca oleh yang disindir ataukah hanya sebatas pengisi kekosongan rubrik, saya tidak mengerti juga, ataukah justru penuangan gagasan hebat itu hanya alat untuk mengisi kantong, entahlah. Diketahui, seakan merekalah orang-orang hebat yang setiap saat memeras pikiran untuk Indonesia: sebagai penyumbang gagasan.
Dari paragraf di atas, saya teringat Bung Hatta. Salah satu ucapan beliau yang mungkin tak terlalu terbingkai dengan sejarah—saya mempunyai tiga istri: indonesia, buku, dan istri saya—ternyata bermakna penting dalam hal ini. Ucapan simpel bernada guyon itu mengandung sesuatu yang benar-benar sesuatu. Tidak menutup kemungkinan, dengan menjadikan Indonesia sebagai istri pertama Hatta, Hatta bisa terhindar dari sebuah pengkhianatan. Pengkhianatan termaksud adalah korupsi, kolusi, dan lain sebagainya yang berbau merugikan negara.
Paralel dengan itu, masih segar dalam ingatan saya kata-kata Anang ningnong ninggung, seorang broadcaster radio ternama di Jogjakarta. Hampir setiap malam saya mendengarkan celoteh Anang. Dan yang paling sering dia ucapkan dalam konteks jalinan hubungan dengan orang lain adalah konsep hati hati. Saya tidak menulis garis penghubung di tengah dua kata hati tersebut karena keduanya memang berbeda. Mudahnya, dalam sebuah hubungan itu melibatkan dua hati: kita dan seseorang yang kita sayang. Sehingga di dalamnya ada dua hati. Jadi kalau kita berhubungan dengan apa dan siapapun, maka kita harus hati-hati.
Begitu juga dengan Hatta, dengan pernyataannya yang menganggap negara sebagai salah satu istri Hatta, secara tidak langsung Hatta sudah terikat dengan konsep hati hati. Di pelbagai wilayah dan keadaan apapun Hatta pasti hati hati. Sehingga ketika konsep itu sudah terpatri jauh dalam lubuknya, korupsi, kolusi, dan lain sebagainya pun sulit untuk terjadi di tubuh salah satu istri tercintanya, Indonesia.
Darinya, alangkah indahnya jika semua lapisan yang terlibat dalam kasus korupsi, baik pelakunya, pengamatnya, penangkapnya, intelejennya, penulis gagasannya, medianya, dan lain sebagainya bisa menanamkan rasa cinta kepada Indonesia. Cinta yang timbul bukan karena Indonesia sebagai ibu pertiwi kita, namun sebagai istri tercinta kita. Zev231013


Selasa, 17 September 2013

Mbah Hasyim: pemimpin sekarang berbasis iklan bukan perjuangan


          Bisa dikatakan hari ini pengalaman saya 80% dari koran. Kuliah di kelas sangat membosankan. Bukan materi dan dosennya, tetapi cara pentransferannya itu yang sangat monoton. Sehingga kesimpulan saya: membaca buku sambil minum kopi di kontrak lebih banyak manfaatnya, baik di hati maupun pikiran.
          Saya tertarik sekali dengan opini yang ditulis salah satu penulis hebat Indonesia yang termuat di Jawa Pos hari ini. saya lupa siapa namanya. Yang pasti, saya bisa mengatakan yang bersangkutan adalah penulis berkaliber karena karyanya yang sukses termuat dan terbaca di koran terbaik Indonesia ini.
          Adalah tentang konsep baru pemilihan pemimpin di Indonesia. Sebagaimana yang saya tangkap, core dari semua itu bermuara pada konsep erasing old electing system. Dikatakan bahwa pemilihan guberbur, bupati, dan walikota tidak perlu direalisasikan melalui pemilihan umum serentak oleh semua rakyat yang bersangkutan. Isu itu muncul berbasis pada pengalaman. Pengalaman yang mayoritas memandang pilkada itu hanya wasting money. Dan solusi yang ditawarkan adalah intervensi presiden. Presiden berhak memilih siapa gubernur daerah ini atau daerah itu secara mutlak untuk memimpinnya. Begitu juga untuk bupati atau walikota. Mereka akan dipilih langsung oleh gubernur terpilih.
          Secara singkat, pikiran saya tidak sejalan dengan konsep miring itu. Pertama, saya mengamini pendapat penulis tadi: konsep ini masih tidak bisa menghilangkan money politic, yang ada itu bukanlah hilang, tetapi berpindah wilayah dan yang akan merasakannya hanyalah orang-orang atasan.
          Kedua adalah tentang utopia saya sedari dulu: saya selalu bermimpi Indonesia ini bersih dari kampanye. Tidak ada iklan sama sekali tentang para calon pemimpin di semua wilayah, mulai dari pemilihan RT sampai pada pemilihan presiden. Diharapkan semua rakyat tidak ada yang tahu siapakah calon pemimpin baru mereka. Calon pemimpin baru diketahui ketika sudah dalam ruang pencoblosan. Otomatis, dalam keadaan seperti itu, nalar manusia akan dominan pada sesosok yang sudah ia kenal, atau kepada hati nurani masing-masing. Dari ketidaktahuan, bisa jadi, akan mengulangi sejarah pemilihan paling demokratis sepanjang sejarah Indonesia: pemilu 1995.
          Sebenarnya tentang bagaimana caranya agar seseorang bisa menilai calon pemimpinnya, tidak harus melalui kampanye dan teman-temannya. Perjuangan masing-masing pemimpin perlu diprioritaskan dalam hal ini. Semua calon pemimpin tidak perlu untuk tahu di nomor berapakah nama mereka tercantum. Pembentukan panitia tertentu untuk menjaring para calon pemimpin harus juga dirahasiakan. Semisalnya calon pemimpin yang akan dipilih terbatas hanya tiga pasangan, panitia harus menyiapkan lima pasangan calon pemimpin. Dan diantara kelimanya tidak ada yang tahu pasti siapakah yang akan benar-benar menempati tiga kursi calon pemimpin yang sebenarnya. Dengan demikian, para pemimpin akan canggung untuk mengeluarkan uang banyak demi memantik suara rakyat. Di samping rakyat sendiri tidak tahu tentang dia, yang bersangkutan pasti juga berfikir dua kali untuk bertaruh dalam ketidakpastian. Money politic bisa terkurangi.
          Dalam bagan lain, untuk pemimpin yang terpilih, saya bisa menyebutnya sebagai hasil dari perjuangannya sendiri, sebagai anugerah, dan sebagai efek positif dari segala pengorbanan yang pernah dirasakannya silam.
          Selayang pikir, jika seseorang terpilih menjadi pemimpin dengan tanpa adanya pengeluaran yang banyak layaknya pengalaman-pengalaman sebelumnya, banyak kemungkinan yang bersangkutan akan enggan untuk memakai uang negara demi kepentingan pribadi. Pemakaian uang negara atas nama pribadi, korupsi, dan sejenisnya ada karena dampak timbal balik dari pengeluaran yang selama kampanye dihambur-hamburkan.

          Saya terinspirasi oleh mbah Hasyim Muzadi. Beliau dengan jelas mengatakan: pemimpin sekarang berbasis iklan bukan perjuangan. Sepanjang jalan saya memikirkan itu. Semuanya paralel dengan utopia saya yang lama terpendam.zev180913