Tampilkan postingan dengan label sejarah politik. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label sejarah politik. Tampilkan semua postingan

Kamis, 19 Desember 2013

Menyebut, mempermasalahkan, dan menyangkutpautkan Pancasila adalah manifestasi untuk memancasilakan Pancasila


Satu hal yang perlu diperhatikan dalam hal ini adalah mengenai pemahaman terhadap sebuah ideologi. Selama ini dan sampai saat ini, ideologi dasar bangsa: pancasila, seakan hanya menjadi pajangan dan pahatan yang fungsinya telah habis. Anggapan seperti itu muncul karena banyak kelompok yang memandang bahwa memang Pancasila itu sebagai Satu-satunya  ideologi bangsa yang paripurna dan lestari,[1] tetapi keduanya hanyalah tinggal bingkai sejarah. Mudahnya, Pancasila itu bisa berfungsi sebagai problem solver dari semua problematika hanya ketika dulu saja, pada masanya, bukan saat ini.
Padahal, secara teori, anggapan diatas tidak bisa begitu saja dibenarkan. Karena sesungguhnya dalam kata ideologi itu bukan berarti sebagai  ideologi secara murni saja: ideologi yang berbasis kepada nilai-nilai luhur bangsa dan latar belakang budaya Indonesia, tetapi juga mengandung arti lainnya, yaitu arti praktis: ideologi yang berpegang kepada pengalaman sejarah yang selalu berubah dan penuh dengan trial, sejak mulai revolusi kemerdekaan, percobaan demokrasi liberal, percobaan demokrasi terpimpin, periode pembangunan, dan sampai saat ini.[2] Dan itu berarti kalau Pancasila selaku ideologi bangsa tidak lagi sebagai pahatan tahun 45 atau teori yang hanya bisa digunakan untuk masa itu saja, tidak. Akan tetapi, itu merupakan suatu fundamental yang bisa dijadikan rujukan untuk semua masa tergantung bagaimana ideologi tersebut bisa dipahami secara praksis bukan hanya murni.
Lebih dalam lagi, ketika suatu ideologi hanya dipahami secara murni, maka hasil yang akan muncul tidaklah berbeda dengan abstrak yang tertulis di paragraf pertama tadi. Namun, kalau itu diimbangi dengan pemahaman secara praksis—yang lebih mengedepankan perubahan pengalaman-pengalaman sejarahnya—maka hasilnya pasti akan lebih baik. Hal itu bisa diibaratkan dengan pendekatan normatif dan historis dalam memahami sebuah agama. pendekatan historis saja tanpa normatif akan kabur, begitu juga dengan praktis saja tanpa murni. Dengan demikian, kedua hal tersebut harus saling menunjuk, kemudian bekerja sesuai tempatnya masing-masing. Karena dengan adanya balance antara keduanya, Pancasila tidak lagi dianggap sebagai suatu yang basi dan tidak lagi perlu untuk disebut, tidak. Akan tetapi justru Pancasila akan selalu dikejar untuk bertanggung jawab dalam penyelesaian bermacam problematika bangsa.
Dan akhirnya, jika pola pikir bangsa sudah diatur sedemikian rupa, maka untuk sekedar tidak melibatkan atau menyebut Pancasila dalam setiap problematika bangsa saja merupakan suatu kesalahan yang besar. Jadi, disamping masyarakat bisa berfikir kembali untuk menyelesaikan masalah berdasarkan Pancasila, itu juga bisa berdampak pada pemulihan anggapan masyarakat Indonesia yang selama ini bisa dikata telah melupakan Pancasila.
Kemudian, darinya, secara otomatis, bagaimanapun juga jika pikiran sudah terstruktur dengan basis pancasila, cara berfikirnya pun pasti merujuk kepada nilai-nilai Pancasila. Dan hal inilah yang diharapkan bisa memperbaiki keadaan Indonesia dewasa ini. Itu semua tidak akan menjadi spekulasi semata jika Pancasila bisa lebih sering untuk disebut, dipermasalahkan, dan disangkutpautkan oleh para pemimpin bangsa khususnya dan oleh segenap masyarakat umumnya dan sebagai contoh konkritnya: alangkah lebih indahnya jika dalam setiap sidang-sidang soal rakyat oleh DPR, MPR, dan segenap lapisan badan formal negara diawali dengan pembacaan dan pereneungan sejenak tentang Pancasila. Itu tak lain agar terciptanya nuansa yang benar-benar Pancasila di Indonesia ini.



[1] Riza Noer Arfani, Demokrasi Indonesia Kontemporer (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996) hlm. 42.

[2] Riza Noer Arfani, Demokrasi Indonesia Kontemporer,  hlm. 41.

Rabu, 18 Desember 2013

Murba


Kali pertamanya, yaitu paska Indonesia merdeka, Istilah partai-partai barulah muncul dan turut mewarnai dan memulai percaturan politik Indonesia. Awalnya, karena memang bau harumnya kemerdekaan Indonesia yang diraih dengan penuh nuansa heroik masih tajam di hidung bangsa Indonesia, satu institusi ini—partai—ada tanpa adanya tujuan negatif seperti sekarang. Saat itu, partai-partai yang lahir di Nusantara ini tak lain hanyalah untuk mengisi kemerdekaan. Sehingga, semuanya mampu bersaing dan bersama-sama membangun bangsa.
Dan di tengah-tengah atmosfir perpolitikan yang masih segar ketika itu, Partai Murba lahir dari seorang tokoh yang biasa dikenal dengan Tan Malaka. Sebetulnya, Murba dibentuk bukanlah sebagai partai, tetapi sebatas sekolah politik. Dulu, disamping memang partai itu adalah sebagai salah satu wadah untuk kader-kader bangsa belajar politik, tetapi Murba hadir dengan situasi yang berbeda. Murba—yang ketika itu masih berupa sekolah politik—menghadirkan beberapa kajian yang dipandang lebih dari partai lainnya, yaitu analisa pemikiran. Melalui ini, kader-kader yang ada dalam Murba belajar membaca semua pemikiran-pemikiran tokoh-tokoh luar biasa bangsa dan dilanjutkan dengan belajar berfikir seperti mereka. Dengan demikian, tidak salah jika Murba di pandang lebih dari lainnya.
Kemudian, disebabkan adanya kader-kader yang dipandang sudah mampu dan siap untuk berpolitik, Murba bermetamorfosis menjadi partai politik. Kejadian itu terjadi sekitar tahun 1948[1] atas usulan anggota-anggotanya. Selain itu, alasan lainnya yang mendasari berdirinya Murba sebagai Partai adalah pemikiran Tan Malaka yang memandang bahwa Pancasila akan pincang jika tidak diimbangi dengan pemikiran-pemikiran yang brilian dari para generasi-generasinya.[2] Dan hal itu juga tersirat dari salah satu ungkapan Soekarno: setiap tindakan itu harus didahului dengan pemikiran, begitu pula dengan Pancasila. Pancasila adalah cita-cita luhur bangsa yang harus diamalkan, sehingga pemikiran adalah harga mati di dalamnya.
Lebih detailnya, Istilah Murba murni lahir dari benak Tan Malaka. Itu bukan karena pikiran atau kesengajaan berfikir, tidak. Akan tetapi, nama Murba ada selepas Tan Malaka mendengar salah satu falsafah Jawa: Gusti ingkang murbeng Dumadi.[3] Murbeng dalam kalimat tak bertuan itu berasal dari kata murba dan ing yang berarti merujuk, rujukan atau tujuan. Jika perihal tersebut lebih dipahami lebih mendalam lagi, tujuan di situ bermakna ganda: bisa jadi itu terpusat kepada sesuatu yang lebih atas dari yang paling atas, yaitu Tuhan, itu karena ada satu kata Gusti dalam kalimat falsafah Jawa di atas dan boleh jadi juga, itu tertuju pada suatu center point. Dalam arti, bagaimanapun juga Partai Murba ini harus memiliki tujuan yang positif, membangun, jelas, dan konsisten pada tujuan awal didirikannya partai ini: sebagai wadah pembelajaran politik berdasar pemikiran-pemikiran yang bisa dipertanggungjawabkan. Sehingga darinya, Murba terhindar dari kesalahan-kesalahan yang telah banyak dilakukan oleh partai-partai politik dewasa ini yang sangat kontras dengan tujuan kali pertamanya ia didirikan.
Akan tetapi, seiring bergantinya tahun dan periode kepemimpinan, Partai Murba terlibat dengan pemilihan umum 1955 layaknya partai lainnya. Dipungkiri atau tidak, di titik inilah tanda-tanda kehancuran Partai Murba mulai nampak. Dan satu-satunya hal yang paling bertanggung jawab dalam hal ini adalah kekecewaan. Dalam tanda kurung, kekecewaan di sini adalah manifestasi nyata dari beberapa pihak yang kalah dalam pemilihan, sehingga dari kekalahan itu melahirkan tendensi-tendensi baru yang sangat kontras dengan tujuan awal berdirinya partai, yaitu hasrat akan kekuasaan. Sehingga dengan semakin bertambah rumitnya percaturan politik bangsa paska pemilu 1955, muncul istilah pengkambing hitaman yang nantinya Partai Murba inilah yang menjadi sasaran utamanya setelah PKI.
Dari situasi yang semakin memanas tersebut, Partai Murba diklaim sebagai salah satu partai yang tidak berasaskan pancasila. Sehingga, hal itu membuat Partai Murba diburu dan akhirnya berakhir dengan pembekuan partai serta pemikiran-pemikiran Tan Malaka.[4] Dan dari kejadian itu, sesuatu yang paling perlu diperhatikan adalah dijadikannya Pancasila sebagai alasan untuk membekukan partai. Itu merupakan suatu titik absurd yang benar-benar terjadi di masa lalu: bagaimana hal sekecil itu—dalam pandangan masyarakat 2013—bisa merubah nasib partai sekaliber Murba?.




[1] “Murba” dalam http://id.wikipedia.org/wiki/Murba diakses pada 17 desember 2013.
[2] Argawi Kandito, Tan Malaka The leadership Secrets of (Jakarta: ONCOR, 2012) hlm. 64.
[3] Argawi Kandito, Tan Malaka The leadership Secrets of, hlm. 60.

[4] Argawi Kandito, Tan Malaka The leadership Secrets of, hlm. 61.

Kamis, 12 Desember 2013

HAJI


Sepertinya sudah beberapa dekade ini, kata haji yang sering dijadikan gelar di depan nama orang-orang yang pernah haji menjadi buah bibir di kalangan tertentu. Itu disebabkan oleh adanya ketimpangan di dalamnya. Dalam arti, seseorang yang sudah bergelar haji bagaimanapun juga harus bertingkah dan berinteraksi layaknya seorang haji. Akan tetapi yang terjadi di dalamnya berbeda: semua harapan tentang itu tidak sesuai dengan kenyataannya. Bahkan kenyataan akan itu malah kontras dengan sesuatu yang diharapkan dalam kata haji tersebut. Dengan demikian tidaklah salah jika gelar haji, dewasa ini, dipandang sangat miring dan tidak sesuai dengan harapan. Hal itulah yang layak disebut sebagai masalah: antara das sein dan das sollen tidak senada.
Dalam sejarahnya, gelar haji ada bukan tanpa sebab. Hal tersebut sudah ada sejak kali pertama Indonesia dijajah oleh Belanda. Haji ketika itu adalah sesuatu yang sangat langka, boleh jadi dalam satu kota hanya ada seorang yang berangkat haji. Dan itu disebabkan oleh sulitnya transportasi dan pastinya adalah biaya untuk pergi ke Makkah ketika itu. Sehingga ibadah ini hanya bisa dilakukan oleh kelompok-kelompok tertentu yang mampu dalam banyak hal: biaya, pengetahuan, dan keberanian. Selain itu, dulu, haji pun adalah salah satu kegiatan yang dikecam pemerintah Belanda karena dicurigai darinya bisa melahirkan benih-benih pemberontak dan pemikir yang mampu menggulingkan Belanda. Jadi, merespon itu sebagai manifestasi akan kecurigaan tersebut Belanda mewajibkan siapapun yang pernah berangkat haji harus diberi gelar di depan namanya kata: haji. Dalam bahasa lainnya, hal itu adalah sebagai monitoring supaya mereka tidak macam-macam dengan Belanda.
Berkenaan dengan itu, bisa sedikit dicerahkan bahwa memang orang-orang yang haji dulu dan mendapat gelar haji secara paksa oleh Belanda adalah orang-orang yang tidak sembarangan. Mereka adalah tokoh-tokoh yang pemberani, cerdas, dan baik penghayatan keagamaannya, sehingga belanda pun perlu memberi mereka pengawasan tersendiri buat mereka. Selain itu, jika hal itu diamati sekali lagi, maka satu hal yang ganjil, yaitu tentang pemaksaan gelar. Ternyata gelar haji yang selama ini banyak dibangga-banggakan itu, dulunya, adalah suatu gelar yang sangat tidak diinginkan oleh para pahlawan-pahlawan bangsa. Darinya muncul pertanyaan susulan: mengapa sesuatu yang dulunya sangat tidak diinginkan oleh tokoh-tokoh berkaliber seperti mereka, sekarang malah dicari-cari bahkan dijadikan tujuan utama? entahlah

Merespon itu, bagaimanapun juga itu adalah masalah hak masing-masing individu. Akan tetapi, alangkah lebih baiknya—meski gelar haji masihlah banyak dijadikan prioritas utama—jika yang harus mendapat gelar bukan hanya siapa itu yang pernah berangkat haji, namun siapa saja yang baru saja melakukan sholat, zakat, dan puasa harus juga mendapatkan satu gelar: S untuk sholat, Z untuk zakat, dan seterusnya. Sehingga dengan hal itu sesuatu yang timbul itu bukanlah ketimpangan, tetapi keselarasan. Keselarasan antara yang kaya: yang bisa haji dan mendapat gelar dengan yang miskin: yang tidak bisa mendapat gelar haji, tetapi bisa mendapat gelar yang lebih banyak, yaitu S, Z, dan P.Zev121213   

Rabu, 11 Desember 2013

Dampak Hebat Dari Sebuah Kesimpulan Sang Pendendam[1]


Jika ingin merubah sejarah, masuklah dalam proses perubahan itu, boleh jadi, satu ungkapan dari Gandhi itu yang paling pas untuk diselipkan dalam cerita Mahmed ini. Dari semua uraian pemikiran-pemikiran Mahmed di atas, ada satu hal yang belum tersurat di dalamnya. Adalah tentang bentuk beda usaha Mahmed untuk mengimbangi semua kebijakan Mahmed dengan berbaur langsung dengan rakyat, menerima masukan rakyat, dan memberi inspirasi-inspirasi secara live terhadap rakyatnya. Dengan demikian dari potret kehidupan yang tidak pernah dilakukan oleh sultan-sultan sebelumnya itu, Mahmed sukses menjalankan operasi-operasi hebatnya.
Beberapa darinya adalah terjadinya dikotomi pengetahuan dalam dunia pendidikan Turki ketika itu. Sebenarnya, rencana yang diinginkan adalah peleburan sekolah-sekolah agama dengan sekolah umum, tetapi karena dirasa sulit untuk merealisasikannya, maka keputusan akhirnya adalah membuat sekolah-sekolah umum tandingan. Dengan demikian, bermula dari masa pemerintahannya Mahmed ini, Turki mempunyai sekolah-sekolah yang mengajarkan ilmu-ilmu umum yang nantinya berkambang ke banyak sekali disiplin keilmuan, diantaranya, militer, kedokteran, sastra, dan lainnya.  Itu berdampak kepada tidak diminatinya sekolah-sekolah agama. Dan itu adalah salah satu bukti nyata dan hebat dari pemikiran pembaruan Mahmed yang berhasil memajukan setengah langkah Turki untuk menyongsong masa depan.
Selain itu, benih-benih sekular sudah ada di masa Mahmed ini. Itu terbukti dengan adanya pemisahan hukuman antara seseorang yang melanggar sesuatu yang berbau duniawi dan melanggar sesuatu yang berbau ukhrowi. Hal tersebut bisa digambarkan dengan perancangan undang-undang baru yang berbeda dengan sebelumnya. Dan hal itu memungkinkan seseorang mendapat klarifikasi lanjutan mengenai tindak pidana yang telah ia lakukan. Sehingga hukuman mati yang sebelumnya sering sekali terjadi, perlahan mulai redup seiring dengan berkembangnya dampak dari pemikiran Mahmed II ini.     



                [1] Muhtarom, "Pembaharuan di Turki ; Sultan Mahmud II, Tanzimat, Usmani Muda dan Turki Muda" dalam http://muhtarom84.blogspot.com/2009/11/pembaharuan-di-turki-sultan-mahmud-ii.html, diakses tanggal 01 Desember 2013.

Sabtu, 05 Oktober 2013

Komunisme untuk Indonesia


Selayang pikir, memang komunis identik dengan sebuah konsep jahat dan menyeramkan. Spekulasi yang hadir ketika membayangkan satu kata tersebut adalah bayang-bayang peristiwa G30S-PKI, pembantaian Lenin, pembantaian Stalin, dan lain sebagainya yang mengatasnamakan komunis sebagai satu alasan logis untuk membantai manusia sedemian rupa. Komunis adalah ketidakbiadaban.
Akan tetapi di wilayah lain, Soekarno di salah satu pemikiran hebatnya untuk Indonesia, membela sepenuh hati konsep komunisme ini. Tidak ada yang salah dengan Soekarno. Setiap orang memiliki pandangan masing-masing dalam merespon segala sesuatu di sekitarnya. Soekarno salah satunya.
Tokoh sekaliber Soekarno, tidaklah mungkin jika memilih komunisme sebagai salah satu acuan negara jika tanpa alasan. Tidak mungkin juga Soekarno sampai mengizinkan Partai Komunis Indonesia (PKI) untuk eksis Di Indonesia tanpa adanya alasan.
Kali pertama beliau belajar komunis adalah dari Karl Marx. Bertempat di Penjara Banceuy, mulai Desember 1929 sampai 18 Agustus 1930, beliau telah mempelajari lebih dari 66 pemikiran tokoh-tokoh dunia. Salah satunya dan yang paling sesuai dengan keadaan Soekarno saat itu adalah pemikiran Marx. Soekarno belajar dari buku-buku yang diselundupkan Inggit, istri keduanya.
Secara psikologis, Soekarno yang berjiwa pemberontak dan berintelektual tinggi, pasti akan mencari tahu tentang keadaan diluar sana yang sesuai dengannya, untuk dijadikannya apologi dan dasar pokok atas pergerakannya. Dan Marx memiliki itu. salah satu kesimpulan marx—hukum hanyalah alat kaum penguasa untuk menundukkan pihak yang dikuasai—seakan telah menginspirasi Soekarno untuk bangkit dan lebih bersemangat memperjuangkan pemikirannya. Pemikiran marx secara tidak langsung telah mendukung Soekarno tempo itu atas pergerakannya. Dengan adanya kesimpulan marx, Soekarno menjadi yakin kalau apa yang dilakukannya selama ini tidaklah melenceng.
Pada saat itu, Soekarno di penjara tanpa sebab oleh pasal-pasal Haatzaai Artikelennya pemerintah Hindia-Belanda. Pasal itu mengecam pihak-pihak yang menghina pemerintah. Undang-undang yang dijalankan ketika itu, semuanya atas dasar kepentingan politik. Tidak ada undang-undang yang murni demi kemaslahatan rakyat. Dan ternyata, semua itu cocok dengan apa yang pernah dikatakan Marx di atas. Sehingga, di titik inilah kesesuaian kesimpulan Marx dan pengalaman Soekarno bertemu. Apa yang diresahkan Soekarno mengenai hukum yang berlaku saat itu ternyata usai ditulis oleh Marx. Soekarno merasa memiliki teman baru selepasnya. 
Status marx saat itu adalah penggagas paham komunis di Berlin Jerman. Jadi tidak salah, jika Soekarno memilih konsep komunisme untuk mengarahkan hukum Indonesia. Bukan untuk tujuan lain, melainkan hanya untuk menyelaraskan hukum di Indonesia dengan basis pemikiran Marx. Komunisme Soekarno adalah komunis marxis.
Dengan demikian, menghayati pengalaman dan keadaan yang seperti itu, tidak heran, jika Soekarno sangat mengunggulkan pemikiran marx. Saat tidak ada lagi yang bisa mendukung pemikirannya, Marx datang sebagai pencerah sekaligus basis dari semua pemikiran hebat Soekarno.
Dan dapat disimpulkan, bahwa Komunisme yang dulu pernah digagas oleh sang putra fajar ini bukanlah berorientasi pada wilayah keagamaan, tetapi pada wilayah konstruksi undang-undang sebuah negara. Maka dari itu, Soekarno mengimbanginya dengan Islamisme dan Nasionalisme.
Dalam satu bagian, tidak salah jika dikata komunisme identik dengan pembantaian dan kejahatan. Akan tetapi di bagian lain, masih banyak kebaikan-kebaikan yang berangkat dari komunisme.
Dan kelihatannya, menilik keadaan peradilan hukum di Indonesia yang baru-baru ini digegerkan dengan tertangkapnya Akil Muktar—ketua MK—jelas sudah. Tidak ada salahnya, jika konsep komunisme yang pernah menjadi landasan hukum bangsa ini, kembali digagas, setelah tak kurang dari 32 tahun konsep ini difosilkan oleh ORBA. Komunisme untuk Indonesia, Indonesia baru.zev.061013


Jumat, 06 September 2013

Arabnya Islam

Hari pertama saya masuk kuliah, saya masuk kelas B. Saya tidak menyesalinya, pada saat test kebahasaan kemaren saya telat setengah jam, sehingga 25 soal terlewati sudah. Tapi lumayan meski demikian saya bertemu orang-orang luar biasa di sini: Alfaiz, Jawes, dan satu lagi lupa saya siapa namanya. Saya akan membumi dengan mereka ditemani oleh Bapak Ibnu Muhdlir, seorang guru Alfiyah ibnu malik di pondok Al-Munawwir Krapyak Jogja. Beliau hebat.
            Di hari pertama ini, banyak sekali refleksi yang sebelumnya belum pernah saya temukan. Semuanya baru, termasuk pola pikir yang barusan saya tangkap oleh teman-teman dan lebihnya oleh bapak Muhdlir. Refleksi pemikiraan yang bebas, menarik, dan perlu untuk dibahas.
            Bapak muhdlir bercerita panjang lebar mengenai keadaan politik di Timur Tengah sana. Mulai dari masa Presiden Khadafi, konflik internal Mesir hingga pada Presiden Assad di Suriah. Semuanya sangat bertentangan dengan Islam sendiri. Mereka membunuh sesama muslim.
            Dalam ranah pemikiran saya, meski konflik seperti itu di mata kita adalah sesuatu yang abmoral dan tidak berperikemanusiaan, belum tentu di mata mereka sama dengan apa yang kita pikirkan. Kejadian ini tidak terlepas dari sisi sejarah dari bangsa Timur Tengah. Saya teringat salah satu buku yang pernah diceritakan Al kepada saya: Kholifah Islam. Buku ini terdiri dari 4 jilid tebal-tebal. Semuanya menceritakan detail tentang 4 pemimpin istimewa Islam. Di dalamnya saya menemukan sesuatu yang awalnya ganjil dalam benak saya. Abu bakar adalah seorang pembunuh, beliau memerangi sesama muslim yang tidak mau membayar zkat. Dalam satu pendapat, kebijakan itu dilakukan demi kemaslahatan umat. Tapi dalam pendapat lain itu hanyalah permainan politik Abu Bakar saja.
            Sejenak, dari sejarah kelam di atas, tidak salah jika hari ini negara-negara Timur Tengah saling membunuh sesama muslim. Dengan alasan apapun tetap saja namanya membunuh. Tidak jauh dengan sejarah kelam para pemimpin Islam yang berbudaya arab dulu.
            Dalam bagan lain, menurut saya tindakan Abu bakar sangat di dominasi oleh keadaan budaya Arab pada saat itu. Yang mungkin hanya dengan berperang itulah masalah dapat terselesaikan. Islam saat itu sangat kental dengan budaya Arab, semua yang dilakukan Rosulullah termasuk para sahabat-sahabatnya juga tidak bisa terlepas dari budaya itu. Sehingga sedikit-sedikitnya pasti Hadist-hadist yang hingga saat ini masih ada, itu mengandung sisi budaya arab yang sangat kental.
            Budaya Arab dengan budaya Indonesia sangat berbeda. dan dalam pendekatan ini bapak Muhdlir memberikan pendapat lainnya yang benar-benar membuat saya merenung. Dan ini masuk pembahasana lain yang saya dan teman-teman diskusikan kemaren.
            Antara rohmatan lil alamin atau tidak. Iya pertanyaan itu yang menarik. Dan ini membahas tentang poligami.
Dalam Islam poligami itu boleh. Saya tidak tahu atas alasan apa Quran memperbolehkan poligami. Alasan budaya arabkah, atau apakah, saya belum mengetahuinya. Yang pasti di mata pribumi poligami itu sangat tidak rohmatan lil alamin. Tidak ada kebahagiaan bagi korban poligami. Tidak ada wanita yang mau dimadu. Masyarakat muslimah tidak bahagia dengan hukum Quran tentang poligami. Lantas, masihkah Islam pantas disebut sebagai rohmatan lil alamin, mengetahui dampaknya yang merugikan sebagian pihak. Saya tidak tahu.
Selayang pikir, perbedaan budaya ini sangat memojokkan Islam. Sebenarnya, yang benar itu apakah Quran yang mengikuti budaya ataukah budaya yang mengikuti Islam. Ini pernah pula saya diskusikan dengan Bapak Muqsith: dosen saya di Inkafa. Jawabannya tetap sama bahwa al-Quranlah sumber semua ilmu: budaya itu ikut pada Quran. Ini masih tidak bisa memuaskan pertanyaan saya. Dalam benak saya, banyak kenyataan-kenyataan yang membuat saya yang menyimpulkan kalau Quran itu mengikuti budaya. Lebih tepatnya budaya Arab. Semua hukum-hukum yang ada dalam al-Quran dominan dengan kultur-kultur di Arab.
Salah satunya adalah tentang hukum Qisos. Bapak Muhdlir menjelaskan kalau hukum Quran itu tidak datang secara tiba-tiba. Melainkan sudah pernah diaplikasikan di masa-masa sebelum Quran membumi. Adalah salah satu bangsa di daerah Arab sekitar abad ke 5 Masehi. Sederhananya, dalam bahasa saya pra peradaban Arab ada dua suku yang berdekatan. Sebut saja suku A dan suku B. Jika salah satu anggota dari suku A membunuh suku B, maka tidak masalah bagi suku B untuk membunuh balik salah satu dari suku A. Hukum timbal balik mereka pandang sebagai solusi terbaik. Dan di luar sejarah Quran, sejarah dua suku Arab pra peradaban ini menurut saya sesuai dengan hukum Qisos dalam Al-Quran. Itu terdapat dalam bukunya Karel Amstrong: Sejarah Tuhan.
Untuk kali kesekiannya, saya mengangguk-angguk. Kalau saya pikir bisa juga pendapat Karl Amstron itu sebagai cerminan Quran sehingga ada hukum Qisos di dalamnya. Selain itu, yang membuat saya terlena adalah kesimpulan Bapak Muhdlir di awal: hukum Quran itu tidak datang secara tiba-tiba tapi sesuai dengan sejarah bangsa-bangsa hebat dahulu.Quran tidak bisa lepas dari sejarah.
Jadi, dari catatan ini, saya jadi tahu kenapa dalam buku-buku sejarah anak MI yang tertulis adalah sejarah kebudayaan Arab bukan sejarah kebudayaan Islam. Karena sekilas memang Islam itu adalah oleh orang Arab, dari orang Arab, dan untuk orang Arab. Indonesia harus punya Islam yang Indonesia.zev.030913

                                                           
Oleh : Muhammad Saifullah